Kebimbangan Hati

1260 Kata
Usai saling berpelukan, mereka kemudian makan bersama, Nayya masih sempat bercanda dengan gadis kecil yang duduk di sampingnya itu. saat menoleh, Nayya tidak sengaja melihat ibunya senang berdiri di ambang pintu dapur memperhatikan mereka. “Loh, Ma? kenapa berdiri di situ? Ayo sini,” ucap Nayya. Nura tersenyum lalu berjalan menghampiri mereka. “Duh, anak-anak mama, yang akur ya sayang.” Nura mengelus kepala anak-anak asuhnya satu persatu lalu duduk dan ikut bergabung untuk sarapan bersama. “Nayya berangkat ya, Ma,” pamit Nayya sambil mencium tangan ibunya. “Ya, hati-hati sayang,” sahut Nura. “Kakak…!” suara teriakan gadis kecil terdengar dari dalam. Nayya membalikkan tubuhnya “Nilam? Ada apa, sayang?” tanya Nayya. “Sini, kakak tunduk dulu, Nilam mau bicara sesuatu,” ucap Nilam dengan polosnya. Nayya lalu duduk berjongkok agar tubuhnya sama tinggi dengan badan Nilam. Gadis kecil itu kemudian mendekatkan mulutnya ke telinga Nayya, ia membisikkan sesuatu. Kening Nayya berkerut saat mendengar bisikan Nilam lalu mengangguk. “Ok, Kakak usahakan, ya. Tapi gak bisa janji,” ucap Nayya sambil mengusap kepala Nilam. Gadis kecil itu mengangguk. “Anak pintar, ya sudah, kakak berangkat dulu, ya. Daah..” Nayya melambaikan tangannya lalu berjalan ke depan pagar. Tidak di sangka, mobil mewah berwarna merah sudah menunggunya. Nayya menghela nafas dalam, padahal Reno sudah mengirim pesan kalau dia yang akan menjemputnya. Tapi, sekarang, ia sudah tidak punya pilihan lain. Kalau ia tetap nekat menolak, pasti akan terjadi masalah lagi. “Selamat pagi, Nona.” Sapa pria itu. “Ya, pagi. Langsung berangkat saja, jangan banyak bicara. Aku lagi malas ngobrol.” Ucap Nayya lalu masuk ke dalam mobil. Pria itu tersenyum lalu menjalankan mobil. Sesampainya di kampus. Nayya langsung menuju kelasnya. Tapi tiba-tiba pergelangan tangannya di tarik oleh seseorang. “Nayya.” “Re..Reno?” nayya terkejut melihat Reno yang tiba-tiba muncul dana menatapnya dengan tatapan kesal. “Tadi kau di jemput oleh siapa? Aku mengikuti mobil itu sampai ke mari,” tanya Reno penuh selidik. “Oh, ah… itu, anu. Itu mobil rekan mamaku. Tadi kami kebetulan berpapasan, jadi dia menawarkan tumpangan. Aku tidak enak menolaknya, maaf ya,” ucap Nayya mengarang bebas. Reno terdiam, ia menatap Nayya sebelum melepas pegangan tangannya. “Aku memaafkanmu kali ini, tapi besok kau harus menunggu jemputan ku, mengerti?” “Ah Reno, masalah antar jemput, ada baiknya jika kau tidak perlu repot-repot melakukannya. Aku bisa maik bus.” Reno terdiam. “Tidak! Aku tetap akan mengantar dan menjemputmu. Dan kau tidak boleh menolak,” ucap Reno tidak mau di bantah. “Ah, i..iya.” sahut Nayya. “Reno, aku mau masuk kelas dulu, ya. nanti kita bicara lagi.” ucap Nayya, ia melangkah pergi tapi Reno kembali memegang tangannya. “Nayya tunggu.” Ucapnya. “Iya?” Nayya mulai tidak nyaman, Reno pasti akan melakukan sesuatu padanya dan itu membuatnya tegang. “Kau tahu kan, kita sudah jadian, kau pacarku sekarang. Aku pikir dengan begitu kita akan menjadi semakin akrab dan dekat, tapi aku perhatikan sikapmu malah terlihat canggung. Aku tidak terbiasa dengan sikapmu ini. Aku merasa kau malah terkesan menghindariku. Nayya, apa kau punya masalah? Kau bisa ceritakan padaku dan kita bisa selesaikan sama-sama,” ucap Reno. Nayya terdiam, benar yang kau katakan Reno. Aku ini dalam masalah besar, entah kenapa masalah itu datang kepadaku, tapi kau sama sekali tidak bisa menyelesaikannya. Tidak ada orang yang bisa menyelesaikan masalahku ini. lirihnya dalan hati. Nayya mengangkat wajahnya dan menatap Reno, ia sedih melihat pria yang mencintainya ini kebingungan. Harapan bahwa hubungan mereka akan semakin dalam akan tetap menjadi sebuah mimpi semata. Haruskah ia menyudahi saja hubungan mereka yang sia-sia ini? dari pada kedua hati mereka tersakiti? “Aku tidak apa-apa, Reno. Terima kasih sudah mengkhawatirkanku. Aku masuk kelas dulu.” Ucap Nayya lalu melangkah pergi meninggalkan Reno yang hanya bisa berdiri