20. Murid Baru

1276 Kata
Pagi ini SMA Bengawan di hebohkan dengan kedatangan murid baru berwajah tampan khas Eropa. Banyak murid perempuan yang berteriak histeris kala dua orang pemuda turun dari mobil mewahnya dilengkapi dengan aksesoris mahal yang bisa dipastikan harganya selangit. Rab'J yang baru saja datang langsung penasaran karena tingkah teman sekolahnya sangat membagongkan. “Ada apa tuh rame bener,” kepo Jeno. Ralin mengedik sebagai balasan. Dia tak harus menjelaskan hal yang memang tak diketahui olehnya. Sementara Brisia, gadis itu sejujurnya penasaran dengan apa yang terjadi. “Eh eh, itu ada apa kok rame banget?” celetuk Brisia menghampiri seorang gadis yang berniat bergabung dengan kerumunan tersebut. Gadis itu terkejut kemudian wajahnya berubah takut saat melihat Brisia. Tentu saja takut, anggota Rab'J terkenal dengan keangkuhan nya sehingga membuat kaum yang biasa saja menjadi mundur. “Jawab dong. Kenapa sih?” desak Brisia lagi. “I-itu ada murid baru,” jawab gadis itu takut. Kening Brisia menukik karena jawaban gadis di hadapannya. “Murid baru doang sampai rame kayak gitu?” “Soalnya ganteng.” Setelahnya gadis itu berlari menghindari Rab'J dan menyelip diantara kerumunan itu. “Cuma murid baru doang?” Ralin tertawa sarkas. Tangannya bersidekap d**a lalu menggeleng tak habis pikir. “Manusia gak jelas,” komentar Alvero pedas. Mata Ralin menjelajah ke sekeliling hingga menemukan seseorang yang ingin di interogasi nya sejak lama. Kakinya berlari menuju orang itu hingga ketiga sahabatnya bingung. “Mau kemana tuh Alin?” tanya Jeno entah pada siapa. Dengan nafas yang tak teratur, Ralin berhenti di hadapan Zigo yang menatap bingung kearahnya. “Heh cewek sombong, ngapain lo? Marathon?” Kepala Ralin mendongak kemudian menatap tajam Zigo, membuat si empunya bingung. “Dimana besalus?” “Hah?” Zigo membeo. “Besalus?” Decakan Ralin akhirnya terlontar karena menyadari jika kalimat itu hanya dimengerti oleh dirinya dan para sahabatnya saja. “Ralph.” Bibir Zigo membulat paham dengan maksud gadis itu. Matanya menatap Ralin dari atas hingga bawah. “Kenapa sih?” sentak Ralin risih. Zigo tersadar kemudian berdeham pelan. “Emang dia gak ngabari lo? Kan dia ada tanggungan buat ngurus manusia gak tau diri kayak lo,” ucap Zigo memancing keributan. “Apa maksud lo ngatain Ralin gak tau diri, hah?” sembur Jeno tak terima. Pemuda itu mendengar obrolan sahabatnya dari awal sehingga merasa tertohok dengan ucapan rakyat jelata seperti Zigo. Suara itu membuat Zigo memutar matanya malas. Jeno itu terlalu emosian menurutnya. “Kenapa? Lo gak suka? Bukannya, gue berhak mau berkomentar apa?” tantang Zigo. Ralin yang tak mau ambil pusing memilih mengajak Brisia berlalu dari sana. Biarlah sahabatnya ribut karena itu bukan urusannya. “Pelan-pelan dong jalannya,” oceh Brisia karena susah mengikuti langkah besar Ralin. Hingga secara mendadak keningnya membentur punggung sahabatnya itu. “Ada ap –” ucapannya terhenti saat kini keduanya menatap dua orang pemuda menghalangi jalannya. “Apa lo gak bisa minggir?” ujar Ralin malas. Pemuda yang menghadang Ralin bukannya minggir, justru malah semakin mendekatkan jaraknya dengan gadis sombong itu. “Classica Ralin Millano, we meet again.” Kening Ralin langsung menukik karena perkataan pemuda itu. “Ketemu lagi? Emang gue pernah ketemu sama lo?” heran Ralin mulai tertarik. “Apa kau lupa dengan kejadian saat berada di taman?” ucapan itu membuat Ralin sedikit berpikir. Setelah meneliti wajah pemuda di depannya dia langsung teringat. “Oh, lo yang tolongin gue? Ngapain disini? Minta ganti rugi?” cecar Ralin membuat pemuda yang berada di sebelah Januar menganga. “What? Al – mmppphhh.” Samuel meronta kala Januar membekap mulutnya dan menatap tajam padanya. Hal itu membuat Samuel meneguk ludahnya kasar. “Maaf, saya hampir saja membuka identitas anda,” bisik Samuel menunduk. Ralin dan Brisia hanya memutar matanya malas kemudian berlalu dari sana. *** Jam istirahat tiba, Ralin sedikit menguletkan tubuhnya yang terasa pegal setelah duduk selama tiga jam karena pelajaran berlangsung. “Baby, ayo ke kantin.” Ralin bergidik jijik mendengar suara Jeno yang lebih mirip dengan jamet. Bahkan Brisia sudah berekspresi seakan ingin muntah membuat bibir Jeno menekuk “Kalian berdua ja –” “Bacot!” sergah Alvero sebelum Jeno mengeluarkan kalimat alay-nya. “Jahat banget lo sama gue, Ver. Pantesan jomblo,” sinis Jeno kemudian membekap mulutnya karena sadar akan kesalahannya. Alvero mendelik karena ejekan yang dilontarkan untuknya itu. “Jadi ke kantin gak?” tanya Ralin mulai malas. Mendengar pertanyaan bernada malas itu, Brisia langsung mengamit lengan sahabatnya dengan senyuman lebar. “Yuk!” Sepanjang perjalanan menuju kantin, Brisia terus mengoceh dan ditanggapi seadanya oleh Ralin. Bahkan terkadang Ralin menanggapi dengan anggukan saja. “Hai.” Langkah kedua gadis itu terhenti saat ada dua orang pemuda menghadang jalannya. Ralin menggaruk keningnya bingung. “Ada apa lagi? Lo mau minta ganti rugi?” Salah satu pemuda itu tersenyum kemudian menggeleng. “Aku hanya ingin mengajakmu pergi bersama ke kantin.” Kedua pria yang berada di belakang Ralin dan Brisia langsung maju dan memasang badan. “Mau apa lo ganggu sahabat gue?” cerca Jeno tajam. Januar mengarahkan badannya hingga sepenuhnya menghadap Jeno. “Maaf, tetapi aku tak berniat mengganggu Ralin sedikitpun.” “HAH ... Lo semua gak usah ribut. Mending kita ke kantin bareng aja sekarang,” putus Ralin. Ia tak mau jam istirahat nya terganggu dengan perkelahian antara dua kubu. “Tap –” “Iya!” potong Ralin karena ia tau apa yang akan diucapkan oleh Jeno. Tentu saja sebuah penolakan dan ia tak suka itu. “Baiklah.” Dengan perasaan ngambek, Jeno berlalu terlebih dahulu ke kantin karena malas berhadapan dengan murid baru tersebut. Setibanya di tempat yang sudah terlebih dulu di duduki Jeno, Ralin langsung mengeluarkan realfood dari dalam pouch mini nya. Gadis itu segera membuka dan menenggaknya hingga tandas, membuat perhatian Januar sepenuhnya kearah gadis itu. “Apa kau tak makan?” tanya Januar langsung. Gerakan Ralin terhenti kemudian menatap Januar dengan pandangan yang sulit di artikan. “Gue artis. Gue harus bisa jaga diri dengan gak konsumsi makanan yang bikin badan gue bengkak,” jelas Ralin tanpa diminta. “Kau bisa meminum sari lemon setelah itu, daripada melakukan program diet dengan menyiksa seperti ini,” sahut Samuel yang baru datang membawa nampan dibantu penjual kantin. “Terima kasih.” Dalam diamnya, Alvero menyetujui ucapan dua orang asing itu. Selama ini, Ralin begitu sulit untuk diberikan penuturan kecuali oleh Mores. Bahkan gadis itu akan melakukan mogok makan jika apa yang diinginkan, ditolak. Se-egois itu memang seorang Classica Ralin Millano. “Gue ada pemotretan hari ini. Sekalipun gue minum sari lemon, itu akan ngebuat pakaian gue ngetat dan gue gak bisa gerak,” bantah Ralin keras kepala. “Alin ... Brisia gak mau tau pokoknya sekarang ... happ!” Brisia berhasil menyuapi satu sendok nasi goreng ke bibir Ralin. Gadis itu dengan pasrah menerima suapan tersebut. “OH ... Habis godain Ralph, sekarang pindah ke cowok baru?” Rab'J yang mendengar suara tidak diharapkan itu hanya bisa memutar matanya malas. Sementara Januar dan Samuel yang mengenal gadis itu sebagai teman sekelasnya, langsung menyunggingkan senyum. “Budeg lo? Gak bisa bales?” tantang Cindy dengan tangan bersidekap. Setelah menatap ketiga sahabatnya, Ralin langsung bangkit dari duduknya dengan gaya angkuh. “We’ll, seekor hama selain kerjaannya cuma bisa ganggu cowok orang ... sekarang juga beralih ganggu kesenangan orang?” Wajah Cindy memerah tak terima karena selorohan yang terlontar dari bibir mungil Ralin. Dia bukanlah pengganggu cowok orang. Dia hanya memperjuangkan rasa cintanya! “Gue gak pernah ganggu cowok lo! Gue cuma memperjuangkan apa yang gue rasakan,” bantah Cindy tak ingin dipermalukan. “Setidaknya lo gak memperjuangkan cowok yang udah jelas punya cewek, looser!” tukas Jeno setelah daritadi menyimak. Cindy yang kelewat malu akhirnya berlalu dari kantin dengan kaki menghentak. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN