Sepanjang jalan Jenna hanya menunduk, menyembunyikan wajah yang tertutup kaca helm. Sebelah tangannya memegang gagang besi di belakang jok, dan sebelahnya lagi menahan ujung rok dari terpaan angin.
Jenna mati-matian mengontrol debar jantungnya yang menggila. Bukan gugup karena berboncengan dengan seorang pria, tapi takut dilihat oleh teman-temannya lalu timbullah asumsi negatif yang semakin memojokkan dirinya.
“Kak, turunin aku di simpang saja,” pintanya pada Jeffrey.
Jenna terpaksa menerima tawaran Jeffrey setelah tukang ojek yang ia pilih mendadak tak bisa mengantarnya.
“Ayo, aku antar!”
“Tuh, kan apa saya bilang. Jenna tunggu jemputan pacarnya,” seru pria muda yang tadi mengejek Jenna.
“Heeeh, gayanya saja sok polos. Nggak taunya di luar liar. Pasti cowoknya nggak cuma dia saja. Ya, kan?”
Tuduhan menyakitkan itu membuat kepala Jenna tertunduk semakin dalam. Remasan pada tali ranselnya pun semakin erat.
“Mas, tahu kan, fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan!”
Jenna terperangah mendengar suara bariton yang masih asing di telinganya. Kepalanya terangkat menatap pemuda yang mengeluarkan aura intimidasi.
“Omongan Mas barusan bisa saya perkarakan dengan pasal perbuatan tidak menyenangkan.”
Tatapan datar dan suara rendah namun tegas Jeffrey membuat suasana berubah tegang. Semua bungkam, tak ada yang berani bersuara. Pun dengan pria yang semula begitu semangat memojokkan Jenna, kini terdiam ketakutan.
“Saya temannya Jenna. Saya jemput dia karena motornya rusak dan ditinggal di kafe. Jadi, nggak usah berasumsi yang macam-macam.”
Jeffrey mengalihkan tatapannya pada Jenna yang berdiri di samping motor bebek. Ia sedikit memundurkan tubuhnya sebab posisi Jenna terlindung bapak tukang ojek.
“Ayo!” ajaknya sekali lagi.
“A—aku naik ojek aja, K—kak,” tolak Jenna dengan suara pelan dan kepala yang sudah kembali menunduk. Terus terang saja aura pemuda itu membuatnya sedikit takut.
“Halo.” Gerakan Jenna yang hendak duduk di atas motor terhenti saat pria setengah baya yang duduk di atas motor bebek menjawab panggilan yang masuk di ponselnya.
“Iya ... Oke-oke.”
Pria tua itu memasukkan kembali ponsel ke saku celana pendeknya, seraya berkata, “Duh, maaf, Jen. Saya nggak bisa antar. Ada urusan mendadak.”
Mendengar itu, batin Jeffrey bersorak senang, keadaan yang begitu kontras dengan raut datar tanpa ekspresi yang ia tunjukan.
Sementara, Jenna tidak bisa menutupi rasa kecewa. Ia ingin memohon, tapi bapak tersebut mengatakan tak bisa menunda urusannya. Mau tidak mau Jenna mengembalikan helm yang sudah terpasang sempurna di kepalanya.
“Maaf, ya. Kamu pergi sama Mas ini aja,” saran bapak itu sebelum pergi.
Jenna melirik ke belakang, tepatnya ke arah pangkalan ojek. Hanya tersisa dua orang dan ia tidak mungkin memilih salah satu di antara mereka.
Bukannya sampai di sekolah, yang ada ia akan berakhir di rumah sakit jiwa karena tidak tahan dengan mulut pedas dua orang tersebut.
Ia tarik napas dalam lalu membuangnya perlahan. Tidak ada pilihan lain. Ia harus kembali menerima bantuan pria yang baru dikenalnya semalam.
“K—kak, tawarannya masih berlaku?” tanya takut-takut bercampur malu.
“Masih. Ayo!”
Setelah menerima helm dari Jeffrey, Jenna tak langsung memakainya. Ia diam sejenak menatap foot step dan jok motor secara bergantian. Terlalu tinggi. Bagaimana caranya ia naik tanpa harus berpegangan pada Jeffrey.
Malam itu dia mengenakan celana jadi lebih mudah naiknya. Sedangkan, saat ini ia mengenakan rok span selutut. Tentu lebih sulit.
“Buruan naik, Jen! Ini sudah hampir jam tujuh, loh.”
“I—iya, Kak.” Jenna tergagap.
“Maaf, Kak,” ucap Jenna sebelum memegang bahu Jeffrey sebagai tumpuan saat kaki kanannya sudah menginjak footstep yang diturunkan pemuda itu.
Seer ....
Darah Jeffrey seketika berdesir dan bulu-bulu halus di tubuhnya meremang. Kinerja jantungnya pun ikut meningkat. Bahkan, untuk beberapa saat napasnya sempat tertahan.
Sungguh, ia tidak menyangka jika sentuhan singkat Jenna bisa memberikan efek yang luar biasa padanya.
Sepertinya melajukan motor dengan kecepatan rendah adalah pilihan yang menyenangkan.
“Tapi itu masih lumayan jauh dari sekolah kamu,” ucap Jeffrey.
“Nggak papa, Kak.”
Jeffrey mendengkus. Ia kembali menarik pedal gas saat lampu lalu lintas berganti hijau. Lalu, dengan terpaksa menepikan motornya di depan kantor pos yang jaraknya kira-kira tiga ratus meter dari sekolah Jenna.
Jenna pun gegas turun. Ia lepas pelindung kepala dan mengembalikannya. Tak lupa ia mengucapkan terima kasih sebelum berlalu menjauhi Jeffrey dengan sedikit tergesa sambil menaikkan tudung jaketnya.
Jeffrey tersenyum getir, batinnya menertawakan diri sendiri. Pasalnya, baru kali ini ada gadis yang menolak diantar hingga ke gerbang sekolah. Biasanya para gadis yang dekat dengannya malah sengaja memamerkan kedekatan mereka.
Kesal?
Tidak! Ia semakin tertantang dan bersemangat untuk menaklukkan hati gadis bersuara merdu itu.
“Akan kubuat kamu jatuh hati,” sumpahnya disertai seringai.
***
Tyas sudah menunggu hampir tiga puluh menit. Duduk di atas sepeda motor di bawah naungan pohon trembesi. Posisinya cukup jauh dari beberapa orang yang juga melakukan hal yang sama seperti dirinya.
Untuk pertama kalinya Tyas memberanikan diri keluar rumah seorang diri demi menjemput putrinya, Jennaira. Ia bertekad ingin menebus masa-masa yang terbuang sia-sia karena keegoisannya.
Diperhatikannya gerombolan remaja berseragam putih abu-abu yang berbondong-bondong keluar dari gerbang sekolah dengan senyum lebar bahkan gelak tawa. Sama seperti dirinya dulu yang selalu merasa senang ketika jam pulang tiba. Rasanya beban yang ia sangga luruh begitu saja.
Namun, masa putih abu-abunya tidak berlangsung lama. Sebab, petaka itu datang di tahun kedua. Menghadirkan Jenna yang membuatnya semakin kehilangan kesempatan untuk meraih cita-cita.
Tyas tersenyum miris. Luka yang baru saja berhasil ia sembuhkan kembali terasa perih. Namun, ia tidak lagi menyalahkan takdir. Ia sudah berhasil keluar dari ruangan gelap yang selama ini memenjarakannya.
Tyas terus memandang ke arah gerbang yang mulai sepi. Bahkan, beberapa orang yang mengenakan seragam khas pegawai negeri sudah terlihat pergi meninggalkan sekolah.
Wanita itu pun mulai khawatir dan was-was. Ia menyalakan mesin motor lalu menjalankannya hingga ke depan gerbang.
Sepi. Itulah yang Tyas lihat. Hanya ada seorang petugas keamanan pos jaga dan beberapa guru di area parkir.
Perasaannya semakin tidak tenang, Ia pun memutuskan untuk mencari Jenna ke dalam sekolah.
“Cari siapa, Mbak?” tanya petugas keamanan dengan sopan. Mencegat Tyas yang hendak masuk ke area sekolah.
“Em ... maaf, Pak. Saya cari Jennaira. Dia sudah keluar belum, ya?”
Pria tersebut tak langsung menjawab. Ia telisik wajah Tyas yang sebagian tertutup masker hitam. Membuat wanita itu merasa tidak nyaman.
Sadar akan hal tersebut, petugas keamanan langsung mengalihkan tatapannya. Ia tidak berniat jahat, hanya waspada karena ini pertama kalinya ada yang menjemput Jenna.
“Sepertinya be---, oh itu dia.” Pria itu menunjuk ke arah lantai dua. Di mana Jenna baru saja keluar dari kelasnya.
Tyas langsung menganjur napas lega. Ia sudah berpikir yang tidak-tidak. Jenna bolos atau diculik misalnya.
“JENN, ADA YANG NYARI!”
Jenna sempat terdiam. Ia mendekati pagar pembatas lalu memicingkan mata, berusaha mengenali sosok yang berdiri tak jauh dari satpam sekolah. Sayangnya, sosok tersebut tak begitu jelas dalam pandangannya.
Jenna pun bergegas turun. Mungkin saja yang sedang menunggunya adalah orang yang ingin mengambil orderan baju.
“I—ibu ....” gumam Jenna tak percaya saat wanita yang berdiri di depan pos satpam menurunkan maskernya.
Jenna terus menatap dengan langkah yang sedikit melambat. Matanya mengerjap-ngerjap pelan memastikan jika ini bukanlah mimpi atau halusinasi semata.
Ternyata benar. Wanita itu adalah Tyas, ibunya. Tapi, kenapa dia bisa ada di sini? Ada keperluan apa?
“Ngapain?” Cara bicara Jenna sedikit ketus. Ia lupa jika masih ada Pak Satpam di dekat mereka.
“I—ibu tadi nggak sengaja lewat. Jadi, sekalian saja jemput kamu.” Tyas beralasan dengan jantung yang berdebar kencang.
Ia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya. Bukan karena gengsi, tapi takut ditolak. Apalagi melihat respon Jenna yang kurang bersahabat.
“Nggak salah, nih?” batin Jenna bertanya-tanya. Menatap tak percaya pada sang ibu.
“Kamu masih ada kegiatan?”
Jenna menjawab dengan gelengan malas.
“Mau pulang sama Ibu atau ada jemputan lain?” tawar Tyas.
Jenna tampak berpikir. Mempertimbangkan tawaran langka dari Tyas. Jika ikut, ia belum siap berinteraksi dengan ibunya itu. Tapi, jika menolak ia harus berjalan kaki hingga pangkalan ojek yang jaraknya cukup jauh.
Membayangkan saja rasanya sudah lelah, Apalagi saat ini matahari sedang terik-teriknya.
Ah, kenapa juga di dekat sini nggak ada pangkalan ojek?
Jenna mengeluh dalam hati, lalu berdoa. Berharap ada seseorang yang ia kenal lewat dan menawarinya pulang bersama. Tapi, itu adalah hal yang mustahil. Sebab, ia tidak memiliki banyak teman. Sementara, Tyas menunggu jawaban Jenna dengan perasaan was-was.
“Kamu ada niatan jadi wakar di sini, Jen?” seloroh Pak Satpam yang sudah bersiap untuk pulang.
Jenna menarik napas dalam lalu membuangnya dengan kasar. Tidak ada pilihan lain.
“Aku ikut.”
Sesuatu yang sejak tadi mengganjal di rongga d**a Tyas seketika musnah. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk kurva paling indah. Kini, hatinya dipenuhi dengan bunga-bunga yang bermekaran.
Ia sudah lupa kapan terakhir kali merasa sebahagia ini.
“Ayo!”
Jenna mengekori langkah Tyas. Bukannya langsung naik, ia malah memperhatikan motor matic berwarna merah dengan lambang sebelah sayap.
Apakah ibunya meminjam dari tetangga?
Ah, rasanya tidak mungkin. Jangankan untuk meminjam kendaraan, mengobrol dengan tetangga saja dia tidak pernah. Paling menyapa sekedarnya.
Paham dengan tatapan penuh tanya sang putri, Tyas pun menjelaskan, “Ini motor yang dipesan nenek tiga bulan lalu.”
Bibir Jenna membulat, membentuk huruf O.
“Ayo, Jen!”
Jenna pun mendudukkan diri di belakang Tyas.
“Mbak nggak ada niat mau nurunin aku di pinggir hutan, kan?”
Senyum Tyas langsung memudar. Binar di matanya meredup mendengar panggilan dan tuduhan Jenna.
Sejahat itukah dia di mata putrinya?
Sadar jika ucapannya keterlaluan, Jenna pun langsung mengalihkan pembicaraan.
“Ke kafe dulu. Aku mau ambil motor.”
Setelah itu tidak ada lagi kata yang terucap. Baik Tyas maupun Jenna keduanya sama-sama diam layaknya orang bisu.
Sesampainya di tempat ia mengais rejeki, Jenna langsung turun dan menghampiri motornya yang masih terparkir di tempat yang sama saat ia meninggalkannya.
Heran, melihat kondisi motornya yang terlihat sangat bersih. Ia usap bagian jok yang mulus tanpa bekas cakaran kucing.
Kemudian, ia berjongkok untuk mengecek keadaan bannya.
“Baru,” gumamnya saat mendapati kondisi ban yang masih dihiasi ukiran.
Gegas ia bangkit dan memeriksa ban depan. Sama. Kondisinya juga baru.
“Kenapa, Jen?” tanya Tyas menghampiri Jenna yang tampak keheranan.
Jenna tidak menjawab. Ia kembali berdiri, lalu berjalan mendatangi penjaga kafe yang sedang menata kursi dan meja.
“Pak,” panggil Jenna.
“Eh, Jen,” Pak Gimin menoleh sejenak. Kemudian kembali fokus pada pekerjaannya.
“Oh iya, motormu sudah dibenerin sama Mas Jeffrey,” jelasnya sebelum Jenna bertanya.
Bukannya membuat lega, jawaban Pak Gimin malah membuatnya semakin heran.
Setelah mengucapkan terima kasih, Jenna kembali ke parkiran.
“Kenapa?” tanya Tyas khawatir.
“Nggak papa.”
Jenna lepas salah satu tali tas yang tersampir di pundaknya lalu mengarahkan wadah buku tersebut ke depan. Dibukanya kantung paling depan untuk mengambil kunci kontak.
Selama hampir dua menit ia biarkan mesin kendaraan itu menyala.
“Ada masalah?” Tyas bertanya lembut. Dari raut wajah jelas terlihat jika Jenna sedang memikirkan sesuatu.
“Nggak ada.”
Jenna berlalu begitu saja. Meninggalkan sang ibu yang menatap kepergiannya dengan sedih.
“Kamu sudah nggak sayang Ibu, Jen?”
Sesampainya di rumah, Jenna langsung ke kamar untuk mengecek ponselnya. Berharap ia belum menghapus pesan dari Jeffrey.
Sial! Ia lupa mengisi daya ponselnya semalam. Alhasil, kini benda canggih itu dalam keadaan mati total. Sambil menggerutu, ia sambungkan benda tersebut dengan kabel pengisi daya.
Baru saja terhubung dengan aliran listrik, Jenna yang tidak sabaran langsung menekan tombol power, lalu membuka aplikasi obrolan hijau.
Tampaknya hari ini keberuntungan sedang tidak berpihak kepada Jenna. Pesan yang Jeffrey kirim tadi pagi sudah ia hapus bersama dengan pesan dari nomor lainnya.
“Argh!” desahnya frustrasi lalu meletakan ponsel dengan sedikit kasar.
Lalu, ia beranjak dari meja belajar dan menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur.
“Maunya itu orang apa, sih?” tanyanya kesal sambil menendang-nendang angin.
Bukan tidak suka dibantu, Jenna hanya takut suatu saat orang tersebut akan mengungkit dan menuntut balas budi. Tak masalah jika menuntut balasan masuk akal, jika tidak? Ia sendiri yang akan kesulitan.
Ting!
Ting!
Ting!
Ponselnya berdenting. Tanda ada pesan baru yang masuk.
Gegas Jenna bangkit dan mengambil ponselnya. Ia buka tiga buah pesan dari nomor asing yang sama.
[Siang]
[Sudah pulang?]
[Aku baru sampai kosan]
Selain menanyakan kabar Jenna, Jeffrey juga selalu memberitahu kegiatannya meskipun Jenna tidak pernah bertanya sama sekali.
Lekas Jenna menghubungi nomor tersebut. Tak menunggu lama, Jeffrey merespons panggilan pada dering pertama.
“Halo.”
“Berapa biaya yang kamu keluarkan untuk perbaiki motorku?” tanya Jenna tanpa basa-basi. Mengabaikan sapaan ramah Jeffrey.
“Kalau ada orang nyapa itu dijawab dulu.”
“Tolong, Kak, Nggak usah basa-basi.”
“Satu juta tiga ratus lima puluh empat ribu.”
Mata Jenna terbelalak mendengar nominal yang Jeffrey sebutkan.
“Dua ban tubles, aki, ganti oli, lampu rem, fan belt, kulit jok dan nyuci.” Jeffrey menjabarkan.
“Gimana, mau ganti sekarang?” tantangnya kemudian.
Jenna mengusap kasar wajahnya. Uang sebanyak itu dari mana ia dapatkan? Apa harus membuka lagi celengan ayamnya. Kalaupun iya, isinya juga tidak akan cukup. Ia baru mulai menabung lagi beberapa hari lalu. Sedangkan, bayaran dari kafe bulan ini juga sudah ia pakai untuk membeli keperluannya.
“Cicil boleh?” tanya Jenna menahan malu.
“Nggak! Aku bayar di bengkel kes.”
“Ya, salah sendiri kenapa kamu perbaiki motorku.”
Jeffrey terdiam. Ia tidak punya jawaban untuk itu. Tidak mungkinkan ia mengatakan yang sejujurnya.
“Gini aja, deh. Biaya perbaikan nggak usah kamu ganti. Sebagai gantinya mulai sekarang kamu harus balas pesan aku. Gimana, deal?” Jeffrey memberi penawaran.
“Oh, jadi kamu nolongin aku karena ada maunya? Jangan-jangan kamu yang sudah ngempesin ban motor aku?” tuduhan Jenna tepat sasaran.
Di seberang sana Jeffrey sedang kelabakan memikirkan bantahan.
“Jangan nuduh. Ban motor kamu memang sudah tipis.”
Jenna kembali terdiam. Benar, ban motornya memang sudah tidak layak untuk digunakan. Ia beberapa kali hampir tergelincir saat hujan.
“Jadi, bagaimana keputusannya?” tanya Jeffrey menekan Jenna.
“Nyicil, ya?” Jenna memohon. Cara bicaranya sudah tidak seketus tadi.
“Nggak! Pilihannya cuma dua. Bayar kes atau turuti permintaanku tadi.”
Jenna terdiam. Ini pilihan yang sulit.
“Jen, aku nggak punya niat jahat. Aku cuma mau berteman.” Jeffrey berusaha meyakinkan.
“Gimana?”
“Oke.”
“Oke yang mana?”
“Oke yang kedua,” jawab Jenna lesu dan langsung memutus sambungan telepon.
Kenapa hari ini ia selalu dihadapkan dengan pilihan yang sulit. Mulai dari urusan berangkat sekolah, pulang sekolah dan sekarang masalah p********n perbaikan motor.
Ting!
[Jangan lupa save nomorku.]