CHAPTER 23 - MAMA DATANG

1747 Kata
Ronal menaiki lift private menuju penthouse nya tersebut, hari ini dia sedikit pulang lebih telah dari pada biasanya, sehingga pukul 6 lebih dia baru sampai tempat tinggalnya itu. Ting ... Setelah lift terbuka dia langsung memasuki area penthouse nya yang memang berada di lantai 10 itu. Beberapa hari ini dia tidur di hotel _kamar private nya_ karena juga ada urusan di sana, tapi hari ini dia memutuskan untuk pulang saja, di tempat tinggal utamanya, di mana tempat yang dua tahun ini sering dia tiduri dari pada rumah orang tua atau kamar hotel. Dia pun sedikit melonggarkan dasi yang cukup menyesakkan itu, dan setelahnya dia melepas sepatu dan menyimpan di lemari khusus sepatu samping lift berlanjut menggantinya dengan sendal khusus rumah. Huh ... Tiba tiba saja Ronal mendengus, mungkin jika ada orang yang melihatnya akan menganggap Ronal itu aneh. Tapi sejujurnya alasan dia mendengus karena dia memikirkan kejadian pagi tadi, di mana dia bertemu dengan wanita itu. Sial memang, bohong kalau Ronal tidak marah karena telah di siram kopi, sedangkan pelakunya sama sekali tak bertanggung jawab dan malah memutuskan kabur. Padahal kalau wanita itu mau berhenti dan setidaknya mengucap maaf mungkin Ronal tidak akan sekepikiran ini. Eh, Entah rasa kepikiran tersebut karena kesal tidak ada ucapan maaf atau yang lain, tapi yang pasti Ronal menganggapnya begitu. Ronal sendiri bingung, kenapa wanita itu berusaha bersembunyi darinya, padahal kalaupun dia bersikap biasan saja Ronal juga tidak masalah kan. Tapi wanita itu malah berusaha keras menyembunyikan wajahnya itu dan menutupi nya dengan rambut. Dan ketika di panggil juga malah kabur. Jadi haruskah Ronal meminta pertanggung jawaban wanita itu sesuai saran Sandy sekretarisnya itu. Tapi kalau di pikir pikir, dia tidak mempermasalahkannya juga bukan karena dia teman Sia, tapi Ronal memang tidak berniat membalas dendam sama sekali. Hanya saja ada rasa mengganjal pada hati Ronal. Apakah Ronal perlu menghubungi wanita itu? "Sayang!" Panggilan tersebut sontak saja membuat Ronal yang mulanya melamun langsung tersadar dengan cepat. Ronal menoleh ke arah sumber suara, Dan benar saja, persis seperti dugaan Ronal kalau suara tersebut berasal dari mamanya, yang saat ini duduk di sofa tengah. Bagaimana mungkin Ronal tidak menyadari kalau ada sosok lain yang menghuni penthouse nya sejak tadi. Sail, ini karena Ronal yang terlalu banyak melamunkan hal tidak penting. "Kamu masa nggak sadar ada mama di sini sih?" omel mama Ronal, Iffa itu, seraya memanyunkan bibir. Wanita paruh baya dengan pakaian khas orang sosialita itu menatap sang anak dengan tatapan kesal. Dia pikir tadi kedatangannya yang mendahului sang anak akan sangat mengejutkan, tapi dirinya salah besar anak semata wayangnya itu malah nyelonong begitu saja mengabaikan dirinya yang sudah berpose epik di sofa. Terlebih Ronal, bocah itu sudah hendak menaiki tangga. Kalau Iffa tidak memutuskan memanggil pasti Ronal juga tidak akan sadar. "Dari tadi?" Dengan tampang tak bersalah sama sekali, juga tak menunjukkan ekspresi keterkejutan itu, Ronal bertanya seraya berjalan menghampiri sang mama. "Dari kemaren!" Mama Iffa menjawabnya dengan begitu judes, dan meski begitu Ronal tay betul kalau mamanya hanya bercanda, atau lebih tepatnya kesal pada Ronal. "Maaf, Ronal tadi nggak liat," ucap Ronal agar mamanya tidak terlalu sensi. Cih, Ingin sekali Mama Iffa menyemburkan kekesalannya itu, tapi faktanya dia hanya berdecih pelan. Tidak lihat bagaimana kalau posisi Iffa berada sangat jelas dan bahkan tanpa menoleh pun ketika Ronal berjalan menuju tangga, dia akan langsung menemukan mamanya itu. Memang dasarnya Ronal melamun, tatapannya saja fokus ke depan seperti arwahnya melayang. "Ngelamunin apa sih kamu?" tanya Iffa tanpa menurunkan kadar sewotnya tersebut. Ronal menggeleng pelan, "Nggak ada," lalu mulai mengambil duduk si sofa berhadapan dengan mamanya itu. "Makanya kamu itu cari istri," Hng ... Kalau di pikir pikir, dari mana pula hubungannya ngelamun dengan istri. Tapi ya namanya mama Iffa, Ronal sudah faham betul sifatnya, semua saja di hubung-hubungkan dengan istri. "Ronal masih 26 tahun," jawab Ronal, tidak bermaksud membantah tapi ya bagaimana lagi, mamanya tersebut tidak pernah bosan mengatakan istra-istri berkali-kali. "Pas itu," Mama Iffa malah tersenyum bangga. Ronal memejamkan matanya sejenak, lumayan jengah jika sudah mulai pembahasan seperti ini. "Ronal nggak mau nikah muda," Bahkan menurut Ronal si umurnya yang sekarang, dia mash memiliki banyak hal yang perlu di kejar, bahkan dia baru berkarir penuh selama dua tahun. Banyak dari temannya juga yang belum menikah, Kazeo saja yang terlalu cepat, pasti karena tidak tahan. "Lah, enak tau nikah," ujar mama Iffa penuh keyakinan. Huh, Enak dari mananya? Menikah kan bukan perkara enak enak saja. Tapi banyak hal yang harus di fikirkan. "Hm," tidak mau memperdebatkan lebih lanjut, Ronal memilih bergumam sebagai jawaban. "Ih beneran," Akan tetapi meski Ronal manut manut saja, mama Iffa yang ngotot meyakinkan anaknya, juga seolah tetap ingin mengajak debat. "Hm," Ronal bergumam lagi. Mama Iffa memanyunkan bibirnya, agak kesal anaknya yang selalu ham hem ham hem saja ketika di ajak bicara serius, padahal kan dirinya benar-benar ingin meyakinkan sang anak bahwa menikah cepat itu juga bagus. "Cari calon dulu lah Sayang," celutuk mama Iffa setelahnya. "Iya nanti," Walaupun Ronal mengiyakan, tapi mama iffa tau kalau anaknya tersebut hanya iya iya saja tapi tidak akan di lakukan, mungkin kata iya hanya sebagai bentuk menetralisir perdebatan. "Emang mama ngapain ke sini?" tanya Ronal mengalihkan percakapan, beharap sang mama melupakan pembahasan soal calon istri maupun istri tadi. "Ah, iya, mama punya sesuatu buat kamu," Wajah mama Ronal yang sebelumnya agak suram pun berubah cerah lagi, dan malah malah lebih bahagia dari yang tadi, dia sangat excited. Hanya ke excited an dengan tambahan senyuman tersebut malah membuat bulu kuduk Ronal berdiri, ada perasaan tidak enak pada diri Ronal. Apa mungkin Ronal telah sala menanyakan, sebab dia malah seolah membangunkan singa tidur. "Karena kemaren wanita yang di tunjukkin Doni gagal lagi, sekarang mama bakal kasih gantinya." ucap mama Iffa seraya mengeluarkan sesuatu dari dalam sling bag-nya tersebut. Dan benar seperti dugaan Ronal, kalau itu semua masih berhubungan dengan 'calon istri'. Astaga ... Mama Ronal meletakkan belasan foto perempuan di atas meja, agar Ronal bisa melihat sepenuhnya. Padahal kenyataannya melirik saja Ronal tidak, dia hanya memejamkan mata seraya menghela nafas berat. "Ma," panggil Ronal, tapi tidak di tanggapi oleh mamanya, sebab wanita paruh baya itu malah berkata lain. "Di pilih di pilih," Sudah macam jualan saja, mama Iffa malah menata satu persatu foto itu berjajar menghadap Ronal, dan mungkin setelah ini dia kan mempromosikan pada anaknya tersebut. Memang berlebihan kalau kata Ronal ini. "Ma," panggilan Ronal untuk kedua kalinya rupanya masih gagal. Mamanya masih asyik mempromosikan wanita-wanita itu. "Ayok pilih sayang, mau yang model gimana?" tanya mama Iffa dengan mata berkedip beberapa kali, menunggu anaknya menjawab. "Astaga," Ronal pening sungguh, seharian dia bekerja dan sudah mengalami banyak kejadian, saat sampai rumah malah harus menanggapi seperti ini. "Ini cantik juga kan," Mama Iffa mengangkat satu foto wanita dengan wajah cantik dan nampak feminim itu. Tapi Ronal bahkan tidak sanggup untuk menjawabnya. Okay, Kalau sudah seperti ini Ronal memang harus memutus secara paksa. "Aku udah ada pandangan," ucap Ronal tiba-tiba. Sedikit ambigu yang mana membuat namanya itu terpaku beberapa saat. "Apa maksud kamu?" tanya Mama Iffa setelah dia mulai tersadar, dan perlu mempertanyakan tanpa harus menduga duga. "Udah ada," Ronal kembali mengucap, tapi tetap tidak begitu jelas. Ronal sengaja. "Udah punya pacar maksud kamu?" Raut penuh harap tercetak jelas di wajah Iffa ketika menanyakannya. Dan entah mendapat keberanian dari mana Ronal malah mengangguk mengiyakan. "Proses," lanjutnya, setidaknya kalau masih 'proses' ekspetasi mamanya tidak akan terlalu tinggi. "Serius kamu?" Senang, tentu sana Iffa senang bukan main. Bahkan dia sampai mengerjabkan matanya tidak percaya. "Hm," Ronal bergumam, tidak sanggup melanjutkan lebih. Kebohongan yang terlalu tiba-tiba. Cih, proses apanya, barangnya saja tidak ada. "Jangan bilang Sia!" tuduh mama Ronal setelah terdiam beberapa saat. Hng ... Kenapa mama Iffa tidak percaya, karena selama ini Ronal bahkan tidak pernah berinisiatif. Dan kalau proses pun pasti tidak lain dan tidak bukan adalah Sia, wanita yang dekat dengan putranya itu. "Sia kan ngaku kamu!" Mama Iffa sampai menunjukkan Ronal, raut excited nya juga sudah berubah menjadi tidak suka. Ronal diam tak berniat menjawab. Tuduhan tidak berdasar mamanya makin membuat Ronal pusing. "Udah mama bilangin ya kamu mah, cepet cari gandengan jangan ngintil in Sia mulu," keluh Iffa, lalu mendengus. Sejujurnya Iffa tau sosok Sia. Wanita yang sudah dia kenal sejak anaknya duduk di bangku SMA. Yang bahkan jelas dulu dari gelagatnya kalau Ronal menyukai Sia. Sia memang cantik dan baik, hanya saja Sia memilih pria lain da sekarang bahkan sudah menikah. Sedangkan anaknya itu masih saja menemui Sia 2 tahun ini _setelah pulang dari luar negeri_, padahal Sia sudah berstatus istri orang. Iffa hanya takut jika anaknya tersebut malah khilaf, dan melakukan hal yang tidak seharusnya di lakukan, yakni merebut istri orang lain misalnya. Tidak, Iffa tidak rela jika Ronal melakukan hal tersebut. Bukan karena dia tidak suka Sia, tapi karena akan banyak rasa sakit jika hal tersebut sampai terjadi. Makanya salah satu alasan Iffa ngotot agar anaknya cepat menikah juga supaya Ronal move on dari masalalu. Dan mulai mencari kehidupan indah bersama wanita lain. "Pokoknya mama bakal usaha terus, sampai setidaknya kamu punya pacar!" ucap mama Iffa menggebu-gebu. Jika memang anaknya tidak menyukai wanita yang di foto yang dia bawa, itu tak akan membuat Iffa menyerah, masih ada banyak wanita yang siap dia sodorkan nantinya. "Iya," Untuk kesekian kalinya Ronal mengiyakan dengan tampang datarnya itu. Benar-benar tidak berminat. "Jadi ini nggak ada yang mau?" Iffa bertanya sekali lagi, berharap anaknya berubah fikiran. "Nggak!" tolak Ronal. "Satu aja sayang," Kata pasrah tadi seperti hanya tipuan. Sebab Iffa malah kembali membujuk, masih dengan harapan yang sama. Huft, Okay, Ronal pasrah. "Ini," Ronal menunjuk alas salah satu foto di sana tanpa berfikir lebih lanjut, dia bahkan hanya melihat sekilas. Yang penting memilih dulu bukan. Sorakan senang pun terdengar menggelegar. "Yey, nanti mama kirim spesifikasinya. Sama nomornya sekalian." Ke excited an mamanya itu membuat Ronal mendengus. "Hm," "Ya udah mama pulang, tadi mama nggak pamit ke papa kamu, bisa ngamuk kalau papa kamu tau mama nggak ada di rumah." Dan selanjutnya Iffa segera membereskan foto-foto di atas meja dan buru-buru bangkit berdiri. Memang sejak awal dia sudah ketar ketir melihat keadaan yang mulai gelap tapi anaknya sendiri belum pulang tadi "Iya," Cup .. Mama Iffa mengecup pipi anak tampannya tersebut sekilas, "Okay, bye sayang," "Hm," Begitu lah akhirnya, mama Iffa benar-benar berjalan terburu-buru memasuki lift. Dan, Ting ... Lift pun tertutup dan membawa mamanya tersebut sepenuhnya pergi dari area penthouse. Huft ... Ronal pening, dia harus segera menyiram kepalanya tersebut menggunakan air dingin. Terlebih memang kopi 'wanita itu' tadi pagi terasa masih cukup menyengat di rambutnya. Cih ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN