Alka berjalan santai menyusuri koridor dengan kedua tangan yang di masukkan ke dalam saku celana abu-abunya. Dua kancing baju atas remaja itu sengaja ia buka. Memperlihatkan kaos dalam berwarna hitam. Model rambut acak-acakan di bagian depan sudah menjadi ciri khasnya.
Langkahnya terayun menuju rooftop. Berdiri dengan kepala mendongak ke atas, menatap langit yang cerah biru-biru manja dengan gumpalan awan putih. Mulutnya asik mengunyah permen karet yang sudah tidak ada rasa. Tapi Alka suka.
Satu minggu berlalu, setelah gadis pemilik lesung di pipi kanannya, yang sempat memukulnya dengan tas karena mengira Alka adalah seorang jambret. Seminggu itu pula Alka seperti orang yang kehilangan hawa nafsu. Ia melalui hari dengan uring-uringan. Alka sendiri tidak tahu alasan yang tepat untuk menggambarkan dirinya yang nampak kacau. Padahal, gadis itu bukanlah gadis pertama yang terlihat cantik di mata Alka.
Ada sesuatu yang berbeda pada gadis yang Alka kira memiliki usia di atasnya. Sejauh apapun berpikir, ia tidak bisa memecahkan keanehan yang ia rasakan.
Alka mengacak rambut frustasi. Lalu membuang sembarang permen karet di mulutnya. Bersamaan dengan itu, terdengar suara pintu rooftop yang berdecit menandakan ada seseorang yang masuk. Terdengar derap langkah kaki yang semakin mendekat. Hingga akhirnya, sepasang tangan melingkari pinggang Alka dengan erat dari belakang.
“Beb, I miss you....” Claudia berbisik sambil bersandar nyaman di punggung lebar remaja tampan itu.
Alka mendengus sambil berusaha melepaskan pelukan Claudia. Tapi sepertinya, gadis itu tidak peduli dan semakin mengeratkan pelukannya.
“Lepas, Clau.”
“Gak mau, Al. Aku kangen sama kamu."
Alkan menghela napas panjang. “Gue makin yakin kalo tuduhan gue sama lo itu benar adanya.”
Mendengar itu, dengan berat hati Claudia melepaskan pelukannya dan berdiri disamping Alka dengan tampang cemberut.
“Mau apa lo ke sini?” Alka bertanya tanpa menoleh sedikitpun.
Claudia mendongak sambil bersandar pada bahu Alka. “Aku kangen kamu, Al. Emang kamu gak kangen sama aku?”
“Gak,” ketus Alka.
Claudia berdecak kesal. Namun senyum lebarnya kembali terbit sambil mengeluarkan beberapa bungkus permen karet dari dalam saku baju seragamnya.
“Ini buat kamu," ucapnya antusias sembari menyodorkan telapak tangan yang terdapat beberapa bungkus permen kesukaan Alka.
Alka menyingkirkan kepala Claudia dari bahunya, membuat remaja cantik itu tersenyum kecut. “Gue punya cukup banyak uang buat beli permen karet tanpa lo kasih.”
Claudia menghela napas. “Aku gak bermaksud sama sekali buat ngerendahin kamu, Al. Aku cuma mau ngasih ini buat kamu aja. Gak ada maksud lain. Lagi pula, aku percaya kalo kamu mampu membeli banyak permen karet termasuk pabrik-pabriknya sekalipun.”
Alka menyisir rambut ke belakang dan menatap malas pada Claudia. “Lo bisa tinggalin gue sendiri?”
Claudia mencebik kesal, lantas memasukan kembali permen karet tersebut ke dalam saku seragamnya. “Apa gak ada lagi sedikit ruang buat aku singgah kembali dihati kamu?”
Alka memutar tubuhnya hingga berhadapan dengan remaja cantik itu yang kini sudah berubah sendu. “Kita udah satu tahun putus. Dan udah waktunya lo buat lupain gue.”
Kedua mata Claudia berkaca-kaca. Ucapan Alka berhasil kembali menoreh luka pada hatinya. “Al, please. Kasih aku satu kesempatan lagi.”
Alka tersenyum mengejek. “Sorry, gue bukan tipe orang yang mau mengulang masa lalu yang sama.” Setelah itu, Alka berjalan meninggalkan mantan kekasihnya yang menangis tergugu seorang diri.
~❣~
Melda meletakkan kepalanya di atas meja kerja yang penuh dengan tumpukan berkas yang belum ia tanda tangani. Satu minggu sudah Melda putus dari Ragil. Untuk move on sendiri tidak semudah membalikkan telapak tangan, kenangan bersama Ragil sudah cukup banyak. Satu fakta yang baru Melda ketahui, kalau selama ini dirinya sudah dikhianati oleh laki-laki itu dengan mantan sahabatnya sendiri.
Melda baru sadar, kalau cinta yang diberikan Ragil selama ini ternyata semuanya palsu. Sama seperti rasa sambaladonya Ayu Ting-ting. Ujung-ujungnya bikin sakit hati!
BRAK!
Suara gebrakan pintu yang cukup keras membuat lamunan Melda buyar seketika. Ia mendengus kesal, menatap Lena yang kini berjalan ke arahnya sambil tersenyum lebar.
“Apa?” ketus Melda, menatap Lena jengah.
“Bayar hutang lo!” Lena menengadahkan satu tangannya ke hadapan Melda.
Demi Oppa Chanyeol yang tak kunjung melamar author! Lena datang dengan cara mengejutkan hanya untuk menagih hutang? Wah wah, sahabat k*****t memang si Lena ini.
“k*****t lo, ah! Hutang lima ratus ribu aja pakai ditagih segala,” dengus Melda.
Lena menyengir lebar. “Ya maaf, BosQ. Lima ratus ribu jugakan uang. Lumayan keles buat beli gamis tren keluaran terbaru. Lagian CEO kayak lo gak bakal kering duit karena ngeluarin uang yang gak jumlah nya seberapa itu.”
Lena memang berbeda dengan Melda. Gadis itu sudah mulai menutup auratnya sejak duduk di bangku kelas XI SMA. Meskipun belum sepenuhnya mencerminkan seorang muslimah sejati. Lena juga masih sering mengenakan celana jeans.
Melda mengeluarkan lima lembar uang seratus ribuan dan langsung meletakkannya di atas telapak tangan Lena. “Udah gak ada lagi hutang gue sama lo."
Lena tersenyum lebar sembari mengibas-ngibaskan lima lembar uang seratus ribuan itu didepan wajahnya. “Nah, kalo gini kan enak. Manja banget harus gue tagih dulu.”
Melda menggaruk kepalanya yang terasa gatal. “Udah ah, sana. Balik ke ruangan lo. Ini jam kerja kalo lo lupa itu.”
“Iya iya, BosQ. Adek Lena yang cetar membahana anti badai mau comeback lagi ke ruangan yang ada di Korea sebelah onoan dulu, ya. Bye bye Qaqa unchhh...” goda Lena dan langsung segera ngacir keluar ruangan sebelum Melda melayangkan sepatu high heelsnya yang mempunyai tinggi 5 centimeter.
Bersamaan dengan keluarnya Lena dari dalam ruangan, handphone milik Melda bergetar menandakan adanya panggilan masuk. Gadis itu segera mengangkat panggilan dari mamanya.
“Halo, Ma?”
"...."
“Ya udah, Mama share lock aja. Biar Melda yang ke sana.”
"...."
“Iya, Ma.”
Setelah panggilan terputus. Melda segera beranjak dari posisi duduknya. Meraih tas yang berada di atas meja dan segera keluar dari dalam ruangan.
~❣~
Beberapa kali Alkan menguap karena mengantuk. Di depan kelas, berdiri seorang guru yang tengah menjelaskan materi pembelajaran. Alka yang sudah tidak kuat lagi menahan kantuk pun langsung menyimpan kepalanya di atas meja dengan menjadikan tangan sebagai bantal. Meski papanya merupakan donatur terbesar di sekolah, tapi Alka dididik untuk tidak bersikap sewenang-wenang atas apa yang ia punya.
Kefan menyenggol-nyenggol kaki sahabatnya dan berharap Alka segera bangun. Tapi sepertinya sia-sia, karena Alka tak peduli dan tetap melanjutkan tidurnya.
Pak Yudha berjalan dengan tampang datar menuju meja Alka yang berada di pojok belakang kelas. Ia melirik Kefan sekilas dan menggeleng menatap kelakuan muridnya yang satu ini.
“Alka!”
Tidak ada pergerakan apapun pada cowok itu.
“ALKA!”
Alka hanya bergumam tanpa berniat membuka mata.
“ALKA GEOVANO!”
Teriakan yang begitu memekikkan telinga, membuat Alka sontak membuka kedua matanya lebar-lebar, kedua tangannya terkepal kuat dan siap untuk membaku hantam orang yang telah membangunkan tidur lelapnya.
Kepalanya mendongak, menatap wajah sangar Pak Yudha yang kini berada di samping mejanya. Alka cengengesan sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Wajahnya yang sok polos tanpa dosa, membuat siapapun ingin menampar bolak-balik wajah tampan itu.
“Maju ke depan dan tuliskan rumus yang semula Bapak jelaskan!” perintah Pak Yudha. Alka meringis lalu berjalan dengan langkah gontai ke depan kelas.
Alka mengumpat dalam hati sembari menatap papan tulis yang sudah kembali memutih tanpa coretan. Sekarang apa yang mesti Alka tulis? Bahkan tadi tak sedikit pun ada yang terekam dalam otaknya. Ia hanya memikirkan bagaimana caranya agar bisa menahan kantuk.
“Mau sampai kapan kamu diam seperti itu, Alka?” geram Pak Yudha. Menatap bosan Alka yang sedari tadi berdiri diam tanpa berkutik.
Alka berdecak. Otaknya berpikir keras, sampai akhirnya terlintas dipikirannya untuk menuliskan salah satu rumus yang sudah berada di luar kepala.
S =W/F
S = Perubahan
W= Usaha
F = Gaya
Alka memutar tubuh menghadap Pak Yudha sambil tersenyum lebar, kedua tangannya asik memainkan spidol. Murid seisi kelas sudah mati-matian menahan tawa.
Pak Yudha menatap Alka dengan tajam. “Kenapa kamu menuliskan rumus itu?”
“Karena rumus ini yang paling bijak, Pak.” Alka menjawab santai.
“Bijak?”
“Jika hidup ingin ada perubahan, maka perbesarlah usaha bukan memperbanyak gaya,” jawab Alka sambil tersenyum bangga atas apa yang telah ia ucapakan tadi.
Cukup! Cukup! Cukup sekian dan terima gaji! Semua murid tidak dapat lagi menahan tawa. Sedangkan emosi Pak Yudha semakin tidak bisa dibendung lagi.
“KELUAR KAMU SEKARANG JUGA, ALKA GEOVANO!”
~❣~
Seorang gadis berusia dua puluh tahun menatap tajam pada sosok remaja laki-laki yang menatapnya bosan sambil bersandar pada tembok sekolah.
“Gue harap, lo bisa menyadari kesalahan lo kali ini,” tegas Melda berucap pada sang adik, Malvin.
“Gue gak salah, Kak.”
“Terus kalo lo gak salah, siapa yang salah?” Melda menatap Malvin dengan jengah.
“Lo yang salah,” ketus Malvin menjawab.
“Kenapa jadi gue yang salah?” sewot Melda sambil melayangkan pukulan pada lengan remaja itu.
“Lo salah karena lo percaya sama omongan mereka.”
“Gimana gue gak percaya? Gue denger sendiri dari guru lo."
“Ck! Itu karena mereka datang saat posisi gue emang pantes disalahin,” balas Malvin berdecak kesal.
“Gue gak mau tahu. Selagi Lo gak bisa buktiin omongan lo. Kalo sampai terjadi apa-apa sama cewek itu, lo harus tanggung jawab!” tegas Melda yang tentu tidak dapat Malvin terima.
Malvin mendengus kasar. “Lho, Kak. Kenapa gue yang harus tanggung jawab sama apa yang gak gue perbuat?”
Melda mengangkat bahu acuh. “Gue cuma butuh pembuktian dari lo.”
Malvin berdecak kesal. Tanpa pamit ia melangkah pergi meninggalkan Melda seorang diri. Laki-laki itu terjebak dalam masalah pelecehan seksual yang terjadi di gudang belakang sekolah. Sampai saat ini, belum ada konfirmasi jelas dari siswi yang menjadi korban pelecehan tersebut. Tapi beberapa guru mencurigai Malvin yang telah melakukan tindakan itu. Karena keberadaan serta posisi Malvin sangat pantas untuk dijadikan tersangka.
Melda menghembuskan napas panjang. Ia memutar tubuh hendak kembali ke kantor. Namun, ia dikejutkan saat tangannya dicekal dari arah belakang. Melda menoleh dan mendapati sosok laki-laki di mana satu minggu yang lalu telah ia fitnah.
“Alka?”
Alka tersenyum. Lalu ia melepaskan cekalannya di tangan Melda.
“Lo sekolah di sini?” Melda bertanya, memastikan.
Alka mengangguk. “Iya. Lo sendiri ngapain di sini? Gak mungkin kan, kalo lo murid juga?”
“Ya bukan lah," jawab Melda terkekeh pelan.
Untuk beberapa detik lamanya, Alka kembali hanyut dalam senyuman Melda yang selalu menghangatkan hatinya. Dan tunggu! Alka merasakan debaran itu lagi. Debaran yang menurutnya sangat menyenangkan.
“Eum, Alka. Gue harus balik ke kantor,” ucap Melda seraya melirik jam yang melingkar indah di pergelangan tangannya. Ia tersenyum pada Alka dan melangkah meninggalkan cowok itu yang mematung di tempat.
“PENCURI!” teriak Alka, membuat Melda kembali berlari ke arahnya.
“Mana Pencuri?” seru Melda terlihat panik. Mengedarkan pandangan ke segala penjuru arah. Ia mengerit bingung saat menangkap Alka yang tengah menatapnya dalam dengan kedua sudut bibir yang tertarik ke atas.
Melda menatap Alka curiga.. “Lo ngerjain gue, ya? Mau balas dendam hm?"
Tanpa memudarkan senyum. Alka menggelengkan kepala.
Melda mengangkat dagunya sambil bersidekap. "Terus mana pencurinya, ha?"
“Di depan gue.”
Dahi Melda berlipat bingung, kembali menatap ke seluruh penjuru arah. Tapi tidak ada orang lain selain mereka berdua. Lalu siapa yang Alka maksud? Tunggu, jangan bilang kalau yang dimaksud Alka adalah dirinya? Argh, kenapa semua orang menuduh dirinya yang bersalah?
Melda mendengus lantas kembali mengayunkan langkah lebar. Hingga suara berat kembali terdengar dan membuatnya berdiri di tempat.
“Pencuri itu lo, Melda. Lo Pencuri hati gue.”
~❣~
Melda memarkirkan mobilnya diantara deretan mobil pegawai lainnya. Lantas berjalan keluar dengan tas menyampir di bahu. Ia tersenyum ramah pada pegawai yang ia temui sepanjang perjalanan menuju ruangannya.
Melda menggelengkan kepala saat mengingat ucapan Alka sewaktu di sekolah tadi. Bagaimana bisa Alka mengatakan itu dengan lancang kepadanya? Beruntung tidak ada orang lain saat itu selain mereka.
Melda memijat pelipisnya lalu segera menyelesaikan pekerjaannya. Diusianya yang baru menginjak dua puluh tahun, ia sudah dipercaya sang ayah untuk menjadi CEO di perusahaan keluarganya. Sebenarnya, Melda mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di Amerika. Tapi, melihat sang ayah yang kewalahan menghadapi permasalahan pada beberapa cabangnya diluar kota. Melda memilih untuk bekerja saja agar bisa sedikit meringankan beban sang ayah.
Cling!
Sebuah pesan chat masuk. Melda meraih ponselnya yang tergeletak di samping laptop segera membuka isi pesan tersebut. Khawatir kalau itu datang dari salah satu rekan bisnisnya.
“Tari? Ngapain dia chat gue?” heran Melda.
Matanya melotot saat melihat apa yang Tari kirim melalui w******p-nya. Jantungnya seperti tercelus duri melihat foto yang Tari kirim, dalam foto tersebut memperlihatkan Ragil yang tengah melamar Tari.
Melda menyimpan kasar ponselnya di atas meja. Harusnya orang yang diperlakukan itu oleh Ragil adalah dirinya, bukan Tari. Ragil memang jahat. Sejahat Rangga yang meninggalkan Cinta segitu saja.
“Cinta. Gue benci itu.”
Cinta. Ya, karena cinta yang salah berhasil menggores luka sayat pada hatinya. Harapan yang begitu besar, pupus seketika saat cinta tak lagi berpihak.
Cinta. Rasa yang telah memberikan kebahagiaan, sekaligus memberi rasa sakit dan kecewa diwaktu yang sama.