Di bawah pohon flamboyan yang bunganya sedang mekar. Dua insan memadu kasih. Tak jauh dari pohon itu ada danau buatan memperindah lokasi.
Lapangan golf milik keluarga Cemara yang indah sepertinya mendukung apa sedang dilakukan pasangan itu disana.
Cemara benar-benar melayang dalam buaian ciuman Jati. Keduanya saling melumat dan mengulum bibir. Tubuh keduanya merapat tanpa ada jarak. Jati sangat mahir menyentuh bibir kekasihnya. Begitu lembut memijat bibir Cemara dengan bibirnya tanpa ada suara.
Jati melepas ciumannya. Menatap manik Cemara penuh cinta. Ia membersihkan bibir gadis itu dari bekas ciumannya. Sedikit tebal dan makin ranum. Membuatnya semakin seksi.
"Nona." Bisik Jati, merapikan helaian rambut Cemara yang di mainkan angin lalu tangannya turun membelai pipi merah muda Cemara.
Cemara tersenyum kemudian memejam. Membuka bibirnya kecil menunggu Jati memesrainya kembali. Seolah ciuman yang mereka lakukan masih kurang lama. Dia sangat mabuk ditangan pria dewasa itu.
Jati menundukkan kepala untuk menghampiri bibir Cemara dengan bibirnya lalu mengecup panjang.
"Mas …," rengek Cemara begitu Jati mengakhiri ciuman itu.
"Nanti aku menuntut lebih. Kau nggak mau tanggung jawab."
"Berciuman juga bercinta bukan?"
Jati menjawil hidung kekasihnya mesra. "Aku nggak mau hilang kendali sayang." guman Jati.
Cemara tidur berbantalkan paha Jati seraya memainkan ponsel. Sementara Jati membelai lembut wajah Cemara. Memperhatikan setiap inci wajah itu. Putih, bersih jauh dari kerutan. Hidung kecil mancung dan bibir merah muda, sangat sempurna melengkapi wajahnya.
Cemara mengerjap. Bulu mata lentiknya melambai menggoda. Demi apapun, gadis ini sempurna di fisik tapi, tidak dengan otaknya yang kadang minim dan sedikit m***m.
Jati penasaran apa yang membuat Cemara jatuh cinta padanya.
"Nona."
"Mmm."
"Aku sangat suka mata Nona dan gigi kelinci milik Nona." ujarnya, menunjuk bagian yang baru saja ia sebutkan.
Cemara tersipu. "Mas Jati jatuh cinta saat melihat mataku?"
"Iya. Sekalipun mata ini menatap tajam tapi, tidak menakutkan. Aku justru menyukainya."
"Mas bohong. Saat aku marah, mas menunduk."
Jati terbahak lalu menunduk mengecup sayang kening Cemara.
Cemara meletakkan ponsel di sampingnya. Berbalik badan tengkurap di tikar camping. Ia meletakkan dagu di paha pria itu.
"Sejak kapan Mas jatuh cinta pada Ara?" Tanya Cemara penasaran.
Jati tersenyum, "saat kecupan pertaman kita."
"Dia acara ulang tahun Rumi?"
"Iya."
"Tapi, itu bohongan."
"Buat aku itu ciuman pertama Nona. Sejak malam itu aku tidak bisa melupakannya. Aku juga sangat menyukai aroma tubuh Nona." ujar Jati mencoba menghirup aroma itu di pucuk kepala Cemara.
"Kalau nggak salah aroma bunga Lily. Aromanya lembut, manis, dan elegan. Seketika aku menganggapmu gadis dewasa bukan gadis remaja." Sambungnya.
"Aku suka bunga bakung. Wanginya enak." ucap Cemara.
"Ohh pantasan." Jati menepuk pucuk kepala Cemara. "Kalau Ara sejak kapan jatuh cinta sama Mas?"
Cemara mencoba mengingatnya. "Entanhlah. Ara nggak ingat."
"Nona."
"Ara nggak ingat."
"Astaga." Jati mendengus tak percaya.
Cemara terbahak lalu kembali berbalik. tangannya mencari ponsel. "yang pasti Ara cinta mas Jati." ucapnya sembari memainkan ponsel membaca komik di sana.
Jati menarik napas panjang dan meniupnya pelan. Entah kenapa tiba-tiba saja jantungnya berdegup kencang.
"Jantung Mas berdegup kencang." bisiknya.
"Kenapa?" Cemara bergerak bangun meletakkan tangannya di detakan dαda Jati. Tangannya merasakan degup jantung Jati sangat kuat.
"Entahlah." Jati memeluk kekasihnya itu erat. Menatap danau yang tampak berkilau terkena sinar matahari tak jauh dari hadapan mereka.
"Aku sangat takut," ucap Jati.
"Takut apa?"
"Hubungan kita diketahui Tuan dan Nyonya."
Cemara mendongak, "Mas belum siap?"
"Aku rasa belum." lirihnya.
"Kenapa?"
"Aku belum siap kehilanganmu."
Cemara mencebik, "kalau Mama Papa tahu hubungan kita. Apa kita akan berpisah?" tanya Cemara.
Jati tersenyum pedih. Dia hanya seorang sopir yang terlalu berani menjalin cinta dengan putri majikannya. Tentu saja hubungan mereka mustahil direstui. Selain pekerjaan Jati yang hanya sopir, asal usul Jati pun tidak jelas.
Lamtoro sudah pasti akan menghabisi Jati tanpa iba. Orang tua mana yang rela melihat putrinya yang dibesarkan dengan bergelimang harta menjalin cinta dengan pria miskin. Memalukan dan oh, seperti yang dikatakan Jati. Bagai pungguk merindukan bulan.
Kedudukan hidup mereka sangat jauh berbeda. Jati ikan di dasar laut sementara Cemara burung di atas awan. Tidak ada tempat untuk keduanya bersatu.
"Aku rasa begitu, Nona." Jawaban itu membuat Cemara melepas diri dari dekapan Jati.
"Apa?"
Jati membisu. Dia tidak bisa berpikir mengenai masa depan hubungan mereka.
"Mas tidak ingin berjuang untukku?" Desak Cemara. Menatap wajah Jati yang meragu.
Jati masih membisu membuat Cemara kesal. Cemara menjambak rambut Jati. "aku nggak suka cowok pengecut. Kau menciumku sepuas mu, kau pikir aku cewek murahan." Cemara melepas rambut Jati lalu menoyor kepala pria dewasa itu tanpa sopan santun.
"Ara …." lirih Jati, menahan sakit.
Cemara bangun dari duduknya. "Berikan kunci mobilku."
"Kau mau kemana?"
"Pulang."
"Ya sudah ayo."
"Ya sudah ayo?" Cemara mengulang ucapan Jati Dengan nada mengejek.
"Mas." Hardiknya. Cemara mendekati Jati yang sudah berdiri. Memukuli dαda Jati kesal dengan tangannya. Ia tidak percaya Jati menyerah bahkan sebelum berjuang mendapatkannya.
"Apa hubungan kita hanya main-main?Kau membuatku seperti orαng bodoh." Cemara terus memukuli pria itu. Kali ini kemarahannya bersatu dengan rasa sedih hingga air mata luruh dari netranya.
Jati menangkap tangan dan menarik Cemara ke dalam dekapannya. Mendekap erat gadis yang sudah ia buat menangis.
"Aku cuma butuh waktu, Ra. Aku nggak bilang nggak berjuang." Jati menahan perih di hati. "dalam hubungan kita yang seharusnya berjuang itu kamu, Ra. Karena status keluargamu jauh di atas kepalaku." ujar Jati masih memeluk Cemara.
"Aku sanggup membawamu pergi dari orang tuamu tapi, bagaimana denganmu? Kau sanggup hidup susah dengan pria menyedihkan sepertiku? Tanpa adanya kemewahan Lamtoro dalam hidup kamu?" Jati mendorong pelan bahu Cemara demi melihat wajah kekasihnya yang menangis.
Jati menangkup kedua pipi gadis itu dan menatap ke dalam manik mata berwarna hitam yang masih digenangi air mata.
"Maaf, jangan menangis begini. Hatiku hancur melihatnya." Jati mengusap pipi Cemara dengan ibu jarinya. Ia tak kuasa menahan cairan bening di netranya hingga lolos begitu saja.
"Karena hidup bersamaku Ra. Tidak cukup modal cinta. Kau tidak akan bahagia hanya bermodalkan itu saja." ujar Jati dengan suara bergetar. Jati menekan kejam giginya di bibir bawah. Menahan tangis agar tidak pecah.
"Kalau begitu masuk ke dalam keluargaku, Mas. Aku memiliki cukup materi. Kau cukup berjuang untuk mendapatkan restu kedua orang tuaku. Aku sudah bilang akan membantumu." ujar Cemara.
"Bagaimana kalau aku gagal, Ra?"
"Bawa aku pergi." Cemara menangis.
"Kau yakin?"
"Mmm." Cemara mengangguk.
"Sungguh?"
"Iya."
"Mau hidup susah bersamaku?"
"Aku akan coba."
"Tidak, Ra. Kau harus menyakinkan dirimu. Disini tidak ada kata coba. Bagaimana kalau kamu tidak sanggup? Meninggalkan aku dan kembali pada orang tuamu?"
Cemara menangis semakin kuat tidak bisa menjawab. Memeluk Jati, dia memiliki banyak harta tapi, cintanya jatuh pada pria miskin. Tidak sepadan.
Jati mengembuskan napas melegakan dαda yang semakin sempit, mengeratkan pelukan pada Cemara.
•••••
Lamtoro terkejut melihat kehadiran keluarga Drago di rumahnya. Disana Rumi juga turut hadir. Pria remaja seusia putrinya tersenyum ramah. Lamtoro membalas sekilas.
"Silahkan duduk." Lamtoro mempersilahkan tamunya duduk di sofa mewah miliknya.
"Maaf Pak Lamtoro, kami datang tanpa kabar. " Drago mendaratkan tubuhnya di sofa itu. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruang tamu Lamtoro yang didekorasi bergaya eropa klasik. Mewah dan sangat memanjakan pandangan.
"Tidak masalah. Ada perlu apa ya?" Lamtoro duduk bersilang kaki. Ia menolehkan kepala saat mendengar derap kaki menuju tempat itu. Itu langkah istrinya, Rasamala menghampiri.
"Halo," Sapa Rasamala menyapa keluarga Drago lalu melihat suaminya. "Papa nggak bilang kita kedatangan tamu"
"Maaf Jeng kita datang tanpa kabar. Bagaimana kabar, Jeng? Cukup lama kita tidak bertemu muka. Aku jarang melihat Jeng di acara sosialita yang kita ikuti." Istri Drago menyapa, berdiri dari sofa dan menghampiri Rasamala. Melakukan cipika cipiki.
"Ah, maaf. Saya sibuk dengan bisnis yang aku jalankan. Mungkin lain kali kita bisa duduk bersama disana." Balas Rasamala menerima ramah cipika cipiki Nyonya Drago.
"Tante." Rumi ikut berdiri dan menyalim punggung tangan Rasamala.
"Duduklah." ujar Rasamala pada Rumi.
Hening sejenak.
Yanti membuatkan minuman di ruang masak. Terlihat hati-hati. Ia tidak boleh mempermalukan majikannya menjamu tamu penting. Jati keluar dari kamarnya dan menghampiri Yanti.
"Buat siapa, Yan?" Tanya Jati seraya membuka kulkas mengambil air dingin dari dalam.
"Tamu penting di rumah ini."
Jati memutar botol minumannya, " rekan bisnis, Tuan?" Jati meneguk minumannya dari botol.
"Iya sekaligus calon besan."
Slurrppp!!!
Air dari mulut Jati muncrat, menyakiti tenggorokan juga hidungnya. Selain itu, hatinya terasa sakit. Ia terkejut mendengar ucapan Yanti.
"Hati-hati dong, Mas. Makanya jangan pacaran sama orang bodoh. Mas ikutan bodoh, kan? Minum aja nggak kira-kira." Yanti bersungut-sungut, ia masih kesal atas pengakuan Jati yang sudah memiliki kekasih.
"Siapa Yan?"
"Siapa lagi kalau bukan Tuan muda Rumi."
Deg!
Jati segera berlalu menuju kamarnya. Ia menutup pintu dan menelpon Cemara. Gadis itu malas-malasan di dalam kamarnya.
Cemara mengambil ponselnya yang bergetar. Melihat nama kekasihnya. Ia tersenyum dan bersiap mengangkat tapi, urung saat pintu kamarnya terbuka lebar. Rasamala memanggilnya.
"Ara. Rumi datang." ujar Rasamala.
Cemara terpaku di tempatnya. Ia meletakkan ponselnya di atas ranjang. Mengabaikan panggilan Jati.
"Ngapain, Ma?" Tanya Cemara dengan raut tak percaya.
Rasamala menghampiri putrinya.
"Ikut Mama. Kedua orang tuanya juga ikut. Kalian sudah balikan?" Rasamala membantu mengikat rambut Cemara. Wanita setengah baya itu melebarkan mata melihat kissmark di leher putrinya. Rasamala menelan saliva. Ia menurunkan rambut Cemara menutupi tanda ciuman itu.
"Nggaklah. Ngapain juga aku balikan sama dia." ujar Cemara kesal.
Rasamala menggigit kuat bibirnya. Memikirkan apa yang dilakukan Cemara dibelakangnya. Putrinya masih remaja, bukankah berlebihan tanda itu andaipun Cemara sudah memiliki kekasih lagi. Itu terlalu berani dan sangat menjijikkan.
Kepalanya berdenyut sakit, "apa ada pria lain setelah Rumi?" tanya Rasamala.
Cemara mengangguk. "Mama mengenalnya." ujarnya pelan.
Rasamala menahan diri untuk tidak menjambak putrinya dan bertanya siapa yang berani menjilati leher putrinya. Ciuman di leher sudah menuju keintiman.
"Ganti pakaianmu. Temui Mama di ruang tamu." Rasamala membawa langkah ke luar kamar Cemara. Mengembuskan napas panjang di luar. Berpegangan pada pembatas tangga. Hatinya hancur memikirkan kelakuan putrinya yang sudah melewati batas.
Rasamala meniup napas panjang. Mengubah air muka kembali ramah. Mencoba mengabaikan apa yang baru saja ia ketahui mengenai putrinya.
"Ara akan segera menyusul." ujar Rasamala seraya menghampiri tamunya dan duduk di sofanya.
"Sembari menunggu, mari cicipi kudapan nya." ucapnya lagi. Rasamala tersenyum ramah pada keluarga Drago.
"Terima kasih, Nyonya." ujar Drago. Mengambil gelas kopinya. Menyesap lalu meletakkan gelas di atas meja pelan. Mereka kembali melanjutkan obrolan kecil mengenai politik yang terjadi di negara ini.
Sementara dua wanita membahas putra putri mereka. Rumi selalu menatap ke arah tangga berbentuk spiral. Menunggu Cemara turun dari sana, bibirnya tersenyum saat melihat Cemara menuruni anak tangga satu persatu.
Rasamala menangkap mata Rumi yang tidak berkedip ke arah tangga. Rasamala menolehkan kepala. Ia mengumpat dalam hati saat melihat putrinya mengikat rambut tinggi-tinggi.
Rasamala segera beranjak dari duduknya, menghampiri Cemara. Melepas ikatan rambut Cemara, Membuat gadis itu heran.
"Kau terlihat cantik seperti ini." ujar Rasamala. Merapikan rambut Cemara menutupi kissmark di leher. Rasamala menarik tangan putrinya dan membantu duduk di sofa.
"Putrimu sangat cantik pak Lamtoro." Puji Drago.
Lamtoro mengangguk, " yah, tentu saja." ujar Lamtoro.
Rumi tidak berhenti memandang Cemara. Mengagumi gadis yang semakin hari semakin berseri-seri.
"Jadi kedatangan kami kesini. Untuk menyampaikan niat baik putra kami ingin melamar Cemara menjadi menantu di keluarga kami." ujar Drago terus terang.
Cemara terkejut begitu juga dengan Rasamala sementara Lamtoro tampak biasa saja.
"Hubungan mereka sudah berakhir." ujar Lamtoro. Menepuk sisi sofa seraya melihat putrinya.
"Benar. Tapi, Rumi menyesali. Maklum mereka masih remaja saat pacaran."
"Dan sekarang mereka juga masih remaja pak Drago. Belum saatnya untuk memikirkan pernikahan. Putriku masih terlalu kecil menjalani sebuah pernikahan."
"Tapi, aku janji Om. Akan membahagiakan Ara." Rumi menyahuti.
"Yah, benar. Untuk menikah tidak harus usia dewasa kalau kita bisa membimbing mereka." Istri Drago menimpali. "Benar kan Jeng? Anda juga menikah di usia muda bukan?"
Rasamala melihat istri Drago lalu terkekeh. "Iya, usiaku sembilan belas tahun kala itu." ujar Rasamala seraya terkekeh. Wajahnya sedikit pias.
"Lihatlah, keluarga anda harmonis. Membuat banyak iri orang. Jadi kalau ada niat putra-putri kita menjalin hubungan di usia muda kenapa tidak?" Drago menyambung.
Lamtoro tersenyum. Ia melihat putrinya yang sejak tadi menatap Rumi dengan raut kesal.
"Itu karena kami saling mencintai." ujar Lamtoro santai.
Semua membisu.
Ruangan itu berubah sunyi. Saling diam dan menjadi canggung.
"Tapi, semua tergantung putriku." Lamtoro melihat putrinya. "Bagaimana, Ara?" Tanya Lamtoro.
"Ara sudah punya pacar." Lamtoro mengerutkan keningnya. Putrinya tidak pernah cerita kalau dia sudah memiliki kekasih. "Lagipula hubungan aku sama Rumi sudah berakhir, Om." ujar Cemara pada Drago.
Drago terkekeh. Menertawakan pengakuan Cemara. Putri Lamtoro menolak Rumi hanya untuk seorang sopir. Memalukan.
Drago melihat Lamtoro yang tampak tenang mendengar pengakuan putrinya.
"Selain putra saya mencintai putri Anda. Putra saya mencoba menyelamatkan Cemara dari tangan pria yang mungkin saja hanya memanfaatkan putri anda demi harta, pak Lamtoro." tambahnya.
Cemara melihat Rasamala. Ibunya itu memalingkan wajah sementara Lamtoro mengernyit dalam.
"Apa maksud anda pak Drago?" Tanya Lamtoro menautkan kedua alis tebalnya.
"Putri anda belum cerita siapa kekasihnya?"
"Maafkan kami pak Drago. Tapi, untuk urusan hati putri kami saya rasa anda tidak perlu mencapurinya. Kami akan membahas ini dengan Cemara." ujar Rasamala, menyahuti.
Drago menghela napas panjang, ia melihat putranya menunduk. "Aku pikir kita bisa menjalin hubungan erat melalui putra putri kita pak Lamtoro." ujar Drago.
"Om, aku benar-benar mencintai Ara. Aku memang melakukan kesalahan putus dengannya. Itu sebabnya aku datang meminta langsung pada Om. Melamar Cemara menjadi istriku."
"Kau seorang pemberani anak muda. Om salut melihat keberanian mu. Diusia muda memikirkan pernikahan. Tapi, kembali lagi pada Cemara. Dia yang memutuskan pada siapa hatinya berlabuh. Kami akan mendukung demi kebahagian Cemara." ujar Lamtoro.
"Om akan mendukung Cemara berpacaran sama sopirnya." ujar Rumi mengejutkan keluarga Lamtoro. Lamtoro dan Rasamala melihat ke arah putrinya.
Rasamala tidak percaya. Leher putrinya. Astaga! Dαdanya sesak. Memikirkan itu membuatnya pusing. Sopir sialan itu dipercaya menjaga putrinya. Kemana-mana berduaan. Rasamala nyaman melepas Cemara dikawal Jati. Tidak disangka justru orang yang ia percaya menusuknya dari belakang.
Kapan? Kapan putrinya jatuh hati pada pria itu.
Apa?Apa yang sudah terjadi? Hanya ciuman atau … Rasamala semakin frustasi. Ciuman di leher cukup intim. Astaga! Sopir sialan tidak tahu diri. Pria breng'sek itu menghisap leher putrinya yang masih remaja. Ah, menjijikkan. Rasamala berjanji akan menampar bibir sopir sialan itu.
Lamtoro berusaha tetap tenang kendati demikian tatapannya menuntut penjelasan. Takut-takut Cemara membalas tatapan Lamtoro lalu berujar pelan.
"A-ara pacaran sama mas Jati, Papa." ucapnya lirih dengan sorot takut.
.
.
SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA