Reynand Pratama melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju rumah wanita yang sangat ia cintai , Kanaya Prameswari. Perempuan yang telah mengisi hari-harinya selama kurang lebih dua tahun.
Bagaimanapun ia harus menjelaskan pada Kanaya tentang keadaan yang sebenarnya , ia tidak ingin wanitanya itu salah paham. Dan berniat meninggalkan dirinya.
Rey, sapaan akrabnya, begitu takut kehilangan Kanaya, wanita yang seperti nyawanya sendiri itu. Cukup membawa pengaruh besar dalam hidupnya yang sepi. Karena jika ia kehilangannya maka sama halnya ia akan kehilangan hidupnya .
Rey memarkirkan mobilnya asal di halaman rumah. Ia membanting pintu masuk utama rumah mewah itu, matanya menyisir setiap sudut rumah. Menelisik dengan tajam seluruh sudut ruangan.
“Na... Nana.....!” teriak Rey. Pikirannya semakin kacau. Kala tak melihat adanya tanda-tanda wanitanya disini. Karena memang Kanaya tinggal seorang diri di rumah yang Reynand beli untuknya. Tak terlalu besar memang. Namun cukup mewah bagi Kanaya.
Dia meneriaki nama Kanaya sambil terus mencari di setiap ruangan yang ada di rumahnya. Seperti orang gila. Berlari kesana kemari dengan perasaan takut.
“Kanaya... dimana kamu?” lirihnya sambil terus mencoba menghubungi Kanaya . Reynand masih berdiri di sebelah sofa yang ada di ruang tengah. Jarinya sibuk menekan nama ‘My Love’ dengan tombol hijau di layar ponselnya.
Tut... tut... tut...
“s**t!!” umpat Rey keras saat tak mendapat jawaban dari kekasihnya itu. Ia segera melacak lokasi Kanaya. Bersyukur karena ia memasang GPS di ponsel kekasihnya tersebut.
“Stasiun Gambir! Tunggu aku Na!” gumam Rey dengan senyum leganya. Reynand secepatnya berlari keluar rumah dan menguncinya kembali.
Ia pun segera menuju stasiun gambir tempat Kanaya berada sekarang. Rey berharap-harap cemas semoga Kanaya-nya masih belum pergi jauh.
Dilain sisi, seorang wanita cantik sedang menunggu kereta yang akan membawanya jauh dari pria yang paling ia benci. Namun ia cintai sepenuh hati dan jiwanya. Bahkan satu-satunya yang ia cintai.
Bayangan tentang bagaimana pria itu mengkhianatinya hingga membuat hatinya terluka. Terulang kembali dalam benaknya.
Bagaimana tidak, ia telah memberikan segala yang ia punya pada pria b******k itu. Tapi apa yang ia dapatkan? Hanyalah pengkhianatan yang menyakitkan.
“Reynand sialan.....!!!!” teriak Kanaya dalam hatinya, bertepatan dengan bunyi peluit kedatangan dari kereta api yang akan ia tumpangi.
Kanaya segera memasuki gerbong kereta saat kereta itu berhenti di hadapannya. Ia tak memperdulikan tatapan aneh dari orang sekitarnya. Tampak jelas jika Kanaya dengan mata berkaca-kaca, menoleh ke segala arah. Seakan menanti seseorang, serta enggan pergi meninggalkan kota ini. Kota dengan banyak sekali kenangan indah bersama Reynand.
Mencoba memantapkan hatinya. Kanaya melangkah masuk ke dalam kereta api tersebut. Sembari sesekali menghela napasnya berat. Seberat hatinya tak ingin pergi.
Ia memilih duduk di kursi samping jendela. Tak butuh waktu lama gerbong kereta telah di penuhi oleh penumpang lainnya.
Kanaya menoleh ke keluar jendela saat peluit kereta kembali terdengar, menandakan bahwa sebentar lagi kereta akan segera berangkat. Tatapannya kosong, sekosong hatinya saat ini.
Matanya tak sengaja menangkap sosok pria yang sangat ingin ia hindari. Kanaya dapat melihat dengan jelas raut kekhawatiran Rey yang sedang kebingungan mencarinya. Kanaya tersenyum kecut. “Buat apa lagi kau mencariku, Rey?” gumam Kanaya lirih.
Dia pun langsung menundukkan kepalanya dalam sambil mencengkram erat ujung baju yang ia kenakan. Menahan segala rasa sesak di dadanya.
“Rey....” lirihnya sendu.
Dengan sekuat tenaga ia menahan air matanya agar tak jatuh. Namun tetap saja, buliran demi buliran bening itu mengalir dengan mudahnya. Tanpa permisi lebih dulu.
Segera ia menghapus air matanya kasar, “Cukup Na, cukup! Lo nggak boleh nangis kayak gini, air mata Lo terlalu berharga buat nangisin pria b******k kayak dia!!” geramnya pada diri sendiri, mencoba untuk menjadi wanita yang lebih kuat di luar. Meskipun rapuh di dalamnya.
Kereta mulai bergerak perlahan meninggalkan stasiun. Kanaya menatap sosok Rey yang mulai terlihat menjauh perlahan mengikuti laju kereta, hingga lama kelamaan sosok itu pun hilang .
Semakin dalam mata ini menatapmu...
Semakin diri ini tak sanggup tuk pergi dari sisimu...
Akan tetapi,
Begitu sakit hati ini...
Begitu sesak d**a ini saat aku melihatmu telah bersamanya...
Tuhan...
Salahkah jika aku mencintainya ?
Salahkah jika aku ingin selalu bersamanya ?
Tak pantaskah aku mendampinginya?
Salahkah jika aku ingin egois memilikinya hanya untukku seorang?
“Selamat tinggal, Rey! Semoga kamu bahagia bersamanya!” ucap Kanaya sembari menghapus air matanya.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang. Sampailah Kanaya di suatu tempat, yakni rumah saudara dari Ibu panti yang telah membesarkannya.
Ya, Kanaya adalah gadis yatim piatu yang ditemukan di depan pintu panti asuhan saat masih bayi. Hanya sebuah kalung dengan liontin berbentuk bulan sabit. Kalung yang selalu ia pakai setiap harinya.
Karena tak ada identitas apa pun. Makanya Bunda selaku pengurus panti tidak tahu siapa yang telah meletakkan Kanaya di depan pintu. Serta Kanaya sendiri juga enggan mencari siapa orang tua kandungnya. Menurut Kanaya, mereka mungkin saja tak menginginkan kehadirannya. Jadi buat apa juga ia capek-capek mencarinya.
Karena itulah hingga kini ia masih belum tau siapa dirinya sebenarnya. Dan ia pun tak berniat mencari orang tua kandungnya. Entah masih hidup ataupun telah tiada.
Sebab bagi Kanaya. Ibunya hanya satu, yakni wanita paruh baya yang ia panggil ‘Bunda’ wanita yang telah membesarkannya sejak bayi hingga sebesar ini dengan penuh kasih sayang.
Untung saja sebelum memutuskan untuk pergi, Kanaya lebih dulu menghubungi Ibu panti yang biasa di panggil dengan sebutan bunda oleh anak-anak asuhnya.
Ia menanyakan pada bundanya alamat saudaranya yang mana sekiranya mau menampungnya untuk sementara waktu.
Dan disinilah ia sekarang, di depan rumah yang tidak terlalu besar dan terlihat sederhana. Namun cukup nyaman untuknya.
“Permisi...” ucapnya sembari mengetuk pelan pintu rumah tersebut.
Tak berapa lama kemudian pintu terbuka dan tampaklah seorang pria tampan yang muncul dari balik pintu. Pria itu menatap bingung ke arah Kanaya.
“Maaf, apa benar ini rumah bi Jumi saudara dari bunda Rani yang ada di Jakarta?” tanya Kanaya hati-hati.
“Oh benar. Tapi maaf, anda siapa ya?” tanya pria itu sambil tersenyum sopan.
“Saya Kanaya, putri asuh bunda Rani!” Kanaya ikut tersenyum.Dan menjulurkan tangannya kedepan. Pria tersebut juga membalas uluran tangan Kanaya. Dengan sopan.
“Oh, maaf ya saya tidak tau. Silahkan masuk dulu, ibu sedang pergi ke warung” jelas pria itu.
Setelah dipersilahkan Kanaya pun masuk mengikuti pria itu ke dalam rumah.
“Silahkan duduk dulu, saya mau ke belakang sebentar!” katanya lalu beranjak meninggalkan Kanaya di ruang tamu.
Kanaya memandangi setiap sudut ruangan itu, hingga matanya tertuju pada sebuah foto berbingkai yang tergantung cantik di dinding ruang tamu. Ia tersenyum kecut.
“Bahagianya jika aku memiliki sebuah keluarga” gumamnya sedih.
“Ekhem!”
Kanaya tersadar saat mendengar suara di depannya. Ternyata pria itu telah kembali dan membawa secangkir teh hangat untuknya.
“Ini di minum dulu, kamu pasti lelah kan setelah perjalanan jauh?” ucap pria itu sambil menyodorkan tehnya.
“Terima kasih, Mmm... “ Kanaya menggantung kalimatnya.
“Dito, panggil saja aku Dito!” jawab Dito seolah mengerti maksud Kanaya.
“Ah iya, Terima kasih Dito!” kata Kanaya sambil tersenyum lalu meneguk tehnya hati-hati.
“Cantik” ungkap Dito dalam hati saat melihat senyuman manis Kanaya.
Suasana canggung menyelimuti mereka, keduanya tampak saling diam sibuk dengan pikirannya masing-masing hingga terdengar suara pintu dibuka.
Seorang wanita paruh baya datang sambil membawa bungkusan plastik ditangannya. Ia terkejut saat melihat seorang gadis yang begitu ia kenali berada di rumahnya. Gadis yang juga ia rawat saat masih di panti asuhan dulu.
“Kanaya?” panggilnya tak percaya.
“Bi Jumi?” Kanaya bangkit dari duduknya lalu berjalan cepat ke arah bi Jumi dan langsung memeluknya erat.
“Kanaya kangen banget sama bi Jumi, bi Jumi apa kabar?” tanya Kanaya manja.
“Iya sayang, bi Jumi juga rindu Kanaya. Seperti yang kamu lihat, bi Jumi baik-baik saja!” jawab bi Jumi sambil tersenyum.
Bi Jumi melepas pelukannya, ia melihat air mata menggenang di pelupuk mata Kanaya lalu menghapusnya dengan lembut.
Kanaya hanya merasa ia pastinya akan merepotkan Bi Jumi dengan bersembunyi disini. Karena ia juga tidak yakin jika Reynand akan mencarinya. Namun ia memang butuh tempat yang tenang untuk menjernihkan pikirannya. Dan memikirkan kembali rencana kehidupannya kedepannya.
“Hey, kenapa menangis?” tanya bi Jumi bingung.
Ia langsung melempar pandangan sinisnya ke arah putra semata wayangnya. Dito yang mendapat tatapan mendadak dari ibunya hanya bisa mengernyitkan dahinya bingung.
“Apa yang kau lakukan pada gadis ini, anak nakal?!” hardik bi Jumi kesal.
Belum sempat Dito menjawabnya. Kanaya lebih dulu menyela.
“Tidak bi, Dito tidak melakukan apa-apa, aku hanya terlalu senang bisa bertemu dengan bibi lagi” ucap Kanaya sembari menyunggingkan senyumnya.
“Kalau begitu ayo kita makan malam dulu, kamu pasti belum makan kan?”
“Hehe... Bi Jumi tau aja. Baiklah ayo kita masak bersama!” Seru Kanaya sembari menggandeng lengan bisa Asih menuju ke dapur.
“Kanaya kalo boleh bibi tau , kenapa kamu mau pindah ke sini? Bukannya kehidupanmu di Jakarta sudah baik?” Tanya Bi Jumi penasaran.
“Kanaya Cuma bosen aja bi, di Jakarta rame dan banyak polusi. Jadi untuk sementara Kanaya mau di sini dulu aja, buat nenangin pikiran,” jawab Kanaya dengan senyum yang dipaksakan.
‘Maaf, Bi. Kanaya nggak bisa cerita masalahnya. Hanya Bunda yang tahu tentang Reynand. Kanaya nggak mau banyak orang yang mengasihaniku.’ Benak Kanaya seraya tersenyum tipis.
“Oh begitu, ya sudah semoga kamu betah tinggal di sini ya?” ucap bi Jumi tersenyum.
Sebenarnya bi Jumi tau jika Kanaya menyembunyikan masalahnya. Tapi beliau tak ingin memaksa jika Kanaya memang tak mau menceritakan apa yang terjadi sebenarnya padanya. Biarlah semua berjalan sesuai keinginannya.
Apapun masalahnya, bi Jumi hanya berharap semoga Kanaya mampu mengatasinya.
Karena makanan sudah siap bi Jumi segera memanggil Dito untuk makan malam.
“Oh iya Dito, coba kamu tanyakan ke bagian koperasi lowongan kerja disana masih di buka atau sudah di tutup. Ibu dengar masih butuh orang.” Kata bi Jumi pada anaknya.
“Kayaknya masih di buka deh Bu. Kanaya mau kerja di sana kah?” Tanya Dito sambil melirik Kanaya di seberangnya. Sementara Kanaya hanya menunduk. Mendengar obrolan Bi Jumi dan Dito.
“Iya , besok kamu antar Kanaya ke sana ya! Siapa tahu masih butuh orang.” Pinta Bi Jumi.
“Iya, Bu” sahut Dito.
“Nah, Kanaya. Daripada kamu dirumah bosen. Kan biasanya kerja sih! Mending kamu kerja di koperasi aja sama Dito. Cari teman baru sekaligus suasana baru. Bagaimana? Kamu mau nak?”
“Iya, Bi. Kanaya mau kok. Kan bisa buat bantuin Bibi beli sayur. Hehe..” jawabnya dengan cengirannya.
“Eh, jangan. Bibi masih bisa kalau cuman memberimu makan kok. Alhamdulillah, sawah peninggalan Almarhum Bapaknya Dito cukup kalau untuk makan. Lebih baik kamu simpan uangnya. Buat kebutuhanmu sendiri.” Sergah Bibi yang tak suka niatan Kanaya yang ingin membantunya.
“Iya, Kanaya. Ibu masih punya aku kok. Kamu nggak usah memikirkan hal itu.” Dito ikut menimpali ucapan Ibunya.
“Tapi...” Melihat gelengan kepala dari Bi Jumi pertanda bahwa beliau tidak ingin dibantah. Kanaya hanya menghela napasnya pasrah. “Maaf ya Dito, jadi ngerepotin!” ucap Kanaya merasa tak enak pada Bibi dan Dito.
Ia merasa tak enak terus menerus membuat orang lain kesusahan karena dirinya .
“Nggak papa kok, aku senang bisa bantu kamu.” Balas Dito sambil tersenyum.
Makan malam yang menyenangkan bagi Kanaya. Karena diselingi dengan obrolan ringan serta canda tawa dari Bi Jumi.
“Dito, antarkan Kanaya ke kamar tamu agar dia bisa cepat beristirahat. Kasihan pasti capek. Baru datang sudah bantuin masak.” Pinta Bi Jumi setelah mereka menyelesaikan makan malam.
“Ayo, Kanaya!” ajak Dito sambil tersenyum. Ia pun membawakan tas baju milik Kanaya.
Kanaya pun mengikut langkah lebar Dito yang berjalan ke arah sebuah kamar yang akan ia tempati.
“Nah, disini kamarnya “ ucap Dito sambil menunjuk ke arah pintu kamar.
“Terimakasih. Kalau begitu aku masuk dulu!” kata Kanaya tulus.
“Iya, sama-sama. Selamat malam!” ucap Dito sambil tersenyum.
“Selamat malam”
Kanaya segera masuk dan dan menutup pintu kamarnya setelah tersenyum pada Dito .
Sedangkan Dito hanya memandang pintu yang menyembunyikan sosok Kanaya di baliknya .
Sebuah tepukan berhasil membuatnya terkejut.
“Ah ibu, ngagetin Dito aja!” seru Dito sambil memegangi dadanya karena terkejut.
“Kamu suka ya, sama dia?” tanya bi Jumi dengan tatapan menyelidik.
“Nggak kok bu, Dito Cuma kagum aja. Dito mau balik ke kamar dulu, ibu juga cepat istirahat udah malam.” Elak Dito salah tingkah.
Ia pun berlalu menuju kamarnya yang berada tepat disamping kamar Kanaya. Bi Jumi tersenyum melihat tingkah anaknya itu lalu berbalik dan menuju kamarnya untuk beristirahat.
Kanaya berdiri termenung di depan jendela kamarnya. Angin malam membelai lembut wajah cantiknya yang saat ini terlihat muram.
Tatapannya yang kosong menerawang jauh pada awal mula bertemunya ia dengan Rey. Tepatnya dua tahun kebelakang. Dimana semuanya terasa seperti baru kemarin ia dan Rey menjalin hubungan.
Ia menghapus kasar air matanya yang mengalir, ia benci keadaannya yang seperti ini.
Ia benci dengan pengkhianatan yang dilakukan Rey padanya.
Ia benci dengan dirinya yang begitu bodoh, hingga ia rela memberikan segala yang ia miliki pada laki-laki b******k itu. Terlebih mahkota seorang perempuan yang sangat berharga.