CHAPTER 19 - CURHAT

1860 Kata
Mungkin kalian sudah tau kalau Reya dan Dhini telah bersahabat sejak lama. Begitu pun dengan Sia. Dulu Sia adalah anak pindahan di SMS-nya, dan Reya juga Dhini lah yang mau menjadi teman wanita itu. Meski dulu Sia begitu mencolok, setelah kabar Sia tetangga sang most wanted Kazeo dan berakhir dekat, tapi Reya juga Dhini tidak memperdulikan hal tersebut. Makanya hubungan masih tetap terjalin walau setelah SMA mereka memiliki jalan masing-masing. Dan sekitar 1 tahun yang lalu, Sia memutuskan menikah dengan sang pujaan hati. Sedangkan Reya masih setia menjomblo. Dan Dhini malah putus dengan pacarnya dua bulan lalu, padahal Dhini sudah berpacaran 6 tahun lamanya bahkan hampir naik ke jenjang yang lebih serius, tapi ya bagaimana lagi, namanya juga tidak jodoh, Dhini berakhir putus dengan karena alasan mantan pacarnya sering kali ketahuan bertemu wanita lain. Reya sebagai seorang jomblo sejak lama bergidik ngeri melihat percintaan kedua sahabatnya, meski untuk Sia bisa di bilang berhasil, tapi tetap saja, perjalanan cinta Sia cukup sulit. Berkali-kali Sia hanya dapat mengucap syukur sebab memutuskan untuk tidak menerima mahkluk bernama lagi-lagi dalam hidupnya. "Re, belom mateng apa?" Suara Dhini yang tiba tiba terdengar membuat membuat Reya tersadar akan lamunannya. Reya buru-buru bangkit dari tempat duduk _di depan meja makan_. Lalu bergerak menuju area kitchen set. Huft, Dan Reya sontak saja menghela nafas lega setelah mengetahui kalau masakannya di atas wajan tersebut masih aman sentosa, tidak gosong sama sekali. Memang setelah Reya selesai berganti pakaian dengan t-shirt oversize, dan celana super pendek, dia pun memutuskan untuk memasak sesuatu. Meski hanya makanan instan tapi setidaknya hal itu bisa di buat untuk mengganjal perut mereka berdua "Lo tadi ngelamun ya?" tanya Dhini lagi karena pertanyaan sebelumnya sama sekali tidak di tanggapi oleh Reya. "Hm," Reya hanya menjawab dengan gumaman, seraya meniriskan nugget dan sosis yang dia goreng. 3 bungkus mie instan dan sepiring nugget sosis sepertinya cukup untuk keduanya. "Untung nggak kenapa napa tuh meski di tinggal ngelamun," Dhini masih saja nyerocos. Agak tidak tau diri ya memang, datang datang _setelah membersihkan diri_ malah langsung mengomentari Reya. "Hust, diem. Sini bantuin, masukkin tuh mie nya airnya udah mendidih." ucap Reya sewot. Dan Dhini yang sadar diri pung mengiyakan, "Iya iya," lalu melangkah gontai mendekati Reya. "Lama amat lo mandi kek putri keraton." Reya berkata dengan nada sindiran. Dhini sontak mencibir, "Ye, kayak lo enggak aja." "Emang enggak." balas Reya penuh percaya diri. Padahal faktanya kalau dia berada di rumah orang tua, dia selalu rangking 1 untuk urusan mandi lama. Hanya saja jika di bandingkan Dhini, ya masih lama Dhini, 11 13 lah. "Nggak salah!" Agak penuh tenaga ya Dhini menjawabnya. Reya hanya mendengus setelahnya, dia tak mau memperdebatkan lagi yang mana ujung ujung dia juga yang pasti kalah. Mereka pun melanjutkan sesi memasak hingga semuanya matang. Lalu mereka pun membawa makanan ke ruang tengah _yang terhubung dengan dapur, hanya di skat oleh rak rak kayu berisi buku dan pajangan_. Tak lupa Reya juga menyalakan televisinya, sembari makan matanya menonton televisi kan enak, meski nanti ujung-ujungnya Reda juga Dhini berakhir ngerumpi, dan televisi menjadi sasaran di anggurkan. "Dhin, em, emang cowok yang udah itu gue berada di devisi mana?" Baru juga selesai di katakan. Lihat terbukti Reya sudah memulai sesi rumpiannya tersebut, yang mana sesi sesi itu akan berlanjut sampai mereka berdua lelah berbicara. Pertanyaan yang di ajukan Reya malah membuat dahi Dhini berkerut dalam tak mengerti. "Ngemeng apa sih lo, nggak jelas banget. " Reya yang mulanya malu malu kucing ketika bertanya pun jadi greget sendiri sebab Dhini yang menanggapi dengan tidak santai. "Cowok yang udah cium gue," Dhini buru-buru menelan mie instan yang masuk ke dalam mulut, meski baru dia kunyah beberapa kali, dia ingin segera menjawab. "Lah ya mana gue tau, lo aja nggak bilang ciri-ciri atau namanya." "Emang iya?" Reya bertanya. Dan berusaha mengingat ingat fakta uang barusan Dhini lontarkan. Perasaan Reya dia sudah bercerita kalau pria yang menciumnya pria tampan, itu saja ... "Iya bege," Kesal juga lama lama. Selanjutnya Dhini kembali menyumpal mulut dengan selonjor penuh sosis berusaha mengurangi kesal. Dhini tengah sangat lapar matanya suasana hatinya sedikit terkuar esmosi. Reya pun sepenuhnya meletakkan sumpit dan sendok, berniat menjelaskan dengan sepenuhnya. "Dia ganteng udah gue bilang, dingin, nggak banyak omong, tinggi banget juga, terus apalagi ya, bibirnya sexy ..." Bego, Reya ingin memukul bibirnya, karena tidka sadar telah nyerocos segala yang ada pada pria itu, tapi hanya yang baik-baik nya saja. Kesannya pria itu terdengar sangat sempurna, meski kenyataan 'iya', tapi Reya agak tidak suka mendengarnya. "Udah udah gue nggak pahim, di kantor ada banyak orang ganteng kalo kata gue mah, tinggi tinggi juga. Yang ganteng b aja sampe ganteng tingkat dewa kayak bos gue juga ada. Langsung nama aja, nama dia siapa?" ujar Dhini tidak sabaran. Apalagi dia masih ingin melahap mie panas cepat cepat. "Entah, gue nggak tau namanya." "Hng," Mendengar hal itu mata Dhini langsung saja melotot pada Reya, tapi karena mulutnya masih berisi penuh mie jadinya dia tidak bisa mengeluarkan suara apa-apa. "Telen dulu!" perintah Reya mengingat Dhini yang nampak aneh sekali. Mulut penuh hendak berbicara, ogah banget kalau Reya menjadi sasaran semburan isi mulut wanita itu "Gimana sih," dah akhirnya Dhini langsung berucap setelah sepenuhnya menelan makanan. Reya menggeleng pelan, "Gue nggak tau, tapi dia pacar tetangga gue, cuman udah di selingkuhin," Cih, Reya jadi teringat ucapan mamanya tadi pagi. "Kok lo bisa tau banyak sih?" Kekesalan Dhini berubah dalam sekejap, menjadi cukup excited ketika atas cerita Reya. "Iya lah, dulu gue liat dia pelukan di depan rumah tetangga gue, eh sekarang ceweknya mau tunangan sama sepupu gue, si Nopal," jelas Reya. Dhini sontak saja membanting sendok dan garpu di tangannya _sedikit_, kesal juga mendengar sepupu Reya yang cukup tampan itu. Dhini memang tau dan pernah bertemu pria yang bernama Nopal Nopal itu. "Sial, kok lo nggak bilangin sepupu elo sih?" Huft, "Ya gimana ya, sulit." Tidak mungkin bukan Reya langsung to the point mengatakan fakta pada Nopal. Reya juga tidak ingin membuat Nopal sedih. Mungkin untuk kode tipis atau kode keras sih Reya bisa melakukan nya. Tapi tetap saja sulit. Dhini pun ikut setuju dengan Reya. Apalagi Nopal tipikal good boy kalem abies. Kasian kalau hatinya harus merasa irisan tajam dari rasa kecewa. "Okay deh, pembahasan tu cowok yang nyium elo di lanjut kapan-kapan. Nantinya kalo lo ke kantor gue dan ketemu itu cowok, lo photo aja dia, siapa tau gue kenal. Biar gue slepet dahinya biar tau rasa." Dhini berucap dengan menggebu-gebu. Lagipun pembahasan cowok Reya itu tidak akan ada ujungnya, jadi lebih baik di sudahi agar dia bisa makan dengan tenang dahulu. Takut tersedak kalau Dhini makan cepat sambil berbicara. "Hooh deh, nanti gitu." Mereka pun melanjutkan sesi makan dengan khidmat, sampai menghabiskan seluruh porsi mie masing-masing. Sedangkan untuk sosis dan nugget masih menyisakan beberapa pieces di sana. Dan setelah itu Dhini baru mau berbicara untuk memulai percakapan. Yakni memberi tahu Reya akan keresahan hatinya. "By the way, alasan gue numpang karena gue stress banget di kantor. Bos gue ngadi-ngadi banget sekarang. Telat dikit nggak ada toleransi, bisa berujung pecat kalau udah 3 kali, belom lagi pemotongan gajinya nggak main-main. Cuma ya emang katanya kalo baik bonus bakal gede. Tapi ya itu semua orang kerja rodi, salah dikit di marahin, bener-bener gila." Reya sampai melotot mendengar penjelasan Dhini. Bos macam apa itu, kok menyebalkan sekali kedengarannya. "Resign aja lo dari sana," ucap Reya dengan iringan dengusan. Dhini menggeleng seraya tangannya terulur untuk menyomot nugget yang tersisa. "Nggak bisa lah, cari kerja susah banget, sukur sukur gaji di sana gede, pelayanan juga bagus. Cuma ya akhir-akhir ini aja si triple G makin gila." Dhini siap bertahan kalau sudah urusan gaji. Hujan badai angin ribut pun Dhini jabanin. Reya sendiri nampak bingung akan salah satu kata-kata yang keluar dari mulut Dhini. "Triple g?" Anggukan kepala hang Dhini tunjukkan menjadikan Reya sadar kalau dia tidak salah dengar. "Hm, Ganteng Ganteng Galak, si bos gue!" balas Dhini. "Ah, gue jadi kepo gimana rupa bos elo," Excited lagi, excited lagi, mungkin Dhini tidak sadar tapi setiap berbicara tentang bosnya ada rasa semangat, walaupun sering kali di iringi kekesalan. Tapi jika sudah menyangkut rupa ya, Dhini tak bisa mentolerir, mirip mirip seperti idol Korea yang Dhini suka lagi."Ganteng, udah gue bilang ganteng banget, sialnya ya itu sifatnya nggak banget." "Tapi kalo cakep boleh lah di pepet." Reya menaik turunkan alisnya beberapa jali berniat menggoda temannya itu. "Pepet sendiri aja sono." Meski Dhini mengakui betul bosnya idaman para wanita, dan mirip bias-nya, tapi tetap saja tidak semudah itu Dhini menyukai dan mepet-mepet seperti yang Reya katakan. Reya menggelengkan kepalanya beberapa kali seraya berdecak. "Ck ck, lo aja, kan lo jomblo." "Apaan lo juga keles!" Memang benar apa yang di ucapkan Dhini. Si jomblo akut bisa bisanya di bandingkan dengan jomblo kemarin sore. "Iya iya, selow dong!" Walaupun status jomblo Dhini tidak se-langgeng Reya, tapi tetap saja namanya sekarang juga jomblo kan, jadi apa yang salah dari ucapan Reya. Meras harus mengganti topik tentang 'Jomblo', Reya langsung saja menggantikan dengan pembahasan yang memang ingin Reya ceritakan pada Dhini. "By the way lagi, tadi sore gue ketemu si nenek lampir." Jujur saja Reya masih cukup kesal kalau membahas. Tapi ya bagaimana lagi, Reya ingin mengurangi rasa resah dengan bercerita kepada sahabatnya itu. "Siapa ... Hahhh ... YOSANDRA?" Dhini mulanya tak mengerti siapa yang Reya maksud. Tapi setelah mengingat ingat nama nenek lampir yang terasa familiar, Dhini langsung saja ingat, panggilan yang mereka sematkan untuk si Yosandra. "He'em. Sumpah dia nggak berubah. Mana ngatai gue bakal jadi prawan tua." Jelasnya, jangan lupakan kedua tangan Reya yang hendak mengepal erat menahan kesal. "Kan emang," Tapi ternyata tidak seperti harapan Reya kalau Dhini akan mendukungnya. Rupanya Dhini malah ikut mengeluarkan kata-kata mengesalkan bagi Reya. "Tapi gue kesel Dhin." "Iya iya. Makanya nikah sono!" Dhini mulai ter-kikik geli di sana. "Ogah! Lo aja sana." sewot. Reya sungguh berucap dengan tidak santai. "Tapi kalo ada yang ngepas di hati batu elo itu, yakali nggak mau." Em ... Benar. Sungguh Reya tidak pernah terpikir ke sana. Dhini tersenyum lebar. "Udah moga lo dapet cowok baik, ganteng, tajir melintir, sama bisa ngertiin lo banget deh. Gue juga pengen liat lo nikah Re," Bukan maksud apa-apa Dhini tak mendukung Reya. Hanya saja Dhini hanya tidak ingin sahabatnya melanjutkan keputusannya untuk tidak menikah. Dia ingin Reya juga mendapat kasih sayang dan cinta dari seseorang. Reya hanya belum tau saja rasanya. Reya terlalu parno untuk memulai. "Aminin dong!" kesal Dhini, sebab Reya diam saja tak kunjung merespon malah terdiam. Reya menggeleng kuat akhirnya. "Enggak." "b*****t! Aminin nggak!" Kok maksa? Dhini tidak perduli sampai mengumpulkan demi memaksa Reya. Sebab bagi Dhini setiap kata adalah doa. Siapa ta Reya akan mendapat jodoh seperti yang dia katakan tadi. "Gue tabok nih ..." Tangan Dhini sudah terangkat, dan buru-buru Reya berucap 'amin' dengan wajah datar terpaksa. "Amin ..." "Nah gitu dong." Wajah Reya sendiri tidak terlalu senang. Tapi ya bagaimana lagi, di aminin aja dulu, meski dengan rasa tidak ikhlas macam itu. Tuhan pun pasti tidak akan mengabulkan ucapan tidak ikhlas Reya bukan. Tapi sebenarnya tetap saja, Reya harus tau, kalau manusia hanya bisa menerka nerka, sedangkan takdir tuhan yang telah di persiapkan ke depannya tetap akan menjadi hal yang tak terduga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN