Peperangan

1176 Kata
Dengan cepat Riftan melompat ke udara, singa itu mengaum dan menghampiri Gonzales. Riftan sebenarnya sangat ingin menghabisi Gonzales saat itu juga, tapi ia melihat Nayya semakin lemas dan tersiksa. Ia terbang menghampiri Nayya, dengan cepat ia menggendong tubuh pasangan jiwanya itu dan membawanya pergi. Nayya kembali mengeluarkan darah dari mulutnya, ia terlihat semakin lemas dan kesakitan. Wajahnya berubah kebiruan dan itu membuat Riftan semakin panik. Ia pun terbang sangat cepat, sampai akhirnya ia tiba di kastil. Riftan segera masuk membawa Nayya dan merebahkannya di atas ranjang. Ia membuka lemari yang berisi botol cairan berwarna aneh. Mengambil beberapa dan mencampurkannya ke dalam gelas sekaligus. Ia menghampiri Nayya dan membersihkan tubuhnya. “Nayya, minumlah ini dulu,” ucap Riftan sambil memberi minum Nayya dengan menggunakan sendok. Sedikit demi sedikit cairan itu masuk ke dalam mulut Nayya. Ajaibnya, Nayya bisa membuka mata setelah cairan itu masuk ke dalam lambungnya. “Nayya, syukurlah kau sudah sadar…” Riftan langsung memeluk Nayya dengan lembut, ia sangat bahagia melihat Nayya bisa membuka mata kembali. “Riftan…” panggilnya Nayya dengan suara lirih yang lemah. “Iya, sayang. Aku di sini. Apa kau merasa sakit?” tanya Riftan. “A…aku, dadaku sakit sekali, Riftan,” ucap Nayya sambil memegangi dadanya. "Yang ini, ya?” ucap Riftan sambil memeriksa d**a Nayya. “Iya,” Nayya mengangguk lemah. “Kau tidur lagi, nanti juga akan sembuh jika obatnya sudah bereaksi.” Riftan mengecup kening Nayya dengan lembut. “Riftan, apa yang sebenarnya terjadi padaku?" tanya Nayya. “Kau baru saja mengalami kejadian buruk, Nayya. Aku mohon kau jangan banyak pikiran dulu. Tidak perlu mencemaskan apapun,” ucap Riftan. Nayya tertunduk, ia tiba-tiba menangis. “Hiks…hiks…” “Kau kenapa? Jangan menangis,” ucap Riftan sambil menghapus air mata Nayya. “Aku takut, Riftan. Pria itu akan membunuhmu dan memisahkan kita. Dia bilang kalau aku mati, kau pun akan mati. Dia sama sekali tidak memberiku makan dan minum,” Nayya terisak. “Tenanglah Nayya, sekarang kau sudah baik-baik saja. Aku berjanji hal itu tidak akan terulang lagi. Aku minta maaf, karena lagi-lagi kau hampir celaka gara-gara aku.” Riftan kembali memeluk Nayya. "Tapi bagaimana kalau itu terjadi lagi?” Nayya masih ragu. “Itu tidak akan terjadi, karena aku akan menemanimu,” ucap Riftan berusaha menghibur Nayya. “Tapi, bagaimana dengan peperanganmu?” tanya Nayya. “Kau tidak perlu mengkhawatirkan peperangan, kau cukup istirahat supaya cepat sembuh,” ucap Riftan. "Iya, baiklah," ucap Nayya penurut. Nayya berusaha memejamkan mata, meskipun dirinya masih trauma dengan apa yang baru saja terjadi padanya, tapi ia harus terus mendukung Riftan. Ia merasa dadanya semakin sakit, tapi Nayya tidak ingin membuat Riftan khawatir. “Riftan, kau harus membunuhnya dan hiduplah dengan tenang,” ucap Nayya berguman. Mendengar ucapan Nayya, Riftan sedikit terkejut. “Apa yang kau katakan itu, Nayya? tentu saja aku bisa hidup dengan tenang selama kau tidak baik-baik saja. Jika kau seperti ini, mana bisa aku hidup. Jadi aku mohon kau cepat sembuh agar apa yang kau katakan itu bisa terwujud,” ucap Riftan. “Tidak Riftan, Kau harus hidup dan berumur panjang, hidup dengan tenang. Kau bisa berjanji padaku ?” ucap Nayya lagi. Nayya kembali mengeluarkan darah dari mulutnya, Riftan terkejut. Sebenarnya apa yang terjadi pada Nayya? rupanya sihir yang Gonzales berikan padanya sangat kuat, sampai-sampai cairan penyembuh bahkan tidak mempan lagi. Tiba-tiba ia mendengar suara Asoka. "Riftan, bagiamana kondisi Nayya?” “Entahlah. Tapi dia terus memuntahkan darah. Bagaiman kondisi di sana?” ucap Riftan. “Para prajurit hampir kewalahan karena jumlah musuh semakin bertambah. Kau harus datang untuk membakar mereka semua. Kami masih berusaha untuk bertahan,” ucap Asoka memberikan laporan. “Tapi aku tidak bisa meninggalkan Nayya dengan kondisi seperti ini?” tolak Riftan. “Kau sudah memberinya cairan penyembuh, kan?” “Iya, tapi sepertinya obat itu tidak berpengaruh,” ucap Riftan. “Dia pasti sudah terkena sihir, berikan darahmu padanya untuk dia minum, dia akan bertahan sampai kau kembali,” ucap Asoka. “Darahku, apa kau yakin?” Riftan masih ragu. “Cepat lakukan dan segeralah datang,” ucap Asoka memutuskan telepatinya. “Riftan dengan cepat mengambil pisau perak dan lalu mengiris ujung jarinya. Ia lalu memasukkan tetesan darahnya ke mulut Nayya. Setelah beberapa Lama, Nayya akhirnya tertidur. "Maafkan aku, tapi aku harus menyelesaikan perang ini agar apa yang kau inginkan tercapai,” ucap Riftan lalu mencium kening Nayya, ia pun meninggalkan tempat itu. Asyaq terlihat sedang melawan seorang pria bertubuh besar dan botak. Ilmu pria pria botak itu sepertinya tidak bisa dianggap sepele. Ia menerjang dan menyerang Asyaq dengan penuh strategi, seakan ia sudah memperhitungkan siapa lawannya ia hadapi. Mata memerah, taring yang memanjang penuh kebengisan. Mereka bertarung berupaya saling menjatuhkan lawan. Asyaq menerjang dengan menggunakan kakinya, tapi lagi-lagi musuhnya mampu mengimbangi serangannya dan menangkis dengan menggunakan kekuatan tangan kanannya. Satu hal yang Asyaq sadari sejak awal pertarungan sampai sekarang adalah lawannya itu tidak pernah menggunakan tangan kiri ataupun kaki kiri untuk menyerang dan menangkis serangan. Ia hanya mengandalkan tangan dan kaki kanannya. Pada saat lawannya itu menggunakan tangan kanannya untuk melayangkan tinju mematikan, Asyaq dengan cepat menangkis dengan menggunakan kaki kanan, lalu memutar tubuhnya dan kembali menyerang musuhnya. Asyaq memancing gerakan kaki kiri lawan dengan menedang kaki kiri lawannya dengan menggunakan kekuatan penuh dan ternyata berhasil. Pria botak itu berusaha menangkis serangan Asyaq dengan menggunakan kaki kanannya, tapi karena posisinya tidak memungkinkan, tendangan Asyaq berhasil. Pria itu pun mengerang kesakitan sebelum terhempas jauh. Asyaq tidak memberikan kesempatan untuk musuhnya. Dengan cepat ia menghampirinya dan kembali melayangkan tendangan ke perut musuhnya. Kembali pria botak itu menjerit kesakitan sambil memegangi kakinya kiri dan perutnya yang terasa ditusuk ribuan belati. “Wah rupanya kelemahanmu ada di sana," ucap Asyaq lalu kembali menghajar musuhnya. Tinjunya menghantam wajah pria itu, Asyaq tidak membutuhkan waktu lama untuk merobohkannya. Hingga akhirnya dia meregang nyawa dan berubah menjadi abu. Asyaq menyeka keringatnya dan menyentuh tangannya yang membiru Sungguh pertarungan kali ini, adalah perkelahian yang sangat menguras tenaga. Para prajuritnya sedang berjuang di area hutan untuk berusaha masuk ke dalam lokasi bangunan. Tapi banyaknya prajurit musuh yang menghadang membuat para prajurit itu kewalahan. Sementara itu, Asoka dan putri Adora bagai sejoli kasmaran yang tidak ingin berpisah. Putri Adora tidak pernah jauh dari Asoka. Setiap kali ada musuh menerjang, mereka akan melawannya bersama. Pada saat berjalan mengikuti lorong yang kemungkinan akan mengarah pada suatu tempat, tiba-tiba ada 2 orang pria dan wanita menghadang mereka. Asoka dan putri Adora saling pandang. "JIka kau merasa tidak sanggup menghadapinya, bilang saja, biar aku sendiri yang melenyapkan mereka,” ucap Asoka. “Siapa bilang aku tidak bisa melakukannya? Aku bahkan bisa membunuh mereka berdua, tuan Asoka,” sanggah putri Adora yang tidak ingin di anggap remah. Sudah lama ia tidak bertarung. Selama ini ia hanya tinggal di istana yang apapun keinginannya, semua akan terpenuhi, tapi sekarang, ia akan mencoba ilmu bela diri yang ia pelajari bahkan sampai sekarang. Apalagi, yang akan di hadapinya itu adalah seorang wanita. Ia pun tersenyum sinis. “Apa kau yakin?” tanya Asoka. "Tentu saja,” jawab putri Adora dengan penuh keyakinan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN