Satu Cinta dua hati

1739 Kata
Bulan mempercepat langkah saat mendapati rumah Arka sudah gelap. Sepertinya, pria itu sudah tiba lebih dulu. Setelah menenangkan Bintang tadi, Bulan tidak langsung pulang. Melainkan menemani adiknya makan dan menjadi pendengar setia untuknya. Setelah Bintang kembali tenang, baru akhirnya Bulan bisa kembali. Takut-takut Bulan membuka pintu, sangat pelan karena tidak ingin menimbulkan suara. “Astagfirullah!” Bulan menyentuh d**a. Terkejut melihat sosok Arka sudah di depan mata dengan gelas di tangannya. “Maaf, Kak. Maaf, Bulan ngga bermaksud melanggar aturan, ko. Tadi Bulan menemani Bin-.” “Saya nggak peduli,” jawab Arka ketus, melanjutkan langkah menuju kamar. Bulan baru mendongkak saat Arka sudah naik, suara pria itu sedikit aneh. Dia tidak peduli? tapi menunggunya di depan pintu? Bulan sedikit terdiam melihatnya. Tapi biarlah, setidaknya dia tidak dihukum akibat pulang telat hari ini. Satu bulan telah berlalu. Tidak ada kedekatan apapun di antara Bulan dan Arka. Pria yang sedang sibuk-sibuknya karena baru saja menempati posisi penting di perusahaan itu harus pergi pagi-pagi sekali dan pulang larut malam. Seperti pagi ini, Bulan bangun pagi-pagi sekali untuk membersihkan rumah dan menyiapkan makanan. Dia ingin bertemu dengan Arka dan bicara baik-baik pada suaminya. "Sarapan dulu, Kak," tutur Bulan saat Arka sudah ada di depannya. Namun jangan kan untuk menjawab, pria tampan bertubuh tegap itu sama sekali tidak menoleh. Langsung melenggang pergi tanpa kata. Bulan memandang suaminya lekat. Semenjak pertemuannya dengan Bintang satu bulan lalu, Bulan sangat susah menemui adiknya yang memang beda kota itu sekarang. Beda kota? Ya, setelah pernikahan waktu itu kakek memilih rumah yang ada di Jakarta ini sebagai tempat hunian. Entah apa alasannya, agar Arka dekat dengan ke perusahaan, mungkin. Selain itu, Arka juga lebih banyak diam dan terkesan menghindar. Pernah sekali Bulan memberanikan diri membersihkan kamar Arka, tiba-tiba pria itu datang dan menyeret Bulan keluar. Tidak ada makian dan teriakan memang, tapi kebisuan Arka membuat hati Bulan lebih sakit. Bulan lebih senang Arka memerintah apapun padanya, memaki dan meneriakinya dengan keras. Tidak seperti ini, menganggapnya seperti tidak pernah ada. “Kakak, tunggu!” Bulan mencoba mengejar, memberi kotak makan pada suaminya. “Bekal untuk di luar, Kak! Dimakan, yah,” tutur Bulan saat melihat tubuh Arka sedikit kurus, Bulan mengira jika itu adalah faktor dari kebiasaan Arka yang jarang makan atau memang terlalu bekerja keras, entahlah. Pranggg! Tanpa menatap Bulan Arka menepis kotak makan itu, membuat semua isi yang ada di dalamnya tercecer ke lantai. “Kamu itu manusia atau bukan sih! Sudah saya bilang jangan campuri urusan hidup saya! Lagipula kenapa kamu ada disini? Kenapa tidak nggak pergi aja, Hah! Saya enek liat muka kamu!” Deg! Ucapan Arka terlalu tajam bagi Bulan. Sekuat mungkin Bulan menahan air matanya. Kemudian kembali mencoba menatap Arka. “Tapi, Kak. Aku harus kemana?” “Bukan urusan Saya!” sentak Arka kemudian melenggang pergi dan membanting pintu dengan sangat keras. Bulan menitikan air mata. Ternyata selama ini suaminya menginginkan ia pergi. Tapi kemana Bulan harus pergi? Ia tidak mungkin pergi ke rumah Abah, apalagi ke rumah kakek. Hm, entahlah. Bulan akan memikirkan hal itu nanti. Buru-buru membereskan meja makan, dan bersiap. Gadis itu berniat pergi ke sekolahan yang ada di Malang. Ia ingin mengambil ijazah dan segera melamar pekerjaan. Tidak ada teman di rumah, setidaknya ia mendapatkan teman di tempat kerjanya nanti. Ya, semoga saja! Setelah menempuh perjalanan kurang lebih dua jam menggunakan pesawat akhirnya Bulan tiba di sekolahan tempatnya dulu menimba ilmu. Ia menunduk saat matanya bertemu tatap dengan Arka. Suaminya itu juga ada disini? Entahlah. Bulan hanya menunduk tak berani menatap. Untung dia sudah meminta ijin lewat chat tadi. Sekelebat Arka terlihat sangat tampan, muda dan kekinian dengan balutan jaket kulit dan sepatu hitamnya. Memakai helm setelah pura-pura tidak melihat Bulan dan melajutkan motor sport mewah miliknya. Namun baru saja si ketua geng motor yang sekarang menjadi pemimpin perusahaan itu sampai depan gerbang, segerombolan geng motor datang dan menabraknya. Tak hanya itu, mereka juga turun dari motor dan menghajar Arka, mereka baru berhenti setelah para siswa ramai berteriak dan guru berdatangan. “Kakakkkkk!” Bulan berhamburan lari menghampiri Arka. Berteriak minta tolong dan mencoba membangunkan suaminya. Di rumah sakit Abah dan Umi langsung datang ketika mendengar menantu mereka masuk rumah sakit. Awalnya mereka terkejut mendapat kabar Bulan dan Arka ada di kota ini. Tapi setelah tahu Arka mengantar istrinya untuk mengambil ijazah barulah mereka mengerti. Untung jarak rumah dan rumah sakit tidak terlalu jauh. Tak ketinggalan Kakek dan Paman Jimmy yang memang menetap di Malang pun langsung datang. Mereka terlihat begitu khawatir dengan sesekali memeluk Bulan. Namun seseorang yang baru datang membuat semua orang terdiam heran menatapnya. "Arka, kamu kenapa hiksss? Kenapa kamu bisa kayak gini? Maafin aku, maafin aku udah diemin kamu selama ini." Rancau Bintang sedikit tak jelas. Bintang begitu ketakutan saat mendengar Arka di tabrak orang, apalagi setelah satu Bulan penuh ia mendiamkan pria itu. Tidak menganggapnya ada dan bahkan menolak ajakannya setiap kali datang kesini. Ya, Arka memang selalu pergi pagi ke perusahaan, tapi yang membuat ia pulang malam adalah karena menemui Bintang. Bulak balik Jakarta-Malang hanya untuk menemui kekasihnya dan mengajaknya tinggal bersama di Jakarta. Bintang menangis ketakutan. Takut kehilangan pria keras kepala itu dan tidak bisa bertemu dengannya lagi. Setelah seharian penuh bersama Kak Bulan dan bercerita dengannya dulu ketika di taman, Bintang menjadi tidak tega jika harus menerima tawaran Arka dan menyakiti hati Kak Bulan. Karena itu Bintang memilih untuk menjauhi Arka dan menolak ajakannya. Sekeras mungkin Bintang berusaha menahan hatinya yang padahal meronta ingin ikut dan pergi jauh. Tapi selama sebulan itu juga Bintang sangat murung, menangis dan tidak focus melakukan apapun, sang primadona itu langsung terguncang saat ada kabar Arka di tabrak. Dia tidak bisa menahan hatinya lagi. Dia merasa sangat bersalah. Langsung lari menemui Arka. “Kamu mengenalnya, Nak?" suara tiba-tiba umi menyadarkan Bintang. Apa yang dilakukan putri keduanya itu sedikit aneh. Bukankah seharusnya Bulan lah yang menangis tersedu-sedu dan memeluk Arka? Sedang Bulan hanya diam saja meremas jari sambil menunduk. Bintang terkesiap, dia baru menyadari posisi dan kehadiran orang tuanya. Gara-gara begitu khawatir dan takut dia melupakan semuanya. "Hm, ak-" "Hmm anu, Kak Arka adalah ketua kelompok Bintang mi, jadi mereka saling kenal," sambar Bulan membuat Umi dan Abah menoleh padanya. "Ketua kelompok?” "Iya! Umi ingat, gebyar akbar yang akan di laksanakan sekolahan sebentar lagi? Aku dan Kak Arka ikut berpartisipasi dan kebetulan kami satu kelompok. Kan, Bin?" Bulan mengedipkan satu mata, membuat Bintang kikuk dan salah tingkah. Tapi tetap mengangguk mengiyakan. “Oh seperti itu,” tutur Abah membuat Bulan dan Bintang menghembuskan nafas lega. Umi mendekat, mendekap Bintang. “Tenanglah, Nak. Kakak iparmu pasti baik-baik saja. Kita berdoa saja semoga Allah cepat angkat penyakitnya,” tutur umi lembut, kemudian menarik putri bungsunya itu agar duduk di sofa. Kata ‘Kakak ipar’ membuat Bintang tersenyum kecut. Ini semakin menyadarkan dia, tentang siapa dan apa posisinya. Tapi kemudian memeluk uminya, memeluk erat untuk menyembunyikan air mata. Kakek yang sepertinya baru sadar, baru mengeluarkan suara. Mendekati Bulan dan merangkul pundaknya. “Maafkan cucuku selalu merepotkanmu, Nak." "Apa yang Kakak ucapkan? Tentu saja tidak!" Sungguh, seumur hiduppun Bulan rela di repotkan asal Arka suaminya selalu sehat dan bahagia. Kakek tersenyum damai. Dia memang salah memilih wanita untuk Arka. "Kakek harap, Arka segera sembuh dan membalas semua kebaikan istrinya," tutur kakek membuat Bulan melirik Bintang yang saat ini sedikit demi sedikit menarik diri. Bulan menarik kakek ke sofa, mengajaknya berbincang ringan bersama abah dan umi untuk menghilangkan kecemasan pada cucunya yang tak kunjung siuman. Abah, umi dan Kakek sudah kembali, begitu juga dengan Bintang. Gadis itu bahkan sudah menghilang sejak Bulan dan kakek mengobrol. Tepat pukul 1 malam, Bulan masih terjaga menemani suaminya. Arka memang tidak menganggapnya ada, bahkan menginginkannya pergi. Biarlah itu terjadi, Bulan akan tetap berbakti dengan baik. Setidaknya Arka mengingat bagian kecil jika Bulan pernah ada dalam hidupnya. Bukankah mereka akan bercerai setelah satu tahun pernikahan? "Akh!" "Kakak? Kau sudah sadar?" Bulan langsung berdiri, memberanikan diri menggenggam tangan Arka dan mengecek dahi suaminya. "Astagfirullah, kamu demam, Kak! Sebentar aku ambilkan kompres!" Buru-buru Bulan berbalik hendak mengambil air panas, tapi tangannya dicekal oleh Arka. "Jangan pergi!" Lirih Arka dengan mata terpejam. Air mata keluar dari sisi matanya. Bulan terkesiap, menatap tangannya yang digenggam. Tuhan? Benarkan ini yang terjadi? Ini bukan mimpi, Kan? Hati Bulan berdebar, padahal hanya sentuhan tangan. Tapi begitu membuatnya senang. Benarkah dia sudah benar-benar menjatuhkan hatinya pada suaminya sendiri? Bugh! Arka menarik Bulan, membuatnya jatuh dan menimpa tubuh Arka. Bulan ingin berdiri, dia tidak enak menimpa tubuh orang sakit tapi Arka mengunci pinggang Bulan, menahan tubuhnya. “Kakak! Apa yang kau lak-” Cup! Arka mengecup bibir Bulan. Membuat gadis itu melotot, Bulan merasakan sensasi berbeda dari tubuhnya. Benarkah Arka mengigau? Atau hanya pura-pura tertidur? Ah dia tidak tahu, yang pasti saat ini Bulan sudah tersihir. Ketampanan si ketua geng motor ini meraup semua matanya. Wajahnya bersih nan tampan. Hidung mancung bak perosotan jungleland dengan bibir tipis berwarna merah membuatnya sudah mengusap wajah Arka. Bulan menyentuhnya, dia ingin memastikan jika ini bukanlah mimpi. Arka yang biasa tidak bisa ia tatap kecuali dari jauh kini begitu dekat dengannya. Sangat tampan dengan tangan yang mendekapnya. Bulan ingin seperti ini, selamanya. "Tidak akan ku biarkan kau pergi lagi, Bintang!" Rancau Arka lagi membuat air Mata Bulan langsung menetes. Ah, Bulan. Ternyata salah orang. Baru saja Bulan di terbangkan ke langit tujuh, kini ia dibanting keras ke dasar bumi. Gadis itu tersenyum tipis, berani sekali mengharapkan Arka sudah menerimanya. Sedang Arka terus memeluk, menganggap Bulan adalah Bintang. Bulan hanya bisa diam di posisi, mendengarkan rancuan Arka yang terus memanggil nama adiknya. Hati Bulan semakin teriris, kecintaan Arka begitu besar pada Bintang. Arka sampai menangis dan memohon dalam tidurnya. Tidak! Hati Bulan tidak sekuat itu untuk menyaksikan semuanya. Perlahan Bulan melepas pelukan Arka, menulikan telinga ketika Arka kembali memanggil nama Bintang. Bulan berlari keluar, menghirup udara sebanyak mungkin. Dipeluk Arka membuatnya kehabisan nafas. Senang bercampur perih. Padahal sudah sebulan ini Bulan berusaha melakukan hal terbaik. Apapaun yang mungkin saja bisa membuat hati Arka luluh. Tapi tidak! Harapan Bulan ternyata terlalu tinggi untuk merobohkan labirin besar dalam hati Arka. Suara tangisan membuat langkah Bulan terhenti. Tangisannya begitu memilukan. Menangis tersedu-sedu di pojok loby. Bulan kembali membeku setelah melihat orang yang menangis tersebut. Bintang, gadis itu sedang menangis. Bukankah dia sudah pulang sejak tadi? Lagi, dan lagi, Bulan tersenyum tipis. Mereka sangat serasi, satu cinta dua hati. Sepertinya Bulan memang benar-benar jahat, memisahkan dua orang yang saling mencintai. Bulan menyadarkan tubuh ke dinding, menangis dalam diam tanpa berani menghampiri adiknya. Bersambung….
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN