Bab 11. Berobat Enam Bulan

1179 Kata
"Hasil cek dahak positif, Bu. Ibu harus rutin minum obat ya." Kata Dokter. Sena mengangguk. "Ibu bukan tinggal di daerah Kelurahan Puskesmas ini, ya?" Tanya Dokter. "Iya Dok. Tapi Saya lebih dekat kesini daripada ke Puskesmas Kelurahan dekat tempat tinggal Saya." Jelas Sena. "Mohon maaf Bu, gak bisa. Ibu harus ke Puskesmas kelurahan tempat tinggal Ibu atau kecamatan. Sesuai KTP ya Bu. Peraturan Pemerintah begitu. Karena ini obatnya gratis. Dinas Kesehatan dan Pemerintah yang membiayai. Kita gak mau nanti pasien tidak terkontrol." Jelas Dokter. "Tapi Saya sudah berniat gak akan mangkir kok Dok." Sena nampak kecewa. "Maaf Bu. Gak bisa. Ibu harus tetap ke Puskesmas menurut KTP Ibu." Dokter memberikan alamat Puskesmas Kelurahan dan Kecamatan. Dengan rasa kecewa Sena meninggalkan Puskesmas. "Sudah bayar mahal, malah dioper. Dari tadi pagi aja. Sudah nunggu lama banget dari pagi malah gak dilayani." Sena menggerutu. Sena menyetop mikrolet arah Puskesmas Kecamatan. Karena kalau ke Kelurahan, Sena makin ribet harus naik ojek lagi ke dalam. "Pak... Nanti tolong berhenti di Puskesmas Kecamatan ya." Pinta Sena. "Ya Neng." Kata supir mikrolet. Sena nampak gelisah karena hari sudah siang. Sudah hampir jam 11. Sena takut Puskesmas nya tidak melayani lagi karena sudah siang. 20 menit kemudian. "Neng udah sampe. Itu Puskesmas nya." Kata Pak supir. "Terima kasih Pak." Sena memberikan ongkos nya. Sena bergegas turun dan langsung ke loket pendaftaran. Sena menyerahkan kertas rujukan dari Puskesmas tadi pagi. Petugas loket memproses. "Pak... Masih bisa kan?" Tanya Sena cemas. "Masih Bu, kalau untuk TB paru masih dilayani. Ibu kenapa siang sekali kesini nya?" Tanya petugas itu. Sena pun menceritakan perihal Puskesmas tadi. "Ya Bu, memang harus sesuai KTP. Ini kenapa Ibu gak ke Puskesmas Kelurahan saja?" Tanya Petugas. "Jauh Pak. Harus naik mikrolet dan ojek. Kalau kesini sekali saja, turun di depan jalan raya, tinggal jalan kaki kesini." Jelas Sena. Petugas mengangguk dan memberikan nomor antrian. Ternyata yang berobat TB Paru sangat banyak. Lumayan antri. Tempat duduk juga lumayan terisi hampir semua. Beragam usia ada disini. Sena mendengarkan keluh kesah pasien TB selama pengalaman Mereka minum obat. Ada yang gatal-gatal, ada yang muntah-muntah dan lain-lain banyak keluhan. Sena nampak cemas. " Nanti Aku gimana? Jantung Aku duka deg-degan kalau minum obat." Batin Sena. Jam 11.50 nama Sena baru dipanggil. "Sena Fatimah..." Panggil petugas yang membantu Dokter. Sena bergegas masuk dan memberikan nomor antriannya. "Dokter Adjie..." Batin Sena membaca nama Dokter yang tertera diatas meja. Dokter Adjie masih muda. Dia memperhatikan Sena. "Silahkan duduk." Pintanya "Terima kasih Dok." Kata Sena sambil menarik kursi dan duduk. "Ada masalah apa, Bu?" Tanya Dokter. Sena mengerutkan keningnya. "Haaahhh..." Sena bingung mau jawab apa. "Kenapa Dokter bertanya seperti itu?" Batin Sena. "Apa Suami Ibu jarang pulang?" Tanya Dokter Adjie yang terus menatap Sena. Melihat penampilan Sena yang sederhana namun tetap bersih dan rapih. Dokter Adjie membaca profil Sena dan tempat tinggalnya. "Haaahhh... ng.. gak kok Dok. Suami Saya tiap hari pulang." Kata Sena pelan. "Kenapa Ibu bisa sakit seperti ini?" Tanya Dokter. Sena hanya terdiam. "Suami Ibu, kerja kan?" Tanya Dokter. Sena mengangguk. Sudah punya anak berapa?" Tanya Dokter lagi. Sena menggeleng. "Saya baru enam bulan menikah Dokter." "Hhhmmmm... masih pengantin baru ya." Canda Dokter. Sena terdiam. "Nanti di rumah, semua dijemur ya Bu. Jendela dibuka biar hawa nya masuk. Jangan meludah sembarangan. Gak boleh peralatan bekas minum atau makan Kita dipakai orang lain ya. Untuk menjaga supaya orang rumah tidak tertular." Jelas Dokter Adjie. Sena mengangguk. "Jangan banyak pikiran. Yang gak penting dibuang saja." Kata Dokter Adjie yang seakan tahu dengan tekanan batin Sena. Sena hanya msngangguk dalam diam. "Seminggu sekali rutin kesini ya Bu, untuk mengambil obat. Gak boleh lupa sehari pun. Kalau lupa harus ulang dari awal." Jelas Dokter Adjie. Sena tetap mengangguk tak banyak bicara. Dokter Adji terus memperhatikan Sena. Sena hanya menunduk. "Seandainya Kamu belum menikah." Gumam Dokter Adjie. Tapi Sena mendengar. "Apa Dok?" Tanya Sena memastikan. "Hah? Oh maksud Saya, ada yang mau ditanyakan lagi Bu Sena?" Tanya Dokter terlihat canggung. "Gak ada Dokter. Semua sudah jelas." Kata Sena. "Oh ya Saya lupa. Nanti dari sini sehabis makan, langsung diminum obatnya. Besok pagi sebelum makan apa-apa, obatnya harus diminum." Tambah Dokter Adjie. "Perut kosong, Dok?" Sena kaget. "Ya.." Kata Dokter Adjie tersenyum, Dia nampak terlihat gemas pada Sena. "Gak apa Dok, belum makan, minum obat?" Tanya Sena polos. Dokter Adjie mengangguk. "Memang itu aturannya. "Jangan banyak pikiran ya. Rabu depan kesini lagi." Pesan Dokter Adjie. "Ya Dok. Saya gak lupa." Kata Sena. Sena berpamitan setelah mengucapkan terima kasih Dokter Adjie terus memperhatikan Sena hingga tubuh Sena tak terlihat lagi. Sena bergegas pulang dan melaksanakan perintah Dokter. Sampai di rumah. "Huuuhhh... panas banget." Keluh Sena. "Kok baru sampe Sena?" Tanya Bunda yang melihat Sena duduk di kursi teras. "Assalamu alaikum Bun." Sapa Sena yang segera mencium punggung telapak tangan Bunda. "Kamu jadi ke Puskesmas?" Tanya Bunda. "Ya Bun. Sena kesal deh Bun. Dijadiin bola di Puskesmas tempat Sena periksa dahak." Gerutu Sena. "Jadi bola gimana?" Tanya Bunda. Sena berlalu ke dapur mengambil air minum. Dia sangat haus karena cuaca yang panas dan teriknya matahari. "Gak boleh berobat disitu. Bilang ke dari pagi sebelum Sena bayar mahal. Kayak sengaja. Udah antri nunggu lama, Dokter datangnya siang. Eh malah dioper ke Puskesmas sesuai KTP." Jelas Sena kesal. "Terus Kamu udah ke Puskesmas sesuai KTP, belum?" Tanya Bunda. "Sudah Bun. Makanya Sena siang sampe sini. Tadi Sena ke Kecamatan. Enak disana, Dokternya ramah dan perhatian." Kata Sena. Bunda tersenyum. "Ya sudah sekarang makan dulu sana. Abis itu minum obatnya. Shalat dzuhur jangan lupa." Pesan Bunda. "Ya Bun." Kata Sena yang dari tadi terus batuk. Sena pun makan. Kemudian dia shalat Dzuhur, setelah itu Sena duduk sambil membuka tas nya mengambil obat TB Paru. "Banyak banget obat nya? Besar-besar lagi." Gumam Sena sambil bergidik membayangkan apakah Dia sanggup menelan 8 butir obat yang ukurannya besar. Bunda melihat. " Sebanyak itu?" Tanya Bunda terkejut. Sena mengangguk." Besar-besar lagi Bun. Kuat gak Sena?" "Pelan-pelan saja." Kata Bunda. Sena mengangguk. "Besok pagi malah belum makan apa-apa harus minum obat dulu, Bun." Jelas Sena. "Haaahh... Yang benar?" Bunda terkejut. "Tadi kata Dokter nya begitu, Bun." Jelas Sena. "Ikuti saja apa kata Dokter. Mungkin biar kumannya cepat mati." Canda Bunda. Sena mengangguk. Sena mulai meminum obat itu. Satu paket isi 8 butir yang ukurannya cukup besar. Sena menghela nafas. "Akhir nya... hhuuuuhhh.." "Kamu istirahat dulu sana di kamar Bunda atau di kamar Vina." Kata Bunda. "Vina kemana, Bun?" Tanya Sena. "Dia lagi pergi sama Risda. Refresing katanya, mumpung libur." Kata Bunda. Sena mengangguk. "Ya Bun, Nanti aja ngobras baju yang mau dibawa." Kata Sena. "Ya... ini juga masih Bunda potong, baru 6 yang Bunda potong." Kata Bunda lagi. "Memang berapa banyak Bun?" Tanya Sena sedikit kaget tapi senang. Setidaknya Sena ada kegiatan di kontrakan. "36 stel." Kata Bunda. "Alhamdulillaah... Banyak Bun. Ya Nanti Sena bawa 10 juga gak apa Bun. Minggu depan Sena kesini sambil bawa jahitan sekalian ambil obat." Kata Sena. Bunda mengangguk. "Kamu bawa aja berapa sampenya nanti Bunda potong." Kata Bunda. "Ya Bun." Kata Sena senang. "Sena tidur sebentar ya Bun." Bunda mengangguk dan meneruskan memotong celana panjang untuk Sena bawa nanti sore.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN