Lamtoro mengembuskan napas panjang, seraya mengusap belakang leher yang terasa tegang. Logan baru saja meninggalkannya sendirian di ruangan itu. Dokter itu menyarankan kandungan Cemara di periksa demi kesehatan gadis itu.
"Ayah," Rasamala mengetuk pintu ruang kerja Lamtoro.
"Masuk." Lamtoro menyahut dari meja kerjanya. Rasamala menekan handle pintu membawakan segelas kopi di atas nampan untuk suaminya. Meletakkan pelan di meja kerja Lamtoro.
"Kopi, Ayah." ujarnya, melangkah menuju sofa. Rasamala menjatuhkan dirinya duduk di sofa besar nan empuk lalu meletakkan nampan di atas meja. Melihat Lamtoro yang tampak stres sama sepertinya. Perilaku satu orang menguras tenaga dan pikiran mereka dalam sekejap.
"Ayah ...." Panggilnya lirih.
"Mmm?" Lamtoro menatap istrinya. Wajah cantik Rasamala tampak lelah sudah pasti memikirkan masa depan Cemara.
Selain cintanya besar pada Rasamala, wanita ini kala itu gadis mandiri. Itu sebabnya Lamtoro yakin menikahi Rasamala dan tidak dipungkiri berkat Rasamala dia menjadi seseorang yang berharga.
Berbeda dengan Cemara. Gadis manja yang bahkan mengambil makanya sendiripun tidak tahu. Salahnya memajankan Cemara. Salahnya mengizinkan gadis itu bebas dan …salahnya percaya pada sopir sialan itu.
Rasanya tidak mungkin melepas Cemara menjadi istri di usia muda. Tapi, gadis itu hamil. Masa depannya sudah jelas hancur. Lamtoro tidak ingin jadi manusia biαdap meminta menghancurkan keturunannya. Lamtoro kembali menghela napas lelah.
"Kau sudah bicara dengannya?" Tanya Lamtoro memulai obrolan memecah keheningan yang mereka menciptakan di ruangan itu.
"Dia nggak mau buka kamarnya." ujar Rasamala dengan nada kecil.
Mereka kembali diam, sibuk memikirkan masalah putrinya. Lamtoro mengingat Jati. Pria yang hampir membuatnya menjadi pembunuh. Darah pria kampungan itu ada dalam tubuh putrinya. Dia harus apa? Melelahkan.
"Kau sudah melihat Jati?"
Rasamala melihat suaminya dengan mimik kesal. "Untuk apa aku melihatnya. Yang ada aku makin kesal." Ketusnya.
"Jadi apa yang harus kita lakukan?" Tanya Lamtoro.
"Mang Kasmin belum bisa di hubungi?" Rasamala balik bertanya.
"Nomornya tidak aktif." Lamtoro beranjak dari kursi kerjanya. Melangkah menuju istrinya. Duduk di samping Rasamala. Membawa kepala istrinya bersandar di bahunya.
"Mama lalai, Ayah. Ini salahku." ucapnya lirih. Menyalahkan diri.
"Kita berdua gagal menjaganya. Maafin ayah juga." Lamtoro mengeratkan rangkulannya di bahu Rasamala.
Sementara di waktu yang sama. Cemara berdiri di depan kamar Jati. Ia menekan handle pintu tapi, terkunci. Lamtoro sengaja mengurung Jati di dalam kamar itu.
Jati melihat gagang pintu bergerak. Jati berusaha turun dari ranjang menghampiri pintu.
"Nona …."Panggilnya setengah berbisik seolah tahu yang di depan pintu kamarnya adalah Cemara lalu ia menempelkan telinga di daun pintu.
Cemara tersenyum lega. Jati masih berada di rumahnya. Ia pikir Lamtoro mengusir pria itu.
"Bagaimana keadaanmu, Mas?" tanya Cemara seraya mengawasi sekitarnya. Ia diam-diam keluar kamar lantaran nomor ponsel Jati tidak dapat di hubungi. Cemara mencuri waktu untuk memastikan keberadaan Jati.
"Untuk sementara masih hidup." Jati terkekeh.
"Kau masih sanggup tertawa." ujar Cemara mencibir.
"Aku lelah bersedih terus Nona." ujarnya. Ia terdiam sejenak memikirkan masa depannya yang seolah tidak pernah merasakan indahnya hidup. Hatinya perih lalu cairan bening dari netranya mencoba melegakannya.
"Mas ...." Panggil Cemara berbisik.
"Nona, aku akan menghukummu saat ada kesempatan bertemu."
"Untuk kesalahan apa?"
"Kau hamil anak siapa?" tanya Jati menggoda.
Cemara tersenyum. "Aku menunggu hukuman itu. Bertahan untukku ya, Mas." ucapnya meletakkan tangan handle pintu lalu menekan ke bawah. "Aku sayang, Mas. Aku juga menghukum diriku atas kebodohan yang aku lakukan." Sambungnya.
Jati meletakkan tangan di gagang pintu dan membalas menekan handle nya. "Aku mencintaimu, Nona. Aku mohon jangan melakukan apapun yang merugikan Nona dan Tuan." ujar Jati
Cemara tersenyum saat melihat handle pintu bergerak. "Mmm." Balas Cemara.
"Nona, balik kamar gih. Takutnya kepergok sama Tuan atau Nyonya."
"Baiklah. Jaga dirimu, Mas. Oh iya, Mas Jati sudah makan?" Tanya Cemara khawatir.
"Makan. Aku tahanan istimewa." Jati terkekeh, melihat ke arah meja. Disana makan malamnya masih tersisa. Ia tidak berselera sekalipun makanan yang di sajikan Yanti sangat menarik selera.
"Aku senang mendengarnya. Aku balik ke kamar ya, Mas. Tapi, nomor ponselmu nggak aktif. Kenapa?"
"Tuan menahannya. Iya balik sana, Nona. Jangan lupa mimpi indah."
Cemara menipiskan bibir lalu mengangguk seolah Jati melihatnya.
"Malam, Mas Jati." Cemara membawa langkahnya meninggalkan tempat itu kembali ke kamarnya.
•••••
Dua hari kemudian tahanan di minta menghadapi hakim untuk menentukan masa depannya. Jati sebagai tersangka kini berdiri tidak jauh dari meja kerja Lamtoro sang Hakim. Setelah diskusi dengan istrinya. Mereka mengambil keputusan untuk pria ini.
Rasamala memalingkan wajah ke sisi lain. Menahan rasa kesalnya yang masih kental pada Jati.
Jati menunduk tidak sanggup bertemu pandang dengan Tuan nya.
Lamtoro menekan tengkuknya yang terasa tegang sembari memindai penampilan Jati. Dalam waktu singkat pria ini berubah drastis. Tidak lagi kampungan seperti pertama mereka bertemu. Cukup tampan dan memesona. Andai terlahir dari keluarga berada sudah pasti pria ini akan menjadi idola banyak gadis.
Lamtoro mengingat ucapan Cemara dua hari yang lalu, bawah dia yang mau dengan Jati.
Astaga! Harga diri Lamtoro semakin kecil. Jadi putrinya yang menggilai pria ini terlebih dahulu? Ah, itu sudah pasti. Jati tidak mungkin menggodanya. Pria ini tidak seberani itu.
"Ceritakan tentang keluargamu." ucap Lamtoro mengalihkan perhatiannya dari Jati.
Jati mengangkat wajah yang menunduk, "ke-keluargaku, Tuan?"
"Nggak. Keluarga tetangga sebelah." Sahut Lamtoro dengan nada kesal. Lamtoro melihat istrinya duduk di sofa sambil memainkan jemari tangannya. Wajah wanita itu masih saja jelek seperti dua hari yang lalu.
Jati kembali menunduk, kedua kaki terbuka lebar sementara tangan tersimpan ke belakang. Satu kakinya bergetar tidak terkontrol. Jati benar-benar gugup layaknya anak sekolah dasar dihukum di depan kelas.
"A-aku nggak tau tentang mereka, Tuan." ucap Jati dengan nada bergetar.
"Tentang keluargamu Jati." sahut Rasamala kesal.
Jati menelan kuat salivanya. Dia tidak salah menjawab kok. Jati memang tidak tahu tentang keluarganya. "Aku seorang diri, Nyonya. Aku tidak mengenal kedua orang tuaku." ucapnya masih dengan posisi menundukkan kepala.
Lamtoro dan Rasamala bersitatap. "kedua orang tuamu meninggal?" tanya Lamtoro.
Jati menggelengkan kepala, ia membawa ingatannya pada masa kecil yang pahit.
Di siang hari di kota Palembang. Seorang wanita berparas hitam manis menarik tangan pria kecil kurang lebih usia empat tahun menuju masjid. Dengan raut wajah lusuh, ia menatap putranya dengan pandangan berkaca-kaca.
"Tunggu disini, Umek akan belikan es lilin untukmu. Kau haus, kan?" tanya wanita itu.
Jati kecil mengangguk. Mereka berjalan di teriknya mentari berlari meninggalkan rumahnya. Jati kecil tahu kenapa Ibunya membawanya lari dari rumahnya. Ubaknya di tangkap polisi dengan tuduhan melakukan pembunuhan pada rekan kerjanya.
Keluarga mereka menjadi gunjingan. Ibunya tidak kuat melihat tatapan benci dari orang-orang sekitar hingga memutuskan meninggalkan desa itu berpindah ke desa lain.
"Jangan lama, Umek." ujar Jati. Ibunya menyapu peluh di kening Jati lalu memeluk seraya menangis.
"Maafkan Umek, Jati." ucapnya. Melepas putranya. Ia menenteng tas miliknya dan meninggalkan Jati tanpa menoleh. Membuang rasa keibuannya dengan alasan tidak sanggup menjaganya.
Jati menunggu sampai sore dijemput malam, ibunya tidak pernah kembali hingga usianya dewasa.
Sesuai mupakat yang diadakan seorang ustad, kepala desa, dan masyarakat di tempat itu. Jati akhirnya diasuh seorang keluarga yang cukup terpandang kala itu di desanya.
"Jati?" Lamtoro menarik perhatian Jati dari lamunannya. Jati mengangkat kepala yang menunduk. Cairan bening terjatuh dari netranya. Ia segera menghapusnya.
"Kedua orang tuaku meninggalkan aku seorang diri, Tuan. Saat usiaku kecil. Aku diasuh kepala adat di desa." ucapnya.
"Tau tapi, ditinggal karena apa? Meninggal?" Rasamala merasa pertanyaannya tidak jelas dijawab Jati.
"Tidak Nyonya. Aku anak terbuang." ucapnya lirih.
Rasamala melihat suaminya. Buruk sekali. Mereka semakin pusing mendengar pengakuan Jati. Asal usul pria ini membuat Lamtoro ..., Entahlah. Putrinya salah jatuh cinta.
"Kau ingat kenapa mereka meninggalkanmu?" Tanya Lamtoro.
Jati menggelengkan kepala."kalau begitu keluargamu sekarang. Ceritakan tentang mereka." ujar Lamtoro lagi.
Jati menelan saliva, ia berat untuk bicara. Membahas tentang keluarganya hanya akan ada sakit hati.
"Aku berpikir mereka menganggapku seorang anak, Tuan. Karena memang kesepakatan dari awal mereka setuju mengangkatku anak. Tapi, pada kenyataanya mereka hanya butuh tenagaku. Memperlakukan aku pembantu di rumah itu. Untuk sebutir nasi aku harus bekerja keras agar bisa makan." ucapnya menjadikan pasangan itu terenyuh.
"Aku tidak memiliki keluarga, Tuan." lirihnya menunduk.
"Bagaimana dengan Kasmin?" tanya Lamtoro.
"Paman Kasmin teman sekampung Jati, Tuan. Tidak ada hubungan keluarga. Dia ayah teman Jati di kampung."
Mereka kembali terdiam sibuk dengan pikiran masing-masing. Lamtoro melihat istrinya lalu memberi gestur untuk mengutarakan hasil diskusi yang mereka sepakati di malam sebelumnya.
Rasamala berdecak kecil lalu dengan perasaan malas ia berujar.
"Terus terang aku tidak menginginkanmu masuk dalam keluarga ini. Tapi, karena Cemara sudah hamil. Mau tidak mau kami harus berlapang dαda menerimamu. Tanggung jawabmu dibutuhkan. Kalian …." Rasamala menggantung ucapannya. Sangat berat menerima pria ini menjadi bagian keluarga tapi, harus. "...kalian menikah saja." ujarnya dengan nada kecil namun sanggup menyentuh telinga Jati.
Jati mengangkat kepala yang selalu menunduk. Tidak percaya dengan pendengarannya. Jati melihat Rasamala yang tampak memikul beban besar saat mengatakan itu. Tidak ikhlas dengan apa yang baru saja ia ucapkan. Raut wajah Rasamala sangat jelas menggambarkannya.
Bibir Jati gemetar, ia ingin mengatakan sesuatu tetapi terjeda oleh Lamtoro.
"Apa sekolah terakhirmu?" tanya Lamtoro. Jati mengalihkan tatapannya pada Lamtoro.
"SMA, tuan." lirihnya.
"Siapkan semua data sekolah terakhirmu. Kau membawanya?"
"Bawa, Tuan."
"Bawakan kesini. Sebelum kalian menikah kau harus berstatus mahasiswa." Jati menelan kuat saliva. Wajahnya kini pucat.
"Maaf Tuan, saya tidak ingin kuliah. Jati mau bekerja untuk meng—"
"Bekerja apa? Tetap jadi sopir di rumah ini?" Sahut Lamtoro ketus.
"Baik, Tuan." balas Jati patuh.
Tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Keberuntungan yang ia dapatkan berlipat ganda. Jati tidak berpikir sampai harus kuliah, yang ada di pikiran pria ini andai hubungannya direstui. Jati berniat melamar kerja di luaran sana dan menafkahi Cemara dengan hasil keringatnya.
"Lalu bagaimana dengan keluargamu di palembang?" tanya Rasamala.
"Dia tidak punya keluarga. Anggap saja putrimu menikah dengan penghuni planet mars." sahut Lamtoro, ia tak ingin menjalin hubungan keluarga dengan keluarga Jati yang mengasuhnya.
Rasamala menahan senyum melihat suaminya. "Jati, bawakan semua yang aku minta."ujar Lamtoro.
"Baik, tuan." Jati membawa langkah keluar ruangan itu. Ia berhenti melangkah dan berbalik melihat kedua majikannya.
"Tuan, Nyonya." panggil Jati pelan meminta perhatian kedua majikannya.
"kalau restu yang Nyonya Tuan berikan terpaksa. Aku minta maaf Nyonya Tuan. Pengakuan Nona muda tentang kehamilannya itu tidak benar." ujar Jati mengejutkan kedua majikannya.
"Apa maksudmu?" tanya Rasamala. Kerutan di dahi menebal. Wanita itu kebingungan sementara Lamtoro menekan kuat jari-jemarinya di kepala. Semakin pusing.
"Aku menghargai Nona muda sebagai kekasihku, Nyonya. Kami tidak pernah melakukan hal memalukan yang bisa merugikan Nona muda." ucap Jati.
"Jambak dia cepat! Kurang ajar." Teriak Lamtoro pada istrinya. Rasamala kesal. Ia bangun dari duduknya. Hatinya panas seperti lelehan lava. Putrinya mempermainkannya. Rasamala melebarkan langkah menuju pintu dan tersentak kaget saat Jati menghalangi langkahnya. Jati mengatupkan kedua tangan memohon pada Rasamala.
"Jangan sakiti Nona, Nyonya. Nona hanya mencoba menolongku. Aku bersedia menggantikannya." ujar Jati mengiba.
"Minggir." Rasamala mendorong Jati yang menghalangi jalannya lalu membawa langkahnya menuju kamar Cemara.
Dua hari gadis itu mengabaikannya. Makan sendirian, atau meminta Yanti mengantar makanan ke kamar. Benar-benar kekanak-kanakan sementara yang berulah adalah dirinya.
"Cemara buka pintunya!" Rasamala menggedor pintu kamar mengejutkan Cemara di dalam sana.
"Buka Cemara!" Gertak Rasamala terus menggedor pintu kamar.
Cemara mendengus, meninggalkan balkon menuju pintu. Ia membukakan pintu dan melihat Rasamala menatapnya nyalang.
"Dasar gadis bodoh." Geram Rasamala. Tangannya menarik rambut panjang putrinya.
Cemara terkejut sekaligus mengaduh sakit. "Aoh, sakit Mama." ucapnya.
Rasamala terus meremas rambut putrinya membawa masuk ke tengah ruang kamar. Menghempaskan Cemara ke sofa besar.
"Mama kasar." ujarnya menangis, duduk memegangi kepalanya yang sakit. Dalam hidupnya ia tidak pernah melihat Rasamala semarah itu hingga sampai menarik rambutnya.
"Kau benar-benar mempermalukan Mama. Apa yang salah denganmu Cemara sampai tega begini?"
"Memangnya apa?" Cemara sesenggukan.
"Memangnya apa?" Rasamala balik bertanya. Ia mengusap kasar wajahnya lalu berkacak pinggang melihat putrinya.
"Kau mengaku hamil. Astaga." Rasamala tidak habis pikir melihat putrinya. Dua hari ini hidupnya berada dalam nestapa. Memikirkan masa depan Cemara yang tidak berarti lagi.
Cemara mengerucutkan bibir. Sudah pasti Jati menceritakan dengan jujur. Pria itu tidak berguna. Berbohong saja tidak bisa. Cemara menyeka air matanya.
"Apa secinta itu kau pada Jati?"
"Iya, Ara sangat mencintainya." menyahuti.
"Eih bodoh." Rasamala menoyor kepala Cemara. "Tidak punya harga diri." Menoyor lagi.
"Harga diri Ara sangat mahal."
"Apa? Kalau kau punya harga diri. Kau tidak akan merendahkan dirimu dengan mengaku hamil." Mencubit lengan Cemara.
"Sakit Mama. Ah. Melebihi Ibu tiri." Mengusap bekas cubitan Rasamala.
"Sakit? Kau tahu rasa sakit? Lebih dari ini Papa sama Mama rasakan saat mendengar pengakuanmu. Oh ya ampun." Rasamala menggeram kembali mencubit lengan Cemara.
"Sakit .... ih." Menepis tangan Rasamala.
"Mama kehilangan muka."
"Itu masih ada."
"Ara!" Rasamala menoyor kepala putrinya yang menyahuti. "Kau ini ya. Kamu kenapa begini?"Rasamala bertanya dengan tatapan sedih. Suaranya bergetar.
Rasamala menengadah menahan air mata supaya tidak terjatuh. Putrinya sendiri menghancurkan hatinya. Namun, ia tidak pungkiri dalam sekejap rasa lega menyeruak di dαda saat mendengar pengakuan Jati. Setidaknya putrinya masih ...suci.
Cemara menyadari itu, ia menyesal. Keegoisannya menyakiti kedua orang tuanya. Cemara bergerak lantas memeluk Rasamala.
"Maaf, Mama." ujarnya.
"Awas Ara. Mama kecewa padamu." Rasamala mencoba melepas jalinan tangan Cemara yang memeluknya.
"Maafin Ara, Mama. Tanpa Ara sadari sudah melukai hati kalian. Ara tidak berniat melakukan itu tapi, kalian pasti menolak hubungan kami." ujar Cemara. Menangis seraya mengeratkan pelukannya.
"Kami ingin yang terbaik Ara. Kami punya mimpi melihatmu menikah pada pria yang sepadan."
"Maafin Ara Mama, hati Ara memilih Jati. Aku tidak tahu kapan perasaan itu ada." ujarnya, mendongak melihat wajah sendu ibunya. "Jati juga mencintai Ara. Kami saling mencintai." Tambahnya.
"Dasar bodoh. Kau masih muda untuk berpikir serius masalah cinta."
"Ara sudah dewasa."
Rasamala mendengus, melepas pelukan Cemara. Mendaratkan tubuhnya di sofa. Cemara berlutut di lantai memeluk ibunya yang tengah duduk di sofa. Ia meletakkan kepalanya di pangkuan Rasamala.
"Mama restui hubungan kami ya." Pintanya.
Rasamala mengernyitkan kening begitu dalam. "Tidak akan."
"Kalian selalu bilang kalau kebahagian Ara yang terpenting."
"Iya itu benar."
"Mas Jati salah satu kebahagiaanku." berujar tanpa malu.
"Hadeh, Ck,ck." Nada mengejek.
"Mama, Ara mohon." Merengek layaknya anak kecil.
Rasamala menghela napas ketika melihat sikap putri semata wayangnya itu. Jangan sampai putrinya melakukan kesalahan hingga benar-benar mempermalukannya. Dia pernah di posisi itu. Mempermalukan ibunya di hadapan keluarga Mlanding. Beruntung Lamtoro mencintainya dan memilihnya.
"Kau ingin menikah di usia muda?" tanya Rasamala. Cemara mengangguk.
"Kau siap?"
"Iya, Ma."
"Kau yakin?"
"Yakin, Ma." jawab Cemara yakin.
Rasamala menghela napas panjang, "Ara menikah bukan perkara mudah. Saat kau menjadi seorang istri, sebuah tanggung jawab besar harus kau pikul. Dari mengurus suami hingga rumah tanggamu. Karena kunci bahagia di sebuah pernikahan adalah istri. Sementara Mama meragukanmu." ujar Rasamala, memberi sedikit nasehat pada putrinya.
"Ara akan belajar, Mama." Cemara berdiri lalu duduk di samping Ibunya. "Ara janji akan belajar. Mama juga pasti belajar kan saat menikah dengan Papa. Nggak yang langsung pintar." Cemara meletakkan kepala di lengan ibunya.
"Kala itu Mama gadis mandiri. Mengurus rumah bukan masalah besar bagi Mama. Tapi, kau Ara bahkan makan saja masih minta disuapin lalu bagaimana kau mau berumah tangga?"
"Aku akan belajar, Mama." Cemara bersiteguh.
Rasamala menggeleng lemah melihat keras kepala Cemara. "Mama, maafin Ara, ya. Ara sudah menyakiti hati Mama dan Papa." ucap Cemara lalu mencium pipi Ibunya. Rasamala diam, mengabaikan putrinya.
"Mama …."Rengek nya, mengecup lagi, lagi, dan lagi hingga hati Rasamala luluh.
"Kita bicarakan ini sama Papa. Minta maaf padanya, kau sudah menyakiti hatinya." Rasamala berdiri lalu meninggalkan Cemara mengangguk kecil.
••••
Cemara mengetuk ruang kerja Lamtoro. Perintah masuk ia dengar dari balik pintu. Cemara menekan handle pintu lalu mendorongnya pelan.
Lamtoro melihat Cemara masuk, lantas ia menyibukkan diri dalam pekerjaannya.
"Papa." Panggil Cemara membawa masuk langkah ke tengah ruang. Lamtoro mengabaikan putrinya.
"Papa." Cemara mendekati dan berdiri di seberang meja kerja Lamtoro. "Ara kangen." lirihnya.
Lamtoro tetap mengabaikannya dan sibuk menggoreskan tanda tangan di berkas-berkasnya.
"Papa ayo main golf."
"Anak ini." Lamtoro mengeluh dalam hati.
"Ara sayang, Papa." Mengambil pena dari tangan Lamtoro. Menyembunyikan di belakang punggungnya.
"Ara." Lamtoro menatapnya dengan raut datar. "Keluar kamu!" Mengambil pena lain dari laci kerjanya.
"Ara nggak mau." Berjalan jinjit ke samping Lamtoro, membungkuk demi memeluk leher Lamtoro seraya mengecup pipi papanya dengan sayang. "Ara sayang Papa." ujarnya lembut.
"Apa kau bodoh?" tanya Lamtoro, menatap heran Cemara dan diangguki gadis itu.
"Papa, maafin Ara. Aku sudah mengecewakan Papa dan membuat malu Papa." ucapannya pelan.
"Pergi, pergi, pergi." Usir Lamtoro.
"Ara nggak mau." Keras kepala.
Lamtoro menghela napas panjang, ia meletakkan pena di atas berkas kerjanya.
"Kau mau apa?"
"Berdamai sama Papa."
"Dasar tidak malu."
"Biarin." Bernada manja.
Lamtoro mendesah panjang, "Papa sangat kecewa, Ara. Kau tidak membuat Papa bangga tapi, justru menghancurkan harapan besar Papa melihatmu jadi orang besar." ujar Lamtoro, menundukkan kepala sedih.
Cemara tidak pernah melihat wajah Lamtoro sesedih ini. Bahkan saat dia sakit demam dan harus masuk rumah sakit. Lamtoro selalu tegar dan tersenyum menyemangatinya.
Kali ini wajah sedih Lamtoro menembus hati terdalam Cemara yang selalu menganggap segalanya mudah.
"Maaf Papa." lirih Cemara benar-benar dengan wajah penuh penyesalan "Ara benar-benar minta maaf." Ia menunduk bahunya bergetar, dan tangisnya pecah.
"A-aku sudah keterlaluan. Ara sudah keterlaluan." Ucapnya sesenggukan.
Lamtoro lagi-lagi menarik napas panjang. Ia tidak pernah sanggup mendengar putrinya menangis getir. Hatinya selalu ikut sedih. Lamtoro bangun dari kursi kerjanya. Mengambil tangan Cemara dan menariknya duduk di sofa.
"Ara minta maaf." ucapnya terisak.
Lamtoro menyeka air mata putrinya. "Kenapa Papa memiliki putri yang sangat bodoh." ucapnya, merapikan rambut yang menutupi wajah Cemara.
Hening.
Lamtoro mendengus, berjalan kembali ke meja kerjanya. Mengambil ponsel untuk menelpon seseorang.
"Ke ruang kerja, sayang. Ara disini. Kita bicarakan apa saja yang harus dilakukan. Suruh anak kampung itu kesini." ucapnya, Lamtoro mematikan sambungan teleponnya. Meletakkan di atas meja. Ia melangkah ke sofa tunggal di sana.
"Papa belum maafin Ara?" Tanya Cemara, mencuri pandang pada Lamtoro.
Pria setengah baya hanya memalingkan muka. "Papa …." Rengeknya lagi.
Tidak lama kemudian Rasamala masuk duduk di salah satu sofa.
"Jati dimana?" Tanya Lamtoro.
"Aku sudah minta Yanti memanggilnya." Rasamala melihat ke arah Cemara.
"Kau sudah minta maaf pada Papa?"
"Sudah tapi, belum dimaafkan." Cemara menatap sedih Lamtoro. Pria setengah baya masih memalingkan wajahnya.
Tidak lama kemudian Jati mengetuk pintu. Masuk ke dalam ruangan, tatapannya menangkap rupa Cemara yang tengah melihatnya juga. Sekejap tatapan mereka bersiborok. Jati segera menundukkan kepala menatap lantai ruangan itu.
Hening.
"Jadi ...., apa yang kalian inginkan dalam hubungan ini?" Tanya Lamtoro. Menyilangkan kaki seraya mengusap-usap belakang lehernya. Memecah keheningan yang tercipta.
Jati melihat Cemara, wajahnya menyunggingkan senyuman. Rasanya, seperti melihat surga di dalam senyumannya. Jati merasa lega dan mantap untuk mengutarakan isi pikirannya.
"A-aku ingin menikah dengan Nona, Tuan." ucapnya sedikit bergetar, melihat kedua majikannya.
Lamtoro memijat pangkal hidungnya, "Ara?" Tanya Lamtoro meminta pendapat gadis remajanya yang mendadak kebelet nikah.
Cemara mengangguk cepat. "Hadeh anak setαn ini. Apa tidak bisa jual mahal sedikit." Lamtoro ngedumel dalam hati melihat betapa cepatnya Cemara mengiyakan.
"Bagaimana pendapatmu, sayang?" Lamtoro meminta pendapat istrinya.
Rasamala berdecak, apalagi yang harus ia lakukan. Menolak Jati? Tidak mungkin. Putrinya terang-terangan menginginkan Jati sampai-sampai menjatuhkan harga dirinya dengan mengaku hamil.
Mengijinkan mereka pacaran juga bukan ide yang bagus. Putrinya sudah berani berciuman bahkan lebih nakal dari itu. Ia tidak menjamin hubungan mereka akan berjalan bersih. Menikah lebih baik, bukan?Benar, itu jalan keluar yang sudah mereka sepakati.
"Sesuai kesepakatan awal, Ayah." ucap Rasamala.
Lamtoro mengangguk kecil. Melihat Jati dan Cemara bergantian. Lamtoro tampak berpikir, menimbang apa yang akan disampaikannya.
"Bagaimana rencana kuliahmu, Cemara? Papa dengar kau urungkan niat kuliah di Toronto." Lamtoro mendengar dari istrinya. Cemara mengurungkan rencana kuliah di Toronto. Sudah pasti karena hubungannya dengan Jati.
"Ara kuliah di kota ini aja, Pa." balas Cemara melihat Papanya. Lamtoro memalingkan muka, Cemara merasa sedih. Sejak tadi seolah dimusuhi Lamtoro padahal ia sudah meminta maaf dengan sungguh-sungguh.
"Sebelum pernikahan kalian dilaksanakan. Kalian tidak boleh bertemu. Untuk sementara waktu biarkan Jati tinggal di Apartemen. Bekerja seperti biasa sampai ada kabar dari kampus tempat kuliahmu nanti." ucap Lamtoro, mengejutkan Cemara. Binar kebahagiaan terpancar di raut wajahnya.
"Mas Jati kuliah, Pa?" Tanya Cemara sontak berdiri dari sofa.
"Keluar kamu!" Sahut Lamtoro menunjuk pintu pada putrinya. Gadis itu tidak peduli.
"Papa memang yang terbaik."puji Cemara.
"Usir dia. Aku nggak suka melihatnya." ucap Lamtoro pada istrinya. Rasamala menutup wajah dengan telapak tangan. Melihat bagaimana reaksi Cemara membuatnya sedikit malu di hadapan Jati.
"Ara sayang, Papa. Sayang Mama juga." Berlari kecil menghampiri Lamtoro. Melingkarkan tangan di leher Lamtoro lalu mengecupi pipi Papa nya berkali-kali.
"Maafin Ara gagal mendapatkan pria yang sepadan dengan keluarga kita tapi, Ara janji akan sukses membina rumah tangga yang bahagia bersama mas Jati." ucapnya yakin, melihat ke arah Jati. Pria disana menyunggingkan senyum lalu mengangguk kecil.
.
.
.
Terimakasih dan sampai jumpa hari rabu.