Getaran

1184 Kata
Nura hanya terdiam, ia sudah tahu kalau Riftan telah membawa putrinya pergi. Membawanya untuk tinggal di kerajaannya dan menjadi sumber nutrisi penting untuk makhluk itu. Seperti perjanjian yang telah ia sepakati dengan makhluk itu. Saat itu, hujan lebat. Nura dan suaminya berkendara membawa mobil mereka menuju kampung halaman. Cuaca buruk memaksa mereka untuk memperlambat laju kendaraan. Ia dan suaminya sedang berbahagia karena akhirnya setelah menunggu 10 tahun lamanya, Nura akhirnya mengandung dan mereka akan mengunjungi kedua orang tua mereka di kampung tapi sayangnya, di tengah perjalanan, cuaca yang sangat cerah, tiba-tiba berubah berawan dan hujan lebat. Awalnya perjalanan mereka lancar, namun tiba-tiba dari arah berlawanan muncul sekawanan segila raksasa yang berlari kencang dan menyerempet mobil mereka. Tak ayal, mobil oleng dan berputar beberapa kali sebelum akhirnya jatuh ke jurang. Nura berteriak minta tolong, hujan lebat yang mengguyur dan kondisi jalanan yang sunyi menyulitkannya untuk mendapatkan pertolongan. Suaminya sudah terkulai lemas tak bernyawa, Nura semakin putus asa dan ketakutan. ia memegangi perutnya sambil berharap agar tidak terjadi apa-apa dengan kandungannya. Ia terus meminta tolong tapi tidaka ada satu orang pun yang mendengarnya. “Ku mohon tolong kau, tolong selamatkan anakku, siapa pun itu tolong aku….!” pekiknya disertai petir yang menggelegar. Namun, tidak ada satu pun yang mau mendengarkan rintihannya. Tiba-tiba sesosok bayangan muncul di depannya. Bayangan berjubah merah itu menghampirinya. Nura yang masih terjebak di dalam mobil bersama mayat suaminya meronta-ronta memohon pertolongan. Tangan sosok berjubah itu terangkat ke atas, diikuti dengan terangkatnya mobil yang menimpa tubuh mereka. nura dan mayat suaminya pun berhasil bebas. “Terima kasih Tuan, terima kasih.” Ucap Nura dengan berlinang air mata. “kebaikanku hari ini tidak akan kau balas dengan darah suci putri yang akan kau lahirkan kelak. Ia akan menjadi sumber kekuatanku. Lahirkan ia dan jagalah dengan baik. Aku akan kembali untuk mengambilnya suatu hari nanti.” Ucap sosok itu sebelum menghilang dari pandangannya. Nura pun akhirnya jatuh terkulai tak sadarkan diri. *** Nayya membuka mata dan mendapati dirinya berada di sebuah ruangan luas dan mewah. Apakah ia bermimpi? Ruangan itu seperti kamar istana yang biasanya di ceritakan di dalam dongeng atau di film. Ia bangkit dan berjalan menatap sekeliling. Ada guci besar di yang khusus di tempatkan di sebuah lemari berornamen mewah. Lemari pakaian bermotif mewah khas istana, meja yang berlapis warna emas, dan kursi seperti singgasana dengan bebagai jenis buah tersedia di meja kecil di sampingnya. Lukisan bunga mawar putih yang menghias dinding juga terlihat begitu indah dan elegan. Benda-benda yang berwana emas lainnya yang menghiasi setiap sudut juga menambah kemewahan ruangan itu. Dan saat ia melihat ke arah tempat tidur, mata Nayya terbelalak, melihat ranjang yang juga sangat mewah dengan ornamen berwarna emas yang menghiasi setiap sudutnya. “Di mana aku?” gumannya sambil berjalan ke arah sebuah pintu. Nayya membuka pintu itu dan lagi-lagi ia terkejut saat melihat apa yang ada di dalamnya. Sebuah taman kecil yang di penuhi oleh bunga mawar putih, di sudut taman, terlihat pancuran air yang mengalir. Di bawahnya ada sungai kecil yang mengalir. Rumput hijau yang indah melengkapi keindahan dan keasrian taman itu. Nayya memasuki pintu itu dan melihat sebuah ruangan kaca yang di dalamnya terdapat sebuah bath up putih dengan pinggiran berwarna emas, shower mewah berwarna emas lengkap dengan perlengkapan mandi yang mewah. Ruangan ini benar-benar seperti kamar mandi pribadi bidadari atau putri kerajaan. Nayya berjalan ke pancuran itu dan menyentuh airnya. “Hangat…” gumannya sambil tersenyum. Ia lalu duduk di pinggiran sungai kecil itu dan merendam kakinya di sana. Seketika puluhan ikan-ikan kecil menghampiri kakinya. “Ah, geli..” gumannya. Ia melihat ikan-ikan kecil itu menggigit-gigit kakinya. Rasanya sangat nyaman. “Ah indahnya…” gumannya lagi sambil menghela nafas dalam-dalam. Nayya memejamkan mata. “Rupanya kau suka kamarmu,” tiba-tiba suara terdengar. Nayya membuka mata dan melihat Riftan sudah ada di hadapannya. “Oh…” ucapnya sambil mengalihkan pandangannya dengan cepat. Dadanya kembali berdebar melihat sosok tampan itu di hadapannya. “Kenapa? Kau sepertinya tidak ingin melihatku sekarang? Apa kau tidak akan mengatakan sesuatu? Mengucapkan terima kasih misalnya?” ucap Riftan sambil duduk di sampingnya. Riftan juga membenamkan kakinya ke dalan air tapi tidak ada satu ikan pun yang mendekati kakinya. “Terima kasih,” ucap Nayya. Riftan tersenyum dan menatapnya. “Sama-sama," ucapnya singkat. “Apa ini kamarku selama aku berada di kastilmu?” tanya Nayya. “IYa, tapi jika kau kurang menyukainya, kau bisa memilih beberapa kamar yang sesuai keinginanmu.” Sahut Riftan. “Wah, masih ada kamar lain yang seperti ini?” “Ada beberapa kamar khusus yang aku persiapkan untuk kedatanganmu, salah satu yang terbaik menurutku adalah kamar ini, tapi jika kau masih ingin melihat-lihat, Asyaq bisa mengantarmu nanti,” ucap Riftan. “Tidak, saya sudah merasa cukup dengan kamar ini. terima kasih.” Ucap Nayya lalu memandang ke arah Riftan yang juga menatapnya. Pandangan mereka bertemu, Nayya seakan tidak ingin mengalihkan tatapannya sedikitpun, sedangkan Riftan yang sudah merasakan hawa aneh yang tiba-tiba menyusup di gambar bintang dadanya seakan tersadar akan sesuatu. “Ingat, tugasmu di sini adalah menyediakan darah untukku di setiap bulan purnama. Darahmu harus memiliki banyak nutrisi, jadi kau harus menyantap apa pun yang di sediakan pelayan. walaupun kamarmu terlihat begitu istimewa, kau tetap pekerja di sini. Sama dengan pelayan lain, jadi tidak perlu berbesar kepala, mengerti?” ucap Riftan tiba-tiba. Buru-buru ia mengalihkan pandangannya, dan beranjak dari tempat itu. ia menatap Nayya sekilas lalu pergi begitu saja. “Pak Dosen tunggu…” Nayya menghela menghembuskan nafasnya. Ia terlihat sedikit kecewa karena Riftan pergi begitu saja tanpa mengucapkan kata-kata. Padahal ia masih ingin pia itu berada di dekatnya. Kenapa Riftan tiba-tiba menghindarinya? “kenapa tiba-tiba dia berbicara judes begitu, ya? aku tahu kalau aku pekerjamu di sini, huh… dasar vampir aneh. Sudahlah, nanti juga dia akan kembali seperti biasa. ” gumannya lalu beranjak dari tempat itu. Nayya kembali merebahkan tubuhnya, kasurnya sangat empuk dan nyaman. Ia seperti berbaring di atas tumpukan bulu angsa yang halus dan lembut. Tiba-tiba pintu di ketuk. Nayya bangun dan berjalan menghampiri pintu. ia berharap Riftan yang akan muncul di balik pintu saat ia membukanya, tapi ternyata, hanya seorang wanita dengan membawa makanan di atas troli berwarna emas. “Selamat malam Nona, ini makan malam untuk anda.” Ucapnya lalu masuk ke dalam. “Terima kasih,” ucap Nayya saat pelayan itu akan keluar dari ruangannya. “tidak ;perlu berterima kasih, Nona. Ini adalah tugas saya.” Ucap Pelayan itu. “Tidak apa-apa, aku tetap akan berterima kasih karena kau telah membawakan makanan untukku, apalagi posisi kita sama-sama pekerja di sini.” Ucap Nayya sambil tersenyum. “Pe..pekerja di sini? Tuan Riftan tidak pernah berbicara…. Oh, tidak. Maafkan saya, sepertinya saya salah bicara. Saya permisi dulu.” Ucap pelayan itu lalu buru-buru meninggalkan tempat itu. *** Reno duduk di sebuah kursi, ia berada di sebuah taman yang sunyi. Hanya da beberapa orang di sana. Pikirannya kacau , ia sangat khawatir dengan Nayya. Kemana dosen itu membawa kekasihnya? apakah dia menculiknya dan… Reno menggeleng mengusir pikiran anehnya. Tiba-tiba seseorang menghampirinya. Menyeringai ke arahnya dan detik kemudian oprai itu sidah menusukkan taringnya ke leher Reno.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN