73. Titik Terang

1102 Kata
Dua keluarga itu saat ini sedang berada di salah satu resto karena membahas perihal tanggung jawab dan langkah yang akan diambil selanjutnya. Mereka adalah keluarga dari Jeno dan Chloe. Sejak tadi Chloe tak henti berdecak karena mendengar ucapan kedua keluarga itu. Ingin menyanggah, namun Mahendra selalu mengangkat sebelah tangannya supaya diam. “Dad, Chloe nggak mau!” “Diem dulu, Chloe,” tegur Mahendra tajam. Mahendra kembali melanjutkan pembicaraan kepada Erland dan Mita. “Sebagai Ayah dari pihak perempuan, saya mau mempertanyakan kembali bentuk pertanggungjawaban yang akan dilakukan oleh Jeno,” ujar Mahendra menatap pasutri di depannya. Erland dan Mita saling tatap kemudian menghela nafas. “Kami berdua akan mengurus pernikahan mereka secepatnya,” pungkas Erland selaku kepala keluarga. Mata Chloe membola karena terkejut dengan informasi yang didengarnya tersebut. “Enggak!” sergah Chloe. “Dad, kalau Chloe menikah, bagaimana semua yang Daddy atur sejak 16 tahun lalu waktu Dad—” “CUKUP!” bentak Mahendra. Pria itu tidak mau jika rahasianya sampai terbongkar karena kecerobohan anaknya. Sementara Chloe tersadar langsung membekap mulutnya sendiri. Wanita itu merutuki bibirnya yang hampir saja keceplosan. Erland dan Mita mengernyit setelah mendengar ucapan wanita muda di depannya. Sedangkan Jeno yang tidak paham hanya menjadi pendengar setia. “16 tahun bagaimana maksudnya?” kepo Mita. Sebagai seorang wanita, dia tentu saja punya rasa ingin tau yang tinggi. Apalagi sepasang Ayah dan anak itu terlihat mencurigakan. “Bukan apa-apa,” pungkas Mahendra kemudian berdeham sejenak. “Jadi bagaimana untuk Ibu dan Bapak?” Bak sebuah hipnotis, Mita dan Erland seolah lupa jika tadi baru saja penasaran akan sesuatu. “Biar kami yang mengatur,” putus Erland. Chloe hanya bisa memberengut. Ingin melawan, takut rencana selama belasan tahun gagal sia-sia. Namun jika diam saja, masa depannya menjadi taruhan. *** Di pagi buta kali ini Ralph akan melakukan olahraga. Biasanya olahraga adalah salah satu kegiatan yang paling dibenci oleh Ralph. Andara yang sedang memasak untuk sarapan dibuat terkejut lantaran tingkah tak biasa putra sulungnya. “Mau kemana Ralph?” tanya Andara fokus dengan penggorengan. Ralph menghentikan langkahnya sejenak. “Mau olahraga, Ma. Hehe ...” “Tumben?” Alis Andara menukik setengah tak percaya. “Kan Ralph pingin sehat, Ma,” jawab Ralph lelah. Meskipun sedikit tak percaya, namun Andara tetap saja mengangguk. Nasi goreng yang ada di hadapannya kali ini lebih penting daripada Ralph. “Yaudah sana berangkat,” usir Andara yang langsung mendapatkan dengusan dari Ralph. “Ngeselin banget si Mama,” gumam Ralph sembari berjalan keluar. “MAMA DENGER!” Di depan kontrakan Ralph cengar-cengir membayangkan ekspresi Mamanya yang murka saat ini. Ralph keluar dari kontrakan membawa sepeda kesayangannya yang selalu ia gunakan sebelum Mores memberikannya sepeda motor. Mengingat sepeda ini, Ralph jadi flashback saat awal-awal masih bermusuhan dengan Ralin. Sepeda itu terus dia kayuh hingga menuju taman. Karena waktu yang masih sangat pagi, keadaan di sekitar sangatlah sepi. Mungkin hanya sekitar lima orang saja yang berada disana. Ralph memarkirkan sepedanya di bawah pohon kemudian berlari menjauh. Pemuda itu mulai melakukan stretching ringan sebelum jogging. Cukup 15 menit saja Ralph melakukan stretching, selanjutnya ia sedikit berlari di tempat supaya tubuhnya terasa panas. “HAHHH ...!” Ralph berteriak kencang sebelum akhirnya berlari mengitari lapangan dengan pelan. Waktu terus berjalan hingga tak terasa matahari mulai muncul arah Timur menampilkan keindahan yang akan membuat seluruh manusia di bumi kepanasan. Bulir keringat pun sudah mengalir di kulit putih Ralph dengan derasnya. Mata Ralph menemukan seorang pedagangg asongan yang sedang menjajakan air mineral. Langsung saja kakinya mendekati seorang pria paruh baya tersebut karena tenggorokannya terasa kering. “Pak, saya mau air mineral dingin,” ucap Ralph sopan. Bapak itu dengan semangat mengambil botol dari termos air dingin dan menyerahkannya kepada Ralph. “Lima ribu, Mas.” Ralph merogoh sakunya dan menemukan uang berwarna hijau. Ia serahkan kepada Bapak itu dan diterima dengan wajah murung. “Maaf, Mas, masih pagi belum ada kembalian,” ujarnya sedih. “Buat Bapak,” balas Ralph tersenyum. Memang sejak awal Ralph ingin memberikan uang itu untuk si Bapak mengingat jika belum ada pelanggann yang membeli dagangannyaa. “Wah terima kasih, Mas!” seru Bapak itu semangat. Ralph mengangguk kemudian kembali mengambil sepedanya karena harus segera pulang ke rumah. Saat dalam perjalanan, Ralph merasakan jika ada yang mengikutinya. Sembari menyetir sepeda, pemuda itu juga menoleh ke belakang guna memastikan. Namun sayangnya Ralph tidak menemukan adanya orang disana. Kedua bahunya terangkat karena tidak terlalu peduli. Mungkin tetangganya yang sedang mondar-mandir dan berakhir belok ke rumah masing-masing. Srek! Ralph mengerem sepedanya kemudian menoleh ke belakang. Dari jarak sepedanya berhenti, Ralph melihat seorang Bapak-bapak membawa karung tergelincir. Sebagai seseorang yang tidak tegaan, Ralph langsung turun membantu Bapak itu. “Pak, tangannya luka,” ungkap Ralph membantu pemulung tersebut. “I—iya Dek,” gagap Bapak itu kesakitan. “Ke rumah saya dulu mau, Pak? Biar saya obatin,” tawar Ralph yang langsung dibalas gelengan oleh pria itu. “Nggak usah.” Bapak itu mengibaskan tangannya yang memerah kemudian bangkit dengan bantuan Ralph. “Terima kasih ya.” Ralph mengangguk patah-patah melihat kepergian pria itu. *** Saat ini Mores sedang menikmati sarapannya dengan keadaan yang sudah rapi. Pria tampan namun jomblo itu akan kembali mencari tempat dimana mantan istrinya berada. Di sebrang duduknya ada Aksa yang dengan setia menemani. “Tuan, apa ada lagi yang anda perlukan?” tanya Aksa sebelum meninggalkan ruang makan. Mores menimang sebentar kemudian menggeleng. “Tidak.” Aksa mengangguk. “Mari Tuan, mobil sudah siap.” Kedua pria dewasa itu berjalan beriringan menuju mobil yang sudah dipersiapkan. Selama perjalanan Mores hanya terdiam, lebih tepatnya tidak berbicara karena ia sedang melihat-lihat ponselnya. Barangkali putri cantiknya itu menghubungi namun ternyata tidak. Sekitar satu jam mobil yang ditumpangi Mores itu terjebak macet. Ibukota pagi ini sedang rewel karena adanya demo buruh. “Apa tidak ada jalan lain, Pak?” tanya Aksa kepada pria yang sedang mengemudikan mobil. “Ada, Tuan. Namun perjalanan akan sedikit lebih lama karena harus melewati perumahan,” jawab sang supir. Aksa menatap Mores, “Bagaimana Tuan? Anda tidak masalah menunggu macet, atau melewati jalan lain?” “Biarkan saja. Saya ingin menikmati suasana Ibukota,” jawab Mores. “Baik Tuan.” Setelah itu tidak ada lagi pembicaraan karena masing-masing sedang menikmati suasana. Satu jam kemudian mobil yang ditumpangi Mores berhasil melewati kemacetan. Butuh sekitar 20 menit lagi untuk tiba di alamat yang sudah diselidiki oleh Aksa sebelumnya jika memang tidak ada kendala. Memasuki gang yang sedikit sempit, mobil itu melaju kian lambat supaya tidak menabrak. Hingga mobil akhirnya berhenti cukup jauh dan Mores mengamati dari dalam. Aksa dan sang supir membiarkan Tuan mereka melakukan apapun karena itu haknya. “Resya ...” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN