Bab 8

2077 Kata
Bab 8 Gerakan pelan yang berasal di sebelahnya. Membuat Alvian perlahan membuka matanya. Sejenak, dia mengucek kedua matanya dan melenguh pelan. Hampir saja dia mengumpat dan melemparkan kata-k********r untuk memaki sang pengganggu. Namun sebelum semua u*****n keluar dari mulutnya suara lain menginterupsi. "Sedang apa kamu di sini?" Alvian menaikkan sebelah alisnya. Menatap datar pada seseorang di sebelahnya. Terlihat jelas seorang gadis yang tengah menggeram menahan amarahnya. "Kamu sudah bangun? Tentu saja aku tidur denganmu di sini." Alvian membalas santai sambil sesekali menguap. Tidurnya terasa amat nyenyak semalam, meski terkadang telinganya mendengar desisan sakit. Mungkin luka di tangan Keika tak sengaja disenggol olehnya. Atau justru jemari gadis itu semalaman berada dalam genggamannya. Entahlah. Alvian tidak begitu tertarik untuk menduga-duga. Keika membulatkan matanya lebar. Pikirannya melayang jauh pada hal-hal yang membuat kepalanya pening. Sontak dia mengangkat kedua tangannya dan menutupi dadanya. "Kamu tidak mungkin menggerayangiku bukan?" Tiba-tiba dia teringat dengan ucapan Alvian kemarin, tentang memberi nafkah dan malam hari. Keika tidak sebodoh itu untuk tidak mengerti arah mana yang saat itu Alvian bicarakan. Tapi, hei. Dia dalam keadaan tidak berdaya setelah menguras tenaga dengan samsak kesayangan. Masa iya, Alvian justru memanfaatkan kesempatan itu. Tapi, menilik bagaimana tingkah Alvian, Keika tak bisa menutup kecurigaan. Lelaki itu bisa saja melakukan apa pun padanya. Tanpa perlawanan. Alvian tergelak tawa. Sebelah tangannya menahan perutnya yang tiba-tiba sakit karena tawa yang terlalu bersemangat. Tidak menyangka pagi ini akan diberi sambutan seunik ini oleh Keika. "Ada yang lucu. Berhenti tertawa." Keika kembali berucap, dengan nada memerintah. Dia sendiri tak habis pikir bagian mana dari kata-katanya yang lucu hingga membuat laki-laki itu tertawa. "Aku suamimu, kamu ingat. Harusnya hakku untuk menyentuhmu," jeda sesaat Alvian menarik sejenak sudut bibirnya bukan membentuk sebuah senyum melainkan sebuah seringaian. "Tapi maaf saja aku tak berminat menyentuhmu. Kamu hanya gadis kecil dengan tubuh tanpa bentuk seperti itu. Dan aku tidak suka menggerayangi wanita tak sadarkan diri. Nggak ada sensasinya." lanjutnya kembali tergelak dengan tawanya sendiri. "Huh. Pergi dari sini." usir Keika. Masih dengan nada kasar dan sikap keras kepalanya. Dia mendengkus jengkel. Harinya baru saja dimulai dengan sebuah kekesalan dan kejengkelan luar biasa. Kata-kata Alvian jelas sekali tak memandangnya sebagai seorang wanita. Ada perasaan lega namun juga kecewa secara bersamaan. Sebagian dirinya merasa terluka karena ucapan laki-laki itu. Apa dirinya memang setidak menarik itu. Alvian tidak mengacuhkan semua ucapan Keika. Dia mengulurkan sebelah tangannya dan menempelkannya pada kening gadis itu. Suhu tubuh Keika sudah tidak lagi panas. Keika mengerjap kaget. Perlakuan Alvian membuat dia untuk sejenak melembutkan ekspresi wajahnya. "Gadis bodoh." Mendengar u*****n kecil itu. Keika kembali menggeram marah, berusaha untuk melemparkan Alvian dari ranjangnya namun sayangnya seluruh tubuhnya terasa ngilu. Dan saat dia mencoba menggenggam jemarinya. Rasa ngilu dan perih segera menjalar dari jari-jemarinya. "Uhh," rintihnya pelan. Dia baru ingat hal yang dilakukannya kemarin. Dia memukul samsak membabi buta. "Jangan bergerak dulu, gadis bodoh." Keika tak mengacuhkannya. Dia berusaha menggerakan tubuhnya untuk menjauh dari Alvian. Meski tulang-tulang di tubuhnya menjerit kesakitan. "s**l. Kenapa sampai sesakit ini." umpatnya lirih pada diri sendiri. "Kenapa masih di sini, pergi dari kamarku." desis Keika. Usahanya untuk menjauh hanya membuahkan hasil yang tidak begitu menguntungkan. Hanya bergeser beberapa jengkal dari Alvian. "Heh, masih saja keras kepala. Apa kamu lupa jika ini rumahku." Alvian menyeringai penuh kemenangan melihat ekspresi diam Keika. Dia mendudukkan dirinya dan bersandar di kepala ranjang. Dia masih ingin berlama-lama dan melihat bagaimana keras kepalanya Keika meski masih sakit dan lemah. "Baiklah aku yang akan pergi." suara Keika mantap. Dipikirannya mungkin ini kesempatan untuknya bisa keluar dari kungkungan tak kasat mata itu. Alvian menggigit pipi dalamnya. Menahan gelak tawa yang siap menggelegar. Gadis itu bertekad sangat kuat hingga melupakan kondisinya saat ini. "Silakan. Tapi jangan meminta bantuan siapapun." Entah sadar ataupun tidak. Keika tersenyum bahagia. Bahkan binar matanya pun menunjukkan betapa bahagianya gadis itu. Dan saat itulah Alvian terkesiap. Beberapa hari ini dia tak pernah sekalipun melihat senyum terukir di bibir gadis itu. Seolah diberi lampu hijau. Keika tak menunggu waktu lagi. Dia tak mungkin menyia-nyiakan satu kesempatan. Dengan gerakan cepat dia bangkit dari tidurnya, namun  sayangnya baru beberapa langkah dia menginjak lantai. Tubuhnya limbung dan sebelum dia menyadari apa yang terjadi. Dia sudah terjerambab di lantai. Menjadikan tangan kanannya yang tengah diperban sebagai tumpuan. "Uhhhh." Keika kembali merintih. Kali ini dia menggigit bibir bawahnya. Meredam rintihan kesakitan agar tak lolos lebih keras lagi. Entah kenapa seluruh anggota tubuhnya begitu kaku untuk digerakkan. Dan gerakkan sedikit saja terasa begitu menyakitkan. Tidak. Tidak. Dia tak selemah itu. Mana mungkin hanya beberapa saat memukuli samsak dan dia merasa selumpuh itu. Alvian yang melihat Keika terjatuh. Segera bangkit dari duduknya. Tadinya dia berniat menertawakan gadis itu. Tapi diurungkannya. Karena Keika terlihat begitu kesakitan. Segera dia mengangkat tubuh mungil itu untuk kembali dibaringkan di ranjang. Kali ini tak ada u*****n apapun yang keluar dari bibir gadis itu. Yang terdengar hanya rintihan tertahan gadis itu. Sebelah tangan Keika memeluk perutnya. Rasanya begitu melilit. Sakit yang tak tertahankan. Dan sebelah tangannya lagi menjalarkan rasa perih dan sakit yang seolah menusuk setiap tulangnya. Keika tidak menangis. Bukankah sebanyak apa pun gadis itu menerima kesakitan air matanya selalu sukses dibendung. "Gina ... panggil dokter sekarang juga." teriakan Alvian menggelegar. Dan tak berapa lama terdengar sahutan siap dari balik pintu dan langkah tergesa yang menjauhi kamar. Alvian dengan sigap meraih tangan kanan Keika yang diperban. Kali ini perban itu mengeluarkan bercak darah.Tanpa penolakan, Keika membiarkan Alvian menyentuhnya. Saat ini dia merasa begitu tak berdaya. Tulang-tulangnya seolah remuk. Dia sendiri tak tahu apa yang sedang terjadi pada dirinya. Alvian membuka perlahan perban yang melilit jari-jari Keika. Dan detik berikutnya napasnya tercekat. Kulit punggung tangan gadis itu tampak terkelupas pada setiap ruas jarinya. Kemarin dia tak sempat melihat luka di tangan Keika karena dia terlalu fokus pada tubuh Keika yang menggigil. Menelan ludah, tanpa mengeluarkan suara sedikitpun, Alvian mengambil kotak p3k di atas nakas. Dia mengobati kembali luka itu. Luka yang terlihat begitu parah dan perih. Untuk ukuran laki-laki sepertinya mungkin tak seberapa tapi untuk wanita, dia yakin luka itu sangat menyakitkan. "Uhh ...." Keika kembali merintih. Merasakan perihnya betadine yang digunakan Alvian. Gadis itu menggigit bibirnya kuat. "Di mana lagi yang sakit?" tanya Alvian lembut setelah selesai mengganti perban. Menatap curiga karena Keika masih saja merintih kesakitan. Keika hanya diam, dia mengeratkan tekanan di perutnya yang semakin terasa menyakitkan. "Kamu sakit perut?" tanya Alvian lagi karena gadis itu masih tetap bungkam. Namun tak lama Keika mengangguk lemah dengan mata tertutup rapat. Jelas sekali tengah menahan kesakitan. Sial! Alvian mengumpat pelan. Di mana semua pelayan ketika sang Tuan tengah membutuhkan. Entah benar ataupun tidak pilihan yang diambil Alvian. Saat ini dia mengambil minyak kayu putih, menuangkannya sedikit ke telapak tangan dan membalurkannya langsung di perut Keika, masuk melewati piyama yang gadis itu pakai. Dengan sedikit perlawanan tentunya karena Keika tak membiarkan Alvian dengan mudah menyentuh bagian tubuhnya. Alvian yang tadinya memandang penuh cemas. Kini mulai tenang. Tarikan napas Keika sudah kembali normal. Tidak seperti tadi yang seolah memburu. Banyak pertanyaan yang menggantung di kepala Alvian tentang kondisi Keika. Dia tak habis pikir bagaimana mungkin luka-luka di tangan gadis itu bisa sebesar dan separah itu. Seberapa kuat dan besar tenaga yang dikeluarkannya kemarin hingga Keika tak berdaya seperti saat ini. Dia memang mendengar bahwa Keika kerap kali berlatih bela diri sendiri. Dia tak khawatir. Tentu saja. Bahkan itu lebih baik. Seorang wanita bisa menjaga dirinya sendiri. Minus dilingkup rumahnya. Karena seberapa pintar pun kemampuan bela diri Keika akan menjadi zero jika dihadapkan pada 10 pengawal terlatih yang ditugaskan Alvian menjaga Keika dan rumahnya. Pintu kamar terbuka pelan. Menampilkan dua orang lawan jenis memasuki kamar. Satu Gina dan satu lagi seorang laki-laki dengan jas putih melekat di tubuhnya. "Lama tak bertemu Al, kemarin malam aku tak melihatmu." ucap laki-laki itu yang jelas sekali profesinya sebagai dokter. "Hemm, aku tak sempat menemuimu Bram. Kamu tahu sendiri betapa sibuknya aku." jeda sesaat laki-laki yang dipanggil Bram memutar bola matanya malas. Karena tidak perlu dijelaskan seperti itu saja, dia tahu kalau Alvian adalah orang sibuk. Terlalu sibuk menurut Bram. "Dia kesakitan di bagian perutnya," imbuh Alvian, sembari melirik Keika yang masih meringis kecil. Tanpa menunggu lama. Bram segera memeriksa tubuh Keika. Mengeluarkan alat-alat kesehatan dari dalam tasnya. Dan mulai melakukan tugasnya sebagai dokter. "Jangan terlalu khawatir, Al," Bram angkat bicara. Gina yang bertugas sebagai pelayan pribadi Keika menatap cemas nonanya, sedangkan Alvian terlihat tenang. Meski lelaki itu sendiri pun cemas tapi berusaha disembunyikan. Tetap mempertahankan raut cool dan penuh wibawanya. "Dia mengalami maag. Beberapa hari ini mungkin dia mengabaikan pola makannya. Ditambah dengan dia menguras energinya tanpa kecuali. Semalam masih belum begitu terlihat tanda-tandanya." jelas Bram lagi panjang lebar. Sembari membereskan peralatan medisnya dan kembali dimasukkan ke dalam tas kulit warna hitam yang dia simpan di sampingnya. Alvian menganggukan kepala mengerti ucapan Bram. Sejak Alvian berada di rumah, dia memang mendapati Keika hanya makan sedikit sekali. Gadis itu akan cepat menyudahi acara memakannya begitu Alvian datang. "Dia hanya harus istirahat total dan menjaga pola makannya, ini resepnya. Nanti obatnya diminum rutin ya. Aku kasih vitamin kok." Bram menyerahkan secarik kertas berisi resep obat untuk Keika yang baru ditulisnya pada Alvian. Alvian menerima uluran kertas itu, membacanya sekilas kemudian menyerahkannya pada Gina dan meminta wanita itu untuk segera ke apotek menebus obat Keika. "Kamu tahu Al, harusnya aku marah padamu karena tidak mengundangku ke pernikahanmu." ucap Bram lirih. Mendekati Alvian yang berada sedikit jauh dari ranjang. Alvian memutar bola matanya malas. Topik seperti itu yang selalu dihindari dan enggan dibahas olehnya. Lagipula untuk apa dia mengundang Bram. Bukankah pernikahannya dulu dilakukan diam-diam dan secara mendadak. "Kita keluar, dulu." ajak Alvian. Tidak mengacuhkan ucapan Bram tadi. Dan tanpa menunggu persetujuan dokter itu Alvian sudah melangkahkan kakinya keluar kamar. Membiarkan Keika untuk beristirahat. "Hei, Al ...." Bram menyusul cepat langkah Alvian yang sudah berada diambang tangga. "Aku nggak menyangka. Tipe istrimu sekarang berubah 180 derajat dari pada dulu." Alvian menghela napas berat. Dia lupa satu hal bahwa temannya satu ini. Disamping dokter dia juga kepo sekali dan mulutnya akan nyerocos terus kayak ember bocor jika keinginannya belum terpenuhi. "Hm, aku udah tobat," Alvian tersenyum geli mendengar ucapannya sendiri. Tobat dalam tanda kutip. Kemudian dia kembali mengayun langkah ke lantai bawah, tidak ingin obrolannya dengan Bram mengganggu waktu istirahat Keika. "Wow!" Bram memekik. Sorot matanya sarat akan ketidak percayaan. Dia memburu Alvian kembali, menyusul Alvian yang tampaknya tidak ingin repot menunggu dirinya. Sejak dulu Alvian sangat pemilih pada wanita. Jika bukan benar-benar pilihan terbaik dan bibit unggul, jangankan jadi pacar. Jadi gebetan saja enggak. Ah, elah kayak tanaman aja pake bibit unggul. Dan sekarang, wanita yang berstatus istri Alvian adalah gadis luar biasa angkuh dan keras kepala. Tidak ada seksi-seksinya sama sekali. Wajah tidak mungil, tidak rapuh yang membuat lelaki akan klepek-klepek untuk melindungi sepenuh jiwa. Bahkan menurut yang dia dengar semalam dari Gina, Keika sakit karena terlalu keras berlatih bela diri. Dan dari segi fisik, itu bukan tipe Alvian sama sekali. Tubuh Keika tidak berisi memang, cenderung ramping. b*******a gadis itu tidak sebesar b*******a para wanita di kelab malam yang sering Alvian kerjai. "Shh. Biasa aja bro." Alvian mengibaskan sebelah tangannya di depan Bram. Kali ini mereka tengah duduk berhadapan di meja makan. "Gilaaa. Al yang biasanya digilai banyak wanita kini justru tunduk sama satu gadis masih bau kencur, kelihatannya." Alvian mendengkus jengkel. Lagi-lagi tidak mengacuhkan perkataan sahabatnya itu dan memilih menggenggam cangkir kopinya yang baru diantar pelayan. "Bisa jadi berita heboh nih," Bram berdecak, sembari mengangkat cangkir kopi bagiannya dan menyesapnya pelan. Kembali Alvian memutar bola matanya malas. Dia masih tak habis pikir kenapa laki-laki ember macam Bram bisa menyandang titel Dokter. Sekilas Alvian menatap Bram yang tengah berantusias mengutak-atik ponselnya dengan tangan yang bebas dari cangkir kopi. "Berani mengabarkan yang enggak-enggak." jeda sejenak Alvian memberi tatapan tajam pada sahabat kurang ajarnya itu. "Tinggal pilih rumah sakit atau kuburan." lanjutnya penuh dengan nada mengancam. Memperlihatkan kepalan kedua tangannya bergantian. Bram memasang wajah memelas. "Auhh ... atut. Ampun Mas, jangan pukul akuhh ... kasian ikan-ikan di rumah nggak ada yang ngasih makan." tersenyum geli, dengan cepat Bram beranjak dari duduknya. Sebelah tangannya mencomot sandwich dan sebelah tangannya lagi menggenggam tas kerjanya beserta ponsel pintarnya. Detik berikutnya, dia berlari keluar dari rumah Alvian sebelum laki-laki itu menabuh genderang perang. Dengan gelak tawa yang benar-benar memekakan telinga. "Bram ... berengsek." Alvian menggeram kesal. Mengiringi Bram yang menjauh dengan tatapan mata. Malas saja jika harus mengejar laki-laki itu. Lagi pula, dia bukan anak kecil yang akan meladeni Bram untuk saling kejar. Dia adalah Alviano Brahma yang setiap detik waktunya teramat berharga. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN