Part 3

1451 Kata
Benar-benar hari tersial dalam hidupku setelah berurusan dengan Pak Elang. Hidupku yang awalnya biasa saja tanpa ada pengganggu, sekarang malah sering mendapatkan hukuman. Entah itu lari mengitari lapangan, atau berdiri di tengah lapangan basket. Bukan Naya kalau terbebas dari hukuman. "Ssst .... Nay." Seseorang memanggil namaku saat sedang berdiri di depan tiang bendera. Aku sedikit menoleh ke arah suara. Ternyata yang memanggilku, ia temanku. Aditya Pratama namanya. Kata Kartika, Aditiya menyukaiku. "Ngapain kamu di sini?" tanyaku berbisik padanya. "Mau kasih kamu minuman dingin. Aku kasihan lihat kamu berdiri terus dari tadi," ujarnya sambil memperlihatkan deretan giginya. "Kalau ketahuan Pak Elang, bisa di-skors kamu, Dit. Sudah sana pergi! Aku enggak apa-apa, kok," usirku sambil menyuruhnya pergi sebelum Makhluk jadi-jadian itu datang dan menghukum Aditya. "Ya, sudah kalau kamu menolak. Aku simpan di sini, ya? Siapa tahu kamu haus," tuturnya sembari menyimpan botol minuman dingin di dekat kakiku. Entah harus bilang apalagi padanya kalau aku tidak bisa menerima dia. Tetap saja Aditya begitu gigih mencari simpatiku. Berharap aku menerima perasaan cintanya. Beberapa detik kemudian, terdengar suara pekikan dari arah belakang. Kutahu suara itu milik Makhluk jadi-jadian itu. Bakal runyam urusannya kalau begini. Aditya pun bakalan kena imbasnya. "Aditya, kamu sedang apa di situ, hah?!" Suaranya menggelegar. Persis suara bom atom meledak. "Maaf Pak, saya tadi hanya mengajak Naya ngobrol," gumam Aditya. "Ngajak ngobrol atau memberikan dia minuman?" tanya Pak Elang menyelidik. "Ya, itu juga benar, sih, Pak. Tapi ...." "Tapi, apa?" potongnya. "Kanaya menolak minuman dari saya. Jadi, saya simpan saja di dekat kakinya," ujarnya dengan suara gemetar. "Maaf Pak, saya permisi. Mau ke kelas." Aditya berpamitan. Namun, belum juga anak laki-laki berkacamata itu pergi, Pak Elang memanggilnya lagi. Ketika aku melihat ke arah belakang karena penasaran, dengan sangat tidak manusiawi, Pak Elang malah mengambil botol minuman dingin itu, lalu menginjaknya. Cipratan air berasal dari dalam botol yang tadi sengaja diinjak oleh Makhluk jadi-jadian itu. Air cipratannya mengenai kakiku dan membasahi lantai semen di lapangan basket. Bahkan suara dari botol diinjak itupun begitu nyaring hingga para siswa berhamburan keluar kelas. Aditya terpaku menatap kelakuan absurd gurunya itu. Aku tidak menyangka jika Pak Elang begitu sangat keterlaluan sekali. Dia tidak pantas disebut guru. Tindakannya itu sangat tidak manusiawi sekali. Punya masalah apa dia? Sampai-sampai tega sama anak didiknya jika berbuat salah. Sungguh terlalu. "Sudah saya peringatkan sejak awal. Jangan pernah ada yang berani membantu murid saat dia sedang dihukum oleh saya! Kenapa masih melakukan itu, hah?!" bentaknya. Kulihat napasnya memburu, turun-naik saking emosinya. Mungkin. "Maaf Pak, sekali lagi saya minta maaf," ucap Aditya sambil menundukkan kepalanya. Melihat Aditya dibentak seperti itu, aku langsung membelanya. Bukan karena aku perhatian padanya, tetapi aku tidak tega karena melihatnya dibentak di hadapan orang banyak. "Pak, bapak keterlaluan! Seharusnya Bapak bicara baik-baik sama Aditya." Aku membela Aditya. "Kamu membelanya?" "Ya, jelas dong saya bela. Dia cuma khilaf, Pak. Tidak seharusnya Anda berbuat demikian pada Adit. Anda itu guru, yang patut memberikan contoh pada anak didiknya. Menasehati bukannya membentak di depan orang banyak!" Guru bermata cokelat itu diam saat aku menceramahinya di depan Aditya dan seluruh murid di SMA Negeri 1. Begitu juga dengan guru-guru yang sudah memperhatikan kami dari depan ruang guru. "Punya masalah apa, sih, Anda? Kalau punya masalah pribadi, tolong dong Pak, jangan dibawa ke sekolah!" Aku terus berkata tanpa jeda, tetapi dalam hati aku beristighfar sambil membatin, "Naya cantik, Naya cantik jangan marah!" "Naya, stop!" bentaknya lagi. Sepertinya dia sedang menahan emosi. Terlihat dari tekanan urat di lehernya dan tangannya yang mengepal erat. Kutarik lengan Aditya dan segera membawa laki-laki itu pergi menjauh dari Pak Elang. Suara tepukan sorak sorai kemenangan menggema. Aku tidak pernah bangga ketika mendapatkan apresiasi dari teman-teman karena sudah berani menantang Pak Elang. Aku hanya ingin guru muda itu berubah agar tidak lagi galak pada anak didiknya. Percuma ganteng kalau kelakuannya mirip Makhluk jadi-jadian. Uh, payah! "Saya tidak ingin kamu sakit karena meminum air dingin dari Adit." Suara bariton miliknya Terdengar jelas di telingaku. Bahkan Aditya ikut menoleh ke arah pemilik suara. Aku terdiam. Memikirkan perkataannya yang mengatakan kalau dia memang peduli padaku. Tidak ingin aku sakit, itu yang diucapkan olehnya. "Berdiri di tengah lapangan basket dan kondisi cuacanya sedang panas, itu tidak baik buat tubuhmu, Naya. Minuman itu dingin dan Kamu bisa pusing atau ... sakit tenggorokan setelahnya." Sebenarnya apa, sih, maunya Pak Elang? Sempat-sempatnya bikin aku baper lagi. Kalau kayak gini, aku tidak jadi untuk membenci guru galak itu. Aduh Bapak ... luluh lagi 'kan hatiku. *** Entah mengapa bayangan wajah Pak Elang masih membekas di ingatanku. Raut wajah emosi bercampur dengan wajah kecemasan. Itulah yang terpancar saat aku berbicara padanya dengan lantang. Sebagai murid yang baik, seharusnya aku tidak boleh memarahi guru. Kalau sudah begini, bakalan susah lagi. Nantinya Pak Elang bakalan menandai aku sebagai murid teladan dalam artian tanda kutip. Ting! Suara notifikasi pesan masuk berbunyi. Suaranya itu mampu membuatku terkejut dan sadar kalau sudah terlalu lama melamun. Kubuka kunci layar di ponsel. k****a pesan dari nomor yang tidak aku kenal dan nomor itu bukan berasal dari teman-temanku. [Sudah tidur belum?] Pesan singkat itu telah k****a. Namun, tidak kubalas karena malas untuk menerima pesan dari orang yang tidak dikenal. Membuatku mengerutkan kening. Ting! Pesan itu masuk lagi. Masih dengan nomor yang sama. Kali ini pesannya lumayan banyak. Ya, setidaknya membuat rasa penasaran hilang. Mungkin nantinya si pengirim pesan menuliskan namanya. [Kalau belum tidur, saya mau ngajak kamu keluar malam ini. Bisakah?] What? Tunggu dulu! Bahasanya baku, terus manggil diri sendiri dengan sebutan 'saya'. Wah, jangan-jangan dia Makhluk jadi-jadian itu. Ting! Pesan masuk lagi. Kuembuskan napas panjang yang terasa berat. Sekali lagi aku membuka pesan itu, kemudian membacanya, dan ... hatiku dag-dig-dug. [Saya tunggu di depan halaman rumah. Tidak usah dandan! Pakai saja baju yang kamu kenakan saat ini juga. Kamu tetap cantik meski tidak sedang berdandan.] Ini orang lagi ngegombal atau mengajak berantem? Lagipula siapa juga yang mau keluar bersama itu orang. Orang asing tidak dikenal dan juga merupakan orang yang SKSD, [Sok Kenal, Sok Dekat.] Cuek, itulah yang aku lakukan saat ini. Tak acuh pada pesan singkat yang masuk berkali-kali ke dalam ponselku. Akan tetapi, pesan singkat yang entah dari mana ia berasal, dikirim lagi ke nomor ponselku. Gila ini orang, malam-malam mengajak keluar untuk jalan. Dikiranya aku ini perempuan malam. Ya, walau sikapku ini terlihat bar-bar dan juga pemberani, tetapi ... aku bukan wanita penghibur. [Nayanika Bhatari, cepat keluar!] Pesannya kali ini membuatku emosi. Bisa-bisanya orang itu menyebut lengkap nama asliku. Dengan berat hati kuikuti kemauan orang yang mengirimkan pesan padaku. Awas saja, setelah sampai di hadapan orang asing itu, akan kumaki habis-habisan. . Aku berdiri tepat di belakang tubuh lelaki asing yang mengirimkan pesan padaku. Lalu tanpa aba-aba, aku melayangkan sebuah pukulan padanya. Laki-laki itu meringis dan menyuruhku berhenti memukul. "Naya stop! Ini saya Elang, guru kamu," tegurnya. Aku terperanjat mendengar suara bariton milik Pak Elang. Lagi-lagi aku membuat kesalahan dengan memberi pelajaran pada lelaki dingin itu. "Eh, maaf Pak. Saya tidak sengaja," ujarku sambil menyunggingkan senyuman manis padanya. "It's okay. Saya maafkan," katanya sembari memandangku dari ujung kaki hingga ujung rambut. Mungkin dia melihat diriku yang hanya memakai baju piyama. Salah sendiri, dia juga yang menyuruhku untuk tidak mengganti baju. "Mau apa Bapak ke rumah?" tanyaku sambil melirik sinis padanya. "Hem ... mau ajak kamu jalan. Eh, bukan itu. Maksudnya saya mau minta maaf sama kamu soal kejadian tadi siang di sekolah," tuturnya gugup. Aku terkekeh geli mendengarnya. Kenapa di saat terdesak gini, dia malah sempat berbohong? Padahal kalau dia mengajak aku jalan pun, tidak akan aku tolak. Sayang saja untuk dilewatkan jalan sama guru ganteng yang terkenal garang macam singa. "Bapak serius?" tanyaku padanya. "Iya, serius. Mana ada saya menarik perkataan yang sudah diucapkan," balasnya. "Oke, kalau begitu izinkan saya mengganti baju dulu. Enggak enak kalau jalan sama bapak pakai baju tidur," kataku sembari terkekeh menahan tawa. Lelaki jangkung berambut cepak itu termangu. Mungkin dia tidak mengira kalau aku senekad itu terlalu percaya diri mengajaknya jalan. Dalam artian jalan untuk berkencan. "Tapi, Nay ... ini sudah malam. Nanti orangtuamu marah kalau pulang terlalu malam," sanggahnya. "Ah, tenang saja. Orangtuaku lagi di luar kota. Mereka tidak pernah ada di rumah, Pak. Woles," dalihku. "Tunggu dulu, ya, Pak. Enggak sampai satu jam, kok." Belum juga aku berbalik arah, Pak Elang sudah lebih dahulu menahanku. Dia menggenggam tanganku kemudian menatap padaku. "Tidak usah ganti baju. Ini kamu pakai saja jaket saya kalau memang kamu memaksa saya untuk mengajak jalan." Sial! Kenapa di saat dia sedang berdalih, nada bicaranya itu teramat sopan sekali. Sama seperti dia sedang merayu atau Entahlah apa itu namanya. Pak Elang membuka jaket yang dia kenakan lalu memasangkan jaket miliknya padaku. Sikapnya kali ini terasa lembut sekali. Bahkan aku berkali-kali mengerjapkan mata saking tidak percaya lelaki di hadapanku itu guru galak di sekolah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN