Ekspresi wajah itu terlihat sangat menggemaskan meskipun sesekali mengerutkan wajah. Gadis kecil itu sungguh penasaran dengan orang yang dibawa oleh sang Kakak.
"Kakak, itu siapa?" tanya Sela penasaran.
"Coba tebak, siapa yang Kakak ajak sekarang?" Ralph dengan sengaja menggoda membuat gadis itu mendelik.
"Kalau ndak mau kasih tau, ya sudah. Sela mau main lagi," balas Sela ketus.
Andara yang melihat putrinya sudah bertumbuh menjadi gadis cantik pun melebarkan senyum.
"Sela?" panggil Andara lembut.
Kepala Sela mendongak menatap wanita yang sejak tadi tersenyum. "Tante siapa?"
"Ini Mama, nak. Mamanya Sela sudah sembuh," ujar Andara menahan air mata yang sudah penuh di pelupuk.
Mata Sela melebar sempurna. Gadis kecil itu refleks memeluk kaki Andara dengan erat.
"Mama ... Hiks ... Sela senang Mama sembuh." Gadis itu semakin terisak membuat Ralph tak tega.
"Kalau seneng kenapa nangis, Dek?"
"Ndak papa, Kak," jawab Sela pelan.
"Ayo kita pulang. Mama sudah rindu dengan rumah," ajak Andara mengalihkan pembicaraan.
"Pamit dulu dengan Ibu panti, Ma."
Ketiga orang itu menghampiri Ibu panti yang sedang memasak. Setelah itu, mereka bertiga berpamitan pulang karena masih ada urusan yang harus dikerjakan.
***
"Papi, kalung ini cocok gak dipakai Bris?"
Mores yang sedang mengecek berkas di ruang keluarga pun menoleh sebentar. "Cocok dong. Anak Papi kan cantik."
"Wah, keren banget Pi jaketnya. Jeno suka," celetuk Jeno memamerkan jaket yang dibawakan oleh Mores.
"Tentu, kan mahal. Papi gak akan beli barang murah untuk anak-anak Papi," sombong Mores membuat Ralin mendengus.
Kenapa Papi sombong banget sih. Keluh Ralin tanpa menyadari jika dia pun seperti itu.
"Alin kenapa diem aja?" tanya Mores setelah menyadari tak ada ocehan dari putrinya.
"Bm ngoceh, Pi," jawab Ralin malas.
"Lin, lo mau makan gak? Lagi banyak promo nih di resto langganan kita," tawar Jeno mengambil tempat disamping Ralin.
Ralin menanggapi dengan gelengan. Hari pertama PMS membuat mood nya naik turun.
"Ralin kenapa sih? Cerita coba sama Bris." Brisia dengan wajah penasarannya menatap Ralin.
"Ck, gak a--"
Ting! Tong!
"MBAK!! LIHATIN TAMU YANG DATENG!!" Teriakan menggelegar itu membuat Mores, Alvero, Jeno, serta Brisia menutup kedua telinganya rapat.
Seorang ART berlari tergopoh-gopoh setelah mendengar teriakan anak majikannya. Ia tak ingin kena amuk artis cantik namun sombong tersebut.
Tak berselang lama ART itu kembali diikuti seorang pemuda di belakangnya.
"Ngapain lagi lo kesini?" hardik Jeno memasang badan.
"Duduklah," titah Mores tanpa peduli raut cemberut Jeno.
Ralph mengambil posisi dengan sopan setelah diperintahkan oleh Papi dari gadis yang ia sukai.
"Kau ingin bertanggung jawab dengan apa yang terjadi pada putriku, kan?" tanya Mores.
Ralph mengangguk pelan.
"Jadilah bodyguard untuk putriku. Jaga dia, jangan sampai dia terluka."
Uhuk Uhuk
Ralin yang sedang disuapin roti oleh Jeno langsung tersedak. Mata gadis cantik itu membola sempurna. Sedangkan Alvero sudah mengepalkan tangannya.
"Pi!" sela Alvero tak suka.
"Kenapa Ver? Apa kamu sedang mengutarakan ketidak setujuan kamu dengan keinginan Papi?" ucap Mores santai.
Alvero mengacak rambutnya. "Dia gak akan bisa jagain Ralin, Pi!"
"Lalu siapa yang bisa menjaga Ralin supaya gak bonyok seperti ini? Kamu? Jeno? Atau Brisia?" tukas Mores.
Ruangan yang tadinya ramai karena ocehan Brisia seketika hening. Jika Mores seperti ini, maka semua harus bisa menyesuaikan.
Sedangkan Ralph, pemuda itu berusaha menutupi rasa bahagianya karena mendapatkan izin untuk menjaga Ralin.
Siapa yang tidak bahagia jika mendapatkan kesempatan untuk bersanding dengan orang yang kita cintai meskipun hanya sebagai seorang Bodyguard?
"Apa kau setuju menjaga putriku, Ralph?" Pertanyaan itu membuat lamunan Ralph buyar.
Ralin mengepalkan tangannya jengkel. Ia tak suka jika harus terus-menerus bersama dengan si miskiin ini!
"Alin gak mau, Papi," tolak Ralin kesal.
"Papi tidak memberikan penawaran untukmu, Alin. Papi hanya memberi perintah."
Tanpa mempedulikan keberadaan mereka semua, Ralin berlari menuju lift karena sudah muak dengan apa yang terjadi hari ini.
Katakan dia tidak sopan, namun hanya ini yang bisa perbuat untuk mengurangi rasa marahnya.
"Emang dasar tuh besalus bisanya ngerecokin hidup orang aja!" Tangan Ralin mengepal sempurna sembari mengaca pada lift yang memperlihatkan bayangan dirinya.
Setelah lift terbuka, Ralin langsung berlari menuju kamarnya. Gadis itu benar-benar emosi.
Brak!
Pintu kamar sengaja dibanting keras membuat seorang ART yang melintas ikut terlonjak. Wanita paruh baya itu mengelus dadanya sabar. Anak majikannya itu memang kurang sopan santun.
***
Selepas pulang dari istana Millano, Ralph mengendarai sepedanya sembari melihat orang yang masih membuka dagangannya. Ia ingin membelikan makan malam untuk Mama dan Adiknya.
Pandangannya tertuju pada penjual martabak asin yang terlihat lengah. Kayuhannya langsung dipercepat sebelum ada orang yang mendahuluinya.
"Pak, martabak daging sapi 2 ya!" seru Ralph.
Kebetulan hari ini dia mendapat bonus dari Bos Andi sehingga bisa membahagiakan kedua orang yang sangat disayanginya itu.
"Tunggu ya, Mas."
Ralph menanggapi dengan anggukan.
Ting!
Ponselnya berdenting menandakan ada pesan masuk. Tangannya merogoh saku untuk mengecek siapa yang memberinya pesan.
Zigo Syah
Ralph? Lo disuruh tanggung jawab gimana sama bokapnya Ralin?
Besok gue ceritain, Go. Gue jamin lo bakal terkejut
Bilang sekarang bisa gak? Biar gue bisa jelasin ke bonyok juga. Mereka marah karena gue mukul keturunan Millano.
Membaca pesan itu, membuat Ralph mau tak mau harus menjelaskan. Ralph tak mau sahabatnya mendapat amukan dari kedua orang tuanya karena Ralph sendiri tau bagaimana kerasnya keluarga Zerlasyah.
Gue diminta sama Tuan Mores untuk jadi Bodyguard anaknya.
Entah gue harus seneng apa sedih, tapi akhirnya gue bisa deketin dia lagi
Di sebrang sana, mata Zigo membola setelah membaca pesan yang dikirim sahabatnya. Bahkan ia harus mengucek mata beberapa kali guna membuktikan.
"Kenapa kamu Zigo?" heran Naura saat melihat ekspresi anaknya.
Zigo meletakkan ponselnya kemudian menatap sang Mama dan Papa secara bergantian. Dia takut diamuk karena merugikan sahabatnya.
"Bicara yang benar, jangan bertele-tele!" tegas Seno tajam.
Nada bicara Seno membuat Zigo meneguk ludahnya kasar. Papanya jika marah sudah seperti jenglot. Maka dari itu, sebisa mungkin ia menghindari masalah.
"R-Ralph ..."
Kalimat itu menggantung begitu saja. Seno masih sabar menanti ucapan anaknya. Ia heran, mengapa anaknya harus takut?
"Kenapa sih?" Naura mendesak tak sabaran.
"Ralph disuruh jadi Bodyguard anaknya Pak Millano," jawab Zigo dengan satu tarikan nafas.
Brak!
"APA?"
Refleks Seno berteriak dengan mata membola. Dia tau betul tabiat keluarga Millano. Sekali membuat masalah, maka tidak akan dilepas.
"Ini karena kesalahan kamu, Zigo. Jika Ralph harus menjadi bawahan Pak Mores, bagaimana dengan kerjanya? Kau sendiri tau dia harus membiayai hidupnya dan Adiknya yang masih TK."
Kepala Zigo tertunduk. Papanya benar, ini semua karena kesalahannya hingga membuat Ralph yang menjadi sasaran kemarahan Mores Millano. Membayangkan saja membuat Zigo bergidik.
"Apa Zigo bisa melakukan sesuatu?" tanya Zigo pelan.
"Kau bertanya tentang melakukan sesuatu?"
Zigo mengangguki cepat pertanyaan Papanya.
"Datangi kantor Millano jika kau memiliki nyawa seperti kucing."
Setelah itu Seno berlalu meninggalkan Zigo yang mematung. Dari jawaban itu, Zigo dpaat menyimpulkan bahwa bisa saja dia mati jika hanya memiliki satu nyawa.
Dilain tempat
Setibanya di rumah kontrakan, Ralph langsung memarkirkan sepeda di teras rumah. Terdengar suara perbincangan disertai cekikikan dari dalam rumah.
Senyuman Ralph merekah setelah pintu utama terbuka. Namun hanya sekejap saat melihat pemandangan yang menyayat hatinya.
"Ma ... Ma ..."
***