mematung. Di dalam kelas, Nayya menjadi tidak bersemangat. Ia yang selalu aktif di kelas, kini suaranya tidak pernah terdengar lagi. Nayya banyak terdiam dan menghela nafas. “Hei, yuk ke kantin. Dosen udah keluar.” Ajak Sonia yang sejak tadi memperhatikan Nayya yang murung. “Hmm, ayok.” Sahut Nayya. Dengan malas ia bangkit dari tempat duduknya dan melangkah keluar kelas. “Kau ada masalah? Reno tidak menyakitimu kan?” tanya Sonia. Nayya menggeleng. “Enggak,” jawab Nayya tidak bersemangat. “Terus kenapa kau tampak loyo begitu? seharusnya kalau udah resmi jadian, kalian harus saling menguatkan dong, lah ini, kayak gak pacaran saja. Kalian malah tampak canggung loh, gak kayak dulu.” Komentar Sonia. “Hmm begitulah, aku menerimanya bukan karena mencintainya tapi lebih kepada karena aku tidak ingin mematahkan hatinya.” Jelas Nayya. “Apa? kau tidak waras ya, dia bisa semakin sakit kalau tahu kau hanya mengasihaninya.” Sonia terkejut, ia sudah menduga hal ini akan terjadi. Ia tahu kalau sahabatnya ini hanya menyayangi Reno sebagai teman, tidak lebih. “Ya aku tahu, hah aku jadi malas banget kalau begini.” ucapnya frustrasi. Sonia mengelus punggung nayya dengan lembut. “Kalian sudah resmi pacaran, kau menerimanya kau kau pikir sayangmu ke Rena cukup untuk membentuk hubungan kalian bisa lebih dalam lagi. Sebenarnya itu bisa terjadi, kau hanya perlu menjalaninya saja senatural mungkin. Jangan batasi dirimu dengannya, bersikap seperti biasa saja, karena mungkin kau hanya sedikit kaget saja dengan perubahan status dari sahabat menjadi pacar. Jadi ya, saranku jalani hubungan kalian seperti biasa dan senyaman mungkin. ” Sonia memberi penjelasan. “Aku malah berpikir akan mengakhiri hubungan kami, Sonia.” “Apa?” lagi-lagi Sonia terkejut. “Kau ngomong apa sih? Nayya, aku tidak bis…” “Sampai kapanpun aku tidak akan mengakhiri hubungan kita, Nayya. Kau tahu aku sangat mencintaimu, aku tidak peduli alasan kau menerimaku karena kasihan atau apa pun itu. Tapi selama aku masih hidup, aku tidak akan membiarkanmu lepas dariku.” Tiba-tiba suara Reno terdengar, keduanya terkejut. Wajah Nayya pucat, ia tidak menyangkan Reno akan mendengar obrolan mereka. terlebih mendengar ucapan yang Reno ucapkan, Nayya semakin serba salah. “Reno aku…” “Mbak, pangsitnya satu lagi, ya.” Reno tidak memperdulikan ucapan Nayya. Ia malah duduk di sampingnya sambil melambai ke arah pelayan kantin. Saat makanan sudah tersedia, Reno mulai makan dengan lahap. Nayya dan Sonia hanya saling pandang dengan bingung. “Loh, kenapa kalian malah diam saja? ayo makan, nanti keburu dingin pangsitnya.” Seloroh Reno. ia bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. “Oh, iya dong, kita makan lagi.” Sonia dengan cepat merespon. Ia langsung memakan pangsitnya. “Loh, Reno. jangan makan seperti itu. nanti kau tersedak, kalau kau sakit kan, Nayya sediri yang repot mengurusi dirimu.” Sonia berusaha bercanda dan mencairkan suasana. Reno hanya melirik Nayya yang mulai memakan pelan-pelan makanannya sambil terdiam. “Iya dong, siapa lagi yang mau merawatku kalau bukan pacarku sendiri. Memangnya kau bisa merawat pacar kalau kau pacar saja tidak punya. Aha..ha..” cibir Reno . “Huh dasar, begini-begini, aku sudah nolak 151 laki-laki loh. Akunya saja yang sangat pemilih,” sanggah Sonia. “Oya, kirain gak ada yang mau, ha..hah…” tawa Reno meledak, dan itu membuat Nayya tersenyum. tapi Sonia malah kesal. “Huh, dasar kutu kampus.” Reno semakin tertawa karena Sonia malah terpancing sendiri. Nayya juga mulai tertawa melihat kekonyolan kedua sahabatnya ini. Acara makan mereka pun berakhir dengan senyuman. Sepulang kampus, Nayya berdiri di trotoar menunggu Reno. Nayya tersenyum saat melihat mobil Reno menuju ke arahnya. “Yuk masuk,” ucap pria itu sambil menurunkan kaca jendela dan membuka pintu. Nayya pun melangkah masuk ke mobil tapi langkahnya tertahan karena tiba-tiba sebuah mobil merah mewah berhenti di depan mobil Reno. “Aku saja yang mengantarnya.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN