#3 Family Meeting

2236 Kata
EPISODE3 . . . Untuk yang pertama kali dalam hidupnya, seorang Rasa Dana Paramesti menyesali keputusan yang Ia ambil. Karena alasan emosi dipancing oleh teman laki-laki di kelasnya. Rasa tidak sengaja mengucapkan kalimat itu. Kalimat yang entah bisa Ia tepati atau tidak, Rasa cenderung berpikir negative. Pulang dalam keadaan shock dan mengumpat berkali-kali. Wajahnya berubah pucat, kedua tangan itu berpegangan erat pada tas yang Ia gendong. Pikiran Rasa mengawang, tidak menyadari sama sekali ketiga temannya datang menghampiri dari belakang. “Rasa!” teriakan yang masih belum bisa mengejutkan sang empunya. Rasa masih shock- Ketiga gadis di belakangnya saling pandang, mengendikkan bahu sekilas. Dela yang sempat menghilang dari peredaran karena terlalu asik dengan kekasihnya, memutuskan untuk memaafkan tingkah Rasa. Menganggap bahwa kejadian tadi tidak pernah ada. “Dia masih shock?” memandang Gauri dan Kenya, kedua gadis itu mengangguk kecil. Berjalan lebih dulu dan menghentikan langkah Rasa. “Sa, kamu masih mikirin kata-katamu tadi?” Gauri menghentikan langkah Rasa, dengan kuat memegang pundak sang empunya. Rasa masih diam, pandangan dibalik kacamata bulat itu menengadah, bibirnya mengerucut tipis. Mengangguk dengan ragu, perlahan tapi pasti wajah shock itu berubah mewek, “Huee!! Aku harus apa sekarang?!!” memeluk Gauri erat, sedikit menangis karena malu. Dela dan Kenya mencoba menahan tawa mereka, “Hh, habisnya kau mau saja terhasut ucapan teman-teman di kelas. Apalagi si Kevan, dia kan biang keladi pembuat onar,” Kenya bukannya menenangkan justru memarahi. Dela tidak kalah kejam, dia justru memperagakan kembali apa yang dilakukan Rasa tadi. Dengan kedua tangan berkacak pinggang, wajah luar biasa percaya diri, d**a membusung ke depan, “Siapa bilang aku akan jomblo selamanya?!! Kalian lihat saja!! Dalam tiga-ah dua bulan ke depan, aku Rasa Dana Paramesti akan menemukan pacar sempurna yang jauh lebih tampan dibandingkan semua!! Laki-laki burik di kelas!!” menunjuk dengan angkuh entah pada siapa. Terakhir tak lupa mempraktekkan pose andalan Rasa. Memperbaiki kacamata bulat di hidungnya yang pesek. Berikutnya, baik Kenya dan Gauri kompak tertawa keras. “Kalau aku tidak dapat pacar dalam waktu dua bulan ini, aku akan-hahaha-aku akan membiarkan kalian mengejekku perawan ting-ting selamanya!!!” Tawa ketiga gadis itu pecah, sedangkan Rasa menatap dongkol, alisnya tertekuk tak suka. Bibir mengerucut, wajahnya mulai memerah, menahan kekesalan. Langsung saja dia mendorong tubuh Gauri, “Kalian apa-apaan sih! Kok malah mengejekku!!” berteriak kecil, tubuh mungil itu berdiri menantang ketiga gadis yang memiliki tubuh lebih tinggi dibandingkan dirinya. “Habisnya kau lucu sekali!” Kenya menekuk tubuhnya, menahan rasa sakit di perut akibat tertawa sejak di kelas tadi. Sekarang melihat akting Dela tadi dia tertawa lagi. “Kau mau saja terhasut ucapan semua laki-laki di kelas, mereka kan sudah biasa meledekmu,” Gauri menambahkan. Sementara Dela sudah menangis karena tertawa, bukannya merasa kesal karena tindakan Rasa sebelumnya. Semua kesalnya digantikan saat melihat tingkah laku konyol sahabatnya itu. Berjalan mendekati Rasa, dengan pandangan setengah serius. “Tenang Rasa, kami akan membantumu mendapatkan kekasih yang super tampan-” menahan tawa, “Tapi sebelum itu kau harus merubah penampilanmu dulu-astaga perutku,” Bukannya Rasa tambah tenang, gadis itu malah malu. Wajahnya memerah bak kepiting rebus, bibir tipis itu mengerucut, dengan alis tertekuk menahan tangisan yang sebentar lagi keluar. “Sumpah!! Kalian sahabat terjahat yang pernah aku kenal!! Huee!!” tepat saat mobil yang menjemputnya datang. Rasa langsung pergi meninggalkan mereka. Bak telenovela, gadis itu menangis dramatis. “Kalian jahat!!” Ketiga sahabatnya yang masih menahan tawa, melambai kompak, “Hati-hati di jalan!! Kalau mau belajar berdandan hubungi kami ya!” Sahabat kampret!! . . . Pukul 4 sore- Pulang dalam keadaan wajah kusut dan cemberut, bahkan tidak bicara sama sekali dalam perjalanan. Beberapa kali Pak Yanto selaku supir keluarga mereka selama hampir sepuluh tahun lebih mengabdi berusaha mengajaknya bicara. Rasa hanya menanggapi dengan jawaban singkat. Bisa dikatakan bahwa dia memang berasal dari keluarga berada, Ayahnya bekerja sebagai Direktur perusahaan Kayu yang cukup dikenal, industri yang berhubungan dengan pembuatan Pintu, dan Furniture serta memiliki cabang di beberapa tempat. Ibunya yang tidak bekerja, menjadi seorang Ibu Rumah tangga yang modis dan tidak pernah ketinggalan berita fashion jaman sekarang. Bahkan lebih update dibandingkan putrinya yang masih remaja. Rasa maksudnya- Turun dari dalam mobil. Hal yang Rasa lihat pertama kali adalah mobil milik Kakaknya yang sudah terparkir rapi di garase mereka. Wanita itu biasanya pulang pukul enam, karena bekerja menjadi seorang sekertaris di perusahaan yang berhubungan dengan majalah teenlit. Tak jarang karena tubuh dan wajahnya yang mendukung, sang Kakak sering kali diminta untuk ikut pemotretan. Yah, kadang-kadang. Karena wanita itu tidak begitu suka menampakkan dirinya dalam media. Nama Kakaknya? Ah, Rasa hampir lupa. Senatara Lakshita, cantik bukan? Sesuai dengan namanya. Rasa sendiri sering kali merasa bangga karena memiliki Kakak secantik itu. Rasa tidak pernah iri ataupun membenci Sena. Wanita itu terlalu baik hati untuk dibenci. . . Masuk ke dalam rumah, yang menyambutnya lebih awal adalah sang Ibu. Wanita itu menerjangnya, menggunakan appron dengan wajah penuh dengan tepung serta bau masakan gosong. “Bantu Ibu!!” berteriak panik, Rasa sudah bisa menebak apa yang terjadi selanjutnya. Mengikuti langkah wanita berambut pendek itu, aroma gosong semerbak memenuhi seluruh dapur. Rasa hampir saja berteriak, “Ibu! Kenapa tidak memesan makanan saja dari awal?!” berujar gemas, menghampiri kompor yang diatas berisikan wajan, ada ikan yang nampak hitam di sana. “Ibu kan mau buat makanan khusus untuk kalian semua!” Rasa menepuk jidatnya, mereka berasal dari keluarga berada. Jadi membeli makanan enak itu tidak akan menjadi masalah untuk mereka. Nah sekarang yang membuat masalah sebenarnya adalah sosok di depan Rasa saat ini. Kekeraskepalaan sang Ibu. “Ibu kan tidak bisa memasak!!” dengan gamblang mengucapkan kalimat itu. “Ibu bisa membuat tamu kita keracunan nanti.” Bergerak menaruh tasnya diatas meja, mengambil satu apron berwarna hitam, khusus dia desain sendiri. Wajah wanita di sampingnya berbinar kagum, “Kan bidadari penyelamatnya Ibu sudah datang sekarang,” dengan nada mengalun mengecup pipi Rasa beberapa kali. Rasa masih menekuk wajahnya, “Sudah, Ibu mandi saja sana. Biar urusan masakan di sini aku yang selesaikan. Mana Bibi Mirah?” bertanya keberadaan pelayan setia mereka, Sang Ibu masih tersenyum kecil, melepaskan apron yang Ia gunakan, “Tadi Ibu minta tolong belikan sayur dan buah lagi,” “Hh, kenapa tidak dari awal saja Ibu minta Bibi memasak-” jemari telunjuk sang Ibu berhenti tepat di bibirnya, menekan dengan ekspresi serius. “Sshh, Putri Ibu yang cantik sekarang fokus saja memasaknya ya! Ibu mau berdandan dulu,” mengedipkan salah satu maniknya dengan genit. “Kalau sudah selesai, minta Bibi saja untuk menyiapkan diatas meja, setelah itu kau mandi yang bersih, berias sedikit lalu kita sambut tamu bersama.” Sebelum Rasa sempat protes, “Memangnya Kak Sena mana?!” menaikkan suaranya bertanya. “Kakakmu lagi perawatan diatas! Kau mau ikut juga? Nanti Ibu pesankan lagi satu!” Ibunya menyahut dari luar dapur. Perawatan? Rasa langsung menggeleng cepat. Lebih baik dia memasak di sini, dibandingkan melakukan perawatan di dalam kamar. “Tidak usah, Bu!” Perlu diketahui kalau kesukaannya itu bukan hanya membaca buku n****+ romantis tapi juga memasak! Baca baik-baik! M-E-M-A-S-A-K! Jadi setidaknya dia kan ada sisi bagusnya juga. Bahkan masakannya tidak ada yang bisa mengalahkan termasuk Ibu dan Kakaknya yang kompak tidak bisa memasak. Haha! Itu yang Rasa banggakan sampai saat ini. “Hm, menu kali ini kita buat simple dan cepat saja,” Dia akan memasak sayur kubis gulung dengan daging ayam di dalamnya, nasi goreng menggunakan bumbu khas Bali, sup jagung. Untung saja Rasa sering me-marinated daging kalau sewaktu-waktu dia ingin memasak. “Kita masak marinated sei daging sapi, yang ditumis dengan bawang bombay dan campuran bumbu lada hitam.” Jika soal memasak. Tidak ada yang bisa mengalahkan Rasa di sini. . . . Memerlukan waktu dua jam lebih untuk Rasa menyelesaikan semua masakannya, menghela napas puas, menatap masakan di depannya, lengkap dengan dessert yang sudah Ia buat sejak beberapa hari lalu. Puding coklat berisikan buah segar. Lalu potongan buah yang sudah diurus oleh Bibi Mirah. “Bibi, tolong taruh semua masakan ini diatas meja makan ya. Atur saja. Rasa mau mandi dulu sekarang,” meminta tolong pada wanita paruh baya di dekatnya. Bibi Mirah mengangguk paham. “Siap, Non. Mandi yang bersih terus rias wajahnya biar cantik, Non.” Sedikit meledek, Rasa hanya mendengus sekilas. “Bibi seperti tidak tahu Rasa saja,” membuat wanita itu terkekeh geli. Rasa bergegas menuju kamarnya. Keluar dari dapur, manik Hazel itu menangkap sosok Kakaknya turun dari tangga. Menggunakan dress berwarna pink keputihan, rambut panjang sengaja dibuat lebih bervolume, ditambah riasan make up yang tidak begitu menor, malah nampak natural di wajah cantik Kakaknya. “Ah, Rasa!” Sena tersenyum kecil, menuruni tangga lebih cepat. Menghampiri adiknya. Hh, bahkan cara berjalannya pun anggun sekali, tidak seperti Rasa yang bar-bar. “Kakak sudah selesai?” bertanya dan menatap penampilan wanita itu, berdecak kagum memuji kecantikan Sena. Sang empunya hanya tersipu malu- “Sudah, Ibu berlebihan sekali. Masa Kakak disuruh bersiap-siap sejak dua jam lalu,” mendesah panjang, merapikan sedikit rambutnya yang berantakan. Rasa terkekeh- “Hm, dirias seperti apapun, Kakakku yang cantik ini akan selalu tampil menawan.” Perkataannya kembali membuat Sena malu. Wanita itu langsung menggelayuti lengan adiknya, “Sekarang giliran adikku yang dirias juga, mau ya?” “Tidak Kak, sekarang yang jadi bintang utamanya kan Kakak bukan aku.” Menolak dengan tegas. Lagipula Rasa tidak mau merepotkan dirinya berdandan selama beberapa jam penuh. “Aish, Kakak kan ingin sekali-kali melihatmu tampil seperti ini.” Setengah mengerucut kesal, Rasa tertawa. “Kalau aku berdandan, nanti calonnya Kakak malah jatuh cinta padaku lho,” setengah bercanda mengucapkan itu. Sena hanya menggeleng kecil, mencubit pipi adiknya gemas, “Kalaupun dia suka denganmu, Kakak tidak akan protes kok.” Mengucapkan satu kalimat yang membuat Rasa kaget. “Ha? Kakak serius?” bertanya balik. Sena mengangguk yakin, “Lagipula Kakak belum mau menikah, tapi Ibu sudah terus-terusan meminta momongan makanya kali ini Kakak mengalah saja, kebetulan juga laki-laki itu tampan. Siapa tahu kita jodoh. Benar tidak?” dengan nada bercanda, tersenyum kecil. Rasa menatap heran, “Kakak aneh,” berujar tipis. “Heh, enak saja menyebut Kakakmu aneh,” pipinya kembali menjadi sasaran. Rasa mengaduh sakit, mengerucutkan bibirnya. “Usia laki-laki itu kan dua kali lipat dari usiamu, Rasa. Memangnya kau mau menikah sama Om-om?” “Berapa Kak?!” “Tiga puluh!” Astaga! Kalau itu Rasa benar-benar tidak bisa membayangkannya. Eh, tunggu dulu- Rasa mengurungkan niatnya, berpikir kembali. Sejenak berada dalam dunianya sendiri, sebelum akhirnya menatap balik sang Kakak. Dengan pandangan berbinar, “Usianya benar 30 tahun Kak?!” bertanya sekali lagi. Sena mengangguk heran, “Iya, kenapa memangnya?” Melepas genggaman tangan sang Kakak, senyuman lebar langsung terpampang di wajahnya. “Itu artinya dia sangat berpengalaman masalah pacar-pacaran dong?!” Masih setengah bingung, “Mungkin, lagipula wajahnya tampan. Pasti mantan kekasihnya tidak satu dua orang saja.” Merasakan lega luar biasa, idenya kembali datang, yang tadinya sempat terlintas saat di kamar mandi. Semakin matang lagi, ‘Aku harus melihat sifatnya dulu, kalau dia baik dan gentle-’ “Om itu bisa mengajariku!!” berteriak kecil, dengan polos mengucapkan kalimat tadi pada Kakaknya. Sena hanya melongo, “Ha? Mengajari apa?” Tersentak dengan kalimatnya sendiri, mengucapkan dengan gamblang pada Kak Sena sama dengan membuang granat pada Ibunya. Wanita paruh baya itu pasti akan sangat marah mendengar idenya. Meskipun Kakaknya sendiri tidak masalah- “A-ah, tidak ada apa-apa,” tersenyum kikuk, Rasa langsung mendorong pelan punggung Kakaknya. “Sekarang Kakak hanya perlu menunggu kedatangan Om itu kan?” mengajak wanita itu kembali menaiki tangga. “Eh-tapi-” sebelum berbicara lebih jauh, suara bel pintu rumahnya terdengar beberapa kali. Tamu mereka kan datang pukul tujuh, dan sekarang masih pukul enam sore. Mungkin kurir membawa barang- Mengingat Bibi Mirah pasti sibuk dengan makanan yang Ia buat, “Biar aku yang membuka pintu, Kakak masuk ke kamar saja. Rapikan dulu rambutnya, tadi sedikit berantakan,” “Aish, baiklah. Kau cepatlah mandi, Rasa. Sebentar lagi tamu kita pasti datang,” “Iya, iya,” menatap Kakaknya yang berjalan kembali ke kamar. Menghilang dibalik pintu. Sementara Rasa bergegas turun, membuka pintu- . . “Tunggu sebentar!” bel kembali berbunyi. Seingatnya dia sama sekali tidak ada membeli barang selama beberapa hari ini. Apa Ayah, Ibu atau Kak Sena yang membeli? Biasanya kurir juga akan langsung menyerahkan barang pada satpam di depan rumahnya. Masih bingung, gadis itu segera membuka pintu kamar. Sesekali mencium aromanya sendiri, “Astaga aku harus benar-benar mandi,” merutuki aroma badannya sendiri. Penuh dengan bau bumbu dapur dan asap, rambutnya pun berantakan, apron yang Ia gunakan bahkan lupa Rasa lepas. Penampilannya luar biasa kacau- “Iya, tunggu!” berdecak kesal, berjalan mendekati pintu berwarna coklat di hadapannya, membuka pintu dengan wajah santai. “Ada apa ya-” Tidak menyangka sama sekali bahwa tamu yang seharusnya datang pukul tujuh malam tiba-tiba saja sudah berdiri di hadapannya. Sosok tegap yang menggunakan setelan baju berkerah lengan panjang warna raven kehitaman, dan celana panjang hitam. Pandangan Rasa menatap dari bawah, sepatu pantofel berwarna coklat mengkilap, naik ke atas menatap d**a bidang yang tercetak di baju bekerahnya, tubuh berotot sempurna, naik lagi- ‘Lho, sepertinya aku kenal-’ Rahang tegas berbentuk kotak, lengkap dengan bulu-bulu tipis di bawah dagunya, senyuman dewasa, rambut ikal pendek berwarna hitam dan kedua manik Abu-abu itu. Tanpa sadar mata novelisnya menganalisa dengan baik penampilan laki-laki itu. Melupakan penampilannya sendiri yang masih kacau, Rasa sudah lebih dulu meneteskan air liurnya. Mengagumi ketampanan makhluk Tuhan paling istimewa di hadapannya- SHIT!! Jika dilihat secara live, laki-laki itu tampan sekali!!! Kacamata Rasa melorot setengah-  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN