Reya menghela nafas berat beberapa kali. Kali ini dia tengah berusaha keras memaafkan teman bodohnya itu _Dhini_ yang ikut berkontribusi membuatnya malu. Dan itu semua Dhini tawarkan sebuah sogokan traktiran setiap akhir pekan selama 3 bulan. Reya pun jelas sedikit tergiur untuk menerima permintaan maaf Dhini, sedikit loh sedikit, soalnya dia masih ingat betul rasa malunya yang juga tidak akan bisa tergantikan meski dengan traktiran satu tahun, dua tahun atau bahkan berpuluh-puluh tahun lamanya. Sebab ingatan memalukan selalu saja sulit terlupakan seumur hidupnya.
Hanya saja Reya juga tahu, kalau semua ini sudah terjadi, dan sejak awal pun semua kesalahan ada pada Reya. Dan dia seolah hanya menggunakan Dhini sebagai kambing hitam atas kemarahan akan kesalahannya itu.
Harusnya Reya tidak datang ke pesta semalam. Seharusnya Reya juga tidak menghampiri mini bar. Dan seharusnya Reya tidak salah minum. Yang mana malah membuatnya meminum minuman memabukkan _sialan_ itu.
Aish ... Sebetulnya kalau di fikir-fikir lebih dalam, Reya juga tidak salah seratus persen loh. Sebab pria menyebalkan itu juga lah yang kurang kerjaan malah membawanya pergi di saat dia mabuk berat. Pria asing harusnya diam saja tidak perlu membantu __ Eh tapi ...
Kalau dia tidak di bawa pergi, sepertinya Reya malah akan mengacaukan pesta dan makin mempermalukan diri. Sial, Reya jadi bingung antara bersyukur dan tidaknya di bawa pria itu pergi.
By the way, sebenarnya sebelum Reya pergi dari hotel tadi pagi. Pria itu terasa cukup baik _meski masih menyebalkan_, tapi yang pasti pria itu masih nau menjelaskan situasi semalam, baik secara lisan, maupun memberi bukti menggunakan rekaman cctv. Reya sedikit malu karena dalam rekaman itu dirinya dengan tidak tau diri malah memuntahkan isi perut ke arah leher pria itu.
Apakah seharusnya Reya mengucap maaf dan juga berterima kasih ya? Ah tapi sepertinya tidak perlu. Sebab kenyataannya pria itu tetaplah pria b******k, c***l, nan m***m. Bisa-bisanya menggantikan bajunya begitu saja. Padahal jelas mereka itu berbeda jenis, dia pria berbatang dan Reya ber-goa, aish.
Kalau pria itu sadar diri, harusnya dia meminta bantuan orang lain saja kek atau menggunakan cara lainnya kan bisa, jangan malah menuruti ucapan orang mabuk yang sudah pasti hanya tipuan belaka itu.
Ck, bahkan Reya sangsi kalau dirinya memang meminta untuk di gantikan bajunya, karena sepertinya tidak mungkin dia melakukan itu semua. Reya tidak mungkin.
Ah sudahlah, semua memang sudah berlalu dengan kenangan buruk yang akan menyertai nan menghantui.
Juga Reya harus merelakan tubuhnya yang sudah dia jaga betul 26 tahun ini, malah di nikmati begitu saja oleh orang asing, meski hanya dalam bentuk pandangan sih. Tapi ya menurut Reya itu sama aja lah, hanya berbeda tipis, salah-salah pria itu juga bisa melakukan lebih tanpa Reya tau.
Cukup cukup! Cukup sudah pikiran negatif memenuhi otak Reya, dia harus segera berdamai dengan itu semua.
'Okay ...'
Karena merasa sesak dan uring-uringan sendiri sejak pagi hingga sore, akhirnya kali ini Reya memilih keluar dari kamarnya, yang padahal Reya adalah pemilih motto, kamar is my life haha. Jarang-jarang loh dia berinisiatif keluar.
Sebenarnya kamar ini, kamar yang dia tempati sejak dia kecil, hanya saja setelah 5 tahun yang lalu Reya jarang sekali menempatinya lagi. Yups ... Betul sekali, Reya memang tidak tinggal di rumah orang tuanya ini. Wanita itu tinggal di sebuah apartment yang dia beli dengan hasil jerih payahnya sendiri selama bertahun-tahun. Walaupun apartment itu bukanlah apartment mewah, tapi hal itu sudah cukup untuk Reya mengucap syukur banyak-banyak pada tuhan atas rezeki yang di berikan.
Sedikit cerita, sudah seminggu ini Reya memang pulang ke rumah orang tuanya, awalnya hal itu di lakukan karenakan di rumah tengah ada acara syukuran, tapi setelah seminggu berlalu mama Reya belum juga membiarkan anak gadisnya itu kembali ke apartment. Dengan alasan masih kangen, akhirnya mama Reya berusaha keras agar anaknya tidak buru-buru pergi meski menggunakan banyak cara kotor sekalipun, seperti pura-pura sakit contohnya.
Walaupun Reya sudah tau kalau mamanya telah menipunya, tapi Reya hanya pasrah menahan diri untuk tetap tinggal beberapa waktu lagi, mungkin nambah seminggu atau dua minggu.
Sejujurnya dia sendiri tidak terlalu betah berada di rumah itu. Sering kali adanya pembahasan masalah pernikahan begitu menusuk telinga Reya, dan Reya jengah
akan hal itu, makanya dia lebih suka menyendiri di apartment dan menulis berbagai haluan tentang anak-anaknya a.k.a n****+-n****+ karyanya dari pada di sini.
Ya, Reya memanglah seorang penulis, penulis sukses yang tidak pernah menunjukan wajah aslinya di publik. Dengan nama pena 'Lovair' Reya berhasil menggaet jutaan pembaca setia dari seluruh pelosok negeri, n****+ yang dia keluarkan juga tidak pernah sepi dan malah selalu menjadi n****+ best seller. Puluhan judul buku, dan jutaan eksemplar yang terjual lah yang juga telah menghidupi Reya selama ini.
Benar sekali kalau prinsip hidup mandiri berusaha Reya tanamkan pada dirinya itu, oleh karenanya dia juga akan berusaha bekerja keras sekuat tenaga agar menghasilkan banyak uang dan tidak menyusahkan orang tua juga orang lain, salah satunya makhluk bernama laki-laki a.k.a berbatang. Karena faktanya, Reya sudah memutuskan untuk hidup sendiri baik sekarang atau nanti. Reya tidak mau memiliki pasangan! Dia tidak akan menikah. Titik. Alasannya jelas dia tidak rela hidup damai indahnya sebagai jomblo akan lenyap setelah dia bertemu dengan laki-laki, apalagi kalau pria itu b******k, aish mengerikan. Tetapi karena Reya masih ingin memiliki anak, Reya ingin sekali mengadopsi anak saja, entah hal itu akan menjadi kenyataan atau tidak, yang pasti Reya tidak akan menikah titik.
Jadi ketika sang mama juga papanya mulai membahas pernikahan, sebisa mungkin Reya akan pintar-pintar membelokkan pembahasan itu ke arah yang lain.
"Reya Reya," teriakan keras tiba-tiba terdengar, tepat ketika Reya baru saja menginjakan kaki di satu anak tangga paling atas.
"Hm," Reya pun hanya bergumam pelan sebagai jawaban, entah seseorang yang memanggilnya tersebut akan mendengar atau tidak, yang pasti Reya tengah malas membuka suara, dia bad mood abis akibat insiden demi insiden tadi malam dan tadi pagi.
Rupanya suara tadi berasal dari mama Reya _Anggita atau biasa di panggil Gita_, wanita berusia 49 tahun itu berjalan tergopoh-gopoh menghampiri ujung tangga bawah seraya menenteng spatula di tangan kanannya.
"Reya cepetan sini," Mama Reya sama sekali tak mengurangi suara teriakannya lagi, yang malah malah makin ngegas saja saat melihat sang anak menuruni tangga dengan begitu pelan layaknya putri keraton.
"Ada apa sih ma?" Reya yang mulanya malas berbicara mau tak mau pun tetap membuka suaranya, karena merasa janggal dengan sang mama yang berkata heboh layaknya ada sesuatu penting yang telah terjadi.
"Cepetan turun, liat sendiri!" perintah Gita lagi mendesak. Akhirnya dengan berat hati Reya pun mau tak mau mulai mempercepat langkah menuruni tangga, sebab dirinya juga merasa cukup penasaran dengan apa yang hendak mamanya perlihatkan.
"Ayo ayo sini," Tidak sampai di sana, nyatanya setelah Reya benar-benar mencapai lantai pertama, Mama nya itu langsung saja menarik tangan Reya, entah di bawa kemana.
"Pelan pelan kek ma," gerutu Reya sedikit jengkel.
"Kamu harus liat cepet ini Re,"
Ck, memang apa sih yang begitu mendesak, sampai mamanya heboh bukan main seperti ini.
Dan akhirnya tarikan mama Reya pun terhenti dengan cekalan tangan yang sudah di lepaskan dari lengan anaknya. Mereka berdua berhenti di ruang keluarga _yang terhubung dengan dapur_.
"Liat itu,"
Spatula mama Reya terangkat dan tertuju ke arah depan Reya sana, di mana sebuah layar besar 52 inc menyala dengan sebuah berita terkini memenuhi layarnya.
"Apa, kenapa tv nya?" Reya merasa begitu aneh, karena televisi yang di tunjuk mama Reya nampak baik-baik saja. "Ma jangan bercanda deh," kesal Reya.
"Nah itu tuh," Mama Reya heboh lagi, "Itu Rio kan Re, anak tante Andini yang sempat mama kenalin ke kamu. Wah gilak dia makin sukses aja Re, itu itu katanya mau bikin perusahaan baru."
Melongo!
'Wah ... Gilak!'
Reya hanya bisa membuka mulutnya tidak percaya mengetahui fakta kalau kehebohan mama Gita ternyata hanya karena berita tidak berarti untuknya itu!
"Ma __"
Seperti tidak mengetahui kalau respon Reya hanya lempeng-lempeng saja tidak ada semangat sedikitpun. Akan tetapi Gita masih saja heboh memberi tahu, "Ck, kamu sih, kalo aja mau dijodohin sama dia, hidup kamu pasti tentram sentosa nggak perlu mikir per-duitan lagi Re,"
"Ma __"
"Yaampun Re, katanya dia mau tunangan. Pupus harapan kamu Re," Gita memotong ucapan anaknya lagi, melihat kalau di layar televisi, si Rio Rio itu tengah menjalin kisah asmara dengan model cantik.
Reya menghela nafas jengah, "Itu harapan mama ya, bukan harapan aku!" balasnya pelan.
Gita menoleh cepat ke arah anaknya itu, dan sontak saja dahinya di kernyitkan, "Emang kamu gk nyesel pernah nolak dia, padahal jelas dulu dia nunjukin ketertarikan ke kamu loh."
Reya menggeleng mantap, "Enggak, nggak nyesel." Padahal sejak awal jawaban memang 'tidak' mamanya saja seperti buta tidak memahami isi hati Reya.
"Dia ganteng, pinter, kaya lagi loh Re," kompor terosss ... Gina sengaja masih berusaha mengompori gadis yang sudah berusia lebih dari 26 tahun itu.
"Emang kenapa jodoh Reya nanti juga gitu," balas Reya dengan tambahan dengusan.
Halah bullshit, jodoh apanya. Reya saja tak pernah memikirkan ke arah jodoh-jodohan, ucapannya tadi hanya sebagai bentuk perlindungan diri dari tuntutan sang mama.
"Dih, kalo gitu sini bawa ke depan mama," Gita mengangkat berkacak pinggang sambil menatap intimidasi sang anak.
"Iya kapan-kapan kalo inget," Tidak menganggap serius, Reya memilih menjawab seadanya.
"Ih Re, mama tuh pengen cepet gendong cucu loh, temen-temen arisan mama semua udah pada nyombongin diri punya cucu, mama kan juga pengen Re."
Siapa sih orang tua yang telah pengen cepat anaknya menikah, apalagi usia Gita sudah tak muda lagi, hampir setengah abad loh, takut-takut jika dirinya malah di jemput tuhan sebelum anaknya menikah.
Merasa agak mulai panas, Reya pun berucap sambil berlalu pergi menuju arah pintu depan, "Iya iya nanti,"
"Re re, mau kemana kamu?" tanya Gita karena merasa aneh anak yang selalu ngedekem di kamar itu berinisiatif untuk keluar rumah.
"Beli batagor mang agus," jawab Reya sedikit keras sebab dirinya sudah cukup jauh meninggalkan Gita.
Gita mau tak mau hanya dapat menghela nafas berat, "Astaga anak itu, setiap di ceramahin selalu kabur." Pandangan Gita pun beralih lagi ke arah layar televisi, yang masih menampakkan berita tadi, "Duh Rio Rio kalo aja jadi mantuku,"
Di sisi lain Reya rupanya sudah berada di teras rumah, dan berniat membuka gerbang rumahnya. Tapi ketika baru sedikit membuka, mata Reya malah menangkap sosok pria yang tidak asing di matanya.
Reya bergerak keluar dan berdiri di pinggir jalan sedikit mendekat, tak hanya itu, wanita itu sampai memicingkan mata dan menguceknya beberapa kali karena takut salah lihat.
Di depan sana tepatnya di rumah tetangga seberang jalan sana, Reya melihat dengan jelas kalau sosok pria menyebalkan tadi pagi tengah berpelukan pada seorang gadis setelah sebelumnya mereka berdua keluar berbarengan dari dalam mobil sport hitam.
Reya menambah picingan matanya karena ingin melihat lebih jelas lagi. Ini Reya tidak salah lihat loh, meski minus minus dikit seperti ini tapi Reya yakin kalau ia tidak salah mengenali.
Dua orang itu berpelukan?
Tunggu sebentar ... Berarti pria menyebalkan itu memiliki hubungan istimewa dengan Ana anak tetangganya dong. Wah gila! Reya tidak habis fikir kalau begini. Semalam saja pria itu berani menggantikan bajunya, tapi ternyata dia sudah memiliki kekasih. Ck, Reya tidak bisa membayangkan perasaan Ana kalau tau pacarnya juga suka sentuh sana sini.
"Woy Re ..."
Tepukan keras di bahu seiring suara yang memasuki indra pendengaran Reya pun, membuat wanita itu sontak menoleh.
"Eh, Ter, ada apa?" Reya juga langsung mengajukan pertanyaan setelah sadar kalau sosok Terry _tetangga sekaligus teman laki-lakinya_ sudah berdiri dengan celana pendek selutut dan kaos oblong warna hitam di sampingnya.
"Lo tuh, gue panggil dari tadi nggak nyahut. Ngelamun di pinggir jalan ati-ati kesambet, kan setan suka yang tua-tua." Entah niat Terry memberi saran atau malah menghujatnya, yang pasti hal itu membuat Reya mendengus tak suka. Teman tainya sejak TK ini memang sering kali berucap menyebalkan.
"Kampret banget ya lo. Gue masih muda keles," balas Reya ngegas ngegas.
Tidak berhenti di sana, Terry malah terkekeh senang, "Muda apanya, noh liat temen-temen cewek sd kita udah pada nikah dan punya anak tuh."
Walaupun Terry adalah teman baiknya, juga pria yang sudah mengenal Reya betul luar dalam. Akan tetapi Reya tetap saja kesal dengan pembahasan sensitif macam ini, mana wanita itu dalam suasana badmood lagi.
"Dih, kuno banget pemikiran lo Ter, emang lo berani nyumbang berapa nyuruh-nyuruh gue nikah?"
"Semuanya ..." senyum Terry menghilang seketika, dah hal itu membuat Reya ikut melongo bingung.
"Eh,"
"Asal nikahnya sama gue, haha," lanjut Terry yang Reya tau betul hanya sebuah candaan.
Plakk ...
Reya tidak tahan untuk tidak memukulkan telapak kanannya pada lengan keras Terry.
"Si tai! Dahlah, sana minggir, gue mau lewat!"
Karena Terry tidak menggubris, Reya nyelonong maju begitu saja dengan menabrak bahu Terry keras-keras, membuat pria yang juga berusia 26 tahun itu sedikit terhuyung ke samping.
"Eh si ibuk, jalan masih lebar loh," sindir Terry tidak habis pikir.
"Serah gue lah," balas Reya tanpa menoleh sedikitpun dan fokus berjalan ke depan.
"Btw, mau kemana? tumben tuan putri keluar?" Terry harus sedikit mengeraskan suaranya, akibat Reya yang mulai menjauhinya berjalan pelan di aspal.
"Ngapelin mang Agus."
Hanya dengan jawaban itu, Terry sudah paham betul maksud dari Reya. Mang Agus adalah penjual batagor di ujung gang komplek ini, hanya butuh waktu 2 menit berjalan kaki mereka akan sampai di sana.
"Nit __"
Belum juga Terry mengatakan seluruh maksudnya yakni 'Nitip', tapi Reya lebih dulu memotongnya.
"Ogah,"
Senyum miring pun tercetak di bibir Terry, "Dih, gue bisa beli sendiri kali." Dan mulai berjalan cepat serta langkah lebar menyusul Reya.
Pluk ..
Dengan seenak jidat Terry langsung melingkarkan lengannya di bahu Reya. Dan sengaja sedikit menambah tumpuan agar wanita itu keberatan.
"Eh lepas lepas, berat woy," pekik Reya kesal. Tapi ketika dia berusaha melepaskan tangan Terry sama sekali tidak bergerak dari bahunya.
"Gue capek, enakkan gini." balas Terry dan mulai merangkul secara normal, tidak menambah tumpuan beban lagi.
Alhasil Reya juga pasrah akan hal itu, lagi pun jarang-jarang mereka berdua menghabiskan waktu bersama setelah Reya memutuskan tinggal sendiri. "Dasar ikan Terry basi!"
"Celana lo pendek amat," komentar Terry tiba-tiba, memang sejak awal dirinya salfok oleh Reya yang keluar hanya menggunakan celana putih berbahan levis super pendek, meski cocok dengan kulit Reya yang sama putihnya, tapi tetap saja agak sangsi kalau di pakai di jalanan komplek mana Reya mulanya berjalan sendiri lagi.
"Serah gue ah ... Gue tabok nih kalo lo nggak diem." Reya mengancam sambil benar-benar mengangkat tangan.
"Haha ya ya ya, ampun tuan putri,"
Mereka berdua pun melanjutkan langkah santai dengan tambahan senda gurau, juga tangan Terry yang tak lepas dari atas bahu Reya, pria itu setia merangkulnya.
Sedangkan tanpa Reya dan Terry sadari, sepasang mata yang berdiri tak jauh di sana terus mengamati interaksi antara keduanya, terus seperti itu sampai sosok Reya dan Terry benar-benar menghilang di telan jarak tikungan gang.