Paulina terbangun perlahan, matanya yang masih berat mulai terbuka. Samar-samar cahaya matahari yang redup menyelinap dari celah gorden kamar. Dia mengusap wajahnya, berusaha mengusir rasa kantuk yang masih menempel. Pukul lima pagi, menurut jam di nakas samping tempat tidur. Namun, saat matanya mencari ke sisi ranjang, tidak ada sosok Jagapathi di sana. Ranjang di sebelahnya terasa dingin, seolah sudah lama ditinggalkan. Ingatan semalam menyeruak ke benaknya seperti badai. Detil demi detil mengalir tanpa permisi—bagaimana mereka berdua saling mendekap dalam keintiman yang menggetarkan, meski hanya sekadar menggesek untuk menuntaskan kondisi Jagapathi yang dipengaruhi obat perangsang. Wajah Paulina memanas, pipinya merona hebat saat dia menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Gimana bisa b