| ٦ |

498 Kata
"(Allah) berfirman, Maka, turunlah kamu darinya (surga); karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya. Keluarlah! Sesungguhnya kamu termasuk makhluk yang hina." (QS. Al-A'raf 7: Ayat 13) Kembali Hilma mendapati antrean panjang santriwati. Semua bilik kamar mandi tertutup rapat, hanya suara gayung yang menghempas air membersihkan badan. Ada kebiasaan sebagian santriwati memilih mandi terlebih dahulu sebelum melaksanakan rutinitas pagi, ada juga yang hanya mengambil wudu saja. Seperti kedua teman Hilma, kecuali Zahra yang langsung antre siap masuk ke dalam bilik kamar mandi. Puas menguap panjang dan sengaja tidak menutupi mulutnya dengan telapak tangan, seketika beberapa santriwati menatap Hilma aneh. Intan segera menarik temannya itu agar cepat mengambil air wudu. Selanjutnya, berjalan lurus menuju kamar, meninggalkan Zahra masih dalam antrean. "Kalo selesai solat, langsung tidur?" Pertanyaan Hilma yang polos membuat Intan dan Rahma tertawa cekikikan, lalu mereka berdua merangkul bahu Hilma. "Mengaji lagi, mana ada tidur di waktu pagi yang cerah ini," ucap Intan. "Nanti juga akan terbiasa, Hilma, kamu jangan merasa terbebani dengan jadwal yang telah diterapkan," lanjut Rahma. Mereka bertiga segera memakai cepat mukena. Karena Hilma terus berleha-leha rebahan saat kedua temannya hampir hilang dari pandangan dengan cepat Hilma menyambar kasar kerudung yang selepas solat akan dipakai. Menuruni anak tangga cepat, berpapasan dengan beberapa santriwati pula. Memakai sandal seadanya di rak, Hilma segera berlarian mulai menyesal membiarkan Intan dan Rahma ke masjid duluan. Suasana sekitar tidak didapati santri lain, hanya penuh sesak sepasang sandal di depan berserakan. Saat Hilma siap melangkahkan kakinya, suara orang berlarian membuatnya berbalik. "Maaf kerudungnya, Ukhti?" Hilma mengerjap cepat, mengulurkan tangannya lalu merebut kasar tanpa berucap terima kasih. Lelaki yang kini menatap lurus punggung yang semakin mengecil berlarian ke dalam masjid, segera tersadar lalu masuk ke pintu lainnya. Tidak mendapati salah satu dari temannya, sosok Hilma mulai kebingungan. Sudah bertemu dengan laki-laki yang entah siapa namanya, mengulurkan kerudung yang tanpa sadar terjatuh di jalan. Sungguh, hari kedua berada di pesantren membuat Hilma semakin kesal saja. "HILMA!" Intan melambaikan tangannya, memberikan kode untuk mendekat, dengan wajah masam Hilma mendekat. "Lama sekali, jangan bilang kamu ketiduran?" tebak Rahma. Hilma duduk dengan malas di samping Intan. "Siapa juga yang ketiduran? Tadi kerudung jatuh di jalan. Jadi, harus nyari putar balik," balasnya berbohong. Intan dan Rahma hanya mengangguk saja. Diam-diam Hilma mengingat wajah laki-laki yang menemukan kerudungnya tadi. Sosok memakai sarung hitam, dengan peci hitam pula. Sebuah baju atasan koko putih menyempurnakan penampilannya. Bukan hanya penampilannya yang mengganggu pikiran Hilma. Ia baru teringat, sama sekali tidak berterima kasih. Mendapati Hilma terbengong lama, membuat Intan bertanya-tanya padahal mereka tinggal solat masing-masing saja. "Mikirin taktik kabur, ya?" Intan menggodanya, lalu Hilma ikut berdiri. "Kayaknya minggu depan, deeh!" Hilma membalas gurauan Intan. "Minggu depan kaburnya?!" Ekspresi Intan yang terlalu berlebihan dengan cepat diangguki oleh Hilma. "Apa? Mau lapor sebelum aku kabur?" Intan menggeleng tegas tak menyangka dengan niat buruknya. Hilma memeluk temannya itu dengan keras. "Serius amat! Boonglah," kekehnya. Sebelum Intan membalas, Rahma menatap mereka berdua. "Tahajjud, bukan ngobrol." "Hilma, sih, ah!" Intan pun segera berniat, Hilma sendiri masih terkikik. Hingga tatapan matanya menangkap punggung santri di depan, kedua tangannya sedang membetulkan letak pecinya. Tidak salah lagi. Sosok lelaki itu berbalik. Namun, tatapannya tertuju ke bawah menandakan ada santri lain sedang diajaknya bicara. Tetap diam mematung, Hilma menangkap bibir kemerahan itu menyunggingkan senyum lalu kembali berbalik mulai takbir. Itu dia, Hilma benar-benar hafal sosok santri yang menyelamatkan kerudungnya. Tanpa disadari, salah satu santriwati yang mendapat sap paling ujung sedang menahan senyum. Semakin bertambah saja rasa sukanya. "Astagfirullah." Hilma menepuk kedua pipinya, lalu mulai takbir. Dilanjut solat subuh berjamaah, keadaan sap menjadi berubah. Para santriwati yang tadinya solat sunah di sap paling depan, sekarang mundur memberikan tempat bagi beberapa guru juga para senior, termasuk Zahra. Kini tepat duduk di samping Hilma, melempar senyum lalu ikomat pun terdengar merdu. Dari jadwal yang Zahra hafal di luar kepala. Sekarang yang menjadi imam adalah Ustaz Hasbi yang ditunggu-tunggu, di sampingnya Hilma sama memiliki tubuh cukup tinggi dapat melihat jelas lelaki yang memberikan kerudungnya itu berjalan menuju tempat khusus imam. Zahra tiba-tiba tersenyum gugup, sedangkan Hilma menatap mantap ke depan. "Ustaz Hikam, tuh!" bisik Intan sambil menyenggol bahu Hilma. Para santriwati segera memakai kerudungnya masing-masing. Hilma menoleh. "Ohh, itu," balasnya. "Keliatan 'kan waktu tadi mau jadi imam." Sebelumnya pula Hilma sudah bertemu, tapi ia tetap mengangguk. Sampai membaca kitab suci Al-quran menjadi hal wajib dilakukan. Semua santriwati mulai membentuk lingkaran, siap hafalan karena minggu depan harus siap disetorkan. Zahra kembali memandu Hilma yang tidak tahu apa-apa. "Kamu tau gak, enaknya jadi santri putri itu apa?" tanya Zahra sambil membuka lembaran kitabnya. "Kenapa?" tanya balik Hilma. "Ibarat Dhamir Mustatir, tersimpan tapi punya arti, haha!" Hilma tetap diam, dia tidak mengerti apa yang Zahra katakan. Zahra hanya bergurau mereka pun segera membaca beberapa keterangan sebelum Hilma belajar sesuai jadwal. Selanjutnya, suara di dalam masjid dengan cat warna hijau muda yang cerah hanya bergema suara para santri menghafal. Ada banyak sifat yang dapat ditemukan di sana. pemalas dan terpaksa mengaji seperti Hilma, ada pula yang semangat dengan senyum tak pernah lepas. Tidak lupa yang menyemangati temannya agar hafalannya bisa lancar. Jauh dari kerumunan pelafal. Masih tersisa santri yang melanggar aturan. Mendapatkan hukuman membersihkan tempat wudu dan membersihkan halaman masjid. Hilma sadar, ia harus menelan bulat-bulat keinginan kedua orang tuanya. Masuk ke dalam pesantren itu agar lebih baik lagi akhlaknya. Jadi, Hilma akan mengikuti arus ketiga temannya. "Emang Dhamir Mustatir itu apaan?" Zahra mendongak. "Dhamir Mustatir adalah kata ganti yang tidak terlihat atau tidak tertulis dengan jelas, akan tetapi tersembunyi dalam suatu kata kerja (fi’il) dan keberadaannya hanya bisa diketahui dengan melihat bentuk dari kata kerja (fi’il) tersebut." "Intinya, tersimpan tapi punya arti," ulang Hilma mengingat guraun Zahra tadi. Mereka berdua tertawa cekikikan. Tidak terasa waktu berjalan dengan cepatnya, keluar dari masjid tepat pukul delapan pagi. Rutinitas lainnya adalah mandi, sesuai perintah dari Umi Fitri sekarang waktunya Zahra dan kedua temannya mengajak Hilma berkeliling. Mengenalkan beberapa tempat mengingat menjadi santri baru di tahun ini. Juga termasuk santri yang masuk telat. Jadi, hanya Hilma sajalah yang menjadi peserta tour pesantren Al-Fikri. Dimulai dari gerbang depan. Seperti awal saat Hilma pertama kalinya datang. Empat atap menjulang tinggi, samping kanan pondok santriwati, selanjutnya rumah Kiai, lalu pondok santri. Terakhir, adalah bangunan besar dua tingkat satu untuk berjamaah para santri, sedangkan tingkat atasnya khusus para ibu-ibu yang pengajian. Sengaja tidak disatukan. Kubah emasnya berdiri kokoh mempesona. Menghiasi suasana, saat malam hari warnanya bak cahaya paling terang di antara kegelapan malam. Zahra melanjutkan langkahnya, memasuki jalan bersih beralaskan rumput hijau. Siap mengelilingi lewat jalur kecil, dari sana dapat dilihat jelas terbentang kokoh benteng menghindari para santri nakal yang akan kabur. Terdapat pecahan kaca tebal, menancap di setiap temboknya. Hilma meringis, ia memang jago dan dipastikan bisa melewatinya. Namun, dengan adanya pecahan kaca menancap rasanya ia menyerah sebelum mencoba. Rok lebar yang dipakainya terseret-seret untungnya hanya rumput dan tanah kering yang menempel. Samping kanan, beberapa kaca tertutup rapat, menandakan kamar santriwati. Masih panjang membentang, menemukan pintu kayu tergembok.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN