Bahaya Mengintai

1260 Kata
Nayya berjalan keluar kelas, ia tadi meminta bantuan Asyaq untuk mencari keberadaan Sonia, sedangkan ia menunggu di dalam kelas. Akan tetapi karena bosan bediam diri di dalam kelas, ia keluar menuju kantin untuk makan sesuatu. Ia tiba-tiba saja ingin makan mi instan hangat yang di masak dengan campuran cabe merah yang banyak dan kubis serta telur sebagai campurannya. Membayangkan itu saja Nayya sudah menelan liurnya. “Aku harus cepat-cepat ke kantin dan membuatnya sendiri,” gumannya sambil berjalan ke arah kantin. “Selamat siang Non Nayya, hari ini mau makan apa ? Oya ya, tumben Non Sonia tidak muncul bareng Nona?” sapa pemilik kantin. “Iya, Bi. Ini aku juga lagi nyariin Sonia. Gak tahu dia ada di mana sekarang. Hari ini dia bahkan gak ikut perkuliahan,” ucap Nayya dengan wajah murung. “Loh, kok bisa? Nona sudah mencoba menghubunginya?” “Sudah, tapi gak di angkat.” “Oh, mungkin dia sedang ada urusan mendadak kali, Non. Nanti juga datang. Oh ya, tasi bilangnya mau makan apa?” tanya sang Bibi. “Aku mau makan mi instan kuah pedes,” jawan Nayya sambil menghampiri dapur. “Oh, siap Non, saya buatkan,” ucap sang bibi. “Ah, tidak perlu. Kali ini Bibi urus pesanan yang lain saja. Pesananku, biar aku yang bikin sendiri. Yang penting semua bahannya siap,” ucap Nayya bersemangat. “Wah, yang bener, Non?” “Iya, mana bahannya biar aku langsung buat saja,” ucap Nayya meyakinkan. “Ini Non, bagus deh, Bibi bisa sekalian buat pesanan lain kalau begitu. Terima kasih, ya Non. pekerjaan Bibi sedikit lebih ringan berkat Nona. Ah, jadi kepikiran buat nambah karyawan kalau begini,” ucap bibi. “Loh, pelayan Bibi kan sudah banyak. Nanti Bibi jadinya malas kalau nambah lagi,” Nayya menimpali sambil mulai memotong sayuran. “Iya sih Non. Habisnya belakangan ini kantin semakin ramai, jadi Bibi sering kewalahan padahal para pelayan sudah bekerja maksimal.” Bibi mulai dengan curhatannya. Ia merasa senang Nayya ada di sampingnya, jadi ada teman ngobrol dan berbagi cerita. “Iya, Bi. Kalau memang Bibi merasa perlu menambah lagi pelayan, itu juga tidak ada masalah. Sepanjang semua bisa Bibi tangani dengan baik. Apalagi kalau aku lihat- lihat kantin ini memang semakin hari semakin ramai saja. Bibi harus bangga, jika di banding tempat lain, orang-orang memilih tempat Bibi ini. Itu berarti, masakan Bibi enak, top markotop!” ucap Nayya sambil mengacungkan jempolnya dengan pisau yang masih ia genggam. “Ah, Nona hati-hati megang pisaunya. Nanti tangannya terluka, loh,” ucap bibi khawatir. “Ah, Bibi ini. Aku tuh suka masak di rumah. Jadi memegang pisau sudah kebiasaan ku sejak kecil,” sanggah Nayya. “Iya..iya deh, tapi tetap saja. Hati-hati, nanti luka,” ucap bibi sambil kembali fokus dengan pekerjaannya. “Oh ya Non, baru ingat. Kalau tidak salah, tadi pagi-pagi sekali saya melihat nona Sonia sedang mencari-cari seseorang di sekitar tempat ini.” “Apa, Bi?” Nayya menatap bibi dengan tangan yang terus bekerja. “Iya, dan Bibi juga sempat melihat den Reno.” “Aw..akh..aw..!” Naya tiba-tiba meringis kesakitan. Darah mengucur dari tangannya, jarinya teriris pisau tajam. “Nona..?!” Bibi terkejut, ia dengan cepat mengambil kotak P3K dan membawa Nayya duduk di kursi. “Duh, baru saja bibi ngomong. Sudah kejadian, maaf ya Non. Gara-gara Bibi, Nona jadi terluka begini,” ucap bibi penuh penyesalan. “Tidak apa-apa, Bi. Ini tidak parah, kok. Aku hanya terkejut saat Bibi bilang melihat Reno di sekitar sini. Bibi tidak melihat mereka lagi setelah itu?” tanya Nayya. Ia curiga, Renolah yang sudah memperdaya sahabatnya itu. “Tidak Non.” Sementara itu, pria berambut panjang itu tiba-tiba gelisah. Ia seolah mendapatkan sesuatu yang sejak dulu ia inginkan tapi tidak tahu apa itu. Ia pun berjalan mengikuti instingnya menuju tempat yang ia juga tidak begitu yakin ada di mana. Ia benar-benar hanya mengandalkan kekuatan perasaanya. Akan tetapi, sekian lama, ia tampak semakin bersemangat. Seolah-olah menyadari sesuatu. Ia kembali mengangkat kepalanya dan mengendus udara di sekitarnya. Ia menyeringai lalu kembali berjalan dan kali ini ia tampak terburu-buru. Sesampainya di kantin, ia menatap keseluruh tempat, hingga tatapannya tertuju pada bagian dapur. Dengan langkah panjang, pria itu menghampiri dapur. “Astaga … Tuhanku…! Jantungku, oh jantungku ternyata masih ada. Sampai mau copot saking kagetnya..!” kaget bibi saat ia menyadari ada pria bertubuh tinggi yang tiba-tiba berdiri di dalam dapurnya sambil mengendus. “Darah… di mana darah itu?” ucap pria itu sambil terus mencari-cari sesuatu. “Hah..!? Darah? orang –orang kalau ke kantin itu hanya cari makanan, Pak. Bukannya darah. Memangnya di sini tempat pemotongan hewan? Di sini menyediakan banyak makanan, anda tinggal pilih mau makan apa? atau Bapak mau memasaknya langsung seperti pelanggan saya itu?” ucap bibi sambil menunjuk ke arah Nayya yang sedang menikmati semangkuk mi kuah pedasnya. Pria itu menatap ke arah Nayya sebentar lalu kembali melirik tajam ke arah bibi. “Aku tanya di mana darah yang ada di sini?” tegasnya dengan tatapan mata berkilat. Bibi mulai merasa ketakutan. “Da..darahnya sudah saya bersihkan, Pak. Itu, masih ada di tempat sampah.” Bibi Menunjuk tempat sampah di sudut dapur. Pria itu langsung bergegas menuju tempat sampah dan mengacaukan isinya sampai ia menemukan tisu yang berwarna merah. Pria itu langsung mencium tisu itu lama sekali, seakan mengirup semua aroma darah itu. Bibi yang melihat tingkah aneh pria itu menjadi semakin ketakutan. Ia langsung meninggalkan dapurnya dan menghampiri Nayya yang masih menikmati makanannya. “Ada apa, Bi? Kenapa Bibi ketakutan begitu? seperti melihat hantu saja?” tanya Nayya lalu memasukkan sesendok mi kuahnya dan mengunyahnya dengan lahap. “Non..Non.. di …di dapur Bibi. Ada pria aneh,” ucap bibi ketakutan. “Pria aneh? pria aneh bagaimana maksud bibi?” tanya Nayya. Ia terlihat sangat menikmati makanannya itu. “Pria itu mencari-cari bekas darah Nona tadi.” “Uhukk..uhukk…!!” Nayya tiba-tiba tersedak makanannya. Dengan cepat bibi memberinya minum. “Nona tidak apa-apa?” tanya bibi khawatir. “Uhuk.. tidak, Bi. Coba katakan lagi, pria itu sedang apa?” tanya Nayya penasaran sekaligus mulai khawatir. “Iya, jadi tapi dia tiba-tiba saja ada di dapur mengejutkan Bibi sambil menanyakan darah yang ada di dapur. Dia terlihat menakutkan sekali, Non. Jadi aku bilang darah itu sudah saya bersihkan dan sampahnya masih ada di tempat sampah. Eh, pria itu malah menghampiri tempat sampah dan mencari bekas darah itu. Bibi juga melihat dia mencium tisu yang ada bekas darah Nona. Apa buka aneh namanya itu, Non? Dia masih ada di dapur,” ucap bibi menjelaskan. Wajah Nayya pucat pasi, jantungnya berdegup kencang. Ia merasa sesuatu yang sangat berbahaya sedang mengintainya sekarang. “Apa Bibi mengatakan padanya jika itu bekas darahku?” tanya Nayya, ia terlihat sangat tegang. “Tidak, Non. Memangnya kenapa?” “Bi, dengarkan aku. Jika pria itu bertanya siapa pemilik darah itu, tolong jangan sekali-sekali bibi mengatakan dengan jujur, bibi mau berjanji, kan?” ucap Nayya sambil menatap bibi degan tatapan penuh ketegangan. Sang bibi juga merasa ikut ketakutan. “I..iya, Non. Tapi kenapa? Ada apa dengan pria itu? apa dia seorag pembunuh berdarah dingin?” “Bukan, pokoknya jangan pernah bibi mengatakan apa pun kepada pria itu. Aku harus pergi dari sini secepatnya,” ucap Nayya sambil bergegas meninggalkan tempat itu. Ia terlihat menyembunyikan jemarinya yang terluka di dalam saku bajunya. Sedangkan bibi hanya menatapnya bingung. Nayya berjalan dengan terburu menuju gerbang. Ia harus segera kembali ke kastil dan memberitahukan ini kepada Riftan. Ia mencari-cari Asyaq yang sejak tadi belum muncul juga. Nayya terus berjalan tanpa menyadari jika seseorang telah mengikutinya diam-diam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN