Pieter terus menatap Nesya dengan tajam, gadis itu tengah duduk dihadapannya sembari menunduk. Hati Pieter begitu terbakar api cemburu, saat ia mendapati Nesya tengah bertelfon dengan Rey.
Nesya beralasan, bahwa ia hanya ingin menyuruh Rey menjauh. Tapi, Pieter sempat mendengar Nesya mengucapkan kata Rindu. Itu yang membuat Pieter yang tadinya hanya mendengarkan dibalik pintu, langsung merebut ponsel Nesya dengan kasar.
Bahkan Pieter sempat memaki Rey sebelum ia memutuskan telfonnya serta memblokir Rey dari pertemanan Nesya di akun LINE-nya.
"Buat apa sih, kamu angkat telfonnya? Nggak penting!" Bemtsr Pieter.
Nesya terus saja menunduk, tidak ingin menatap Pieter yang tengah marah padanya. Padahal, lelaki itu tidak pernah sedikitpun marah padanya, sekarang bahkan Pieter membentaknya.
"Kenapa diam?" Tanya Pieter saat tidak mendapat respon dari wanita yang berstatus tunagannya itu.
"Maaf." Hanya satu kata, karena percuma. Nesya sudah menjelaskan, namun Pieter tidak percaya.
Pieter tertawa hambar. "Maaf? Apa kamu pikir itu cukup?. Sudah 5 tahun, apa kamu masih belum cinta sama aku? Dia itu Rey, kan? Mantan kamu, sekaligus lelaki yang ada di wallpaper handphone kamu."
"Bahkan ada yang lebih parah daripada itu, kenyataan kalau dia adalah pacar pertama kamu dan cinta pertama kamu. Rasanya aku disini cuman orang asing. Bukan sebuah kebetulan kalau dia ada disini, pasti dia punya tujuan. Dan, aku merasa kalau tujuannua ke sini itu untuk bawa kamu kembali sama dia."
"Nesya, apa cuman aku yang terlalu sayang? Aku bukan marah karena kamu angkat telfon from you ex, but ayolah Nesya. Kita sudah betunangan, we gonna married. Did you forget that?"
Pieter menghembuskan nafasnya kasar, Nesya tetap diam menunduk. Tidak mau menjawab, berbicara atau bahkan menatapnya.
"Nesya, for last. I want ask you, apa kita batalkan saja semuanya?"
Nesya mendongakkan kepalanya keatas, ia menatap Pieter yang juga sedang menatapnya tajam. Pertanyaan Pieter barusan, adalah kunci kebebasan hidupnya. Hanya tinggal mengatakan iya, dan hidupnya kembali seperti semula.
Sayang, ingatan tentang Pieter yang sudah berkorban untuknya, ditambah lagi ancaman yang pernah Dom berikan membuat Nesya mengurungkan niatnya.
"Pieter, kasih aku waktu untuk berfikir." Pinta Nesya dengan pelan.
Setelah mendengar itu, Pieter mengangguk dam segera keluar dari ruang kerja Nesya dengan perasaan marah. Bahkan, untuk menentukan pilihan yang mudah saja Nesya membutuhkan waktu. Kalau Nesya benar-benar mencintai Pieter, seharusnya ia dengan lantanh menjawan tidak, bukan?
Dan, tanpa Pieter sadari, seseorang di balik pot tananaman besar tengah tersenyum kemenangan karena melihat jelas pertengkarannya dengan Nesya, tadi.
Misi 3 sukses.
●●●●●
"Anjir, ngakak gue. Terus, itu mukanya si Pieter se kusut apa?" Tanya Rio diiringi gelak tawa yang tidak bisa ia hentikan.
Rey juga ikut tertawa, apalagi saat mengingat wajah memerah Pieter karena marahnpada Nesya. "Ya kayak gitu, merah kayak tomat. Sebenernya pengen gue tonjok saat itu juga, sih. Enteng banget mulutnya ngebentak Nesya."
"Lah, kenapa kagak lo gampar langsung?"
Rey monoyor kepala Rio. "Terus gue keluar dari persembunyian gue, gitu? Sama aja gue bunuh diri, ketahuan rencana gue. Yang ada, gue yang kelihatan jahat."
"Gue baru tau, lo bisa licik kayak gini." Rio geleng-geleng kepala.
"Dalam cinta, apapun halal, bro. Di sini, selama janur kuning belum melengkung ya, sah-sah aja." Kata Rey santai. "Lagian, biar udah melengkung bakalan gue lurusin lagi."
Mereka semua takjub menedengar jawaban Rey, tergambar dengan sangat jelas kalau Rey sangat mencintai Nesya. Sudah di tinggal tujuh tahun, tidak dikasih kabar, pas ketemu, Nesyanya udah tunangan.
Ada, yang strong kayak Rey?
"Udah-udah, sekarang kita harus mikirin misi ke empat." Saran Tiara.
Mereka semua nampak memandangi pelafon hotel, mencari-cari ide untuk misi ke empat. Mungkin, akan ada cicak yang lewat seraya membawa ide, itu sebabnya saat orang-orang berfikir mereka akan menatap keatas.
Sungguh, konyol.
Sibuk mencari ide, membuat Rey tidak sadar kalau ponselnya sedari tadi berbunyi. Rio yang terganggu dengan ringtone Rey langsung menabok kepala Rey, membuat cowok itu terperanjat kaget.
"Apaan, sih!" Gerutu Rey kesal.
"Handphone lo bunyi, gue kesel denger ringtone-nya. Nggak ada yang lebih baik daripada lingsir wengi? Muka cakep, ringtone nggak banget." Cibir Rio.
"Berisik lu, ah."
Rey langsung menjauh, ia membuka ponselnya, ternyata telfonnya sudah mati. Tanpa mengecek siapa yang menelfonnya, Rey memasukkan kembali ponselnya kedalam saku.
Saat ingin masuk lagi, ponsel Rey kembali berbunyi, menailkan ringtone telfonnya yang sangat unik, lagu lingsir wengi. Aneh memang, tapi ini Rey lakukan agar saat di telfon dan Rey sedang tertidur, ia akan segera bangun karena takut dengan ringtone-nya sendiri.
Aneh bukan? Orang ganteng mah bebas.
Tanpa membaca Id caller si penelfon, Rey langsung mengangkat telfonnya. "Halo?"
"Rey?"
Deg!
Suara lembut khas ini, Rey sangat tahu siapa pemiliknya. Pemilik yang sama dengan pemilik hatinya, suara yang sangat Rey rindukan kala menyapanya. Ini adalah Anesya Jasmeen, wanita yang selalu Rey sebut sebagai jodohnya.
"Ya? Nesya, ini Nesya kan? Kenapa kamu telfon aku? Otak kamu udah fungsi, ya? Kamu mau balik lagi sama aku? Kamu udah sadar kalau Pieter itu nggak baik? Ayo sini, aku di hotel Bell sama mereka. Ayo, kita pulang ke Indonesia hari ini, Ka---"
"Rey, stop!" Potong Nesya, baru kali ini Rey menjadi sosok yang sangat cerewet.
"Ya, ya maaf. Abis aku seneng kamu telfon, ada apa sih? Ada masalah? Si Pieter apain kamu? Kamu baik-baik aja, kan? Kamu lagi diman--"
"Rey!" Tegur Nesya lagi.
"Iya maaf."
"Aku mau ketemu kamu, cuman kita berdua. Malam ini jam 8, nanti aku kirim alamat cafenya."
Saat Rey hendak menyela, Nesya buru-buru mematikan telfonnya. Rey mendesah kecewa, baru beberapa menit ia senang. Ah, tapi tidak apa-apa. Beberapa jam lagi Nesya mengajaknya bertemu, Rey harus bersiap-siap sekarang.
Dengan perasaan bahagia, Rey kembali masuk kedalam kamarnya. Cengiran lebar tidak dapat luntur dari bibirnya, teman-temannya sampai bergidik ngeri karena melihat ulah Rey yang seperti itu.
"Lo kenapa, sih? Kerasukan setan? Udah gue bilang, ringtone lo itu buat manggil setan, lo buat apa jadiin ringtone, sih? Sekarang lo kesurupan, siapa yang netralin? Mana gue kagak hafal ayat kursi." Cerocos Rio.
"Gue mau ketemuan sama mantan tersayang, siap-siap dulu, ah."
Rey langsung masuk ke kamarnya, tanpa memperdulikan teriakkan para sahabatnya yang meminta penjelasan.
●●●●●
Sekarang baru pukul 7 malam, dan Rey sudah duduk sembari menunggu Nesya yang akan datang satu jam lagi. Rasa gelisah melanda dirinya saat ini, entah apa yang ingin Nesya bicarakan.
Dua gelas orange juice menjadi teman Rey selama satu jam ini, biasanya Rey tidak banyak minum. Mungkin efek gugup, padahal Reu tidak pernah seperti ini. Rasanya lebih gugup dari sekedar melamar.
Satu jam berlalu.
Saat jarum pendek di angka delapan dan jarum panjang di angka dua belas, Nesya datang mengenakan drees biru malam yang sangat pas ditubuhnya. Rey terpesona, sudah lama ia tidak melihat Nesya seperti ini.
Nesya sudah duduk dihadapan Rey, tidak dapat dipungkiri kalau Rey bertambah gugup. Dan, tidak dapat dipungkiri juga kalau Nesya juga gugup.
Seorang pelayan datang, memecah keheningan diantara dua mantan kekasih itu. Pelayan itu memberikan mereka masig-masing satu buku menu, setelah memilih, mereka menyebutkan pesanan.
"Spagetti spicy and hot chicken." Ucap mereka berbarengan.
Pelayan itu tersenyum seraya mencatat pesanan mereka, rasanya mereka salah tingkah sekarang.
"Choco latte float."
Lagi-lagi mereka menyebutkan pesanan yang sama secara berbarengan, pelayan itu tersenyum lagi seraya mencatat pesanan mereka. Setelah menyebutkan yang ia tulis, pelayan itu segera pergi ke dapur untuk membuat makanannya.
Rasa canggung timbul diantata mereka, Rey tidak tau harus berbicara apa. Sedangkan Nesya sedang mencari waktu yang tepat untuk mengatakan apa yang sedang ia pikirkan.
Setengah jam kemudian, mereka masih diam. Tidak ada yang memulai berbicara, sampai akhirnya, lagi-lagi kedatangan pelayan yang memecahkan keheningan diantara mereka berdua.
Selesai meletakkan makanan, pelayan itu pergi dan lagi-lagi dua mantan kekasih itu saling terdiam.
"Makan dulu, yuk. Nanti ngobrolnya." Ucap Rey memecah keheningan.
Nesya mengangguk, dan mereka mulai makan dalam diam.
Lima belas menit kemudian.
"Jadi, kita mau ngapain ke sini?" Tanya Rey memulai percakapan.
Nesya menarik nafasnya berat. "Sebelumnya, aku mau nanya. Apa tujuan kamu ke sini?"
"Seharusnya kamu udah tau, apa alasan aku ke sini." Jawab Rey.
Nesya memejamkan matanya sebentar, lalu ia beralih menatap mata Rey. "Rey, aku sudah tunangan. Sebentar lagi aku akan menikah, kamu sia-sia datang ke sini. Lebih baik kamu kembali ke Indonesia, dan cari wanita yang lebih baik dari aku."
"Nggak semudah itu." Rey menggelengkan kepalanya, tanda menolak. "Janur kuning belum melengkung, Nes. Bahkan kalau sudah melengkung, bakal aku lurusin lagi."
"Rey.." lirih Nesya pelan.
"Apa?"
"Udah, cukup Rey."
Rey mendecih kesal. "Tatap mata aku, dan bilang kalau kamu cinta sama Pieter." Tantang Rey, Nesya mengalihkan padangannya ke arah lain.
Rey tersenyum penuh kemenangan. "Nggak bisa, kan?"
Nesya mengangguk, kemudian menatap Rey dengan nanar. "Aku memang nggak bisa lupain kamu, aku memang cinta sama kamu, aku memang sayang sama kamu, dan semua itu nggak aku rasain ke Pieter. Tapi maaf, Rey. Kita nggak bisa sama-sama lagi, ada sesuatu yang cuman aku yang bisa ngerti.
Ingat pepatah yang bilang, kalau sayang nggak harus memiliki? Itu berlaku untuk kita, Rey."
"Jadi, aku mohon. Lupain aku, dan aku bakalan tunggu kamu lupain aku." Pinta Nesya, sejujurnya hatinya perih harus mengucapkan ini.
Rey berdiri dari duduknya, ia mengeluarkan beberapa lembar uang dolar untuk membayar makanan mereka berdua.
"Kalau kamu mau nunggu aku buat lupain kamu, berarti kamu bakalan nunggu selamanya."
Kemudian, Rey pergi.
--------------------------------------------------------------------------
HUFT
CAPEK.
KOMEN PART INI DONG, HEHE.
BACA CERITA GUE YANG LAIN DONG, JUDULNYA RAGIO.
maafkan typonya ya, karena nggak gue revisi. Langsung publish ketika baru selesai ngetik.
Bubay.
Rara