Mobil yang dikendarai oleh Ezra hampir mencapai gerbang sekolahku. Namun, sebelum hal itu terjadi, aku memilih untuk meminta pria itu agar nggak menghentikan mobil mahalnya tepat di depan gerbang sekolah. Aku nggak ingin mobil Lamborghini yang mencolok ini menarik perhatian semua murid-murid yang melihatnya.
Ya, walaupun berhenti beberapa meter dari gerbang itu nggak terlalu membantu, tetapi setidaknya itu lebih baik daripada menjadi pusat perhatian, ‘kan? Jangankan berhenti beberapa meter dari gerbang, hanya dengan melewati gerbang sekolahku saja, mobil berwarna merah itu pastinya akan menarik perhatian orang-orang yang melihatnya.
"Hmn ... Ezra, boleh berhenti di sini aja?" pintaku pelan dengan nada suara kecil.
Mendengar ucapanku, Ezra sontak menghentikan mobilnya sedikit mendadak sehingga tubuhku terhubung beberapa sentimeter ke depan. Untung saja ada sabuk pengaman yang menahan tubuhku. Kalau nggak, keningku pasti sudah berakhir dengan terantuk pada dashboard yang ada di hadapanku.
"Kenapa harus di sini?" tanya Ezra dengan kening berkerut yang diiringi oleh ekspresi kebingungan.
"Hmn ... nggak apa-apa. Aku cuma ... nggak nyaman aja kalau harus berhenti di gerbang utama," jelasku terbata-bata, takut ucapan yang baru saja terlontar dari mulutku menyinggung perasaan pria yang sedang duduk di sebelahku itu.
Ezra tampak berpikir sejenak. Setelahnya, pria itu menganggukkan kepalanya kemudian berkata, "Oh, oke. Nggak masalah."
Akhirnya rasa lega bisa kurasakan ketika Ezra setuju dengan permintaanku. "Oh, ya, aku hampir lupa," celutukku sembari menepuk kening dengan telapak tanganku.
Dengan gerakan cepat, aku mengeluarkan selembar uang berwarna merah muda dari saku kantung seragam dan menyelipkannya pada telapak tangan Ezra yang bertengger di kemudi.
Pria itu tampak terkesiap ketika kulit tangan kami bersentuhan. Kenapa pula orang ini? Masa cuma sentuhan kecil gitu aja, rasanya udah kayak disetrum listrik? batinku bermonolog di dalam hati.
Aku memilih untuk mengabaikan pemikiranku sendiri dan bersiap untuk keluar dari mobil Ezra. Namun, pergerakanku terhenti ketika tangan Ezra mencekal lenganku dengan tiba-tiba. Nggak kuat, tetapi sukses membuatku bergeming di tempat.
"Uang apa ini, Lun?" tanya Ezra sembari menunjukkan lembaran uang yang kini sudah terjepit di antara jari jempol dan telunjuknya.
"Uang sarapan tadi," jawabku cepat karena bel masuk sekolahku sudah hampir berbunyi beberapa menit lagi.
"Siapa yang bilang kamu boleh bayar?" tanya Ezra lagi.
Aku mengerutkan kening dengan kepala yang sedikit dimiringkan. "Tapi 'kan aku yang makan, berarti aku juga yang harus bayar," jelasku. Benar seperti itu logikanya, 'kan? Meskipun harga bubur itu benar-benar menguras isi dompetku, tetapi aku tetap harus bertanggung jawab pada apa yang sudah kupesan dan masuk ke dalam perutku, bukan? Iya, benar seperti itu logikanya!
Aku nggak ingin dianggap oleh Ezra sebagai gadis yang memanfaatkannya, apalagi ini adalah pertemuan pertama kami setelah berkenalan malam itu.
"Aturan dari mana itu?" Lagi-lagi, Ezra kembali bertanya. Pria itu sudah persis seperti wartawan yang memberondong narasumber dengan pertanyaan-pertanyaannya.
"Itu namanya prinsip, Ezra," jawabku dengan yang sudah mulai keki pada pria itu.
"Ambil ini balik,” titah Ezra dengan nada tegas yang nggak ingin dibantah. “Kamu simpan aja, oke?" lanjut pria itu kekeuh.
Aku menggeleng sebagai balasan atas pertanyaan yang baru saja dilontarkan dari mulut Ezra. Aku sudah hendak keluar dari mobil pria itu, tetapi Ezra seolah bisa membaca pergerakanku dan malah mengunci pintu mobilnya sehingga niatku menjadi urung.
Ezra mengeluarkan dompet dari saku celananya dengan gerakan cepat. Pria itu meraih beberapa lembar uang seratus ribuan dari dalam sana tanpa menghitungnya terlebih dahulu kemudian menyodorkannya padaku.
"Sekarang aku kasih kamu pilihan. Kamu pilih untuk simpan uang kamu ... atau aku terima selembar dari kamu, tapi kamu terima ini dari aku?" Ezra menunjuk uang yang dimaksud dengan dagunya
Pria ini ... masih waras, 'kan, ya? batinku bertanya pada diri sendiri di dalam hati.
Dengan gerakan cepat, aku meraih selembar uang dari tangan kanannya—uang yang tadi aku berikan. Seulas senyum tampak terlukis di bibir Ezra dan diiringi dengan tangannya yang membuka kunci pintu mobil.
"Aku turun dulu kalau gitu. Makasih, Ezra," ujarku dengan nada suara yang dibuat seramah mungkin padahal rasa panas sudah melingkupi dadaku.
"See you again, Laluna," balas Ezra sembari menepuk kecil puncak kepalaku sebelum aku benar-benar keluar dari mobilnya.
Nggak ada lagi again again! Cukup satu kali! desisku jengkel di dalam hati. Aku mendengus sembari melangkah menuju pintu alternatif sekolah yang langsung terhubung dengan kantin dan memilih untuk mengabaikan pandangan-pandangan murid yang sempat melihatku turun dari Lamborghini milik Ezra tadi.
"Ah, udalah. Toh, ini juga hidupku, bukan hidup mereka," gumamku pada diri sendiri sembari melanjutkan langkahku dan mengabaikan pandangan beberapa murid yang tertuju padaku.
Aku bahkan belum mencapai pintu alternatif itu, tetapi bel tanda masuk sudah berbunyi dan membuat semua murid-murid di sekitarku berlari dengan kecepatan supersonik. Begitu pun juga denganku. Namun, sayangnya guru pengawas badan konseling sudah tampak berdiri di ambang pintu alternatif tersebut sembari mendata satu per satu nama murid yang terlambat.
"Nama?" tanya guru berjenis kelamin wanita tersebut dengan kacamata yang sedikit melorot dari pangkal hidungnya.
"Laluna Laine."
"L-I-N-E?"
"Bukan, Bu. L-A-I-N-E."
"Kelas?"
"Sepuluh MIA satu."
"Oke. Silakan ucapara sekarang, tapi setelah ucapara kamu datang ke kantor BK untuk menerima konsekuensi atas keterlambatan kamu ini," pesan guru itu yang kubalas dengan anggukan lesu.
Alamat dijemur lagi ini setelah ucapara, batinku sebal.
*
Setelah upacara bendera selesai, aku menyampirkan tas sekolahku di pundak kemudian mengekori teman-teman untuk masuk ke dalam kelas. Ya, ini adalah tradisi di sekolahku. Bagi yang terlambat, nggak diperbolehkan masuk ke dalam kelas untuk meletakkan tas. Jadi, kami harus membawa benda itu untuk mengikuti upacara bendera dan meletakkannya di lantai lapangan.
Baru saja aku menghempaskan b****g di kursi berbahan fibre yang biasa aku duduki, ketua kelas ini—Edward, sudah memanggil namaku dari ambang pintu kelas.
"Laluna," panggil Edward sembari menyandarkan sisi kiri tubuhnya pada kusen pintu. Aku menaikkan dagu sedikit sebagai balasan yang di dalamnya tersirat kata 'apa?' pada Edward.
"Kamu dipanggil tuh ke ruang BK. Kayaknya gara-gara telat tadi pagi," balas Edward menjelaskan.
Aku menghembuskan napas pelan kemudian mengangguk pada Edward sembari mengambil tali pinggang dari dalam tas dan memakai benda itu dengan cepat.
Setelah memastikan kelengkapan atributku sudah layak untuk masuk ke ruang BK, aku pun keluar dari kelas untuk menuju ke sana. "Good luck, Lun," bisik Jessica yang duduk di meja paling depan yang dekat dengan pintu kelas.
Aku memberikan gadis itu seulas senyum tipis seraya mengacungkan jari jempol padanya sebelum keluar dari rungan kelas.
*
Sesampainya aku di depan ruang BK, tampak ada beberapa murid yang juga sudah menunggu di depan. Beberapa wajah-wajah ini adalah wajah yang tadi aku temui di gerbang alternatif tadi pagi. Sementara yang lainnya, mungkin memiliki urusan selain daripada keterlambatan sehingga terdampar juga di ruangan itu.
"Laluna Laine!" panggil guru BK yang mencatat namanya di gerbang alternatif gadi pagi. Wanita paruh baya itu bernama Delima Saragi dan biasanya sering dipanggil Bu Ima oleh murid-murid di sekolah ini.
"Saya, Bu," jawabku seraya melangkah masuk ke dalam ruang BK yang pintunya nggak tertutup itu.
"Atribut udah lengkap?" tanya Bu Ima seraya meniliti penampilanku dari atas sampai ke bawah.
Aku menganggukkan kepala sebagai jawaban sambil berkata, "Udah, Bu."
"Tanda tangan di sini," titah Bu Ima sembari menunjuk salah satu kolom yang ada di sebelah kolom namaku pada kertas yang berada di hadapannya.
Setelah aku membubuhkan tanda tangan di atas kertas putih itu, Bu Ima lanjut berkata, "Oke. Silakan ke lapangan dan gabung sama yang lain."
Aku berpapasan dengan Edward di depan pintu ruang BK. Entah ada keperluan apa, tapi sepertinya lelaki itu hendak masuk ke dalam sana dengan tangan yang tampaknya membawa beberapa dokumen.
"Dihukum?" bisik Edward bertanya yang kubalas dengan anggukan kepala sebagai jawaban.
"Seriusan? Panas-panasan begitu?" tanya Edward lagi sembari menatap ngeri pada terik matahari di lapangan sekolah.
"Dua rius malah, Ed," balasku dengan mengacungkan kedua jari membentuk tanda ‘V’.
"Lagi pula udah tau hari Senin, masih bisa-bisanya kamu telat," decak Edward sebelum melanjutkan, "Udah, ah. Aku masuk dulu ke dalam."
Setelah berkata demikian, lelaki itu pun melangkah masuk ke dalam ruang BK, sementara aku berjalan menuju ke tengah lapangan di mana beberapa murid sudah berkumpul di sana.
Begitu aku sampai di hadapan guru BK yang bernama Elias, pria setengah baya itu langsung memberondongku dengan pertanyaannya.
"Nama?" tanya Pak Elias. "Telat 'kan tadi pagi?" lanjutnya bertanya.
Aku menganggukkan kepala sebagai jawaban atas pertanyaan terakhinya lalu berucap, "Laluna, Pak."
"Tulis nama dan tanda tangan di sini," tita Pak Elias sembari menyodorkan sebuah papan ujian dengan beberapa lembar kertas yang terjepit di sana.
Tanganku menerima sodoran papan tersebut lalu menuliskan nama serta membubuhkan tanda tangan di sana lalu mengembalikannya pada Pak Elias.
"Jalan keliling lapangan lima kali, setelah itu buang sampah salah satu kelas ke tempat pembuangan besar. Kalau udah selesai, kamu baru boleh masuk ke kelas," jelas Pak Elias. Aku hanya mengangguk tanpa membalas ucapan pria setengah baya yang rambutnya sudah memutih seluruhnya itu.
Kakiku melangkah ke sisi lapangan dan berjalan di belakang beberapa murid perempuan yang juga sedang menjalankan hukuman mereka. Nasib mereka sama denganku, yaitu jalan mengelilingi lapangan. Namun, setidaknya jumlah mereka ada empat orang sehingga bisa mengobrol sedikit sambil dihukum, sementara aku hanya seorang diri.
Baru tiga putaran saja kedua tungkaiku sudah terasa ngilu dan pegal. Kesengsaraanku ditambah lagi dengan keringat yang mengucur deras di kening karena terik matahari yang sedang sangat panas-panasnya di jam-jam seperti ini. Meskipun cahaya matahari pada waktu seperti ini adalah yang terbaik, tetapi tetap saja menyengat di kulit dan membuatku gerah hingga meneteskan keringat.
Pada putaran kelima, napasku sudah ngos-ngosan seperti orang yang baru saja berlari sejauh puluhan kilometer. Belum lagi rasa haus yang menyerang, membuatku ingin sekali berteriak memaki nama seseorang, yaitu Ezra si Pria Kaya dan Tampan itu.
Untungnya setelah berkeliling sebanyak lima putaran, Pak Elias mengizinkan kami untuk beristirahat sebentar di kursi yang tersedia di setiap sudut lapangan. Setidaknya aku bisa menetralkan napasku sejenak sebelum berperang dengan tempat pembuangan sampah setelah ini.
Beberapa murid perempuan yang berjalan di depanku tadi sudah nggak tampak batang hidungnya. Kemungkinan besar mereka sedang berkeliling untuk mencari tong sampah yang masih terisi di salah satu kelas dan itu bukanlah pekerjaan yang mudah. Pasalnya, ada satu peraturan aneh di sekolah ini, yaitu harus memastikan tong sampah di kelas kosong melompong sebelum guru masuk ke dalam ruangan kelas.
