Tiba di rumah sakit, Andara segera membantu Chloe turun dengan perlahan. Setelah membayar, keduanya masuk menuju tempat antrian khusus Ibu hamil.
“Selamat siang, ada yang bisa dibantu?” tanya seorang wanita yang menjaga loket.
“Saya mau ambil antrian dokter kandungan,” jawab Andara ramah.
“Atas nama siapa, Bu?”
“Chloe,” sahut Chloe yang sejak tadi menyimak.
Wanita tadi mengangguk dan menuliskan sesuatu yang memang diperlukan untuk pasien memeriksakan kandungan.
“Atas nama Chloe menemui Dokter Vanessa di lantai 4 ruangan 1 ya.” Wanita tadi menjelaskan dan menyerahkan selembar kertas sebagai penghubung antara pasien dan dokter.
Andara serta Chloe segera menuju lift dan ternyata Ralph sudah menunggu disana sejak tadi.
“Dapet di lantai berapa?” tanya Ralph kepada keduanya. Pemuda itu segera menegakkan badannya yang sempat menyandar pada tembok.
“Lantai 4 ruangan 1,” jelas Chloe.
Kini ketiganya memasuki lift yang terlihat kosong. Mata Andara sesekali melirik dua orang berbeda jenis yang terlihat saling berlawanan. Maksudnya berlawanan adalah Chloe yang menatap anaknya penuh cinta, sedangkan anaknya terlihat acuh tak acuh dengan Chloe.
Setelah pintu lift terbuka, ketiga orang itu bergerak menuju ruangan dokter seperti yang disebutkan penjaga loket tadi. Tiba di depan ruangan, Andara dan Chloe segera masuk sedangkan Ralph menunggu di kursi tunggu.
“Selamat pagi Ibu, silahkan duduk,” sambut dokter tersebut ramah. “Yang mau control siapa?”
“Saya, dok,” jawab Chloe mendahului.
Dokter itu tersenyum dan mempersilahkan Chloe untuk tiduran di ranjang. Sembari menunggu sang dokter mempersiapkan segala sesuatunya, Chloe melirik monitor dengan perasaan tak karuan.
“Relax, ya ... Saya akan mengoleskan gel di perut kamu,” ucap Dokter Siska yang kini mulai mengoleskan sesuatu pada perut Chloe.
Saat gel itu menyentuh perutnya, Chloe bergerak tidak nyaman karena sensasi dingin sekaligus geli pada perutnya. Namun itu tak bertahan lama saat monitor mulai menunjukkan gumpalan daging yang nantinya menjadi bayi. Senyuman haru tak bisa Chloe sembunyikan kala layar tersebut bergerak-gerak.
“Masih kecil ya, sekitar 6 bulan.” Dokter Siska menggerakkan titik menuju gumpalan tersebut. “Ayah dari bayinya tidak ikut?” Lanjut wanita itu sembari menelisik penampilan pasiennya.
“Ada di luar,” timpal Andara.
Dokter Siska mengangguk paham kemudian menuju meja nya untuk menuliskan sesuatu. Sementara Chloe sudah turun dari ranjang menuju salah satu kursi yang berhadapan langsung dengan Dokter Siska.
“Ini untuk resep diminum rutin ya. Bisa di tebus di apotik lantai 4,” ujar Dokter Siska menyerahkan kertas berisikan resep.
“Iya terima kasih,” sahut Chloe yang langsung saja keluar setelah menerima resep tersebut hingga Andara dibuat heran.
Saat di depan ruangan, Chloe yang akan melangkah seketika urung saat Ralph menodongnya dengan berbagai pertanyaan.
“Apa kata Dokter?”
“Terus ini disuruh tebus sekarang?”
“Bisa nanti gak kalau tanya? Aku mau ke toilet,” cicit Chloe bergerak tidak nyaman. Sejak di ruang periksa tadi, rasa ingin buang air semakin besar mengingat di taksi tadi keadaannya dingin.
Ralph melongo dengan ucapan Chloe. Akhirnya pemuda itu mengangguk patah-patah sebagai jawaban.
Karena sudah mendapatkan izin, Chloe segera berlari menuju toilet terdekat dengan bibir gemetaran karena menahan. Hingga matanya menangkap bilik toilet dan wanita itu langsung saja memasukinya.
Sedangkan di depan ruang rawat ...
“Ralph, dimana Chloe?” Andara yang baru saja keluar setelah mengobrol sebentar dengan Dokter Siska.
“Di toilet.”
Melihat jawaban singkat anaknya, Andara hanya bisa menghela nafas. Sebagai Ibu, dia paham sekali jika Ralph belum bisa menerima kehadiran darah dagingnya sendiri. Tetapi yang namanya tanggung jawab, mau suka atau tidak tetap harus dilakukan.
“Kenapa gak kamu anter?”
“Ya kali, Ma ... Dia cewek,” heran Ralph karena respon Mamanya.
Andara tak mau menyahuti ucapan anaknya lagi karena takut emosi.
Sementara itu di toilet ...
Chloe yang baru saja keluar dari bilik toilet dibuat terkejut karena tiba-tiba saja merasakan bekapan pada hidungnya.
“Mmmhhh!!!” Wanita bertubuh mungil itu masih saja meronta namun sayang tenaganya kalah dengan si pelaku.
“Diam!”
Seketika tubuh Chloe menegang karena mendengar suara yang terdengar asing juga familiar secara bersamaan di telinganya. Saat sosok tersebut menunjukkan wajahnya, barulah Chloe tau siapa dia.
“Mmpphhh!!” Chloe memberi kode kepada orang itu untuk membuka bekapannya.
“Aku tidak akan berbasa-basi denganmu kali ini. Jauhi Ralph jika kau masih ingin melihat dunia,” ujar orang itu langsung.
Chloe mengernyit karena heran, “Kenapa aku harus menjauh? Anakku butuh Ayahnya!”
“Ayahnya?” ulang sosok yang tak lain adalah Januar. “Ayah, heh?” Januar tersenyum mengerikan membuat bulu kuduk Chloe merinding.
“I—iya!”
Januar mengangguk pelan kemudian menyahut. “Ingin kuceritakan sesuatu yang mungkin membuatmu sadar?”
“Apa?”
“Kau terlibat masalah besar kali ini karena hamil dengan seorang manusia,” ucap Januar dengan kepala terangkat menatap langit-langit kamar mandi.
“Kenapa aku terlibat masalah? Aku manusia, tidak mungkin aku hamil dengan jin dan sebangsanya!” jerit Chloe yang merasa ngeri dengan pembahasan Januar.
“Kar—aku tidak memiliki banyak waktu. Aku tegaskan sekali lagi, jauhi Ralph atau aku sendiri yang akan menjauhkanmu darinya,” peringat Januar sebelum berlalu karena mendengar langkah kaki mendekati toilet. Dia tidak ingin digrebek oleh pengunjung rumah sakit hanya karena hal sepele. Apalagi digrebek dengan wanita hamil seperti Chloe.
Mengetahui Januar sudah pergi dari jangkauannya, sesegera mungkin Chloe keluar dari toilet. Setidaknya dia sudah berada dalam lingkup dimana Januar tidak mungkin mengancamnya lagi seperti tadi.
Dari kejauhan matanya menangkap sosok Ralph dan Andara yang berjalan ke arahnya. Langsung saja Chloe berlari dan menerjang Ralph dengan pelukan hingga si empu kaget.
“Eh? Kenapa lo?” seru Ralph tanpa membalas pelukan itu. Dia sangat canggung untuk berpelukan dengan seorang wanita karena memang di hatinya nama Chloe tak ada sedikitpun.
“Hiks ...” Bukannya menjawab, Chloe justru menangis.
Andara yang melihat itu hanya bisa mengelus lembut bahu rapuh Chloe karena hormonn wanita hamil tidak menentu.
“Mama tebus obat dulu, kalian tunggu di kursi aja,” pesan Andara sebelum melangkah menuju kasir.
Ralph membawa Chloe yang masih saja memeluknya ke sebuah kursi.
“Udah jangan nangis. Lo di lihat orang tuh,” cetus Ralph yang bergidik karena pandangan seluruh warga di rumah sakit.
Tersadar dengan apa yang sudah dilakukan, Chloe langsung melepaskan pelukan itu dan menghapus air matanya dengan kasar.
“Maaf ...”
Tak lama Andara kembali dengan kantong plastik di tangannya. Bisa dipastikan itu adalah obat-obatan yang harus dikonsumsi oleh Chloe selama kehamilan. Ralph melihat kantong tersebut dengan perasaan campur aduk. Tak menyangka jika benda itu yang akan menjadi pelindung untuk calon anaknya.
***
Lenox Hill Hospital
Saat ini di sebuah ruangan VVIP suasananya sedikit mencekam. Lima orang dokter anggota dan satu dokter ketua tengah berhadapan dengan seorang pengusaha tambang terbesar di Asia. Terlebih sang ketua yang statusnya masih dokter muda, pria berusia 23 tahun itu merasakan jantungnya jedag-jedug sejak Mores memasuki ruangan.
“Bagaimana hasil pemeriksaan putriku?” tanya Mores dengan tangan yang mengetuk meja.
Dokter Ander sebagai ketua langsung berujar, “Nona Ralin berhasil melewati masa kritis karena tekanan pada mentalnya. Namun karena kejadian itu, untuk bisa sembuh total harus melakukan perawatan intensif supaya Nona Ralin bisa benar-benar dikatakan sembuh.”
Mores tercenung setelah mendengar penjelasan Ander. Putrinya itu sepertinya membutuhkan sosok Ibu untuk mendengarkan segala keluh kesahnya apalagi di masa remaja seperti ini.
“Jika diizinkan, saya ingin memberikan saran kepada Tuan Mores,” sambung Dokter Ander karena melihat keterdiaman Mores.
“Silahkan.”
“Seseorang yang memiliki tekanan berlebih dalam dirinya, hanya bisa disembuhkan dengan bercerita dan mengeluarkan segalanya. Namun untuk kejadian yang menimpa seorang gadis remaja, mereka biasanya lebih nyaman bercerita segala sesuatunya pada sosok wanita yang biasa mereka sebuh dengan Ibu,” tutur Ander.
Benar bukan? Pikiran Mores tidak pernah salah. Sebanyak-banyaknya Mores meluangkan waktu, anak perempuan pasti akan lebih nyaman cerita kepada Ibunya. Meskipun seorang Ayah adalah cinta pertama anak perempuan, namun dalam hal bercerita para gadis itu akan merasa canggung jika sudah berhadapan dengan seorang Ayah.
“Ralin trauma dengan sosok Ibu di hidupnya.”
***