12. The Wedding Day

2331 Kata
 Tok ... tok ... tok Faraz mengetuk pintu rumah di hadapannya. “Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumussalam.” Terdengar suara anak kecil menjawab dari dalam rumah. “Eh, Om Kasep. Masuk Om, Om mau ngapain ke rumah aku?” tanya Diva polos sambil tersenyum sumringah. “Bibi kamu ada gak?” tanya Faraz to the point. “Ada, bentar ya Diva panggilin.” “Oke, Om tunggu di luar aja ya. Makasih Neng geulis.” Diva langsung berlari menuju kamar Lisa sambil berteriak memanggil Lisa. “Biii! Bibiii! Ada Om Kasep nyariin tuh nunggu di teras.” Lisa yang sedang berada di kamar terkejut mendengar teriakan keponakannya. Diva langsung membuka pintu kamar Lisa tanpa mengetuk dan masuk ke dalamnya. “Bi! Tuh ada Om Kasep mau ketemu bibi di depan.” “Oh, iya suruh tunggu dulu ya. Bibi mau pakai jilbab dulu, Neng.” “Oke, Bi!” Diva langsung ke luar dan menutup pintu kamar Lisa. Lisa terduduk di kursi meja rias menatap wajahnya sendiri. Ia gugup luar biasa. Pasalnya, ini pertama kalinya ia bertemu Faraz setelah kejadian memilukan tempo hari. Lisa bingung menghadapinya. Satu sisi ia ingin berterima kasih, tapi di sisi lain ia masih merasa gengsi dengan Faraz. Lisa menghela napas lelah. Ia mengambil jilbab lalu mematut penampilannya di cermin. Setelah rapi, ia beranjak ke luar kamar menemui Faraz. Faraz berdiri di teras rumah Lisa membelakangi pintu. Ia langsung berbalik ketika Lisa bertanya padanya. “Ekhem, ekhem. Ada apa lo ke sini?” tanya Lisa berwajah datar, berusaha menyembunyikan perasaan gugupnya. Faraz sedikit tertegun menatap penampilan baru Lisa. Perempuan di hadapannnya ini memakai  jilbab, baju lengan panjang dan celana kulot yang membuatnya semakin cantik dan ayu. Faraz dengan cepat beristighfar lalu mengalihkan pandangannya. “Gimana keadaan kamu? Sudah baikan?” “Oh, ehm, itu, alhamdulillah gue udah baikan. Hmmm, by the way, makasih lo udah nolongin gue waktu itu,” ucap Lisa sambil menundukkan wajahnya. Tak berani menatap Faraz langsung. “Sama-sama, sudah seharusnya sesama muslim saling menolong.” “Lo, lo mau apa ke sini nyari gue?” “Ada yang harus kita bicarakan, tapi jangan di sini. Bisa di halaman depan aja?” Lisa mengangguk lalu mengekori Faraz dari belakang. “Lo mau ngomong apa?” “Nikah sama saya, Lisa.” Lisa tertawa sinis mendengar ajakan Faraz. “Lo sehat kan? Gak salah minum obat kan?” “Saya serius, Lisa. Apa yang harus saya lakukan biar kamu percaya sama saya?” “Habis, lo tiba-tiba dateng ke rumah gue, gak ada angin, badai, hujan, ngajak nikah. Lo tuh ngajak nikah kayak temen-temen Dafa ngajakin main gundu tahu gak? Lo kan nikahnya sama Nisa. Ngapain ngajak gue nikah? Oh atau jangan-jangan lo mau nikahin dua perempuan sekaligus? Iya?!” Lisa membuat Faraz kacau dengan pertanyaan beruntunnya. Namun, sebisa mungkin Faraz terlihat tenang dan menjawab pertanyaan Lisa dengan lancar. Meskipun dalam hati ia takut perempuan ini menolak ajakannya untuk menikah. Faraz buntu jika Lisa menolak tawarannya ini. “Annisa pergi, entah ke mana. Saya hanya menuruti sarannya untuk menikahi kamu.” Faraz tidak punya pilihan lain. Ia terpaksa menuruti saran Annisa untuk menikahi Lisa. Hari pernikahan yang semakin dekat membuatnya kalut dan tertekan. “Kalo gue nolak? Gue gak cinta sama lo.” “Kamu pikir saya cinta sama kamu?!” Akhirnya Faraz meluapkan emosinya yang dari tadi sekuat tenaga ia tahan. “Woi, santai, Bro!  Jangan ngegas gitu. Lo mah aneh, ngajak gue nikah tapi marah-marah kayak gini.” ucap Lisa santai. Faraz mengusap wajahnya kasar. “Oke, saya minta maaf. Dengar ya Lisa, kamu sama sekali bukan perempuan tipe saya, Lisa. Saya juga terpaksa menuruti kemauan Annisa. Saya hanya gak ingin orang tua saya malu kalau pernikahan saya batal. Semuanya sudah disiapkan. Saya terpaksa ngelakuin ini demi orang tua saya.” Wajah Faraz menampilkan raut frustasi. “Cinta buat orang seusia kita udah gak penting. Nanti juga setelah menikah dan menjalani kehidupan rumah tangga, cinta saja tidak cukup. Banyak faktor yang dibutuhkan untuk menjaga keutuhan rumah tangga.” “Oke, gue gak akan mempermasalahkan cinta. Tapi, apa untungnya kalo gue nikah sama lo?” Ia sudah menduga, tak akan mudah membujuk Lisa mau menikah dengannya. Faraz sudah memikirkan ini sebelumnya. Tak apa, yang penting keluarganya tidak menanggung malu. Namun, tetap saja Faraz tambah pusing dengan pertanyaan Lisa ini. Ia merasa seperti sedang bernegosiasi dengan calon konsumen atau calon pembeli hasil panennya. “Apa pun, terserah. Saya akan kasih apa pun yang kamu mau kalau kamu mau nikah sama saya.” “Benar?” “Iya.” “Oke.” Lisa pun mengatakan keinginannya dan Faraz menyetujui dan menyanggupinya. “Oke, nanti malam saya akan menemui ayah kamu.” “Jangan!” “Kenapa?” tanya Faraz heran. “Hmmm ... itu, lebih baik lo ketemu sama kakak gue dulu. Nanti biar dia yang ngomong ke bapak. Takutnya bapak syok kalo tahu gue tiba-tiba mau nikah secepat ini.” “Oke, kamu atur aja, yang penting lusa kita menikah.” Bibir Lisa menyunggingkan seringaian tipis ketika Faraz berlalu meninggalkannya. === Lisa sedang menatap dirinya di cermin rias. Saat ini ia sedang didandani oleh teteh-teteh penata rias. Hari ini adalah pernikahannya dengan Faraz setelah berdebat sengit dengan Dimas. Bahkan Dimas menyebutnya gila waktu itu. “Kamu gila, Lisa? Udah gak waras? Mau kamu jadi penggantinya Annisa jadi istrinya Faraz dan apa? Lusa kamu nikah? Gila, ini benar-benar gila! Iya sih, Aa pernah nyuruh kamu nikah sama dia, tapi gak kayak gini caranya. Bukan kamu jadi pengganti orang lain.” “Aa, plis. Lisa juga udah mikirin ini semua A. Lisa punya alasan kuat kenapa Lisa nerima ajakan Faraz buat nikah. Tolong A, izinin Lisa nikah sama Faraz. Aa kan juga bilang kalau Faraz itu tipe suami yang baik buat Lisa, bisa jadi imam yang ngarahin Lisa.” “Iya kamu bener, tapi gak begini caranya, Lisa.” “Aa jadi penasaran, apa yang kamu sembunyikan dari Aa. Apa alasan kamu nerima Faraz? Coba bilang sama Aa?” “Aa, bukannya kalau ada lelaki shallih yang datang melamar kita tidak boleh nolak ya, A? Faraz kan agamanya bagus, berasal dari keluarga terpandang, tampan, kaya juga.” “Iya, kamu benar Lisa. tapi Aa masih gak rela kamu jadi pengganti Annisa.” “Ya mungkin ini memang jalan jodohnya Lisa, Aa.” Akhirnya setelah melalui perdebatan panjang, Dimas mau memberi restu pada Lisa dan Faraz. Dimas juga membujuk ayah mereka agar menjadi wali nikah Lisa. Lisa sangat senang ayahnya bersedia menjadi wali nikahnya dan Faraz. “Aduh, si teteh meuni geulis pisan euy,” ucap perempuan yang merias Lisa. “Ah, bisa aja, Teh.” “Iya atuh, beneran emang geulis. Tuh lihat,” sambil menunjuk wajah Lisa yang sudah dirias ke arah cermin. “Nah, udah beres. Saya tinggal ya, Teh.” “Iya, nuhun ya Teh udah bantu riasin.” “Sami-sami.” Lisa berpindah tempat dari kursi meja rias ke ranjang. Ia meremas tangannya yang basah oleh keringat dingin. Ia sangat gugup menghadapi pernikahannya hari ini. Ia memang sengaja tidak menyaksikan prosesi ijab qabul. Ia baru akan keluar dijemput oleh Meli ketika Faraz sudah selesai mengucap ijab qabul dan status mereka sudah berubah menjadi suami istri yang sah di mata agama dan hukum. Lisa sedang berada di kamar Faraz yang sudah disulap menjadi kamar pengantin. Ia melirik jam dinding yang menggantung di dinding kamar. Acara ijab qabul akan mulai setengah jam lagi. Lisa merasa gugup luar biasa. Tiba-tiba, terdengar suara ketukan pada pintu kamar. “Ini Ambu, Lisa.” “Oh iya, masuk saja, Bu.” Lalu perempuan paruh baya itu tersenyum menatap calon menantunya yang sebentar lagi akan sah menjadi menantunya. Bu Ratna–Ambu Faraz-, duduk di sebelah Lisa. beliau memerhatikan Lisa yang meremas kedua tangannya. Beliau menyentuh tangan Lisa dan menggenggam salah satunya. “Kamu kenapa? Gugup ya?” “Eh? Iya, Ibu.” “Panggilnya Ambu aja ya, biar sama kayak si Aras. Kamu kan juga sebentar lagi jadi anak ambu, Lisa.” “I ... iya, Ambu.” “Wajar kok gugup. Ambu dulu pas nikah sama abah juga gitu. Kita kan mau rubah status jadi istri orang.” Lisa hanya tersenyum tipis sambil menatap ambu Faraz.   “Ambu mau bilang maaf sekaligus terima kasih sama kamu, Nak. Maaf kamu harus jadi pengganti Annisa dan terima kasih kamu sudah bersedia menikah dengan anak Ambu. Pernikahan kalian berdua ini memang tidak diawali dengan manis seperti pada umumnya. Tapi, Ambu harap ini adalah pernikahan kalian yang pertama dan terakhir. Bagaimana pun, ini adalah janji kalian berdua di hadapan Allah, Nak. Kalian memang belum lama saling mengenal satu sama lain. Makanya, jadikan pernikahan ini sebagai tempat bagi kalian saling mengenal satu sama lain, saling mengetahui kekurangan dan kelebihan satu sama lain. Ambu harap kamu bisa menerima semua kelebihan dan kekurangan anak Ambu ya.” “Iya, Ambu.” “Suami adalah pakaian bagi istri, pun sebaliknya. Istri adalah pakaian bagi suami. Hal tidak mengenakan atau kejelekan apa pun yang nanti kalian berdua ketahui dari diri masing-masing, jaga rapat aib itu ya, Nak. Jangan sampai orang lain tahu.” “Baik, Ambu. Lisa akan berusaha jadi istri yang baik buat Faraz.” “Ambu harap, dengan pernikahan ini kalian dapat saling melengkapi dan menyempurnakan satu sama lain dan juga kalian harus cepet kasih ambu cucu ya.” Lisa menunduk malu mendengar permintaan calon ibu mertuanya itu. Seketika dalam hatinya terbesit rasa bersalah pada Faraz dan keluarganya. “Oh ya, nanti kalau ada gosip-gosip jelek dari warga, jangan dipikirkan ya? Anggap saja itu angin lalu.” Hal itu sudah Lisa prediksi. Tentu warga desa yang datang ke acara hari ini akan heran karena nama yang tertera di undangan dan mempelai yang berada di pelaminan adalah orang yang berbeda. Abah, Ambu dan Faraz juga sudah menyiapkan mental jika ada gosip jelek tentang keluarga mereka. “Iya, Ambu. Hmmm ... boleh Lisa minta sesuatu sama Ambu?” ucap Lisa ragu. “Ya boleh atuh, emang kamu mau minta apa sama ambu?” “Boleh Lisa peluk Ambu?” “Ya Allah, kirain teh mau minta apa. Ya udah sini peluk ambu.” Lisa memeluk ibu Faraz dengan perasaan haru. Akhirnya ia bisa merasakan pelukan hangat seorang ibu. Lisa bahkan memejamkan matanya menyelami perasaan hangat yang menjalari hatinya. Ia sampai meneteskan air mata karena senang akhirnya bisa merasakan kasih sayang seorang ibu meskipun hanya seorang ibu mertua. Ibu Faraz mengusap punggung Lisa dengan sayang. Saat meregangkan pelukannya, beliau terkejut ketika mendapati wajah Lisa sudah bersimbah air mata. “Loh, loh. Ini kenapa nangis, Nak?” Ibu Faraz langsung beranjak mengambil tisu yang ada di atas meja rias. Beliau menghapus air mata dan wajah Lisa dengan lembut agar make up nya tidak rusak. “Udah atuh jangan nangis, nanti make up nya rusak, Geulis. Coba bilang sama ambu kenapa nangis? Hmmm?” Lisa mengambil alih tisu yang digenggam oleh calon mertuanya dan membersihkan jejak air matanya sendiri. “Nggak apa-apa kok, Ambu. Lisa Cuma seneng aja bisa meluk Ambu. Ibu Lisa kan udah meninggal semenjak Lisa lahir. Lisa seneng akhirnya Lisa bisa punya ibu.” Ibu Faraz menatap iba pada Lisa lalu beliau tersenyum. “Iya, anggap ambu sebagai ibu kamu ya, Nak. Ibu juga bersyukur akhirnya bisa punya anak perempuan. Dulu, ambu kira bisa hamil lagi dan punya anak perempuan setelah melahirkan Faraz. Tapi, Allah gak kasih. Ambu paham, sekarang Allah kasih ambu anak perempuan itu teh kamu, Lisa,” ucap ibu Faraz sambil mengusap pipi kiri Lisa. “Udah atuh jangan nangis, nanti rusak make up nya. Perlu ambu panggilin lagi si teteh riasnya?” “Gak usah Ambu, Lisa bisa benerin sendiri kok. Cuma luntur sedikit ini.” “Ya udah, ambu tinggal ya. Ambu mau lihat Faraz ijab qabul. Nanti Meli yang jemput kamu kalau ijabnya udah beres ya.” Lisa hanya menganggukkan kepalanya dan ia kembali termenung ketika calon mertuanya itu meninggalkannya sendiri di kamar. Maaf Faraz, Abah, Ambu. Maafin Lisa. === Acara ijab qabul telah selesai. Lisa dibawa keluar dari kamarnya ditemani Meli. Ia sempat takjub melihat penampilan Faraz yang gagah dan tampan dengan baju pengantin yang digunakannya. Faraz telah berubah status menjadi suaminya sekarang. Sama halnya dengan Faraz. Lelaki itu juga takjub dengan penampilan Lisa yang dibalut baju pengantin dengan warna senada dengannya. Lisa tampil cantik dan manis di mata Faraz. Mereka menandatangani berkas dan bertukar cincin. Lisa begitu gugup hingga hampir saja cincin Faraz terjatuh dari tangannya. Untung saja hal itu tidak terjadi. Lisa mencium tangan Faraz dengan takzim. Setelah itu mereka sungkem pada orang tua masing-masing. Bi Ratih datang dari kota untuk menggantikan posisi almarhummah ibu Lisa. Momen paling mengharukan adalah ketika Lisa bisa memeluk ayahnya dengan erat. Ia bahkan sampai menangis tergugu. Faraz, Abah, Ambu dan tamu yang menghadiri ijab qabul menanggap itu sebagai momen yang biasa. Namun, yang mengerti hanyalah Dimas dan Meli. Dimas tahu adiknya itu pasti senang akhirnya bisa bebas memeluk ayahnya karena tidak mungkin ayahnya menolak di hadapan banyak orang seperti ini. Dimas menyadari ada perubahan raut wajah ayahnya ketika memeluk Lisa meski hanya beberapa detik. Setelah itu, lelaki paruh baya yang telah memiliki dua cucu itu langsung memasang ekspresi datarnya lagi. Setelah itu raja dan ratu sehari itu langsung duduk di kursi pelaminan dan berfoto bersama. Dafa dan Diva sangat senang karena bibinya bisa menikah dengan om kesayangan mereka. Acara yang tadinya hanya akan digelar sederhana jadi berubah meriah. Tentu saja, Abah Ramli tidak bisa untuk tidak mengundang semua kenalannya. Apalagi ini hajatan pertama dan terakhirnya. Sebagai tuan rumah yang baik, beliau harus menjamu para tamunya dengan baik agar tidak mengecewakan. Pesta berlangsung hingga menjelang maghrib. Pesta diadakan selama itu karena diadakan di rumah sendiri. Faraz dan Lisa merasakan lelah yang luar biasa. Mereka menerima tamu yang sangat banyak. Tamu-tamu kebanyakan adalah kenalan Abah Ramli. Mereka pun memasang tampang bahagia dan senyum palsu saat berada di atas pelaminan tadi. Mereka berdua langsung masuk kamar Faraz untuk berganti baju. Mereka akan tinggal di rumah Faraz. Lisa tak bisa membantah hal itu karena memang kewajiban seorang istri adalah mengikuti suaminya. Faraz meninggalkan Lisa yang masih berada di kamar mandi ketika adzan maghrib berkumandang. === Lisa menoleh ke arah pintu yang terbuka ketika ia sedang mengoleskan krim malam di wajahnya. Ia sudah siap dengan piyama tidurnya. Ia melihat raut wajah lelah pada wajah suaminya yang sedang duduk di ranjang bersiap menarik selimut untuk tidur. Namun, tiba-tiba ponsel Faraz berdering dan ia langsung ke luar kamar untuk menjawab panggilan itu. Faraz tidak menghiraukan kehadiran Lisa di kamarnya. Lisa yang sudah selesai mengoles krim di wajahnya segera naik ke ranjang untuk tidur. Saat akan memejamkan mata, ia melihat Faraz kembali masuk dan langsung merebahkan diri di sebelahnya. Lisa langsung terbangun. “Loh kita gak akan tidur satu ranjang kan?” Ucapan Lisa membuat Faraz mendengus malas. Energinya sudah terkuras habis untuk menyalami tamu dan memasang ekspresi semu di hadapan para tamu dan keluarganya. Ia hanya ingin tidur. Tapi, Lisa malah mengajaknya untuk berdebat. Namun, entah kenapa ia mendapat ide untuk menjahili Lisa. “Satu ranjang dong, Sayang. Ini kan malam pertama kita. Ayo sini.” “Gak, gue gak mau. Lo tidur di bawah aja sana. Jangan satu ranjang sama gue!” Lisa memukul tubuh besar Faraz dengan guling agar ia turun dari ranjang. Faraz yang sudah tidak tahan melempar guling yang dipegang Lisa dan menindih tubuh Lisa. Lisa langsung memekik ketika tubuhnya berada di bawah kungkungan tubuh Faraz. “L ... lo ... lo mau ap ... apa?” Timbul seringaian dari bibir Faraz, “Mau ambil hak saya sebagai suami.”        
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN