14. Penolong

1190 Kata
Di rumah kontrakan, Andara sibuk membersihkan rumah yang sudah ia tinggalkan selama 4 tahun tersebut. Ia memulai dari kamarnya terlebih dahulu karena ada sesuatu yang sedang dicarinya. Setelah menemukan, Andara langsung mengambil barang tersebut. “Bagaimana kabar dan keadaanmu sekarang?” Andara berujar pelan sembari mengelus wajah dalam pigura tersebut. Tok! Tok! Andara menghela nafas lalu meletakkan asal pigura tersebut karena mendengar ketukan pada pintu kontrakannya. Kakinya segera melangkah keluar karena tak mau membuat tamunya menunggu. Cklek! “Eh, Bu Ratih. Silahkan masuk Bu,” ujar Andara sopan. “Tidak usah. Saya hanya ingin menagih uang kontrakan bulan ini,” ucap Bu Ratih tanpa basa-basi. Tangannya terus menggerakkan kipas yang menjadi pegangan nya. Ucapan itu membuat Andara menggaruk rambutnya bingung. Selama keluar dari rumah sakit, Andara tak pernah memegang uang lebih karena sungkan dengan sang anak. “Eum maaf, Bu –” Ucapan Andara terpotong karena selorohan Bu Ratih. “Saya tidak butuh permintaan maaf. Saya hanya butuh, kamu ataupun anak kamu membayar uang kontrakan!” tegas Bu Ratih setengah emosi. “Nanti kalau Ralph pulang, saya akan bicarakan dengannya, Bu,” jelas Andara dengan kepala menunduk. Tangannya sibuk meremas ujung daster yang saat ini dikenakan olehnya. “Ada apa ini?” Keduanya menoleh serempak saat mendengar suara asing yang nimbrung diantara mereka. Andara menatap bingung pemuda yang saat ini diduga menatapnya. Entahlah Andara sendiri tak yakin karena pemuda itu mengenakan kacamata hitam. Sementara Bu Ratih mendelik tak suka karena waktunya terganggu. “Jangan nanti-nanti saja. Makanya jadi Ibu itu yang berguna untuk anaknya, jangan cuma bisa sakit-sakitan!” cecar Bu Ratih tanpa mempedulikan keberadaan pemuda itu. Penuturan itu membuat hati Andara sakit meskipun ucapan Bu Ratih sangatlah benar. “CUKUP! Saya tidak suka ada penghinaan didepan mata saya,” sela pemuda itu murka. “Hei!” Bu Ratih mengibaskan kipas tangannya ke depan wajah pemuda tersebut. “Tak perlu mengatur saya, bocil!” Kipasnya kembali diarahkan tepat pada jarak yang sangat minim di depan wajah tampan tersebut. Pemuda itu menepis tangan Bu Ratih kemudian mengeluarkan seamplop uang yang jumlahnya sangat tak wajar dan menyerahkan kepada Bu Ratih. “Anda butuh ini, kan? Ambil semuanya, tapi jangan pernah merendahkan harga diri orang lain. Apalagi sesama perempuan!” Bu Ratih sudah komat-kamit diiringi u*****n saat ada seseorang yang merendahkan dirinya. Dia tak terima! Dia adalah warga terpandang dengan banyak aset kekayaan! “Kau belum tau aku, anak muda. Lihat saja, suamiku yang saat ini menjabat sebagai RT disini akan memberi pelajaran untukmu,” pesan Bu Ratih sebelum berlalu. Setelah Bu Ratih pergi, Andara mengusap dadanya karena mendengar ucapan sombong pemilik kontrakan tempatnya tinggal. Setelah sadar akan sesuatu, Andara menatap pemuda yang diduga seumuran dengan putranya. “Siapa kamu, nak? Ada keperluan apa?” tanya Andara lembut. Pemuda itu menggeleng singkat. “Tidak ada, Bu. Kebetulan tadi saya hanya sedang melintas di daerah sini.” Andara tersenyum kecil lalu mengangguk paham. “Duduk dulu. Biar Ibu buatkan minum.” “Tidak usah, Bu,” cegah pemuda itu tak mau merepotkan. Tangan Andara mengibas pelan, “Tidak masalah, kok. Ayo duduk. Maaf ya rumah Ibu panas dan sempit.” Meskipun sungkan, pemuda itu duduk karena ingin menghargai tawaran wanita yang sempat dibantunya tadi. “Silahkan diminum nak.” Andara meletakkan secangkir teh hangat untuk pemuda tampan tersebut. “Terima kasih, Bu,” balasnya sopan. Tangannya mengambil cangkir tersebut dan menyeruput teh yang terasa hangat di tenggorokannya. “Nama kamu siapa?” tanya Andara ditengah keterdiamannya. “Nama saya –” “MAMA!!” Dari pintu, terlihat Sela tersenyum lebar seraya melambaikan tangan. Gadis itu baru saja pulang sekolah diantar salah satu orang tua murid. “Sela, bentar Mama bukain pintu.” Ucap Andara melangkah ke arah pagar. Sela dengan setia menunggu Mamanya sembari menyandarkan diri pada tembok. Setelah pintu terbuka, gadis kecil itu langsung menjulurkan tangan agar Andara segera menggendongnya. Pemandangan antara Ibu dan anak itu tak lepas dari sepasang mata pemuda yang berada di kontrakan Andara. Wanita itu segera membawa putrinya masuk karena diluar sedang mendung. “Sebentar, ya. Ibu antar Sela masuk dahulu.” Pamit Andara sedikit berlari masuk karena Sela mulai merengek. Sekitar 5 menit kemudian Andara keluar dari rumah dan dibuat terkejut karena tak melihat keberadaan pemuda tadi. Dimana anak muda tadi? Apa aku terlalu lama di dalam? Batin Andara menerka. Tak ingin dibuat pusing, Andara lebih memilih menutup pintu rumah dan kembali masuk. “Ma, Sela sudah selesai makan,” ujar Sela dengan suara lucunya. Andara tersenyum lebar melihat anaknya makan dengan lahap. “Enak nggak, masakan Mama?” Sela mengacungkan jempol. “Enak bingits!!” *** Jam istirahat di SMA Bengawan sudah berbunyi nyaring. Jeno yang tadinya lemah, letih, lesu pun langsung membuka lebar kedua matanya. “Akhirnya anak-anak gue bisa makan!” seru Jeno mengepalkan tangannya keatas. Alvero menatap aneh makhluk bernama Jeno tersebut. Merasa diperhatikan, Jeno segera meliarkan matanya. “Kenapa lo? Gak suka?” “Bacot,” desisnya merangkul Ralin dan Brisia keluar dari kelas. Di depan kelas sudah ada Ralph dan Zigo yang menunggu. “Loh kok ada besalus sih?” kesal Brisia karena tiap akan berkumpul dengan para sahabatnya, selalu ada yang menganggu. “Ayo, Class. Lo gak boleh telat makan,” ujar Ralph menghiraukan ocehan Brisia. Jeno yang kebetulan baru keluar dari kelas dibuat geram. “Jangan mentang-mentang ya, lo!” Zigo memutar matanya malas karena drama lebay tersebut. “Lebay!” “Heh! Lo udah mulai berani ye. Sok banget tau gak?” “Udah-udah. Lo semua berisik tau gak!” sentak Ralin geram. “Bacot lagi gue lakban itu bacot lo semua.” Ajaib Zigo dan Jeno yang sempat adu mulut akhirnya mengatupkan bibir karena tak mau kena amukan. Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk ke kantin bersama. Wih akur ya Eh iya ya, tumbenan banget Apa Rab'J turun kasta? “Turun kasta mbahmu!” cetus Jeno sebal. Dia tak mau kasta nya jatuh dimata orang lain. Terlalu duniawi. “Nasi goreng atau apa Class?” Tanya Ralph. Kini dia dan Ralin berada di depan stand makanan yang cukup menggugah selera. “Boleh batagor gak?” Ralph tersenyum gemas karena tingkah Ralin. “Ya boleh dong. Asal beli nasi juga.” “Jangan nasi,” cegah Ralin. “Gue nanti ada shooting dan berat gue gak boleh nambah.” Lanjutnya menunduk memegang perutnya yang sejujurnya terasa lapar. “Lo bawa realfood kan? Setelah makan nasi, lo minum atau makan itu barang bawaan lo,” usul Ralph. Ralin mengambil sesuatu dari pouch yang selalu dibawa olehnya. “Ini?” “Nah. Gue beliin nasi, ya?” Ralin mengangguk semangat. Entahlah akhir-akhir ini ia merasa terlalu menurut dengan Ralph. Semua yang mereka lakukan tak luput dari seluruh pasang mata di kantin. Byur Mata Ralin menutup rapat dengan tangannya yang terkepal karena merasakan panas pada sekujur tubuhnya. Kakinya merasa lemas seperti jelly. Alvero yang kebetulan sedang memperhatikan sekeliling langsung berlari menghampiri sahabatnya. “Lin? Jangan merem, lo harus buka mata,” ujar Alvero kemudian membersihkan seragam sahabatnya yang sudah terkena kuah bakso. “Ma-maaf Kak gu-gue gak sengaja,” gagap seorang gadis yang diduga Adik kelasnya. “Lo punya mata gak, sih? Buta lo?” sarkas Alvero menyentak. “Gue –” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN