Tidak seperti biasanya, hari minggu kali ini Jeffrey bangung lebih pagi. Sambil menahan kantuk—sebab kurang tidur, ia mengendarai motornya menuju kafe milik Regas. Ada sesuatu yang harus ia kerjakan sebagai penyempurna misinya.
Tidak terburu-buru, Jeffrey mengendarai motornya dengan santai. Menikmati sejuknya udara pagi yang sesekali membuatnya bergidik dingin atau menguap.
Kantuk dan rasa malas yang menggelayutinya mendadak hilang, berganti dengan senyum semringah saat melihat motor matic berwarna merah masih ada di area parkir kafe.
Jeffrey menurunkan standar samping, memutar kunci kontak untuk mematikan mesin lalu melepas pelindung kepala dan menggantinya dengan tudung hoodie.
Setelah itu, ia mengeluarkan ponsel dari saku hoodie dan menghubungi seseorang yang semalam membantunya mengempiskan ban motor tersebut.
“Saya sudah di depan, Pak,” ucapnya setelah mengucap salam pada seseorang di seberang telepon.
“....”
“Santai aja, Pak. Harusnya saya yang minta maaf karena ganggu pagi-pagi gini.”
Sebenarnya Jeffrey merasa tidak enak hati. Tapi apa boleh buat ia tidak mungkin menunggu hingga tengah hari nanti. Bisa-bisa Jenna si pemilik motor datang lebih dulu dan mengacaukan rencananya.
Setelah memutus panggilan, Jeffrey turun dari motor dan duduk di undakan yang ada di tepi parit. Menunggu kedatangan juru parkir tempat ini sambil memantau dunia maya melalui ponselnya.
Ia menyukai bahkan memberikan komentar di unggahan terbaru dari dua puluh satu akun yang ia ikuti di i********:.
Tidak ada yang menarik lagi, Jeffrey beralih pada kolom pencarian. Ia ketikan nama lengkap Jenna—yang baru ia ketahui semalam—di sana.
Perlahan-lahan ibu jarinya bergerak menggeser layar ponsel ke atas, sementara matanya awas mengamati satu persatu foto dari sekian banyak akun yang muncul.
“Apa dia nggak punya akun i********:, ya?” gumamnya saat tak kunjung menemukan akun i********: milik Jenna.
"Ck, kayaknya nggak mungkin," lanjutnya menyangkal pemikiran sendiri.
Frustrasi, Jeffrey menurunkan ponsel dan memandang lurus ke depan. Termenung sejenak, mengira-ngira nama apa yang digunakan gadis itu untuk akun media sosialnya.
Jeffrey tegakkan duduknya seraya menarik napas dalam lalu mengembuskannya dengan kasar. Ia menyerah. Akan ia tanyakan langsung pada Jenna nanti.
Setelah memasukkan ponsel ke saku hoodie, ia lirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiri. Lalu bangkit dan berjalan ke tepi jalan. Menengok kiri dan kanan berharap sosok yang ditunggu terlihat di kejauhan.
Lagi-lagi Jeffrey mendengkus. Sepertinya nasibnya pagi ini tak seberuntung semalam.
“Lima menit lagi,” gumamnya saat tubuhnya sudah disandarkan pada motor.
Tin! Tin!
Jeffrey menoleh. Kekesalannya sirna saat melihat seorang pria paruh baya datang dengan mengendarai motor bebek butut.
“Sudah lama, Mas?” tanya pria berumur itu saat melewati Jeffrey.
“Nggak, Pak,” kilahnya seraya bangkit dari duduk dan berdiri di belakang pria yang akrab disapa Pak Gimin. Padahal dia sudah menunggu hampir tiga puluh menit.
Saat pintu pagar terbuka Jeffrey segera menghampiri motor milik Jenna. Ia gerakkan stangnya. Syukurlah gadis itu tidak menguncinya.
Kemudian, ia mengitari motor tersebut, mengamatinya dengan saksama. Cukup bersih. Sayangnya, terdapat baret pada bagian spakbor depan dan cover sayap kanan depan. Kulit joknya juga sudah rusak. Sepertinya akibat cakaran kucing.
“Ada kuncinya nggak, Mas?”
“Nggak ada, Pak. Tapi nggak dikunci stang, kok.”
“Mbak Jenna memang agak teledor. Kadang kunci kontaknya masih nyantol di motor.”
Meski sedikit kaget, Jeffrey menganggap itu sebagai salah satu informasi penting.
“Di sana ada bengkel motor, Mas. Nggak jauh, kok. Sekitar 100 meter dari simpangan.” Pak Gimin menunjuk ke arah simpang tiga di seberang saat melihat Jeffrey mengeluarkan motor Jenna dari parkiran.
“Mudah-mudahan sudah buka,” lanjutnya
“Oke. Makasih, ya, Pak.”
Jeffrey mulai menuntun motor Jenna. Menunggu sejenak di tepi jalan. Setelah aman, ia sedikit berlari menyebrangi jalan raya yang mulai ramai.
Meski matahari belum muncul, tapi suhu udara mulai meningkat. Membuat tubuh Jeffrey yang terbungkus hoodie mulai terasa lembab.
Jujur saja Jeffrey tidak menyukai kondisi ini. Ia yang mudah gerah biasanya langsung melepas baju dan berdiri di depan kipas angin atau AC.
“Sudah buka, Pak?” tanya jeffrey sambil terengah lelah pada seorang pria yang duduk di sebuah kursi kayu dengan lutut ditekuk sebatas d**a.
“Belum, Mas. Anak-anak masih ngopi di dalam.”
Pria berkaos hitam dan celana pendek itu turun dari kursi dan menghampiri motor yang sudah Jeffrey turunkan standar tengahnya.
“Bocor?” tanyanya seraya berjongkok untuk memeriksa ban belakang motor Jenna.
“ Kempes aja, Pak.”
“Ban luarnya sudah tipis ini, Mas. Rawan bocor.”
Jeffrey membungkuk di samping sang montir.
Benar. Ukiran pada ban luar motor Jenna sudah tidak terlihat. Tadi ia tidak memerhatikan itu.
“Ganti aja, Pak. Sekalian sama yang depan,” putus Jeffrey.
Pemuda itu memerhatikan motor yang mulai dilepas bannya sambil berpikir. Jika bagian luar saja tidak diperhatikan apalagi bagian dalam. Akhirnya, Jeffrey meminta sang montir untuk mengecek keseluruhan motor tersebut sebelum ia kembali ke kafe untuk mengambil motornya.
Dalam perjalanan kembali ke kafe, Jeffrey sempatkan untuk membeli nasi bungkus lengkap dengan air mineral untuk dirinya dan juru parkir. Tak lupa dua bungkus rokok sebagai tambahan imbalan untuk pria paruh baya tersebut.
“Buka, Mas?” tanya Pak Gimin menyambut kedatang Jeffrey yang keningnya dipenuhi keringat.
“Buka,” jawab Jeffrey sambil menyerahkan dua bungkus rokok dan mengajak Pak Gimin untuk sarapan bersama.
Dengan senang hati Pak Gimin menerima ajakan tersebut. Ia mengajak Jeffrey untuk masuk ke bangunan kecil yang ada di dekat parkiran.
Jeffrey duduk bersila di dekat pintu masuk. Sambil menunggu Pak Gimin mengambil piring yang ada di lemari meja, ia perhatikan ruangan berukuran 2 x 2 meter itu. Ada televisi tabung 14 inchi dan sebuah kipas angin dinding.
Dua pria berbeda usia itu menikmati sarapan dengan tenang. Sesekali saling melemparkan tanya tentang keseharian masing-masing.
“Mas Jeffrey seneng sama Mbak Jenna?”
Tanya itu tiba-tiba terlontar dari bibir pria yang baru saja mengembuskan asap tembakau. Tanya yang membuat Jeffrey tersentak dan menoleh pada pria yang tidak menatapnya sama sekali.
“Kalau cuma mau main-main, lebih baik jangan,” lanjut pria itu. Dengan mata yang masih menatap lurus ke depan. Seakan-akan sedang menerawang sesuatu.
“Hidup anak itu sudah sulit. Di umur yang semuda itu dia sudah merasakan sakit hati yang luar biasa. Jujur saja, Mas … saya menyesal karena sudah bantu Mas Jeffrey. Semalaman saya nggak bisa tidur memikirkan keadaan Mbak Jenna. Saya takut Mas Jeffrey macam-macam sama dia.”
Jeffrey tidak memberikan tanggapan. Namun, ia arahkan seluruh fokusnya pada pria tersebut. Posisi duduk yang semula menghadap ke depan, kini ia ubah menghadap pria yang duduk di bagian paling ujung teras pos jaga.
“Sebenarnya saya nggak suka ngomongin masalah pribadi orang, tapi semoga cerita saya ini bisa menyadarkan kalau memang Mas Jeffrey punya niat nggak baik ke Mbak Jenna,”
Cerita Pak Gimin mengalir. Ia cukup tahu sejarah kehidupan Jenna. Sebab, ia pernah menjadi tetangga Nenek Rah saat orang tua tunggal itu baru pindah ke kota ini. Tepatnya, saat mereka baru diusir dari kampung halaman mereka..
Nenek Rah dan Tyas pindah ke kota ini saat mereka belum menyadari kehadiran Jenna di dalam Rahim Tyas. Awalnya, mereka diterima dengan baik. Namun, saat kabar mengenai kehamilan Tyas tersebar, warga mengusir keduanya dengan cara sadis.
Ibu dan anak itu diseret keluar dari rumah yang mereka sewa. Dicaci maki bahkan ada yang bertindak kasar dengan menjambak atau melempar Tyas dengan kerikil. Warga tidak memberi kesempatan pada Nenek Rah untuk membela putrinya.
Pindah ke tempat baru, hal serupa kembali terjadi. Namun, kali ini lebih manusiawi. Ketua RT setempat mendatangi kediaman Nenek Rah dan memintanya pergi sebelum warga bertindak.
Hal tersebut membuat Tyas depresi. Ia berkali-kali berusaha menggugurkan kandungan dengan meminum berbagai ramuan. Untungnya, Nenek Rah selalu memergoki aksinya itu.
Yang terakhir, Tyas berusaha mengakhiri hidupnya dengan cara melompat dari jembatan. Namun, digagalkan oleh sepasang suami istri yang saat itu melintas. Pasangan yang merupakan ketua RT tempat mereka tinggal sekarang.
Tidak mudah, membuat warga setempat menerima kehadiran Nenek Rah dan Tyas. Namun, Bapak dan Ibu RT terus memberikan pengertian pada warganya. Mereka akhirnya diterima, meskipun ada beberapa warga yang masih sering menghina mereka.
Jeffrey tertegun. Ia mendengarkan dengan saksama tanpa menyela sedikitpun. Bukan tidak tahu jika Jenna adalah anak hasil dari pemerkosaan, Namun, ia tidak menyangka jika kehidupan Jenna semenyedihkan itu.
Kisah hidup Jenna benar-benar menampar Jeffrey. Jujur saja, ia tertarik pada Jenna hanya karena penasaran dengan gadis yang tampak ramah dan ceria saat di panggung, tapi cenderung pendiam dan dingin saat di luar panggung.
“Gelar anak haram yang sejak lahir nempel di dia saja sudah beratnya minta ampun, apalagi ditambah sama penolakan ibunya. Saya nggak bisa bayangkan gimana sakitnya jadi dia, Mas.
“Saya, nggak habis pikir kenapa orang-orang masih memandang hina korban pemerkosaan. Padahal mereka butuh dukungan supaya tetap waras. Apa mereka yang menghina itu nggak sadar kalau barang busuk itu bisa nular.”
Setelah bercerita panjang lebar, akhirnya Pak Gimin menoleh, menatap Jeffrey yang masih menatapnya.
Sorotnya datar, tapi tersirat ketegasan mata tuanya. “Saya minta berhenti kalau Mas Jeffrey cuma mau main-main sama Jenna. Jangan ikut-ikutan menyakitinya.”