Bab 5

2647 Kata
Bab 5 Tidaklah salah jika Keika mengantisipasi hal terburuk sejak pertama kali dia menginjakkan kaki di kamar Alvian. Dia sudah berpikir macam-macam dan benar saja, yang terjadi tidak lama setelah dia masuk kamar Alvian membuat dia ingin mengambil langkah seribu dan menghilang. Kalau perlu, biarkan bumi menelan tubuhnya. Dia sudah rebah di atas ranjang Alvian, tanpa perlawanan. Bahkan ketika lelaki itu menindihnya dan mendekatkan wajah, dia justru memejamkan mata. Harusnya, dia melakukan perlawanan, mempraktikkan sekali lagi pada Alvian hasil dari latihan beladirinya selama berhari-hari ini. Beberapa saat tanpa ada hal yang terjadi, seperti yang melintas di pikirannya. Keika membuka mata, mengerjap beberapa kali, dan mendapati wajah Alvian yang berada di atas wajahnya berjarak beberapa senti tampak mengukir seringai. Ketika Keika menggeram karena malu, Alvian justru tertawa terbahak dan berguling ke samping Keika. Tawa merdu yang terdengar amat menyebalkan itu, membuat Keika mengepalkan tangan dan ingin melayangkan tinjunya pada Alvian agar lelaki itu membungkam tawanya. Sungguh, sebelum ini, sosok Alvian adalah laki-laki serius, menyeramkan, tak bisa dibantah, sombong, dingin dan kaku. Itu yang Keika pikirkan, apalagi ditambah dengan persepsi dari Gina, menambah semua penilaian itu semaki melekat dalam pikirannya. Tapi, semua penilaian itu luruh seketika. Alvian yang berada satu ruang dengannya kini adalah lelaki jahil yang nyebelin dan membuat jengkel minta ampun. "Nanti malam, ya Kei. Aku lupa belum kasih kamu nafkah. Kalau pagi-pagi gini, biasanya aku sibuk ngecek laporan kantor dulu buat dikirim ke Kakek." disela gelak tawanya, Alvian bersuara, dia bangkit dari rebahannya dan terduduk seperti yang sudah Keika lakukan sejak tadi. Mendapat tatapan tajam dari Keika yang terasa begitu ingin menguliti dirinya, tawa yang coba Alvian redam kembali menggelora. Sejak awal dia menarik tubuh Keika dan menindihnya, dia memang hanya ingin main-main, sempat tergoda karena Keika memejamkan mata, namun kemudian teringat pekerjaannya menumpuk. Lagi pula, Alvian ingin memberikan yang terbaik bukan terburu-buru seperti pagi ini. Keika membuang muka, kali ini memutuskan untuk bangkit dari duduknya dan tidak mempedulikan apa pun yang Alvian katakan. Lelaki itu luar biasa menyebalkan. "Eh, jangan pergi. Kamu belum tanggung jawab." Alvian kembali menahan kepergian Keika. "Apa lagi?" Keika menyahut sebal. Lelaki itu minta pertanggung jawaban tentang apa. Keika merasa tak pernah melakukan kesalahan pada Alvian. Justru Alvian yang bertanggung jawab untuk menjelaskan banyak hal tentang pernikahan mereka. Sejak pernikahan itu ada dengan persetujuan sepihak, Keika sudah seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, nurut sekali. Alvian membuka satu persatu kancing kemejanya, dan sekali lagi, hal itu membuat Keika membelalakan mata. Wanita itu sudah siap siaga untuk menerkam dan melancarkan upaya perlawanan jikalau Alvian berani menyentuh dirinya. Bukankah lelaki itu baru saja mengatakan, tidak akan melakukan apa pun pagi ini. Mengapa baru sedetik berlalu, ucapan dan perbuatan sudah berbeda. Melepas kemejanya, dan melempar sembarangan ke ranjang. Alvian melakukan itu semua dengan kuluman senyum tertahan. Baru kemudian dia membuka suara. "Kedip dong, Kei, ah. Air liur kamu netes-netes itu. Semenggoda itu ya, tubuh aku." Seolah kalimat yang Alvian ucapkan sebuah mantra hipnotis, Keika melakukan apa yang Alvian katakan. Berkedip beberapa kali dan mengulurkan tangan mengelap bibirnya. Percaya begitu saja kalau ada tetesan air liur di sana. Alvian tergelak tawa lagi. Dan berkat tawa itu mengembalikan kesadaran Keika yang sempat melambung tadi. Ketika