Sayang, opo iki sing jenenge… Ati lagi kasmaran
Tapi kita cuma sebatas teman... Dikiro pacaran jebule kekancan
Sakbendino tangane gandengan... Wira-wiri ngalor-ngidul bebarengan
Yen disawang koyo lagi kasmaran
Teman Rasa Pacar By Via Vallen
>>>>>
Setelah pontang panting ngalur ngidul, akhirnya mobil dagangan si mamas Andra laku pun. Iyaaa, aku sukses dong jual mobil Innova type bla bla bla itu dalam waktu dua hari. Injury time banget sih, tapi tidak apalah yang penting laku.
Yeeeyy...
Namun ada yang membuat aku sedih, si bos nggak ada tuh yang namanya memberi ucapan selamat atau apa kek gitu. Dengan cueknya dia hanya berkata, ‘duitnya udah aku transfer ke rekening kamu’. Dan selanjutnya doi memberi target lagi seenak udel bodongnya.
Eh, nggak tau sih udelnya bodong atau nggak, kan nggak pernah lihat orang itu topless. Hahaha...
Setelah mendapatkan honor pertama, aku izin masuk setengah hari untuk mengurus pemrograman semester ini. Akhirnya ya, aku bisa skripsi juga. Rejeki anak solehah gini mah.
Di depan ruang prodi, Franda dan Tita sudah berdiri macam debt collector menagih janjiku. Akhirnya aku mengajak dua sahabatku ini untuk melunasi janjiku daripada setiap malam diteror. Demi kolor Crish Evans, teror mereka itu ganggu banget, asli.
“Sering-sering dong ya kita ditraktir mie apong porsi gede kayak gini,” celetuk Tita dengan mata berbinarnya—yang doyan banget sama gratisan—menatap mangkuk mie yang baru disajikan di meja kami.
“Mie kamu aja belum habis udah mau bikin teror baru pula. Mati aja lo, Tit!”
“Jangan panggil gue Tit, ganggu telinga banget tau nggak sih!”
“Ya terus manggil apa dong? Nama lo kan Tita! Ya wajar lah dipanggil Tit,” jawabku lalu ngakak.
Tita menuangkan mangkuk mie apongku dengan sambal tanpa ampun, saat aku tertawa.
“Madaaa!!!” Aku mengumpatnya dengan kesal. Franda cuma cengengesan sambil geleng-geleng kepala dengan anggun macam putri keraton DIY.
Tenang! karena aku adalah gadih Minang nan aluih (gadis Minang yang halus/sabar), aku nggak akan marah seperti kingkong jadi-jadian. Sambal segitu mah lewat. Dengan masabodo aku menandaskan mie apong yang sudah dituang sambal seabrek oleh Tita.
“Perut kamu nggak panas?” Komentar Franda saat aku menandaskan sisa teh botolku. Aku hanya menjawab dalam sebuah gelengan.
“Aku mau balik ke Showroom nih. Si mamas udah kangen berat sama aku.”
Sontak tawa Tita dan Franda pecah mendengar pernyataanku. Mereka tahu maksud kangen itu adalah kangen memerintahku dengan sewenang-wenangnya. Ya begitulah nasib jongos. Untungnya sih, mas Andra selalu membayar lunas setiap hasil jerih payahku.
“Lo minta jemput Albar?”
Aku terkejut dong mendengar Tita membisikkan nama Rama di telingaku saat aku melakukan p********n di kasir. Jelas aku menggeleng karena tidak membuat janji apa pun dengan sahabat dunia akhiratku itu.
Apa jangan-jangan kami jodoh?
Karena aku tidak merespon pertanyaannya, Tita memutar paksa kepalaku untuk melihat ke arah parkiran motor depan warung mie apong. Rama melambaikan tangannya dengan senyum mengembang yang tampan, sangat. Yang orang lain lihat, Rama cuma ngangkat sebelah tangannya. Yang aku rasakan Rama merentangkan kedua tangannya untuk menyambut kedatanganku. Bela...
“Uda kok bisa ada di sini?” tanyaku retorik.
Sambil nyengir kuda dia jawab, “semalam kan kamu udah bilang kalau mau traktir Tita sama Franda makan mie apong, jadi ya aku langsung ke sini aja pulang dari rumah sakit.”
Mengangguk paham aku menawarinya makan mie apong, tapi dia menolak, sudah makan tadi sama teman-temannya.
Eh, kok tumben. Biasanya Rama datang padaku selalu dalam keadaan perut kosong. Namun aku tidak terlalu memikirkan ke-tumbenannya itu gara-gara tawaran menggiurkan Rama yang ingin mengantarkan ke Showroom. Setelah terjadi adegan penolakan manja dariku, aku luluh juga. Hahahaha. Padahal dalam hati seneng-seneng aja sih diantar doi. Ada untungnya aku nggak bawa motor sendiri tadi ke sini.
Di depan showroom, mas Andra lagi berdiri di samping mobilnya dan menatap tajam seolah aku ini tersangka pencurian mobil kelas kakap. Alamak, serem abis.
Setelah berpamitan pada Rama, aku bergegas ngacir ke dalam showroom.
“Udah tau kan kita hari ini punya janji sama customer? Kamu malah asyik pacaran!”
Teguran mas Andra membuat mulutku menganga hampir ngeces. Lalu tawaku pecah begitu saja.
“Itu bukan pacar saya mas,” jawabku sambil berusaha meredakan tawa.
Mas Andra melempar kontak mobil tepat mengenai keningku. Lalu memintaku untuk mengikutinya. Dengan keki aku mengikuti langkah panjangnya menuju depan showroom.
“Kemarin saya kan udah izin masuk setengah hari untuk ke kampus,” aku berusaha menjelaskan supaya tidak terjadi salah paham. Namun sepertinya percuma, si bos tidak menanggapi penjelasanku.
“Kita ke Banyuwangi sekarang. Kamu bawa mobil saya, biar saya yang bawa mobil customer-nya.”
“Hah? Gimana kalau saya aja yang ngantar mobilnya, nanti saya balik ke Jembernya naik bus atau kereta api.”
“Saya nggak percaya sama kamu. Nanti mobil saya kamu bawa lari!”
Dem! Mo maraaah.
Tampang cueknya kalau merintah-merintah dan ngatain orang itu loh yang membuat kepala migrain, perut mules, kaki kesemutan, menyebalkan, bikin keki, bikin pengin makan orang.
Mustinya kalau para perempuan normal di luar sana pasti seneng dong diajak jalan gini sama bosnya. Berhubung aku tergolong yang tidak normal, so, aku sama sekali tidak merasa senang diajak pelesir begini. Bukannya apa, kalau sudah keluar kota aku akan mengucapkan selamat datang neraka duniaku.
Ya memang sih, makan minum gratis. Aku tidak perlu takut perut lapar karena si bos pasti akan mengajakku mampir ke tempat makan yang bisa dibilang tidak hanya sekadar membuat kenyang di perut tapi juga enak di mulut.
Trus bagian neraka dunianya di mana? Aku harus mengemudikan mobil dengan mesin 2000cc bolak balik Jember-Banyuwangi, Cuy. Dua kali melewati puncak Gumitir yang berliku-liku seperti kisah friendzone-ku dengan Rama. Tidak hanya miris banget, tapi capek woy!
Nah si bos mana? Berangkatnya sih, doi pakai mobil tipe city car yang hendak dijual, sementara aku mengemudi mobil tipe SUV dengan mesin 2000cc milik si bos. Kan balik ke Jembernya dia dong pasti yang nyetir? Anda salah besar sodarah. Sekarang dia sedang bobok ganteng di sampingku.
Mo maraaahhh? Coba aja kalau berani, ancamannya lebih horor dari dosen killer mana pun. Mandeeeh...
Sejak mengabari kalau aku ke Banyuwangi dengan si bos, cowok yang mengaku sahabatku dunia akhirat bernama Rama itu tidak berhenti menelepon, nge-chat, minta video call hampir setiap jam. Seperti anak kucing kehilangan induaknyo sajo dia.
Uda Rama:
Kamu hati2 loh.
Me:
Yes iam
Uda Rama:
Bos kamu itu cowok,msh muda lagi. Nanti ceweknya marah kalau ketahuan jalan sama kamu.
Me:
Hahahaha...kan cuma urusan pekerjaan. Gian bos aku tuh jomblo.hahahaha
Uda Rama:
Nah apalagi jomblo.nti ada udang diblk rempeyek lagi.
Me:
Enak dong rempeyek udang.ngga bakal dia pnya niat aneh2. Aku mah bukan tipenya si bos.
Uda Rama:
Pokoknya hp kamu jng sampe mati.
Me:
Iya uda iya
Uda Rama:
Maaf kalo aku bawel. Aku khawatir bgt, nggak mau kalo sampe sahabatku kenapa2.
Damn! Lempar handphone boleh nggak sih? Atau aku makan saja apel udah digigit yang ada di belakang handphone ini? Lagi-lagi Rama mengirimiku pesan keramat itu.
Michelle Zudith kezel pokoknya kezel.
“Pacar kamu berisik banget sih?” Tuh kan si bos negur kan. Rama sih bikin keki.
“Itu bukan pacar saya mas,” aku mendengus kesal seperti banteng siap tarung karena mas Andra sedaritadi terus saja mengatakan kalau Rama itu pacar aku. Dalam hati sih aku aminin aja ledekan si bos.
“Dia masih cowok sama dengan yang sering ngantar kamu waktu magang itu kan?”
“Yap betul.”
“Yo wis, jangan salahkan ucapan saya. Wira wiri ngalor ngidul bebarengan, sopo wae sing nyawang yo ngirane koyo wong lagi kasmaran,”
Makjleb...
Aku tertawa mendengar jawaban ngawur ala mas Andra. Aku memang gadih Minang, tapi hampir empat tahun tinggal di Jember bahasaku sudah terkontaminasi dengan bahasa Jawa. Sedikit banyak aku mengerti dengan apa yang diucapkan oleh mas Andra. Meski terkesan bercanda tapi omongan mas Andra tadi cukup menohok hatiku. Mo protes? Aisudah, terima sajalah. Daripada panjang urusannya. Jember masih jauh, aku tidak mau diturunkan di tengah Gumitir maghrib begini kalau nekat mendebat si bos.
Lagu-lagu Scorpions, Bon Jovi, Guns N Roses, Gigi dan Sheila on Seven yang berputar dari audio mobil si bos menemaniku selama berkendara. Iya, bosku itu gayanya kekinian banget, tapi selera musiknya jadul abis. Aku suka juga sih, jadi kangen Abak yang suka banget lagu Sweet Childnya Guns N Roses.
Rama sudah berhenti menghubungiku saat aku mengatakan kalau sudah sampai Mayang, sedikit lagi sudah sampai Jember. Perhatianmu itu loh yang membuat aku tidak bisa move on.
But, saat-saat aku berada di puncak awang-awang karena perhatian Rama, seketika aku terempas ke dasar bumi saat Tita mengirimiku dua foto yang isinya Rama sedang duduk bersama mbak Rasti. Mereka duduk dempetan pakai banget di depan kosan Song Hye Kyo-nya Indonesia itu. Foto satu lagi Rama sedang makan nasi goreng masih bersama mbak calon dokter gigi itu, sambil ketawa, trus suap-suapan kerupuk.
Mandeeeh...aku cemburu. Tanduk devilku auto muncul.
Dilematis banget kan? Aku tuh harus merasa senang berada di sekitar dia, jadi orang yang dicari-cari untuk menemaninya, terlena oleh perhatiannya. Namun aku juga terkadang merasa sedih saat ingat dia yang selalu menganggap aku hanya teman, dan tidak punya hak apa pun atas dunianya.
Mo marah? Kagak bisa cuy. Lu siapenya? Temen aka sahabat. Jangan lupakan itu.
Aku menghentikan mobil tepat di depan kosan mbak Rasti. Sengaja banget memang, biar Rama langsung melihat aku keluar dari mobil si bos. Benar dugaanku, Rama melonjak kaget saat menyadari yang keluar dari mobil adalah sosokku. Setelah mengucapkan terima kasih pada mas Andra, aku bergegas masuk ke kosanku sendiri, tak memedulikan Rama yang sudah berdiri di depan pintu gerbang kosku.
Rama mengedor pintu kamarku, tapi aku sama sekali tidak memedulikan dia. Saat ini aku hanya ingin sendiri, menangis sepuasnya tanpa diganggu oleh Rama atau siapa pun.
~~~
^vee^