Ritual Putri

1373 Kata
“Apa katamu, utusan dari kerajaan?” “Iya Tuan, dia sedang berada di ruang utama,” ucap pengawal itu. “Baiklah, kau boleh pergi sekarang.” Pengawal itu menunduk hormat lalu meninggalkan tempat itu. Riftan menghela nafas lalu kembali menghampiri Nayya. “Aku segera kembali,” ucapnya lalu mencium kening Nayya lalu meninggalkan tempat itu. “Pak Dosen, tunggu…” Riftan menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke arah Nayya. “Katakan padaku, ucapanmu yang tadi tertahan, aku mohon.” Mata Nayya berkaca-kaca, jika kali ini Riftan menolak lagi, maka ia bersumpah tidak akan mengharap apapun dari pria ini lagi. Riftan menatap Nayya tanpa kedip, tangannya mengepal menahan perasaan yang berkecamuk. Jika ia mengatakan ungkapan perasaannya, itu hanya akan semakin menyiksa mereka berdua. Lebih baik mengubur semuanya dan menyimpannya dalam-dalam agar Nayya tidak mengharap apapun darinya. Riftan tidak mengatakan apa-apa, sampai akhirnya ia berpaling dan meninggalkan tempat itu, meninggalkan Nayya yang kembali menitikkan air mata kesedihan dan perasaan yang hancur berantakan. “Selamat malam tuan Riftan, saya adalah utusan dari baginda raja ingin menyampaikan undangan ini.” Pria itu menyerahkan sebuah gulungan kain berwarna coklat keemasan kepada Riftan. Riftan membukanya dan membaca isinya. Sudah ia duga sebelumnya, raja pasti akan mengundangnya. Ia lalu menatap utusan itu dan mengangguk. “Sampai ucapan terim kasihku atas undangan ini kepada baginda raja, saya akan berusaha untuk tidak mengecewakan baginda,” ucapnya. “Baik, kalau begitu saya permisi. Sampai jumpa,” ucap utusan itu lalu pergi. Riftan menghela nafas, ia menatap lama gulungan kain itu. Bayangan putri Adora seketika muncul di pikirannya. Akan tetapi, wajah Nayya yang murung menggemaskan seketika memudarkan bayangan putri Adora dari pikiran Riftan. “Ah, Nayya. Aku sangat menyukaimu sampai aku merasa mau gila saja,” gumannya sambil meremas gulungan kertas itu. Riftan melangkah menuju kamar Nayya dan masuk ke dalam. Ia melihat Nayya sudah tertidur, dihampirinya gadis itu dan mengelus lembut kepalanya. Wajahnya masih memerah, sisa air matanya masih terlihat. “Maaf, aku membuatmu menangis lagi. Maaf karena aku tidak bisa terang-terangan menyatakan perasaanku padamu. Kau tahu, aku bukan hanya menyukaimu, aku sangat mencintaimu. Tapi kita tidak akan bisa merasakan indahnya cinta kita seperti dulu, kita terhalang oleh darahmu yang suci. Maafkan aku.” Riftan mencium kening Nayya lama sebelum akhirnya meninggalkan tempat itu. Air mata Nayya kembali mengalir. Ia membuka mata dan terisak, ia memegang dadanya yang terasa sangat sesak. Rasanya lega dan juga sakit mendengar semua pengakuan Riftan untuknya. Ia hanya menangis sampai akhirnya tertidur dalam tangisnya. Beberapa hari sudah berlalu, semenjak saat itu, Nayya tidak pernah lagi mengusik Riftan. Kegiatannya hanya ke kampus, menulis dan berdiam diri di dalam kamar. Ia sudah bertekad jika ia tidak akan pernah lagi mengganggu ketenangan Riftan. “Apa sedang terjadi masalah, Nona?” tanya Asyaq saat mereka dalam perjalanan pulang. “Ah, tidak apa-apa, tuan Asyaq.” Sahut Nayya dengan singkat. Asyaq terdiam, dia hanya sesekali melirik Nayya yang akhir-akhir ini menjadi pendiam. Bahkan sahabatnya Sonia dibuatnya bingung karena Nayya tidak mengatakan apapun. *** Riftan terlihat sangat tampan dan rapi, ia menatap penampilannya sekali lagi di depan cermin besar sebelum keluar dari kamar. Asoka sudah menunggunya di ruang tengah. “Kita langsung berangkat saja,” ucap Riftan sambil melangkah mendahului Asoka. “Riftan…”panggil Asoka. “Ya?” “Kau tidak berniat menemui Nayya dulu sebelum pergi? Sejak seminggu yang lalu, ia tidak pernah berkeliaran lagi di sekitar kastil ini? apa kalian bertengkar?” tanya Asoka. Riftan menghela nafas, ia menatap Asoka. “Bukankah bagus kalau gadis nakal itu tidak menggangguku lagi? kita berangkat saja, nanti terlambat,” ucap Riftan seakan tidak peduli. “Wow, akhirnya kau bisa menaklukkan gadis itu. Aku yakin kau sudah mengatakan sesuatu yang menyakitkan padanya. Tapi, kau tahu, aku merasa tidak bersemangat karena dia tidak seceria dulu lagi. Dia tidak pernah tersenyum lagi,” Asoka masih mengoceh membuat Riftan menghentikan langkahnya dan menatap tajam ke arah Asoka. “Apakah kau mulai menyukai senyum gadis milikku?” ucap Riftan dengan dingin. “Oh, tidak. Tapi jujur saja iya. Kesuraman di kastil ini seakan lenyap kalau melihat senyum cerianya.” Asoka masih berusaha membuat Riftan kesal. “Kau…” Riftan barus saja ingin mengangkat tangannya saat tiba-tiba mereka berpapasan dengan Nayya. “Ah, Nayya… akhirnya kau muncul juga…!” seru Asoka sambil menghampirinya. “Tuan Asoka…” sapa Nayya sambil menundukkan pandangannya. “Nayya, apakah kau tidak ingin mengatakan apapun sebelum Riftan berangkat ke kerajaan?” tanya Asoka membuat Riftan melotot ke arahnya. “Ah, ti..tidak tuan Asoka. Silakan lanjutkan saja perjalanan kalian. Saya cuma ingin pergi ke perpustakaan sebentar,” ucap Nayya sambil menunduk lalu melanjutkan langkahnya. “Nayya tunggu…!” panggil Riftan sambil menyusul Nayya yang sudah melangkah pergi. Asoka hanya menatap mereka sambil menghela nafas dalam. Riftan meraih tangan Nayya membuat gadis itu menghentikan langkahnya. Nayya memejamkan mata lalu membalikkan tubuhnya. “Ada apa Pak dosen?” Nayya menatap dalam Riftan. “Aku akan menghadiri upacara putri mahkota di kerajaan, kau jangan kemana-mana ya, tetap di kamarmu,” ucap Riftan. Nayya membeku, putri mahkota? Ada perasaan resah yang menyergap hati Nayya. Tapi ia dengan cepat mengabaikannya. “Iya,” hanya itu yang bisa dikatakan Nayya. Ia pun kembali melangkah tapi Riftan masih memegang tangannya. “Silakan pergi, pak. Nikmati waktumu di sana,” ucap Nayya. Riftan tidak berkata apa-apa, ia hanya membeku ditempatnya. “Pak..” “Ah, iya?” “Lepaskan tanganku.” Riftan baru tersadar, ia pun melepaskan tangan Nayya. Gadis itu melangkah pergi dengan air mata yang mengalir. Sedangkan Riftan hanya menatapnya melangkah pergi. “Apa kau sudah berpamitan dengan benar?” Riftan tersentak saat suara Asoka yang menyebalkan itu tiba-tiba terdengar. Riftan menatap Asoka lali melangkah pergi. *** Sementara itu di kerajaan, semua tamu undangan sudah hadir. Ritual sudah siap untuk dilaksanakan. Semua persiapan sudah selesai, sang raja duduk di singgasana menunggu putrinya yang masih sedang bersiap. Ketika sang putri mahkota muncul dari balik tirai, semua suara riuh yang tadinya memenuhi ruangan seketika menghilang. Semua mata bagai tersihir oleh pancaran kecantikan putri Adora. Puluhan pemuda dari kalangan bangsawan yang di undang telah berkumpul untuk menantikan kesempatan mereka terpilih sebagai pasangan jiwa sang putri jelita. Mereka semua tentu saja mengharapkan dirinyalah terpilih. Mata putri Adora menatap ke seluruh penjuru ruangan tapi yang ia cari tidak terlihat. Dengan perlahan ia melangkah menuju tempat ritual dan duduk di sebuah kursi yang sudah disediakan oleh tabib kerajaan. Asap dupa dan darah di mangkuk emas telah di persiapkan. Ritualpun dimulai, Tabib mulai membaca mantera sambil memejamkan mata, kemudian meminta sang putri berdiri sambil meletakkan ujung jarinya diujung belati tajam, dan menekannya. Darah segar mengalir dari ujung jemari putri Adora bercampur dengan darah segar di wadah. Bunga lili ungu kemudian di masukan ke dalam mangkuk yang berisi darah, detik kemudian, darah itu berubah warna menjadi ungu. Tabib memberikan cairan itu kepada sang putri dan memintanya untuk meminumnya. Putri Adora meneguk cairan ungu itu dan seketika tubuhnya bercahaya memancarkan warna ungu. Setelah beberapa lama, tubuh putri Adora kembali normal dan ritualpun akhirnya selesai. “Hari ini putri Adora resmi menjadi vampir dewasa dan bebas melakukan apapun yang ia inginkan. Selamat untuk sang putri mahkota…! Seru sang tabib di susul dengan gemuruh ucapan selamat dari pada tamu undangan. Putri Adora tersenyum dengan wajah berseri. Kecantikannya semakin memancar membuat semua pemuda menjadi semakin ingin menjadi pilihan sang putri. Putri Adora kembali menatap ke seluruh ruangan tapi ia lagi-lagi menghembuskan nafas kecewa karena yang ia tunggu belum juga muncul. “Sekarang, tiba saatnya sang putri akan memilih salah satu dari pemuda yang ada di ruangan ini untuk menjadi pasangan jiwanya. Para pemuda itu tentu saja belum memiliki pasangan jiwa. Sehingga tuan Putri bisa memilih!” Sang tabib berseru. “Ah, tapi boleh saya meminta waktu sedikit lagi, tabib? Saya masih menunggu satu orang lagi,” ucap putri Adora. Semua yang ada di ruangan itu saling pandang. Putri Adora menatap sang ayah meminta persetujuannya. Raja pun hanya mengangguk. Setelah beberapa lama menunggu. Putri Adora tiba-tiba bangkit dari duduknya yang sejak tadi gelisah. Dengan langkah terburu, ia menuju ke arah pintu utama. Putri Adora berdiri di ambang pintu sambil tersenyum menatap ke arah dua orang pria yang sedang berjalan masuk ke ruangan. “Selamat datang tuan Riftan, aku sudah lama menunggumu…!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN