Ulang Tahun

1058 Kata
"Apa kabar?" Sampai pertanyaan itu dilontarkan oleh Ethan, aku terperanjat terpaksa menyunggingkan senyuman. "Baik." segera kualihkan tatapan, tidak kuat melihat kedua sorot mata indah milik Ethan. Sialnya aku masih saja belum move on meski laki laki itu telah meninggalkan selama enam tahun. "Kita sudah lama enggak ketemu, ya." "Enam tahun." jawabku pelan. Enam tahun kamu menghilang dan tidak pernah tahu bagaimana hasil dari permainan manis mu malam itu bersamaku. Permainan manis yang membuatku diusir dari rumah, dan membesarkan Reksa sendirian. "Iya, enam tahun." kemudian dia terdiam lagi, menatap jalan yang akan kami lalui. Tangannya yang berotot dan lebar itu sedang piawai mengendarai di sisiku. Membuatku membayangkan tangan itu merangkum kedua sisi wajah ini, lalu membawanya ke peraduan, seperti masa itu. Wajah tampannya masih sama, bahkan semakin tampan karena usia yang semakin matang. Yakin sekali kalau Ethan ini sudah memiliki pasangan atau mungkin sudah menikah. Gila! Otaku selalu gesrek saat menatap Ethan. Dia terlalu tampan dan menggoda untuk seukuran manusia. "Apa kamu sempat menikah?" pertanyaan Ethan hanya ditanggapi senyuman tipis saja. "Enggak." Mana bisa aku menikah, ketika aku memiliki seorang putra yang terlahir tanpa sebuah pernikahan. Laki laki mana atau ibu mana yang mau menikahkan anaknya dengan perempuan seperti diriku. Sudah memiliki anak dengan tidak memiliki setatus. Ah, sudah lah. Menyesal dan bersedih itu, bukanlah Typeku. "Kamu sendiri, pasti sudah ya? atau kamu sudah punya pacar?" dia hanya tersenyum menanggapiku. Sialnya membuatku penasaran dan marah tidak karuan. Bagaimana bisa dia menikah atau bahkan memiliki seorang pacar, ketika aku sudah memiliki putra darinya. "Oh,ya? tadi ramai ramai di assemblyng ada apa?" tanya nya mengalihkan pembicaraan. Tentu saja itu mungkin akan ia lakukan, mengingat aku sedang mengutarakan pertanyaan yang sensitif tentang dirinya. Dan pada akhirnya dia memang memilih tidak mau menanggapi topik sensitif itu. "Iya, oven meledak lagi, mungkin kepanasan." "Kamu?" "Aku, apa?" "Maksudku, kamu sedang di mana ketika oven meledak?" "Aku di ruangan ku." "Oh, syukurlah." terdengar helaan lega, seolah ia sedang mengkhawatirkan diriku. Kami kemudian hening kembali karena aku bingung mau membahas apa. Sebuah pertolongan datang dari asisten rumah tanggaku. "Halo!" aku mengangkat panggilan. "Bu, Reksa pergi dari rumah!" "APA!" karena saking kagetnya aku berteriak. Membuat Ethan melirik padaku dengan penuh tanya. "Kenapa? kenapa bisa Reksa pergi dari rumah?" "Dia katanya malu, karena semua teman temannya membawa ayahnya ke sekolah, ketika acara perkenalan ayahnya. Tapi Ayahnya Reksa enggak datang. Dia tadi menangis, bu." aku sontak saja, terdiam dengan perasaan campur aduk. Lama hening untuk menenangkan diri, aku menahan sekuat tenaga air mata yang hendak tumpah ini. "Halo Bu ..." "Mmm ... saya akan segera pulang, dan mencari dia. Mbak juga tolong bantu cari di rumah, ya. Siapa tahu dia ngumpet di lantai atas." "Baik, bu." Aku kerja dan mendapatkan rumah berlantai dua, atas pemberian Pak Wenlee. Sejujurnya aku merasa amat malu telah menerima rumah itu. Namun apa yang harus aku lakukan, aku tidak mungkin menolaknya. Mengingat saat itu, aku sedang hamil Reksa dan membutuhkan tempat tinggal. Telpon ku tutup, dan aku terpekur bingung. "Jadi reksa kenapa?" tanya nya. Aku menoleh dan menggeleng. Kemudian hening lagi. Aku merasa kalau Ethan terus saja menatap padaku mencari sebuah jawaban. "Mm, aku berhenti di sini aja." pintaku. "Di sini?" Ethan sepertinya bingung dengan permintaanku itu. "Tapi inikan jalanan sepi, dan taman kota. Kamu yakin mau berhenti di sini?" tanya nya lagi. Aku tidak menjawab pertanyaannya, begitu mobil terhenti, aku langsung membuka pintu dan berlari keluar. Biasanya Reksa memang suka lari ke tempat ini, ketika ia sedang sedih atau pun kecewa. "REKSA!" aku berlari ke sana ke mari untuk mencarinya. Aku sungguh amat cemas padanya. "Mah ... papahnya Reksa kenapa enggak pernah ke sekolah? apa papahnya reksa enggak sayang sama reksa?" pertanyaan itu memenuhi isi kepala ini, aku tidak pernah lupa bagaimana wajah sedih yang diperlihatkan Reksa waktu itu. "Mah ... Reksa ko enggak pernah lihat poto papah ngerayain ulang tahun reksa waktu kecil sih? padahal semua teman temannya reksa selalu di timang dan digendong sama papahnya. Reksa ko enggak ada sih, mah ..." aku menghentikan langkah ini, karena dadaku terasa amat sesak, akibat menahan tangis, dan juga terlalu lelah berlari. Ku edarkan tatapan ini, namun aku sama sekali enggak menemukannya. Reksa ... Aku bertumpu pada kedua lutut, dengan tersengal hebat. Betapa aku sangat putus asa saat ini. Mah ... reksa pengen kaya temen temen reksa ... Mah ... apa reksa itu enggak punya papah? Mah ... kapan papah datang ke rumah? Mah ... Reksa ko enggak pernah dapet hadiah dari papah? "Reksa ... REKSA!" Aku kembali berlari ke bagian lain. Sebuah tempat yang tidak pernah aku datangi sebelumnya, adalah danau yang ada di ujung taman ini. Tapi mungkinkah Reksa datang ke danau itu malam malam begini. Di sini memang tidak gelap, tapi anak seumuran Reksa pergi ke tempat ini, tentu saja nyalinya menciut. Namun karena aku sangat penasaran, aku pun tetap pergi ke arah danau itu. Sebuah meja makan dan lampu lampu yang kerlap kerlip terlihat dari kejauhan. Di tengah tengah meja itu ada lilin yang menyala, juga sebuah makanan. Tapi kenapa tidak ada orang di sini. Namun meski begitu, aku tetap berjalan cepat dan mendekat. Sampai menyentuh ujung meja, aku masih tidak menemukan siapapun. Hening ... dan henging ... aku lelah dan cemas. Sehingga aku menangis sendirian di sana. Namun ... "Happy birth day mamah .... happy birth day mamah ..." Aku melihat dari arah di mana Reksa membawa kue tart dan juga asisten rumah tangga di belakangnya. Aku kembali menangis, malah tambah kuat lagi. Juga di belakang anaku dan asisten rumah tangga itu, ada Ana dan Rama. Aku segera mendekat, dan memeluk Reksa. Aku tidak peduli dengan kuenya yang Reksa berikan pada asisten rumah tangga yang ada di sampingnya. "Mamah takut banget ..." ujarku dengan suara gemetar. "Kamu ngerjain mamah?" tanyaku lagi. Reksa terkekeh dan mencium kedua pipiku. "maafin reksa ya mah. Habis mamah kerja mulu," dia manis sekali. Aku hujani kecupan di keing dan pipinya. "Ganteng banget kamu," pujiku. "Selamat ulang tahun ya... itu ingusnya hapus dulu." ledek Ana. Aku terkekeh dan memeluk Ana. "Lo ke mana aja? kenapa baru ke sini?" tanyaku. "Lah, gue kan sibuk ngelonin suami." kekehnya. Aku akhirnya kembali happy dan mulai memotong kue juga membuat permintaan. Selesai dengan semuanya, Ana dan Rama ijin pulang, lalu Reksa dan Sarah bermain bola bersama. Aku melihat dari sisi danau, ketika sebuah suara terdengar. "Reksa manggil mamah? emang dia siapanya kamu?!" Deg! Ethan! Kenapa dia masih ada di sini?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN