"Pada hari itu diberitakan kepada manusia apa yang telah dikerjakannya dan apa yang dilalaikannya."
(QS. Al-Qiyamah 75: Ayat 13)
Perjalanan panjang menuju tempat kemuliaan itu telah sampai di tujuan, tepat kumandang Azan Asar terdengar. Mobil yang dikemudikan Hilal segera menepi, di parkiran khusus tamu yang mengunjungi pesantren Al-Fikri. Terlihat bangunan masjid yang besar dan mewah didominasi warna hijau tua, belum lagi halamannya yang luas, sedangkan di samping kiri dan kanan terdapat pintu yang menutup rapat, dijaga oleh kelompok sesuai pondok. Seperti khusus lelaki, maka penjaganya lelaki begitu pun sebaliknya.
Jadi, sebelum masuk ke salah satu pintu di samping masjid yang katanya milik kiayi di sana. Hilal mengajak keduanya masuk ke masjid dahulu, mengingat orang yang akan menerima tamu juga pasti sama menunaikan ibadah Solat Asar. Seperti biasa, berjamaah, berzikir bersama selama setengah jam lalu diakhiri mengaji al-quran, sedangkan santri lain masih ada jadwal hapalan. Tidak ada aturan bagi tamu baru atau yang hanya singgah, mereka sama-sama menunaikan ibadah bersama. Jadi, Hilma dengan leluasa bisa melihat pandangan orang-orang yang memberikan senyum hangat kepadanya. Itukah teman yang akan menemaninya nanti? Dibalasnya dengan senyum lagi oleh Hilma.
Selesai menyimpan kembali mukena milik Aisyah ke mobil, Hilal segera membawa mereka ke pintu yang terbuka lebar, menandakan penghuninya baru masuk. Untungnya para santri belum keluar dari masjid, jadi Hilma bisa tenang berjalan sampai masuk ke dalam rumah pemilik yayasan, yaitu Ustaz Hikam Muhammad Fikri. Kedatangan mereka bertiga disambut dengan ramah oleh Ustaz Hikam dan istrinya Ustazah Fitri. Tidak lama pula seorang perempuan muda mempersilakan minuman dan makanan ringan di meja tamu.
Tegur sapa melancarkan pembicaraan di sore hari itu, sedangkan Hilma sendiri mulai merasakan jantungnya bergemuruh tidak karuan. Belum lagi terdengar solawat dan hapalan dari dalam masjid. Nanti, dia akan melewati kenyataan itu pula. Ah, mengapa harus ia rasakan? Sekali lagi Hilma menghirup udara panjang-panjang tanpa sadar, Ustazah Fitri melihat gerak gerik calon santriahnya itu dengan senyuman. Tercyduk tidak mendengarkan pembicaraan, Hilma menunduk malu lalu menyenggol bahu Aisyah.
Aisyah hanya tersenyum kaku, lalu menyenggol balik Hilma. Sampai, Ustaz Hikam bekata, "Umi, panggilkan salah satu pengurus pondok."
Ustazah Fitri segera melaksanakan perintah suaminya itu, tidak butuh waktu lama seorang perempuan memakai cadar berwarna hitam menghampiri. Memberikan salam, lalu diperintahkan mengajak Hilma menuju pondoknya nanti. Seketika Hilma lemas, ia tidak mau mondok! Ia ingin pergi, kakinya mati rasa, hingga Aisyah membantu anaknya itu beranjak. Setelahnya Hilma sudah dirangkul penuh kesabaran meninggalkan ruang tamu itu. Tujuan mereka kembali ke luar ruangan, mendekati pintu yang tadinya tertutup rapat.
Penjaga di sana tersenyum tenang dan bersalaman dengan Hilma yang tangannya sangat kaku. "Selamat datang, akhwat, semoga betah di sini," ucap salah satu penjaga pintu.
Hilma mengangguk kaku, lalu perempuan bercadar di sampingnya menggandengnya menuju lantai atas. Katanya pondok Hilma ada di atas, nanti akan ditemani oleh tiga teman barunya pula. Ternyata nama perempuan itu Dinda, ia memperkenalkan diri sebagai salah satu pengurus di pesantren Al-Fikri. Sesampainya di salah satu pintu kamar, Dinda mengetuk pintunya pelan.
Terdengar kunci yang diputar dari dalam, lalu sosok gadis pemilik mata sipit dan bibir tipis tersenyum hangat menyambut mereka. Tanpa diminta, perempuan yang seumuran dengan Hilma bersalaman kepada Dinda, sambil memanggil Umi.
"Kita kedatangan teman baru, Intan, maukah kamu mengajaknya satu kamar?" tanya Dinda, suaranya terdengar menenangkan, kentara pintar dalam melantunkan nada-nada tinggi.
Perempuan bernama Intan itu mengangguk diakhiri senyum. "Saya sangat senang, Umi, sebentar, ya," pamitnya, seraya masuk kembali ke dalam kamar, memanggil kedua temannya yang sedang makan.
Jadi, yang ditemui Hilma sekarang adalah tiga perempuan yang katanya masih berumur sama dengannya 19 tahun. Mereka dengan senang mengajak Hilma masuk ke kamar, sebagai teman. Namun, dengan cepat Dinda memberitahukan bahwa barang-barang milik Hilma masih ada di bawah. Maka dengan senang mereka segera mengikuti Dinda dan Hilma ke bawah. Ternyata semua penghuni pesantren sudah keluar dari masjid, bertepatan Hilma dan keempat kenalannya itu beberapa kali mendapati ikhwan yang mencuri pandang.
Hilal dan Aisyah sudah kembali, Hilma segera mendekati kedua orang tuanya itu lalu memeluknya erat. Tanpa sadar air matanya mulai menetes, enggan ditinggalkan, sedangkan keempat perempuan di depan mengetahui bagaimana perasaan saat ditinggal orang tercinta. Di mana, mereka diharuskan mengkaji lebih dalam ilmu agama. Setelah Hilma mengurai pelukan ia tersenyum senang kepada Aisyah dan Hilal. Sebuah pesan diberikan kepada teman Hilma, tentang ketomboian yang dimiliki dan kebiasaan seperti cara berjalan.
Hilma malu soal dirinya yang tidak mencerminkan sebagai perempuan dibeberkan oleh Hilal, lalu perpisahan itu memang harus nyata ditelan dalam-dalam. Barang-barang yang akan menemani Hilma selama hidup menjadi santri sudah diturunkan dari mobil. Sekarang, pelukan terakhirlah yang tidak bisa diuraikan dalam kata-kata. Hilma benar-benar menangis, lalu Intan menariknya pelan, sampai terlepas.
"Ayah yakin, kamu bisa, Nak," ucap Hilal, memutus pembicaraan, sedangkan Aisyah tak hentinya menangis di pelukan suaminya lalu melambaikan tangan berpisah dengan anak tunggal.
"Ayah, Ibu." Hanya lirihan yang bisa Hilma ucapkan, mobil itu melaju menjauhi gerbang yang tidak lama akan ditutup karena mengundang tanya dari santri lain.
Intan mengajak Hilma beranjak pergi, sedangkan Dinda kembali bertugas menjaga pintu. Koper dan tas berisi kebutuhan Hilma dibantu oleh teman lainnya, sampai masuk ke dalam kamar. Hilma benar-benar ada di sana sekarang. Menunggu satu tahun kemudian lalu bisa menemui ayah dan ibunya. Dua teman sekamarnya itu bernama Rahma dengan bola mata hitam dan lebar, satu lagi Zahra dia terlihat seperti keturunan Cina, bibir tipis dan mata sipit.
Sebuah kasur menjadi tempat tidur Hilma nanti. Berdempetan, semua baju yang belum kering atau selesai disetrika menggantung di dinding, menjadi pemandangan biasa seorang santri. Tiga gayung berisikan keperluan mandi membuat Hilma tersadar, ia benar-benar akan menjadi seorang santri. Semua bukan mimpi, tapi nyata yang harus dijalani. Mengingat kembali akan pembicaraan ayah Hilma tentang tomboi, ketiga temannya langsung menahan tawa di mana kerudung Hilma sudah terangkat tidak menutupi dadanya. Walaupun, bisa ingatkan kembali, dadanya datar.
"Anggap saja ini rumah sendiri, Hilma, jangan ragu bertanya kalo ada yang membingungkan," ucap Rahma dengan senyum lebarnya.
Intan menimpal, "Iya, anggap saja aku ini temanmu yang lama tidak jumpa, ya!"
Hilma tersenyum kaku, mengingat tidak pernah bermain dengan perempuan dan sekarang, ia harus bersama dan satu kamar? Ah, rasanya aneh dan ya, tidak mungkin terjadi tapi sudah terjadi.
"Nanti kalo kamu sulit dalam pelajaran, aku juga siap membantu."
Sekarang Zahra yang berucap, ia memang dikenal para santri pintar. Setelahnya mereka membantu Hilma mengeluarkan barang-barang dan memasukkan ke dalam lemari kosong khusus Hilma. Sekarang, kamar Khadijah 5 sudah ada penghuni baru. Beberapa santri pun saling memperkenalkan diri, Hilma menanggapi dengan kaku, awal pertama pun terasa menyenangkan, damai mendengarkan senandung solawatan yang tak hentinya mengalun indah. Mengingat kumandang Azan Magrib belum waktunya.
"Ustaz Hasbi memang idaman, ah, mantap suaranya!"
Ohh, namanya Hasbi, batin Hilma sambil berlalu menuju kamar mandi bersama ketiga temannya.