Jati kebingungan, ia berulang melihat Cemara yang tidur menghadap punggung sofa. Sorotnya minta tolong. Jika dipecat kemana lagi Jati mencari pekerjaan. Keluarganya di kampung butuh uang.
"Ta-ta-tapi, T-tuan."
Cemara terkikik dari tempat tidurnya. Semua orang menoleh padanya. Tubuh wanita itu bergetar menahan tawa. Gadis sialan ini berpura-pura tidur.
Rasamala yang duduk di tepian sofa tempat Cemara tidur. Menepuk b****g putrinya, kesal.
Cemara mengadu, ia bangun dan berlari ke arah Lamtoro duduk manja di pangkuan Papanya.
"Lihat wajahnya, Pa. Sangat lucu. Dia mau nangis. Dasar bodoh. Sudah bangkotan tapi, membela diri saja tidak bisa." Cemara mengejek.
Jati menunduk menahan getaran di lutut yang semakin hebat. Lamtoro dan Rasamala tidak mengerti apa maksud putrinya.
"Ara. Papa nggak suka bercanda seperti ini. Benar dia punya hutang?" Lamtoro bertanya sekaligus menegur putrinya.
"Mmm," Cemara mengangguk seraya melihat Jati yang menunduk dalam. "Aku pinjamkan. Mata Ara sakit melihat penampilannya." Tambahnya lalu tersenyum pamer dua gigi kelincinya pada Lamtoro.
Lamtoro berdecak kesal melihat putrinya. "Kau semakin menyebalkan." Lamtoro mencubit pipi Cemara.
"Ara …, kamu nggak sopan sama Jati. Dia jauh lebih tua darimu. Harus hormat sayang." ujar Rasamala.
"Tapi, Ara malas liatnya Ma. Dia dihina orang diam saja." Cemara membela diri mengusap pipi bekas cubitan Lamtoro.
"Oh ya, siapa yang menghina. Palingan kau sendiri yang hina. Jangan suka merundung orang. Dia bagian keluarga kita." ujar Lamtoro.
"Tanya saja dia. Makanya Ara pinjamin duit buat ganti pakaian norak itu." Cemara memberengut.
Rasamala melihat putrinya yang duduk di pangkuan Lamtoro. "Kau terlalu manja, Ara dan semakin nggak sopan. Minta maaf padanya." sahut Rasamala.
"Loh kok Ara minta maaf? Dia kan emang punya hutang ama Ara."
"Cukup. Minta maaf Ara." Kali ini Lamtoro yang menekan Cemara.
Cemara memberengut, meski sangat manja pada Lamtoro. Jika pria setengah baya itu mengatakan sesuatu dengan nada serius. Ara tidak boleh menolak.
Cemara melangkah menuju Jati. Berdiri di hadapan pria itu dan meleletkan lidah.
"Ara." tegur Rasamala.
"Nggak apa-apa, Nyo—"
Cemara segera mengambil tangan Jati, lalu meletakkan punggung tangan itu di pipinya. "Maaf."lirihnya tidak ikhlas.
Jati terkejut dan semakin merunduk. Cemara mengambil tas dan berlalu meninggalkan tempat itu dengan hentakan kaki yang kuat.
"Ara …."Panggil Lamtoro menghentikan kaki Cemara.
"Apaan, Pa."
"Kita harus bicara, sayang. Tunggu di kamarmu." ujar Lamtoro.
Cemara berdecak kesal, melempar tatapan tajam pada Jati lalu berbalik badan menaiki anak tangga menuju kamarnya.
"Duduk, Jati."
Lamtoro meminta Jati duduk. Pria setengah baya itu menggaruk tengkuknya. Putrinya benar-benar membuatnya salah paham.
Jati mengangkat wajah yang sejak tadi merunduk. Ia menuju salah satu sofa tunggal di ruangan itu lalu mendaratkan tubuhnya disana.
"Maaf masalah tadi, aku sempat berpikir buruk tentangmu." ujar Lamtoro. Melihat ke arah istrinya. Rasamala menahan senyum membalas tatapan Lamtoro yang berwajah pias.
"Dulu saat Cemara usia lima tahun. Pembantu mengancam Cemara dengan pisau. kemudian…, meminta Cemara mengambil perhiasan ibunya dan membawanya kabur." Tambah Lamtoro.
"Ratusan juta raib. Kami tidak masalahkan nilainya tapi, mental putriku sampai sekarang masih trauma. Saat mendengar masalah tadi saya sangat terkejut. Kau masih tiga hari bekerja disini dan sudah berani memperdaya putriku. Itulah yang ada di pikiranku." ujar Lamtoro.
"Ara cuma bercanda masalah hutang, Jati. Dia loyal masalah uang. Kami juga tidak pernah masalah. Kamu bisa tanya mang Kasmin. Apa saja Cemara belikan untuknya. Bahkan diam-diam Ara mengirim uang pada keluarga mang Kasmin. Cuma kaget aja tadi. Soalnya tuh anak ngadu nggak jelas. Dia segala bilang benci sama kamu. Jangan masukin hati dan kami minta maaf." Sambung Rasamala.
"Tidak apa-apa, Nyonya, Tuan. Jati janji akan bayar utang Jati dengan cara cicil perbulan." ujar Jati masih posisi menunduk.
"Tidak perlu. Aku sudah bilang waktu itu. Minta pakaian baru dari Nyonya." ujar Lamtoro.
"Maaf, Tu—"
"Aku akan bicarakan ini pada Ara." Lamtoro mendesah panjang."Tolong maafkan Cemara."
"Iya, Tuan. Aaa … saya nggak jadi di pecat, Tuan?"
"Besok tanda tangani kontrak kerjamu. Kau bisa lanjut kerja. Dan seperti biasa, tolong bantu kami mengawasi Cemara. Akrablah dengannya. Dia orang baik meskipun menyebalkan."
"Aku usahakan, Tuan." ujar Jati.
Bagaimana mau akrab. Setiap hari memasang wajah buruk. Pikir Jati dalam hati.
•••••
Cemara meleletkan lidahnya seraya melempar tas pada Jati. Seperti biasa pria itu menangkap lalu membuka pintu lebar untuk Nona nya.
Jati meletakkan tas di jok kosong di samping Cemara.
Seperti biasa Cemara sibuk dengan ponselnya. Gadis itu berdecak kecil, besok malam ulang tahun Rumi. Dia belum menemukan teman kencan. Cemara semakin kesal melihat Rumi dan Monica setiap hari pamer kemesraan.
Cemara tidak ingin pacaran tapi, ia harus punya pasangan kesana. Kalau tidak? Monica akan tersenyum puas, menyakiti hatinya.
Cemara melihat ke depan dan tidak sengaja bertemu tatap dengan Jati lewat spion. Jati segera berpaling muka.
"Berapa usiamu?" Tanya Cemara.
"Dua puluh empat tahun, Nona." Melihat sekejap Cemara lewat kaca spion lalu fokus menyetir.
"Tar di depan putar balik. Kita ke salon Andreas." ujar Cemara dan kembali sibuk dengan ponselnya.
"Baik, Nona."
Jati mencari celah untuk putar balik, ke tujuan mereka. Hanya lima belas menit mereka tiba di tempat. Jati keluar dan buka pintu untuk Cemara.
"Aku tunggu disini, Nona." ujar Jati menutup pintu mobil begitu Cemara keluar.
"Ikut aja." ujarnya dengan nada acuh. Jati mengangguk, mengikuti langkah Cemara masuk ke dalam Salon.
"Nona Ara," Sapa pegawai salon dengan gesture centil. "Nyonya Rasmala nggak ikut?" Tambahnya menjadi keberadaan Rasamala. Biasanya gadis remaja ini selalu ditemani Ibunya ke tempat itu.
"Nggak. Dia sudah cantik." ujar Cemara seraya terkekeh.
"Biar makin waoh. Nyonya kan, selalu berhadapan dengan madam-madam pejabat." ujarnya sambil merangkul pundak Cemara ke tempat biasa gadis itu perawatan rambut.
"Rambutnya mau di gunting?" Tanya pria itu melihat Cemara di cermin.
"Nggak. Keramas aja. Oh iya, Om. Itu sopir Ara. Tolong rambutnya dirapikan." ujar Cemara.
"Waoh." Pria centil berjalan melenggang menghampiri Jati. Menarik pria itu dan duduk di bangku samping Cemara. pegawai yang lain langsung mengambil alih Cemara.
"Hitam manis, rambutnya mau kita bentuk seperti apa, Mas." Jati segera beranjak dari tempat duduknya, mengejutkan Cemara dan pria centil.
"Maaf Nona. Sa—."
"Gratis." Sahut Cemara tanpa melihat sopirnya itu.
Jati menelan saliva. Cukup kejadian sebelumnya. Ia tidak ingin dipaksa berhutang lagi pada Cemara.
Jati kembali duduk dan menerima perlakuan istimewa itu. Cemara memilih model potongan pompadour.
"Aku rasa cocok untuk wajahnya." ujar Pegawai salon.
"Ooh ... model rambut mas tampan mirip penyanyi andika jaman dulu ya." Cemara terkekeh. Ia juga merasa demikian.
Model rambut Jati yang berponi runcing-runcing menusuk mata. Mirip babang tampan kangen band saat pertama kali muncul.
"Kita ganti model Mas. Anda sangat tampan loh." Jati risi saat tangan pria centil mengusap-usap kepalanya.
Sementara Cemara memilih creambath. Untuk wajah, ia tidak pernah macam-macam. Kulitnya yang bening masih alami.
"Nona Ara …, lihat hasilnya. Si hitam manis semakin tampan." ujar pria centil pada Cemara. Membawa Jati menghadap gadis remaja itu.
Cemara menatap Jati dengan tatapan mengagumi. Kening Jati yang selama ini tertutup poni runcing kini terlihat jelas. Garis rahang lebih tegas, dan wajah lebih kecil dan runcing.
"Gimana tampan, kan?" Tanya pegawai salon, mencubit pipi Jati genit. Sungguh demi apapun di dunia ini. Jati ingin menendang pria centil yang sok genit padanya. Jati membaca ayat kursi dalam hati. Pria ini lebih menyeramkan daripada setan. Harus diusir ke neraka.
Cemara mengangguk, ia setuju. "Aku selesai." ujar Cemara beranjak dari duduknya.
"Tapi, Nona. Rambut Nona belum di kasih vitamin." ujar pegawai yang mengerikan rambut Cemara.
"Biarin aja. Mana pernah dia betah duduk lama."
Pria centil kenal baik dengan Cemara. Sejak kecil salon ini sudah jadi langganan mereka. Cemara kadang
pulang dengan sabun di kepala. Sesuka
hatinya dan sangat bebas tidak ada yang bisa melarangnya. Cemara hanya menyengir membawa langkah menuju kasir.
••••••
"Hati-hati di rumah. Ingat jangan macam-macam. Jati mengawasimu." ujar Lamtoro menasihati putrinya. Mengusap sayang kepala Cemara.
"Siap, Papa." balas Cemara, berjalan merangkul pinggang Lamtoro menuju mobil.
Sementara Rasamala mengekor di belakang, selalu bahagia melihat putrinya dekat dengan suaminya. Ia sangat bersyukur menikah dengan Lamtoro dan meninggalkan kehidupan pahitnya di masa lalu.
"Mama pergi, sayang." Rasamala mengecup pipi putrinya.
"Mama jangan lupa pulang dari sana bawain Ara adik."
"Huss mulutnya. Mama menunggu cucu aja dari kamu." ujar Rasamala.
"Aku selalu pingin punya adik." Rengeknya.
Rasamala menoyor kepala putrinya lalu masuk ke dalam mobil. Begitu mobil melaju meninggalkan halaman rumah besar itu, Cemara masuk ke dalam rumah menuju ruang makan. Melihat Jati dan Yanti tertawa-tawa berdua seraya menikmati kudapan.
"Ehem." Cemara berdehem mengejutkan dua orang itu. Segera beranjak dari tempat duduknya masing-masing.
"Nona." Sapa keduanya.
"Aku cuma batuk, kenapa kalian berdua berdiri?"
Jati dan Yanti saling tatap lalu menunduk kembali. Wajah keduanya pucat dengan jantung berkejaran. Sejak tadi mereka membicarakan Cemara yang sombong dan berencana menghaluskan Cemara menjadi adonan perkedel.
"Nona mau sesuatu?" tanya Yanti.
"Nggak." Cemara melihat Jati "Aku mau bicara sama kamu." ujarnya menunjuk Jati, lalu melangkah meninggalkan tempat itu.
"Awas diamuk, Mas. Dia kadang nggak waras." ujar Yanti berbisik.
Jati terkikik lalu menetralkan napasnya. Berjalan menghampiri Cemara di ruang tamu.
"Ada yang bisa saya bantu, Nona?" Tanya Jati.
Cemara menilai penampilan Jati yang mengenakan kaos kasual berwarna putih dengan celana levis hitam. Cukup tampan untuk dipamerkan malam ini di depan Rumi. Lagipula Lamtoro meminta Jati mengawasinya. Kenapa ia tidak memanfaatkan pria ini saja.
"Nanti malam temani Ara ke pesta teman. Kenakan kemeja dan sepatu yang aku belikan. Aku mau kau rapi dan jangan buat Ara malu." ujarnya tanpa malu.
"Ta-Tapi Nona sa—."
"Papa yang minta." Cemara menyela.
Jati mengangguk kecil. "Baik Nona."
"Dan … satu juta untuk jadi pacar pura-pura Ara malam ini." ujar Cemara tanpa pikir.
Jati membelalak dan segera menggelengkan kepala, menolak.
"Kau tidak mau?" Cemara melotot.
"Maaf Nona. Aku nggak bisa."
"Ya sudah, aku laporin Papa."
"Buat jagain Nona. Aku bersedia tapi, untuk menjadi pacar pura-pura aku nggak bisa Nona. Maaf." Tolak Jati. Ia tidak ingin terkena masalah.
"Menyebalkan." Cemara beranjak dari duduknya, meninggalkan Jati. Ia sangat malu ditolak pria ini padahal hanya berlakon.
"Pokoknya, kenakan apa yang aku minta tadi." Seru Cemara seraya menaiki anak tangga menuju kamarnya.
"Kenapa ada orang aneh seperti dia sih." Jati bergumam meniup napas pelan membawa langkah menghampiri Yanti di ruang masak.
•••••
Cafe Mypadz || ulang tahun Rumi.
19:30 Wib, mobil yang dikendarai Jati akhirnya memasuki area parkiran itu. Jati keluar dari dalam mobil dan seperti biasa buka pintu untuk Cemara.
Malam ini Jati tampak keren, pakaian yang memeluk tubuhnya sangat pas. Tampak lebih tinggi dengan pantofel mengkilap di kakinya.
Cemara keluar dari mobil. Gadis ini tampak jauh lebih cantik dari biasanya. Polesan natural di wajahnya semakin mempercantiknya. Gaun yang melekat di tubuh mungilnya terlihat indah di tambah heels lima centi membuatnya lebih tinggi dan terlihat dewasa.
Sejak tadi. Selama dalam perjalanan Jati tidak berhenti mencuri pandang padanya lewat kaca spion.
"Nona ditemani atau—."
"Nggak usah. Mau buat Ara malu? Bawa sopir buat pasangan." Ketus Cemara, mendengus meninggalkan Jati.
Jati meniup nafas pelan. Semenjak bekerja dengan Cemara dia selalu kena marah dan sialnya Jati selalu mangut.
Jati melihat Cemara masuk ke dalam kafe. Kemudian ia masuk ke dalam mobil. Ponselnya berdering. Jati berdecak kecil dan dengan perasaan malas ia menekan jawab.
"Iya, Mbak."
"Kau sudah gajian?"
Begitu mendengar pertanyaan itu, Jati berdecak malas.
"Aku baru tujuh hari kerja, Mbak. Gajian itu satu kali dalam sebulan." ujar Jati, menekan pangkal hidungnya mengurangi rasa pusing di kepala.
"Aku butuh uang disini. Kalau bisa tolong kasbon sama bos kamu."
Jati menghela napas. Menekan jari di kepala. "Aku baru saja kerja, Mbak. Nggak mungkin langsung kasbon." Jati mengeluh.
Terdengar decakan malas di ponselnya. "Pokoknya usahakan." Terdengar suara ketus dari lawan bicaranya lalu menutup sambungan telpon sepihak.
'Kau bahkan tidak menanyakan kabarku. Pikiranmu hanya ada uang, uang dan uang saja.' Jati mengeluh dengan posisi kepala menelungkup di atas setir mobil.
Jati teringat tawaran Cemara. Satu juta untuk berpura-pura jadi pacar gadis itu. 'Bagaimana kalau aku menerimanya? Tapi, aku takut melakukan kesalahan dan membuatnya malu.' pikir Jati.
Jati mengangkat wajah dari stir. Menatap keluar dari jendela mobil. Suara gemuruh terdengar kecil. Langit pasti akan menangis malam ini. Seperti hatinya yang sedang sedih.
Ponselnya berdering kecil. Sebuah pesan masuk.[Tolong usahakan. Aku butuh uang periksa ke rumah sakit.]
Jati menarik napas panjang, merasa lelah. Mau tidak mau harus menerima tawaran Cemara. Ia keluar dari mobil, menetralkan hatinya yang sesak. Membawa langkah menuju cafe.
Pemilik pesta dengan pasangannya tampak serasi di depan kue besar. Rumi selalu melihat ke arah pintu masuk ruangan itu. Berharap Cemara datang dan tentu tanpa pasangan.
Cemara belum menyapa. Gadis itu masih berada di toilet. Menunduk di depan cermin. Mengumpulkan keberanian menghadapi Rumi dan Monica. Malam ini pasti Monica puas melihatnya datang sendirian.
"Ara." sapa salah satu teman sekelasnya yang baru saja keluar dari bilik toilet.
"Hei." Ara membalas sapaan itu, menatap temannya lewat cermin.
"Bareng siapa?" gadis bergaun berwarna peach dengan belahan leher V mencuci tangan di wastafel.
"Pacar." jawab Cemara asal. "Bagaimana denganmu?"
"Pasangan juga. Aku salut sama kamu. Langsung move on. Padahal baru putus dari Rumi."
"Tentu saja. Kita tidak perlu mengingat barang bekas yang kita sumbangkan pada orang, benar?" ujar Cemara hingga keduanya tertawa bersama.
.
.
.
Thank you