75. Fakta Besar-1

1110 Kata
Bel pulang sekolah baru saja berbunyi di SMA Bengawan. Ralph dan Zigo keluar dari kelas beriringan sembari mengobrol santai. “Nanti malem ya nongkrong,” ujar Zigo sembari mengecek ponselnya. “Boleh. Entar gue ajak Sela kayaknya. Kasian bocil di rumah terus.” “Wah gak masalah. Sela mah asik diajak nongkrong,” setuju Zigo. Keduanya terus mengobrol hingga tiba di parkiran motor. Ralph segera menaiki motornya sebelum sebuah suara menginterupsi. “Cleon!” Kening Ralph mengerut dibalik helm yang sedang dipakainya. Kepalanya menoleh dan terkejut mendapati Chloe tengah menatapnya dengan wajah sendu. “Ada apa?” tanya Ralph dari atas motornya. Zigo yang kebetulan masih berada di parkiran juga sangat terkejut dengan kehadiran Chloe. Pemuda itu turun lagi dari motornya dan berjalan menghampiri Chloe. “Mau apa lagi lo? Kegatelan banget!” Chloe tak menggubris hinaan dari seseorang yang dahulu begitu mendukungnya. Wanita itu berjalan mendekati Ralph masih dengan tatapan sendunya. “Cleon ... hiks ... a—aku gak mau nikah sama Jeno.” “Terus?” Ralph mengangkat sebelah alisnya. “Tolong tanggung jawab buat anak ini ...” “Ogah!” tolak Ralph menstater motornya kemudian meninggalkan Chloe yang terus berteriak memanggil namanya. Kini tersisa Zigo dan Chloe saja setelah Ralph berlalu. Zigo bersidekap dadaa memperhatikan Chloe yang begitu memprihatinkan. “Gue nyesel pernah dukung lo deket sama sahabat gue. Tau gitu, daridulu gue dukung dia sama si cewek sombong sekalian.” “KAMU HARUS DUKUNG CLEON SAMA AKU!!!” Zigo bersiul tak menggubris teriakkan Chloe kemudian mengacungkan jari tengahnya kearah Chloe. *** Ralph mengendarai motornya dengan begitu santai karena memang tak sedang dikejar oleh waktu. Saat melintasi deretan gerobak makanan, Ralph segera menghentikan laju motornya. Matanya terlihat memilih, enaknya membelii apa untuk Adik serta Mamanya. Pilihannya jatuh pada penjuall martabak manis. “Pak, coklat satu sama coklat keju satu ya,” ucap Ralph. “Baik, Mas.” Penjuall martabak itu segera menyiapkan adonan dan mulai memasaknya. Tuk! Tuk! Ralph menunggu dengan gabut. Tangannya mengetuk tangki bensin yang berada di depannya. Semilir angin sore hari ini benar-benar menyejukkan hati. “Mas, pesanannya.” Mata Ralph yang tadinya terpejam karena menikmati suasana seketika terbuka saat mendengar suara dari sang penjuall. Segera saja Ralph menyerahkan selembar uang berwarna merah dan langsung diberikan kembaliannya. Entah dimana Dirimu berada Bibirnya terus bersenandung mengikuti alunan dari pikirannya hingga tak terasa sudah tiba di depan ... Alisnya menukik saat melihat sebuah mobil mewah terparkir di depan kontrakannya. Bahkan banyak Ibu-ibu yang mulai mengintip penasaran. Tak hanya itu saja, beberapa orang berbaju hitam juga berbaris seakan menjaga rumahnya. Takut ada apa-apa dengan Mama dan Adiknya, Ralph segera turun dari motornya dan berlari masuk. “MA??!!” Saking paniknya Ralph sampai berteriak saat masih berada di depan. Mendengar teriakkan itu, Andara segera berlari keluar dan mendapati anak sulungnya menatap khawatir. “Mama kenapa? Kok banyak orang?” cecar Ralph. Andara tersenyum manis kemudian menggiring anaknya masuk. “Ada apa sih, Ma?” “Sssttt ... Ada tamu,” bisik Andara membuat Ralph mengatupkan bibirnya. Hingga kedua orang itu memasuki ruang tamu, mata Ralph membola melihat kehadiran seseorang yang sudah berbulan-bulan ini tidak ditemuinya. “Tuan? Maafkan kesalahan saya selama ini.” Tanpa sadar Ralph sudah menunduk bahkan hampir bersujud di depan orang tersebut. “Resya, ini ada apa?” tanya orang itu terkejut. “Ralph, berdiri dulu nak,” titah Andara yang langsung disanggupi oleh Ralph. Ralph berdiri di sebelah Mamanya dengan wajah bingung. Sama seperti kedua pria yang duduk bersebelahan tersebut. “Dia ... Papi kamu.” Duarrr! Bagaikan petir di siang bolong. Jantung Ralph terasa dihantam paksa saat mendengar jawaban dari Andara. Namun Ralph tidak ingin berpikir macam-macam untuk saat ini. “Mama mau nikah sama Tuan Mores, gitu?” tanya Ralph masih berpikir positif. Andara menggeleng tegas sebagai jawaban. “Lalu?” Suara Ralph mulai bergetar, kepalanya pun terasa pening saat ini. Lain halnya dengan Sela yang menemplok terus dengan Mores. Gadis kecil itu terlalu bahagia saat Andara mengatakan jika Mores adalah Papinya. Sebagai seorang gadis yang sejak kecil tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari seorang Ayah, tentu saja Sela begitu antusias. Apalagi sebelumnya Mores sempat menolak panggilan itu. Setelah Andara berkata seperti itu, Mores dengan lantang menolak. “Tidak Resya, putriku hanya Ralin. Dia juga pasti tidak suka berbagi seorang Ayah dengan gadis lain sekalipun dia masih sangat kecil,” tolak Mores. Theresia Andaramita, wanita dari masa lalu Mores sekaligus Ibu kandung dari Ralph dan Ralin. Mores memang sejak dahulu biasa memanggilnya dengan sebutan Resya. “Kalau begitu maaf ... sebaiknya kita sendiri-sendiri saja. Sela masih terlalu kecil untuk dipisahkan denganku,” ujar Resya tanpa menatap Mores. Mores mengacak rambutnya frustasi. Memilih? Tidak bisa! Atas nasihat dari Aksa, Mores akhirnya berani mengambil keputusan besar. “Baiklah. Namun aku harus mencoba mendekatkan putriku dulu dengan ...?” Ingatan Mores Mendadak blank karena tidak mengingat nama gadis kecil tadi. “Sela.” “Ya begitulah.” “Mama sudah menikah dengannya 17 tahun lalu, Ralph.” Rasanya Ralph tidak tau harus seperti apa saat. Sebagai anak, dia hanya bisa mengangguk. Mores berjalan maju dengan tangan terangkat. Ralph sendiri sudah memejamkan mata bersiap menerima pukulan dari pria itu. Sedangkan Andara membekap bibirnya takut. “Maafkan Papi, nak ...” Ralph tertegun mendengar kalimat 'Papi' dari seseorang yang sejak dahulu selalu ia anggap sebagai Tuannya. Apalagi Mores memeluknya begitu erat seolah takut kehilanganm Aksa yang melihat itu langsung mengulas senyumnya. Tak menyangka jika kebahagiaan keluarga bosnya akan segera dimulai. “Selama ini, kamu kerja di rumah Papimu sendiri Ralph,” ucap Andara terkekeh tak habis pikir. Berarti selama ini, Mores-lah yang membiayainya hidup. “Aku juga ternyata yang memberi kalian nafkah,” sahut Mores ikut terkekeh. Sela yang melihat itu langsung cemberut. “KOK SELA NGGAK DIAJAK??” Mores membawa tubuh mungil Sela kedalam gendongannya. Kelima orang disana tertawa bahagia. Kebahagiaan akan menjemput mereka setelah ini. Terutama sang peran utama, Ralph. Alangkah baiknya tidak bahagia terlalu berlebihan karena di setiap bahagia, akan selalu memunculkan luka yang baru. *** Dari sebuah kaca besar, Januar melihat itu semua. Penampakan dimana keluarga Mores Millano yang akan segera bersatu, semuanya terekam oleh kaca ajaib istana. Januar yang melihat penampakan itu mengulas senyum miring. Kedua tangannya bersidekap dadaa dengan geleng-geleng kepala. “Alpha.” Bariton tegas dari Samuel mengalihkan perhatian Januar dari kaca ajaibnya. “Ada apa?” “Apakah keluarganya sudah bahagia?” Kedua bahu Januar terangkat. Dia juga tidak tau, di dalam lubuk hati mereka bahagia atau tidak. Terkadang apa yang kita lihat, berbeda dengan kenyataannya. “Kita tidak bisa menilai dari kacamata yang kita miliki. Bisa jadi kebahagiaan yang saat ini kita lihat, berbanding terbalik dengan hati mereka. Ada tujuan mereka melakukan itu.” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN