Yuki masuk ke dalam restoran yang sudah cukup rami pengunjung. Senyum Yuki merekah kala matanya melihat sang buah hati,
Danish terlihat serius dengan buku dan pewarn di tangannya. Rupanya anak ganteng Yuki sedang menggambar. Kali ini Stefan tak memberikan iPhone pada Danish, Stefam sengaja melakukannya agar Danish tidak kecanduan seperti kebanyakan anak jaman sekarang.
Yuki mendekati Danish, sepertinya anak ganteng ini belum menyadari kehadiran seorang Yuki. Ia masih asik dengan pewarna.
"Makan dulu, Nak. " Kata Yuki sembari mengulurkan beberapa bungkus berisi makanan, salah satunya ada menu bento yang Yuki bikin sendiri.
Danish menghentikan pekerjaannya, ia menatap si pelaku yang membuat Danish berhenti dari menggambar karena instruksi dari suara Yuki.
"Hai, sayang." Sapa Yuki saat kedua mata kembar itu saling bertemu.
"Mau apa?." Tanya Danish.
"Nih, Bunda bawain Danish makanan. Ini buatan Bunda sendiri lho...." Terang Yuki sembari membuka wadah makan. Tanpa Yuki sadari dia sudah menyebut dirinya sebagai Bunda pada Danish.
"Kenapa Bunda balu menemui Danish sekalangan?."
Deg
Jantung Yuki merasa tercubit dengan pertanyaan Danish sekaligus sadar akan kesalahannya yang secara tidak langsung sudah memperkenalkan diri pada Danish jika ia Bundanya.
"Maafkan Bunda, sayang." Ucap Yuki. Jujur ia bingung bagaimana menjawab pertanyaan Danish, hanya kata maaf lah yang mampu keluar dari mulut Yuki.
"Danish kangen, Bunda. " Kata Danish dengan suara pilunya.
Seketika Yuki berdiri, ia mendekati Danish dan merengkuh anaknya kedalam pelukan. "Bunda juga rindu, maafkan Bunda yang baru bisa menemui Danish. Bunda baru memiliki keberanian, sayang. " Bisik Yuki.
Hiksss
Terdengar suara tangis Danish dalan pelukan Yuki, Yuki pun sama. Mereka sama-sama menitihkan air mata.
Dalam tangis, Danish merasa sangat bahagia karena bisa meradakan pelukan hangag sang Bunda, pelukan yang sudah lama diam-diam ia nantikan.
Dari usia Danish menginjak ke angka 3, Danish mulai penasaran dengan sosok wanita yang selalu mengintip ke arah rumah mereka saat mereka masih tinggal di Paris. Tidak hanya di rumah, tapi juga di setiap kali ia pergi. Sosok perempuan itu selalu mengikuti dengan kamera berada di tangannya.
Wanita itu akan tersenyum saat melihat hasil bidikan kamera, bahkan tak jarang bulitan bening keluar dari mata Indah itu. Tak lama kemudian akhirnya Danish tahu jika wanita itu adalah Bundanya.
Danish menemukan dalah satu foto Yuki di ruang pribadi sang Ayah. Di foto itu tertulis sebuah kalimat, karena Danish belum lancar membaca akhirnya ia memberikan foto itu kepada salah satu pekerja sang Ayah , dari sanalah Danish tahu siapa Bundanya. Bunda yang selama ini selali masuk kedalam mimpi Danish.
"Bunda, Danish lapal...." Ucap Danish menghancurkan suasana haru keduanya.
Cepat-cepat Yuki menghampus air matanya, mereka saling mengurai pelukan. Yuki mengacak rambut Danish dengan gemas, kemudian menciumi wajah Danish hingga puas. Barulah ia memberikan Danish makan.
"Bunda itu apa?. " Tunjuk Danish pada kotak makan lain.
"Ini untuk Ayah." Jawab Yuki.
"Danish mau itu.... "
"Tapi, itu untuk Ayah. Danish kan punya sendiri. "
"Nggak mau, Danish mau itu!" Ucapnya kekeh.
"Ya udah deh," pasrah Yuki.
Senyum merekah pun terpancar dari wajah Danish.
Demi anak Yuk, nggak apa-apa . Bapaknya lain kali saja.
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Klik
Lagi-lagi Yuki membidikkan kamera tepat ke Danish. Yuki memandang gemas cara makan Danish. Danish terlihat semangat menyantap pasta buatan Yuki, garpu dan sendok semuanya di isi pasta kemudian secara bersama masuk ke dalam mulut mungik Danish.
Masakan buatan Yuki memang tak selezat dan semewah masakan Stefan. Tapi rasanya cukup bisa untuk diterima mulut. Yuki semakin bangga pada dirinya karena Danish tidak protes bahkan memuntahkan masakannya.
Tanpa keduanya sadari, dari dalam kitchen seorang Stefan sedang mengamati Yuki dan juga Danish. Stefan ingin marah dengan Yuki, namun ia tahan. Ia sengaja memberikan waktu pada ibu dan anak untuk saling melepas rindu.
"Jangan cuma lihatin aja, samperin mereka. " Ucap Hito, sahabat Stefan. Sahabat yang baru saja bergabung menjadi chief di restoran Stefan.
"Untuk apa? Dia saja tak menginginkanku. " Jawab Stefan, dia sudah kembali menyibukkan diri dengan pisau.
"Dari yang aku lihat, Yuki pasti sudah bilang kalau dia adalah Bunda Danish. Sekarang saatnya lo selesaikan masalah kalian. Bukannya lo pingin tahu alasan dia ninggalin kalian secara detail ?."
Stefan melepas penutup kepalanya dan menjatuhkan keras pantry dengan kasar. Stefan hendak melangkah menemui Danish dan Yuki, namun tiba-tiba langkahnya terhenti karena cekalan dari Hito.
"Apa lagi?." Tanya Stefan
"Cuci tangan dulu bro, bau amis tangan lo. Dasar jorok!."
Yuki dan Danish masih menikmati waktu mereka berduaan. Seaekali Yuki mengelap ujung bibir Danish dan pipi yang belepotan. "Pelan-pelan donk sayang makannya, nggak ada yang bakalan minta."
"Ayah...." Panggil Danish mengabaikan perkataan Yuki.
Stefan yang dipanggil oleh Danish kemudian duduk di sebelah Danish. Yuki hanya diam, jantungnya berdetak tak karuan. Semua kata yang sudah Yuki susun dengan rapi untuk ia sampaikan ke Stefan seketika musnah.
"Danish, boleh Ayah pinjam Bunda sebentar? Danish di sini sama yang lain dulu," Ucap Stefan, ia mengusap kepala Danish. Berharap agar anak itu nurut.
"Tapi jangan lama-lama, Danish nggak suka sama kakak-kakak di sini. Semua kepooo.... "
"Oke, kalau perlu apa-apa kamu minta tolong sama Kakak-kakak ya? Atau sama Om Hito juga boleh. "
"Oke Yah, "
Pandangan Stefan beralih kepada Yuki. "Ikut aku.... " Ucapnya.
Yuki hanya mampu membalas dengan anggukan.
"Doa'in Bunda, sayang. " Bisik Yuki pada Danish. Meski tak tahu apa maksud Bundanya, Danish tetap mengangguk.
Yuki mengikuti langkah lebar Stefan, Stefan tak menghiraukan jika Yuki terpuntal-puntal dalam mengikuti langkahnya. Ia tetap berjalan sesuai dengan iramanya sendiri. Stefan tahu jika Yuki masih Setia mengikutinya dari suara langkah kaki Yuki.
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Mata Yuki tak heran saat mendapati ruang kerja Stefan dipenuhi dengan warna-warna gelap, itu adalah favorit Stefan.
Mewah, sudah pasti karena Stefan orang kaya. Di sana Yuki juga melihat ada beberapa korsi melingkar mungkin digunakan Stefan ketika mengadakan rapat dadakan.
Stefan sudah duduk disalah satu sofa singgel, sementara Yuki masih setia berdiri. Ia merasa bingung jika mau duduk karena si empunya belum mempersilahkan.
Lama mereka terdiam dengan posisi masing-masing akhirnya Yuki bersuara. "Kenapa gorden jendela tidak di bukak, gelapkan jadinya. " Ucap Yuki basa-basi. Sumpah ini suasananya nggak enak.
"Kalai begini kan enak, terang. Emm ada pemandangan luar juga." Celotehnya lagi.
"Boleh aku duduk?." Tanya Yuki takut-takut saat menghadap wajah Stefan yang sangar.
"Katakan untuk apa kamu ke sini?. " Tanya Stefan setelah sekian lama diam.
"Aku mau minta maaf, " jawab Yuki sepontan. Ya emang tujuan awalnya adalah minta maaf pada Stefan.
Stefan tersenyum sinis "Setelah sekian lama kamu baru minta maaf?."
"Aku tahu aku salah, aku pergi gitu aja. Tapi aku punya alasan waktu itu, percaya sama aku bee... "
"Alasannya karena kamu ingin hidup dengan laki-laki itu kan ?."
"Demi apapun bukan itu alasannya. Kami nggak ada hubungan apapun, dulu kami bertemu tanpa sengaja saat aku belanja. Kami berpelukan hanya karena melepas rindu, nggak lebih."
"Kalau memang kamu nggak bersalah, kamu nggak mungkin ninggalin kita. Di mana otak kamu !." Tutur Stefan dengan sedikit bentakkan.
Membuat nyali Yuki ciut, dari dulu dia paling tidak berani saat Stefan sudah bersuara keras apalagi membentak dengan mata menatapnya tajam. Ternyata berpisah selama hampir tiga tahun tidak membuat tabiat itu hilang.
Yuki menurunkan harga dirinya, seperti saat beberapa tahun lalu. Ia kembali bersimpuh dihadapan seoranh stefan. "Aku mohon maafkan aku, percaya padaku Stef." Pinta Yuki dengan nada pilu.
Stefan merasa Djavu dengan tindakan Yuki. Ia memandang Yuki dengan tatapan sulit diartikan, sementara Yuki masih setia menunduk menatap jari-jemarinya sendiri.
Sungguh Stefan ingin merengkuh Yuki kedalam pelukannya. Memberikan Yuki kepercayaan seperti dulu, tapi masih susah rasanya. Bukan hal mudah untuk mengembalikan sebuah kepercayaan setelah kepercayaan itu dihianati.