Aku baru saja hendak beranjak dari posisi dudukku untuk melanjutkan hukuman berikutnya agar aku bisa segera masuk ke dalam kelas. Namun, sebuah tangan yang menggenggam botol air mineral tiba-tiba terulur di hadapanku. Kepalaku sontak mendongak untuk melihat wajah pemilik tangan tersebut. Ternyata orang itu adalah ketua kelasku, Edward.
Aku menatap Edward dengan pandangan bertanya dan alis yang terangkat sebelah. Seakan mengerti dengan arti tatapanku, Edward pun berujar, "Nih ... minuman buat kamu." Tangan lelaki itu menyodorkan botol air mineral tersebut lebih ke depan daripada sebelumnya.
Meskipun masih bertanya-tanya perihal perlakuan Edward yang nggak seperti biasanya ini, aku tetap menerima sodoran air mineral dari lelaki itu lalu berucap, "Makasih."
"Anytime," balas Edward dengan senyum tipis yang terpatri di bibirnya. Lagi-lagi keningku berkerut, tetapi kali ini lebih samar daripada sebelumnya karena mendapati senyum di bibir lelaki itu.
Seingatku, Edward ini adalah tipikal murid teladan yang cuek dan jarang tersenyum. Lelaki itu selalu tampak mencolok dan lebih menarik perhatian daripada teman satu geng-nya. Hal itu dibuktikan dari banyaknya perempuan di sekolah ini yang menggemari lelaki itu, mulai dari bocah-bocah perempuan yang masih SMP sampai ke senior kami. Bukan hanya itu saja, Edward juga adalah wakil ketua OSIS di sekolah ini. Jadi, sudah pasti nama lelaki itu terkenal di seantero sekolah ini, 'kan?
Tanpa berkata apa-apa lagi, Edward pun berlalu dari hadapanku karena Pak Elias yang sedang duduk di ujung lapangan, menatap ke arah kami dengan matanya yang melotot dan hendak menghampiri ke mari. Nggak ingin hal itu terjadi, aku pun segera beranjak dari tempat dudukku kemudian berjalan menyusuri koridor kelas sembari menghabiskan air mineral berukuran kecil yang diberikan oleh Edward tadi sebelum membuangnya ke dalam tempat sampah.
Tok!
Tok!
Tok!
Aku mengetuk pintu salah satu kelas junior yang kebetulan aku lewati. Guru yang awalnya sedang menuliskan sesuatu di papan tulis pun menghentikan aktivitasnya setelah mendengar ketukan pintu yang merupakan ulahku. "Masuk!" titah wanita yang kuingat adalah guru seni musik itu.
"Permisi, Bu. Saya ma—" Kalimatku sudah lebih dulu dipotong bahkan sebelum aku sempat menyelesaikannya.
"Mau ngapain?" tanya guru bernama Bu Achi itu dengan mata memicing yang menatap nggak suka ke arahku, mungkin karena aku menginterupsi acara mengajarnya.
"Mau buang sampah, Bu," ujarku sembari menunjuk pada sebuang tong sampah di dekat pintu yang masih terisi setengahnya.
Bukannya menjawab 'iya' atau 'tidak', Bu Achi malah balas bertanya, "Terlambat kamu?"
Aku menganggukkan kepala sembari menjawab, "Iya, Bu."
"Oh, okelah. Ya, udah, cepatlah buang sampahnya. Kamu menginterupsi acara mengajar saya," titah wanita itu dengan nada yang sedikit ketus sebelum kembali menuliskan sesuatu pada papan tulis dengan spidolnya.
"Kalau udah siap nanti, tong sampahnya letak di depan aja. Biar kamu nggak perlu ketuk pintu lagi," lanjut Bu Achi memberi titah.
Aku mengangguk sekali lagi sebagai tanda mengerti atas ucapan Bu Achi kemudian meraih tong sampah berbahan plastik yang berada di sudut ruang kelas dan membawa benda itu keluar menuju tempat pembuangan yang berada di paling sudut dari sekolah ini.
Dengan rasa sedikit jijik, aku menjepit sisi tempat sampah itu di antara ibu jari dan jari telunjukku disertai dengan ringisan yang mengiringi. Sesampainya di dekat tempat pembuangan, ringisanku pun kini berubah menjadi erangan karena bau menyengat yang langsung terhirup oleh indra penciumanku.
"Bau banget!" gumamku sembari menutup hidung dengan tangan kiriku yang masih terbebas.
Kalau saja aku nggak terlambat tadi pagi, hidungku pasti nggak akan mencium bau yang mengerikan seperti ini. Sebuah nama tiba-tiba terlintas di dalam benak dan membuatku menggeram di dalam hati sembari menyebutkan nama itu.
Ezra!!!