sadar, wanita itu segera mendecap, dan menggeleng-gelengkan kepala. Ada yang salah dengan dirinya. Kenapa dia bisa termangu begitu melihat Alvian yang tampan luar biasa. "Ambil salep di atas nakas. Gara-gara pukulan kamu semalam, badan aku biru-biru." Alvian memerintah. Dia menunjuk bagian perutnya, lalu memperlihatkan punggungnya yang dihiasi luka-luka yang tampak membiru. Semalam, dia memang tidak merasakan sakit setelah dipukuli oleh Keika, bahkan masih bisa tidur nyenyak. Namun ketika bangun di pagi harinya dan diguyur air, bekas pukulan Keika membuat dia harus menahan ringisan nyeri. "Ayo ambil. Kamu harus tanggung jawab loh, ngobatin." perintah Alvian lagi, karena Keika tampak masih terdiam di tempatnya duduk. Sembari menelan ludah dan mencoba cuek dengan perasaan bersalah yang tiba-tiba naik ke permukaan, Keika bangkit dari duduknya, mengambil salep yang Alvian tunjukkan berada di atas nakas. Kemudian kembali duduk menatap punggung Alvian yang dihiasi biru-biru. "Aku obati ya," Keika bersuara setelah beberapa saat memilih diam, karena tahu, perbuatannya semalam adalah kesalahan. Main hakim sendiri, memukuli membabi buta yang ternyata adalah suaminya sendiri. "Obati lah, kamu pikir ini bakal sembuh dengan sendirinya. Sakit tahu." Alvian membalas sengit. Dia sedikit menoleh ke belakang, melirik Keika lewat sudut mata dan menemukan wanita itu bersungut-sungut sembari membuka bungkus salep. Setelah sebulan Keika dia tinggalkan sendiri di rumah, terkurung dan sempat mendengar kelakuan nekat wanita itu yang berusaha mengakhiri hidup, Alvian tidak bisa untuk tak merasa bersalah. Tapi, Alvian tak bisa mengambil keputusan terbaik selain itu. Urusan pekerjaannya sedang padat-padatnya saat itu, bahkan Alvian hanya sempat beristirahat beberapa jam saja setiap malam. Dan mengurung Keika dengan penjagaan ketat di dalam rumah adalah jawaban terbaik yang dia punya. "Kalau sakit bilang," Keika mendesis, sembari mengoles salep ke punggung membiru Alvian. "Nggak akan sakit." Alvian membalas tak peduli. Namun karena kalimat sok bangganya itu, Keika justru menekan salah satu luka membiru milik Alvian dan lelaki itu meringis sakit. Keika berdecih. Menyeringai. "Sok kuat. Katanya nggak akan sakit." Alvian memutar bola mata. Menahan ringisan nyeri karena Keika tampaknya begitu bersemangat mengobati dirinya. Tidak ada lembut-lembutnya sama sekali. "Kalau bukan kamu yang mukulin juga nggak akan kayak gini." Mencebikkan bibirnya, Keika menggumam maaf, tulus. "Maaf, kan nggak sengaja." setelahnya, dia sedikit memajukan wajahnya dan meniup luka-luka Alvian. Hingga beberapa saat terlewat dan dia selesai mengolesi salep di semua luka membiru Alvian. Alvian melirik ke arah punggungnya dan menemukan Keika tampak bersiap-siap untuk bangkit. "Bagian depan belum. Kalau kamu lupa, perut aku juga kena pukul." dia membalikkan tubuhnya, dan menunjuk bagian perutnya yang semalam kena pukul Keika. Dan itu yang paling sakit dari pada pukulan-pukulan di punggungnya akibat gagang sapu yang Keika pakai sebagai s*****a. "Di perut kan bisa sendiri." Keika sekilas melirik perut Alvian, lalu tatapannya terpaku. Bukan pada luka membiru di sana, namun bekas luka jahitan yang cukup besar. Dia menelan ludah, mengerjap beberapa kali dan mengalihkan tatapan pada wajah Alvian yang tampak menanti. "Itu luka kenapa?" tanya Keika, sekali lagi mengoles salep ke jarinya. "Kena pukul kamu, kan." Alvian menjawab acuh tak acuh. Keika mengulurkan tangan, mengoles luka membiru bekas pukulannya. Lalu jemarinya beralih pada jahitan yang timbul di perut Alvian. "Luka jahit ini, kenapa?" Alvian mengikuti arah pandang Keika dan merasakan jemari wanita itu menyentuh luka jahitnya. "Bukan apa-apa. Tenang aja, biar pun ada luka jahit, aku bisa prima kok jadi lelaki. Jangan khawatir tentang itu." Keika melotot, segera menarik menjauh jemarinya dari perut Alvian. Nah kan, dia merasa apa yang dia lakukan tadi di luar kesadarannya. Lalu dia memundurkan tubuhnya, menjaga jarak. Siapa tahu, karena Keika berdekatan dengan Alvian dia jadi lepas kendali. Dan tak ingin lebih gila lagi dari apa yang dia lakukan tadi. Entah pesona apa yang Alvian miliki hingga kesadaran Keika sering terbang-terbang. "Udah. Aku mau keluar." Keika melempar salep ke arah Alvian, dan segera ditangkap lelaki itu. "Jangan panggil-panggil aku lagi. Manja." desisnya lalu bangkit berdiri. Sedikit menghentakkan kakinya karena kesal yang muncul ke permukaan. Alvian menghela napas. Mengukir seringai tipis dan melempar satu kalimat menggoda. "Manja sama istri sendiri nggak ada yang salah kan." Dan ekspresi yang dia dapatkan dari Keika sukses membuat dia mengulum senyuman. Apalagi ketika wanita itu sedikit membanting pintu saat menutupnya. Alvian dibuat geleng kepala. Setelahnya, dia merebahkan tubuh ke atas ranjang dengan senyuman terangkai di bibir tipisnya. Dia tahu, menikah dengan Keika memang akan seunik ini. Wanita itu tidak akan semudah seperti dia menaklukan wanita-wanita di luar sana. Biasanya, Alvian akan disuguhi sikap lemah lembut dan manja-manja dari wanita di luar ketika melihat dirinya. Namun Keika, jutek sekali dengannya. Dia memang pantas mendapatkan itu. Tapi sisi dalam hatinya senang dengan tingkah Keika. Sesulit apa pun wanita itu. Pada dasarnya, Keika wanita baik. *** Keika bergelung nyaman di kasurnya, siang hari. Setelah kelas pianonya berakhir sejak dua jam lalu. AC kamarnya dinyalakan dalam suhu rendah, bersiap untuk tidur siang. Ya, tidak ada kesibukan berarti dalam hari-harinya. Dia tidak perlu mengerjakan pekerjaaan rumah apa pun, sekadar mencuci piring pun tidak. Tak perlu berdiri berjam-jam seperti yang pekerjaannya geluti selama ini, sebagai pegawai mini market. Tapi, dia bosan setengah mati. Kebiasaan melakukan banyak hal, lalu tiba-tiba tulang-tulangnya harus rehat, alhasil justru membuat dia pegal-pegal. Keika menghela napas pelan. Mengubah posisi tidurnya menjadi telentang dan menatap langit-langit kamarnya. Harusnya, ini jamnya dia tidur siang, namun kenapa kantuk itu tidak menyambangi dirinya. Menyerah dengan usahanya untuk terlelap. Keika bangkit dari tidurnya keluar kamar dan segera menuruni anak tangga. "Gina." panggilnya sembari meniti anak tangga satu persatu dan melihat sekeliling yang kali ini tampak sepi. Keika menghentikan langkah di anak tangga paling bawah. Keningnya mengernyit dalam. Tidak biasanya tidak ada siapa pun ketika hari masih begitu siang. "Gina!" panggilnya lagi, kali ini sembari melangkahkan kaki berusaha mencari seseorang. "Gina, temenin makan, laper. Pengin nonton TV juga." Karena selama ini dijejali Gina untuk hal remeh temeh apa pun, alhasil Keika jadi tidak begitu mengenal istana yang dia tinggali. Dia berhenti di depan meja makan dan sebelah alisnya naik, tidak menemukan makanan apa pun di sana. Mengembuskan napas dan menyerah dalam usaha pencariannya, Keika akhirnya membuka kulkas, mengeluarkan sebungkus snack ukuran besar. Jam tidurnya siangnya mungkin, makanya semua orang tidak terlihat karena mengira dia sudah tidur. Keika hendak mengambil duduk di sofa santai depan TV, berniat menonton televisi untuk mengisi kebosanannya siang ini, namun justru dikejutkan akan penampakan seseorang. Refleks, dia justru menjerit dan melempar snack utuh di dalam genggamnya begitu saja. Alvian yang tadinya terlelap di sofa, menggeliat terusik karena jeritan Keika. Dia membuka mata, dan mendecap sebal menemukan Keika berdiri tak jauh darinya dengan raut terkejut. "Bisa nggak sih. Nggak pakai kaget kalau liat aku." Alvian mengusap wajahnya, menatap Keika dengan mata sayup-sayup terbuka. "Kenapa tidur di sini?" Keika melempar tanya. Dia menunduk dan mengambil snacknya lalu membukanya dan menyuap keripik kentang itu ke dalam mulut. Alvian bangkit, terduduk bersandar pada sofa. Di lantai ada laptopnya yang tertutup. Dia mengantuk tadi, sehingga memutuskan untuk terlelap sejenak dan menutup laptopnya. "Duduk, kalau makan." Alvian melirik Keika yang tampak asyik dengan kegiatannya mengunyah keripik. Mendengar peringatan dari Alvian, Keika menurut dan mengambil duduk di ujung sofa. Benar-benar membuat jarak aman antara dia dan Alvian. "Orang-orang rumah ke mana?" tanya Keika. Siapa tahu Alvian mengetahui menghilangnya semua oranh di rumah. Meski tidak yakin juga karena lelaki itu pun tertidur tadi. Menguap, Alvian mengusap wajah setengah mengantuknya. Dia menyandarkan kepala di sandaran sofa dan menjawab singkat. "Aku minta mereka jalan-jalan ke pasar. Buat refreshing." Sebelum dia tertidur, Alvian memang menyuruh beberapa pelayan rumahnya untuk jalan-jalan sebentar, sekalian membeli bahan makanan. Dia meminta kulkas di rumah harus dalam keadaan penuh, agar Keika jangan sampai kelaparan. Dan senyumnya terbit perlahan ketika seperti yang dia pikirkan, Keika memang suka cemilan. "Kenapa aku nggak diajak?" Keika mengentakkan kaki, sedikit sebal karena Alvian bisa menyuruh pelayan di rumah untuk keluar namun tidak dengan dirinya. Sebulan ini, Gina sama dengan dirinya, tak pernah keluar rumah. Lalu ketika wanita itu akhirnya diizinkan keluar, mengapa dirinya tidak? Alvian melirik Keika dan mengukir senyum tipis, tahu benar jika raut wajah yang akan Keika tunjukkan sesebal itu. "Besok pergi sama aku." "Enggak mau." Menaikkan sebelah alisnya, Alvian semakin intens menatap Keika. "Kenapa enggak. Apa bedanya pergi sama aku dengan Gina?" Keika yang sebal hanya berulang kali menghela napas pelan. Sejujurnya, ada begitu banyak pertanyaan yang mampir di benaknya dan ingin dia tanyakan pada Alvian. Dia berpikir mungkin saja bisa membuka obrolan yang akhirnya bisa sedikit demi sedikit mengetahui kebenaran tentang keberadaan dirinya di rumah itu. Dia sudah menikah dengan Alvian. Keika sadar betul dengan posisinya itu. Bahkan ada cincin putih bermata merah muda yang melingkar di jari manis tangan kanannya. Sebelum dia datang ke rumah ini, neneknya berpesan untuk tak boleh menanggalkan cincin itu, semarah apa pun Keika terhadap Alvian. Katanya, itu bukti pengikat, bahwa mereka sudah menikah. Dan kini ketika dia menemukan Alvian berada di depannya tampak santai, meski tetap menyebalkan. Keika tidak bisa berbohong untuk tidak senang. Karena sudut di dalam hatinya bahkan tampak begitu lega mendapati sosok Alvian yang sesungguhnya berbanding terbalik dengan semua pemikiran jahatnya tentang lelaki itu. "Kamu yakin nggak mau pergi sama aku?" Alvian kembali melontarkan tanya. Dia sudah mengambil laptopnya di bawah, memangkunya di atas bantal sofa dan kembali membukanya. Mungkin dia bisa mengecek beberapa laporan pekerjaan, sembari meladeni Keika. Keika menggigit bibir bawahnya. "Memangnya kalau aku keluar dengan Gina kenapa?" "Bahaya." Alvian menjawab singkat. Tanpa mengalihkan tatapan dari layar laptopnya. Di sisinya, Keika mendengkus tidak senang dengan jawaban itu. Wanita itu menjumput keripiknya dan memakannya dengan bunyi kunyahan yang Keika pastikan bisa mengganggu Alvian. Terbukti dengan Alvian yang akhirnya menoleh padanya dengan sebelah alis terangkat. "Itu bukan alasan." gumam Keika disela kunyahannya. Bahaya seperti apa yang Alvian maksud. Keika sendiri merasa jika terus berada di rumah itu, bahaya besar akan mengancamnya. Dia orang asing yang tidak tahu menahu dengan kehidupan yang dia jalani kini. Dan bukankah sejak dulu dia sudah berteman dengan bahaya. Memiliki Ayah angkat seperti Jonny yang selalu mengejarnya untuk meminta uang adalah bahaya. Apalagi jika Jonny sedang mabuk, lelaki itu biasa membawa botol alkohol yang siap kapan saja pecah di kepalanya. Keika menahan napas ketika mengingat itu. Dia tidak ingin kembali ke masa-masa itu. Namun juga tak ingin terkurung di rumah megah yang menyerupai penjara baginya. Hidup dengan neneknya pasti lebih baik dari tinggal di rumah ini. Dan mengingat tentang nenek, Keika tersentak tiba-tiba. Beruntung di dalam mulutnya sudah tak lagi mengunyah keripik, yang membuat dia lolos dari ancaman tersedak. Dia melirik Alvian yang kembali fokus pada laptop. Berusaha mengumpulkan suara untuk meminta suatu hal. Ponselnya. Yang entah di sembunyikan di mana. Berhari-hari lalu, ketika Keika meminta ponselnya yang raib ketika tiba di rumah itu, Gina mengatakan jika Alvian yang meminta agar Keika tidak terhubung pada dunia luar. Satu alasan itu juga yang membuat Keika merasa begitu frustrasi. Dan ketika melihat ponsel Alvian tergeletak di atas sofa, dia tergelitik untuk meminta ponselnya kembali. Semoga, Alvian memang bukan sosok lelaki kejam. Yang hanya karena dia meminta ponsel akan disekap. "Al," panggil Keika. Suara yang keluar dari bibirnya terdengar aneh oleh telinganya sendiri. "Hm," balasan acuh tak acuh dari Alvian, sukses membuat Keika yang sempat diliputi ketakutan berubah mencebikkan bibir. "Aku butuh ponselku." Satu kalimat yang keluar dari bibir Keika, berhasil membuat Alvian memberi atensi lebih. Lelaki itu mendongakkan kepala dan menatap Keika. "Buat apa?" Keika menarik napas, sebelah tangannya yang bebas menggenggam pinggiran sofa, sedang sebelahnya lagi berusaha untuk tidak meremukkan keripik yang belum ada setengah dia makan. "Aku butuh ponselku, setidaknya ingin menghubungi rumah." "Mau telpon Jonny. Buat apa? Bukannya lelaki itu hanya hobi meminta uang padamu." Keika tidak terkejut ketika Alvian mengetahui sekelumit kehidupannya, terutama tentang Jonny. Membawa dia ke sini tanpa halangan saja, membuat Keika sadar, lelaki di sampingnya ini pasti memiliki kekuasaan lebih. "Aku ingin mencari kabar tentang nenek," gumam Keika, jujur. Alvian memberikan ponsel yang sedari tadi teronggok tak berdaya di sisi tubuhnya pada Keika. Itu ponsel pribadinya yang hanya berisi beberapa nomor keluarga dan orang-orang terdekatnya. "Ada nomor tetanggamu di sini, kamu bisa menghubunginya untuk mencari tahu." Keika menatap ponsel canggih Alvian dan wajah lelaki itu secara bergantian. "Aku ingin ponselku." Alvian mendesah. "Ponselmu rusak, dan belum aku belikan. Jadi sementara pakai ponsel ini untuk menghubungi tetanggamu itu, dan tanyakan keadaan nenekmu." Tidak punya pilihan, dan enggan membantah karena hasil akhirnya tetap sama dengan dia yang diharuskan menurut, Keika mengambil ponsel digenggaman Alvian. Kemudian membuka kontak nomor di ponsel itu, dan menemukan nama Amalia yang diikuti nama mini market tempat mereka bekerja. "Aku pinjam," ungkap Keika, lalu mendial nomor itu. Berharap Amalia mengangkat panggilannya. Dan senyum Keika terbit ketika sebuah sapaan terdengar di seberang. Dia kemudian bangkit berdiri dan berjalan menjauh dari Alvian yang masih bertahan menatap dirinya. Hingga suara lelaki itu mengudara, meluruhkan senyuman yang sempat terangkai di wajahnya. "Ingat nanti malam ya, Kei." Keika tidak ingin peduli, dia menghentak dan semakin cepat menjauh dari Alvian. Entah, dia harus bersyukur atau tidak karena Alvian -suaminya semenjengkelkan 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN