PANGGILAN MAS

2701 Kata
Cemara berdiri di depan pintu kamar Jati, menenteng paper bag. Ragu-ragu mengetuk pintu di depannya. Selama ini Cemara tidak pernah masuk ke area tinggal pembantunya. Lamtoro memintanya berterima kasih secara langsung pada Jati, karena pria itu sudah mendampinginya saat kesulitan. Cemara tidak bisa menolak, ia memutuskan mengetuk kamar Jati. Pria di dalam tergesa mengenakan pakaiannya. Menutupi dαda telaπjangnya. Membuka pintu dan terkejut melihat Cemara berada di sana. "N-nona?" ujar Jati terbata. Tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Cemara menyodorkan Paper Bag. "Untukmu." ujarnya. Jati menelan saliva, ia ragu menerimanya. Gadis di depannya ini sangat licik. "Kau tidak mau?" Tanya Cemara, melihat Jati seolah enggan menerima pemberiannya. "Terima kasih, Nona. Tapi, aku tidak bisa menerimanya." Cemara mendorong Jati hingga mundur selangkah. Memaksa Jati menerima pemberiannya. "Aku benci orang menolak pemberianku." ujar Cemara. Wajahnya kesal menatap pria itu dengan terpaksa Jati menerimanya. "Untuk sekelas sopir kau sangat sombong." ketus Cemara. Cemara berbalik badan, meninggalkan Jati mematung di depan pintu. Gadis itu tersenyum tipis, berhenti dan menolehkan kepala. "Terima kasih sudah membantuku. Itu hadiah untukmu. Potong gaji." Cemara segera berlari. Kali ini gadis itu benar-benar terlihat kekanak-kanakan. "Nona." Jati menggaruk belakang kepala. tersenyum membawa Paper bag masuk kamar. Melihat isinya. Sebuah dompet keluaran terbaru di tahun ini. Ah, Jati tidak tahu itu yang pasti dia bahagia melihat benda itu. Jati mengerutkan kening, selain dompet trifold yang terlihat keren. Jati juga mendapatkan amplop berwarna coklat. Jati mengeluarkan isinya. Pecahan uang seratus ribu sebanyak dua puluh lembar mengejutkannya. Jati segera memasukkan kembali uang itu ke dalam amplop. Ia tidak bisa menerima ini. Jati harus mengembalikan pada Cemara. Gadis itu masih anak sekolah, sudah pasti Cemara menguras uang Lamtoro. Jati beranjak dari tepi ranjang yang sejak tadi ia duduki. Berdecak kesal mendengar ponselnya berdering. Ia meniup napas panjang, mengambil benda itu dan lagi-lagi berdecak. Orang yang menelpon seolah tahu dia punya uang. "Iya, Mbak." "Jati, aku harus bagaimana? Aku butuh uang untuk periksa." "Kan, bisa ke puskes Mbak." Sahut Jati dengan nada kesal. "Aku tidak mau periksa ke puskesmas. Apa gunanya kamu b—." "Baiklah, saya usahakan." Jati memutus telepon. Tidak ingin lama-lama bicara. Ia tahu pada ujungnya dia akan sudutkan dan diklaim pria tidak tahu diuntung. Jati menelan ludah. Melihat Paper bag di tangan yang akan dikembalikan pada Cemara. Jati mendesah panjang mengurungkan niatnya dan memutuskan mengirim ke kampungnya. •••• "Kau sudah putuskan kuliah dimana?" tanya Lamtoro, sambil mengayunkan stik memukul bola golf nya menuju sasaran. "Toronto." balas Cemara. Menatap bola golf yang dipukul Lamtoro. Keduanya mendesah panjang. Bola itu tidak tepat sasaran. " Papa payah." Cemara. mengambil stik dari tangan Lamtoro. "Bola." Seru Lamtoro. Seorang pegawai lapangan golf berlari membawakan bola kecil dan meletakkan pada tee. Cemara memposisikan diri bersiap memukul bola golf. Cemara memutar tubuh sembari mengayunkan tongkat ke depan dan memukul bola. Bola masuk lingkaran. Cemara memang sudah ahli bermain golf. Olahraga yang sama sama mereka gemari. Lamtoro bertepuk tangan, menarik putrinya dan merangkul mesra. "Apa tidak kejauhan kesana? Papa tidak biasa jauh darimu." Lamtoro melepas sarung tangannya kemudian mereka berdua meninggalkan lapangan golf menuju tempat istirahat. "Pada akhirnya Papa akan melepasku juga, kan? Aku sudah bilang berikan aku adik laki-laki. Biar Papa bisa menguasainya. Suatu hari aku akan menjadi anak orang, Papa. Dimana keluarga suamiku yang lebih utama. Seperti Mama. Keluarga Papa yang utama, benar?" "Mmm kau benar." Lamtoro tampak sedih. "Tapi, aku akan mencari menantu yang bisa diatur, Papa. Bisa ditekan dan dikuasai juga patuh pada Cemara. Jadi aku bisa meninggalkan keluarganya untuk tinggal bersama Papa." Lamtoro terbahak, ia menggeleng kecil. Isi kepala putrinya tidak pernah benar. Lamtoro menarik tempat duduk untuk Cemara, mereka duduk santai menghadap lapangan Golf. Seperti biasa di hari libur, mereka akan berkunjung ke lapangan ini jika tidak ada dinas luar kota. Menikmati sejuknya angin di pagi hari seraya bermain golf. Lapangan golf milik Lamtoro yang berada di Jakarta timur dengan nama Cemara Lamtoro tampak indah dengan pemandangan hijau dan dikelilingi pohon seperti nama putrinya. Disana juga ada danau buatan memperindah lokasi itu. "Papa tidak menginginkan menantu bodoh Cemara. Papa tidak peduli bila harus terpisah darimu. Papa menginginkan pria yang bisa kau andalkan dalam hidupmu. Mengajakmu tetap di jalan yang benar dan hanya mencintai dua wanita dalam hidupnya." Cemara mengernyitkan keningnya, ia menggelengkan kepala. "Maksud Papa, Ara harus berbagi suami dengan wanita lain?" "Papa tidak mengatakan itu?" "Tapi, dua wanita?" "Seorang pria harus mencintai Ibunya baru istrinya. Itu yang Papa maksud. Kamu tidak boleh memisahkan anak dan ibunya hanya untuk tinggal bersama kami." "Bukan poligami?" "Kau siap untuk itu?" "Aku akan membunuhnya kalau itu terjadi." Cemara melipat lengan di d**a. "Maka cari suami seperti Papa harapkan. Hanya ada dua wanita dalam hidupnya." Lamtoro mengusap kepala Cemara penuh sayang. "Seperti Papa?" "Mmm," "Hanya mencinta Mama dan Opah." "Iya kau benar." "Lalu siapa yang mencintai aku?" Cemara mencebikkan bibir. Lamtoro mencubit pipi putrinya, seraya terkekeh. "Kau selalu bahagia saat Papa memanggilmu gadis βodoh." Keduanya terkekeh bersama. Ayah adalah cinta pertama untuk anak perempuannya. Lamtoro kerap mengatakan itu dan bukan hanya kata-kata. Ia membuktikan kasih sayangnya pada Cemara. Tidak hanya lewat materi tapi, juga kasih sayang. •••• Cemara tidak sengaja menangkap tatapan Jati lewat kaca spion. Pria itu segera mengalihkan wajahnya. Cemara tersenyum kecil seraya menggeleng lalu sibuk dengan ponselnya. "Nona," Jati memecah keheningan yang selalu tercipta diantara mereka. "Mmm?" Menatap fokus pada layar ponsel. "Terima kasih untuk hadiahnya. Aku menyukainya." ujar Jati. "Bagaimana dengan uangnya?" Tanya Cemara. "Aku mau duduk di depan." ucap Cemara, melepas sabuk pengamannya. "Eh?" "Aku mau duduk di depan." ulang Cemara. Jati menepikan mobil dan segera turun membuka pintu untuk Cemara. Jati kembali ke tempat duduknya setelah memastikan Cemara duduk dengan nyaman. "Masalah uang itu, Nona. Aku setuju potong haji." ujarnya menyambung pembicaraan mereka yang terjeda. "Itu bayaran sebagai pacar pura-pura." Cemara mengatakannya dengan ringan seraya memainkan game di ponsel. "T-tapi, itu kebanyakan, Nona." "Satu juta lagi menghapus ingatanmu tentang kecupan itu." "I-iya." Jantung Jati berdegup. Sampai detik ini Jati belum bisa melupakan kecupan Nona nya. Justru kejadian itu semakin terngiang di pikirannya dan … andai saja bisa mengulanginya. Huff. Baiklah, otak Jati memang m***m. "Turun di depan aku mau makan." Cemara menunjuk sebuah Restoran seafood. "Baik Nona." Jati mengemudikan mobil memasuki parkiran Restoran. Cemara keluar dari mobil tanpa menunggu Jati membukakan pintu untuknya. "Ikut aku." Jati patuh dan mengekori Nonanya menuju Restoran. Pelayan menghampiri membawakan buku menu. Menyapa ramah pelan'ggannya. Cemara memesan kepiting saus padang juga kerang simping saus tiram. Tiga porsi untuk mereka berdua. "Duduk, Om." ujar Cemara. Jati melihat kebelakang. Tidak ada orang tapi, pandangan Cemara jelas padanya, lalu ia menunjuk diri sendiri. "A-aku Nona?" "Mmm. Kau tidak sadar kalau usiamu cukup pantas dipanggil Om." Cemara tersenyum kecil. "Mas lebih pantas." Jati membatin, lalu duduk patuh di depan Cemara. Mengingat betapa mesranya Cemara memanggilnya dengan sebutan mas waktu itu. Tiga puluh menit mereka membisu di tempat itu. Sesekali Jati memperhatikan wajah manis Cemara saat Cemara melihatnya ia mengalihkan pandangan Cemara menyadari itu, tetapi entah kenapa ia tidak keberatan. Pelayan membawakan pesanan mereka dan menyajikan di meja. "Selamat menikmati." ujar pelayan ramah. Jati mengangguk seraya tersenyum membalas senyuman pelayan. "Dia nggak bakal mau sama kamu. Kamu tuh jelek. Jadi nggak usah senyum-senyum." "Eh?" Jati menggaruk tengkuk. Ia sama sekali tidak berniat menggoda pelayan itu. Ia membalas senyum lantaran Cemara jarang menjawab pelayan yang sudah ramah menyapanya. "Bukain cangkangnya, aku mau makan." ujar Cemara. Itu gunanya pria ini diajak tetap menjadi kacungnya. Cemara tidak akan bisa melepas cangkang kepiting untuk mendapatkan dagingnya. "Baik Nona." Jati melayani dengan baik, dan telaten. Meletakan setiap daging yang ia lepas di atas nasi Cemara. Gadis bodoh itu menikmatinya sambil main ponsel. Sangat kurang ajar memang. Jati hanya menelan ludah, melihat lezatnya makanan itu tanpa bisa dicicipi. "Kamu tidak makan?" Cemara berhenti mengunyah. "Aah—" "Makan. Itu aku pesan untukmu." Cemara menunjuk lewat tatapannya satu porsi kepiting dan kerang. "Untukku Nona?" "Umm." "Makan aja, sambil misahin daging kepiting punyaku." ujar Cemara, lalu menyuapkan daging kepiting ke mulutnya. Mengunyah tanpa sadar saus menempel di sudut bibirnya. Jati refleks mencondongkan tubuhnya untuk membersihkan saus dengan ibu jarinya. Mengejutkan Cemara dan diam terpaku. Tatapan mereka bertemu dan terkunci tiga detik. "M-m-maaf Nona." Jati segera menarik tangannya. Mengambil tisu dan menyerahkan pada Cemara. "Maaf." ujarnya gugup seraya menunduk. Cemara mengangguk membersihkan sudut mulutnya dengan tisu. "Kamu makan aja. Aku udah makannya." lirih Cemara. "Nona, mau pulang? Makanannya aku bisa minta dibungkus." Cemara menggeleng, "aku tungguin. Makan aja." Jantung Cemara berdegup. Ia menatap layar ponselnya dan sesekali mencuri pandang pada Jati yang melahap makanannya. "Aku mau ini." ujar Cemara menunjuk kerang. Jati mengangguk cepat, mencapit daging kerang dengan alatnya. Saat hendak meletakkan di piring Cemara, gadis itu justru membuka mulutnya. Jati menyuapkan ke mulut Cemara, gadis itu tersenyum sambil mengunyah lalu sibuk dengan ponselnya. Jati tersenyum kecil melanjutkan makan seraya menyuapi Cemara kala-kala gadis manja itu membuka mulutnya. "Kamu punya adik?" Tanya Cemara. Jati menggeleng, "Tidak ada Nona." "Kakak?" "Tidak ada juga." "Apa yang kau punya?" Cemara membuka mulut. Jati menyuapkan daging kerang. "Aku … sebatang kara." ucap Jati. Nadanya terdengar sedih. "Kedua orangtuamu?" tanya Cemara. "Mereka—." Ponsel Cemara berdering, Rasamala menelponnya. "Mama." sapa Cemara. "Dimana? Ara pulang sekolah jangan berkeliaran." "Nggak kok. Makan di Restoran seafood sama Jati." "Bukan ke Mall." "Nggak Mama. Makan doang. Ini juga mau pulang. Mama dimana?" Jati melanjutkan makan pelan-pelan seraya mendengar percakapan Nonanya lewat telepon dengan majikannya. Terkadang sangat iri. Ingin juga merasakan hal yang sama. Namun, apa daya Jati. Dia anak terbuang dari seorang pembunuh. Ibunya? Entah dimana keberadaannya. Bahkan Jati tidak lagi mengenali wajah mereka. "Sudah makannya?" Tanya Cemara. "Sudah Nona, terima kasih aku kenyang." Jati menekan tisu ke mulutnya. Cemara mengangkat tangan memanggil pelayan. Seorang gadis menghampiri dengan tagihan di tangan. "Siang Nona, ini tagihannya." Cemara mengeluarkan dompet dari dalam tas kemudian mengeluarkan empat lembar pecahan seratus ribu dan membayar makanan mereka. Jati melongo melihat nilai tagihan itu. Itu cukup untuk biaya makan Jati dalam seminggu. "Terima kasih, Nona." pelayan meninggalkan meja mereka. "Apa semahal itu, Nona?" Tanya Jati. "Apa?" "Tagihan makanannya. Apa nggak salah?" "Nggak kok. Nggak tau juga sih" Cemara tersenyum. Sangat manis mencuri hati Jati yang tidak sengaja melihatnya. "Yang penting kenyang dan makanannya enak. Benar nggak?" Cemara beranjak dari duduknya. Jati setuju, mengikuti Cemara berjalan meninggalkan Restoran. Cemara putri seorang pejabat negara. Selain bekerja pada negara. Lamtoro juga memiliki usaha dibidang properti. Putrinya bebas menggerogoti harta Lamtoro tanpa masalah. Jati melebarkan langkahnya membukakan pintu penumpang untuk Cemara. Tetapi, gadis itu justru mengitari kepala mobil menuju bangku depan mobil. Membuka pintu sendiri lalu naik. Jati tersenyum tipis, menutup kembali pintu lalu duduk di tempatnya. "Langsung pulang, Nona?" "Umm." Jati mengemudikan mobil. Sesekali melihat Cemara yang duduk di sampingnya. Pemandangan yang indah selalu mengganggu konsentrasi Jati. Entah kenapa Nona nya selalu nyaman mengenakan rok pendek diatas lutut. "Jangan lihatin aku terus, nanti nabrak." ujar Cemara menyadari Jati mencuri pandang padanya. "Eh, Ooo i-iya Nona." Jati gugup, meniup napas pelan dan menatap fokus ke depan. Menyetir sampai tujuan. Ia memaki dirinya, jangan sampai Nona nya berpikiran buruk tentangnya. •••• Semenjak acara ulang tahunnya, Rumi putus dengan Monica. Pria itu terus-terus mengganggu Cemara. Lewat telepon dan mengganggu Cemara di kelas. Rumi berusaha mendapatkan hati Cemara lagi. Monica semakin benci Cemara. Rumi menarik tangan Cemara saat mereka berada di parkiran sekolah. Mendorong Cemara bersandar pada bodi mobil dan mengurung gadis itu dengan tubuhnya. Rumi kesal, Cemara selalu mengabaikannya setiap hari. Jika tidak bisa lembut maka cara kasar ia akan coba. "Kau mau apa?" Tanya Cemara dengan raut tenang, segera memalingkan wajahnya saat Rumi ingin menciumnya. "Lepasin, Rumi." Cemara meludah, merendahkan sikap Rumi. "Tidak akan, sebelum kau mengatakan iya untuk jadi pacarku." Ucap Rumi, masih mengunci tubuh Cemara. "Dilarang mengutip sampah yang sudah kita buang ke tempatnya." Kata Cemara santai. Rumi mengangkat kedua alisnya. Pria itu memasang raut suram mendengar ucapan Cemara yang menyamakan dirinya dengan sampah. "Apa?" Rumi mencubit dagu Cemara. Mengangkat dagu itu untuk mendongak. "Aku pastikan kau mengatakan itu bukan dari hatimu. Aku bisa melihat di mata ini kau masih mencintaiku." Rumi memiringkan kepala untuk mencium Cemara, tapi ada yang menahan dari belakang. Kerah seragamnya di tarik oleh Jati. Cemara tersenyum, saat dengan satu tarikan kuat Rumi mundur kebelakang. "Sorry, aku sengaja." ujar Jati melihat Rumi mengetatkan rahangnya menatap Jati. Jati tersentak ketika ia didekap dari belakang. Tangan itu milik Cemara. "Kenapa aku harus kembali padamu, sementara ada orang yang mencintaiku. Dengan sangat." ujar Cemara dari belakang Jati. Cemara melepas pelukannya lalu menggandeng lengan Jati. "Ayo, Mas." ujarnya. "Kamu tidak pa-pa?" Jati merapikan anak rambut Cemara, menyelipkan di belakang telinga. "Untung Mas datang, dia mau menciumku." Cemara mencibir ke arah Rumi. "Kau mau aku menghajarnya?" "Jangan, nanti nangis." Cemara tertawa dengan nada sedikit mengejek. "Ayo pulang." ajaknya, menarik tangan Jati menuju mobil mereka terparkir. Meninggalkan Rumi dengan raut kesal. Di dalam mobil Cemara terbahak puas mengingat wajah pias Rumi. "Aku senang bangat lihat muka dia tadi. Kayak kepiting rebus." ujarnya seraya tertawa. Tawa lepas yang jarang Jati temukan dari Cemara. Semenjak makan di Restoran, hubungan mereka tidak lagi canggung. Cemara berhenti menatap kesal Cemara atau memperlakukan pria itu semena-mena. Cemara juga lebih sering mampir ke dapur hanya untuk melihat pria itu. Kadang kesal, saat melihat Yanti dekat dengan Jati. Ia memberengut dan kembali ke ruang santai. Memukul kepalanya sendiri, mengingatkan dirinya sendiri kalau Jati hanya sopirnya. "Langsung pulang, Nona?" "Temani aku ke Kokas." "Sudah izin sama Nyonya?" "Mmm, sampai jam lima sore aku bebas di luar." "Baiklah." Jati menginjak pedal gas mobilnya menuju Mall besar itu. Masuk ke Basement. Jati tidak lagi keluar buru-buru untuk membuka pintu. Cemara bersedia melakukannya sendiri. "Aku jarang melihat Nona main sama teman cewek." ujar Jati, pria itu sudah hapal kemana tujuan pertama mereka. Dia menekan tombol lift yang akan membawa mereka menuju toko buku. "Ara nggak punya teman." Cemara melangkah masuk, ada beberapa orang di dalam. Kotak berjalan itu naik dan berhenti. Seorang pria tergesa keluar dari belakang dan tidak sengaja menabrak Cemara hingga gadis itu nyaris terjatuh beruntung Jati menariknya dan mendekap tubuh mungil Cemara. Pintu lift tertutup membawa mereka naik ke atas. Jantung Cemara berdegup begitu juga dengan Jati. Mereka terdiam sejenak dalam posisi pelukan. "Nona tidak apa-apa?" tanya Jati. Cemara menggeleng, mendongak melihat Jati yang masih mendekapnya sampai pintu lift tujuan mereka tiba. Jati melepas Cemara dan mereka keluar dari lift. Berjalan sejajar menyusuri sederet toko menuju toko buku. Jati melihat tangan kecil Nona nya, ia membayangkan menggenggam tangan Cemara seraya berjalan berdua dan anehnya Jati melakukan seperti dalam pikirannya. Cemara melihat tangannya berada di genggaman Jati. Melangkah bersama menuju toko buku. Gadis remaja itu tidak keberatan, ia menipiskan bibir mengizinkan Jati menguasai tangan itu. "Biasanya cewek itu punya teman akrab, Nona." "Di sekolah itu semua orang munafik. Nggak ada yang tulus berteman sama Ara. Apalagi saat Papa bekerja sama presiden. Mereka semakin iri. Jadi, Ara lebih memilih berteman biasa aja. Sapa menyapa, tidak perlu akrab." ujar Cemara. "Ternyata kehidupan orang kaya juga ribet ya, Nona" Cemara menggeleng,"Aku punya segalanya. Papa dan Mama harmonis. Sekarang Ara punya sopir yang sok akrab menggenggam tanganku." "Eh?" Jati segera melepas tangan Cemara, "Maaf Nona." ucapnya dengan raut pucat. "Tapi, aku senang." Cemara mengambil tangan Jati dan menggenggamnya, tersenyum manis melihat Jati. Keduanya berjalan bergandengan mencari buku yang di inginkan Cemara. "Mas tamatan apa?" Tanya Cemara, meledakkan jantung Jati di dalam sana. Rumi tidak ada di tempat ini, lalu apa yang barusan ia dengar? Mas. Cemara memanggilnya dengan sebutan itu. "A-apa, Nona?" "Mas tamatan sekolah apa?" Jati tersenyum. Panggilan itu masih sama artinya dia tidak salah dengar, refleks mengeratkan genggaman tangannya. "Hanya lulusan sekolah menengah atas itupun paket C." ujar Jati. "Apa itu paket, C." Jati terkekeh, Cemara anak orang kaya. Sudah pasti tidak pernah mendengar dua kata itu. "Aku rencana kuliah di Toronto." ujar Cemara. "Oh, Toronto dimana Nona?" "Mas tidak tahu?" Cemara melepas tangannya dari genggaman Jati. Lalu mengambil salah satu buku yang ia butuhkan. "Canada?" Tanya Jati. "Iya." "Oh." Jati mengangguk. "K-kapan Nona?" "Setelah lulus Sekolah." Jati mengangguk, hatinya merasa sedih. Entah kenapa tidak rela jauh dari Cemara. "Kenapa tidak di Jakarta aja, Nona?" "Aku mau kuliah di Jakarta kalau ada yang menahanku." ucapnya. Cemara membawa buku ke kasir untuk melakukan pembayaran. "Apa maksudnya?" Tanya Jati dalam hati seraya mengikuti langkah Cemara ke kasir. . . Thank you
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN