Sebuah memori

1016 Kata
Giffari, Bahia dan Delshad terkekeh bersama, membiarkan Azzura dengan kebingungannya. “Memangnya siapa—“ “Itu akhirnya..." Suara Giffari mengintrupsi kalimat Azzura yang belum juga rampung. Azzura reflek ikut menoleh, mengikuti yang lain. Terlihat Aariz berjalan ke arah mereka. Aariz baru saja pulang dengan tas ala mahasiswa berukuran sedang tersemat di punggungnya. “Mahasiswa teladan kita pulang. Aariz ....” sambut Giffari, nyaring, suaranya membuat Aariz yang tadi fokus dengan pagar refleks mengangkat kepalanya bingung. “Hem, kalo dipikir-pikir kalian cocok deh jadi couple mahasiswa teladan tahun ini," sahut Bahia memperia suasana di sambung cekikikan melihat mata Azzura yang langsung melebar sempurna. “Iya gak?” tanya Bahia mencari dukungan Giffari dan Delshad. Berbeda dengan dengan Azzura yang langsung menampilkan ekspresi malu, Aariz nampak tenang saja dengan goda itu, matanya malah melirik pada Bahia. “Jangan terlalu lama duduk di luar, kamu baru saja sembuh. Lebih baik istirahat di dalam,” kata Aariz, tidak terbantahkan. Wajah Bahia seketika mendung, merasa gagal menggoda Aariz. Pria itu sama sekali tidak terpengaruh sedikit pun. Aariz dengan santai berjalan menuju kamar kosnya. Azzura mengamati sikap tenang itu hingga punggung Aariz menghilang, tersembunyi di dalam daun pintu yang sudah kembali tertutup lagi. Kali ini tertutup dari dalam. “Kenapa? “ gumam Azzura. ** Kuliah selesai tepat saat pukul dua siang, matahari yang terik membuat Azzura enggan untuk langsung pulang. Gadis itu memutar langkahnya, memasuki mesjid yang searah jalan pulang. Azzura ingat dari perkataan temannya bahwa di mesjid ini selalu di adakan kajian rutin bada dzhuru hingga ashar. Katanya kajian ini merupakan gerakan menerobos image kajian yang di anggap membosankan. Kajian itu justru mengusung tema dan cara penyampaian yang sederhana ala anak milenial sekarang. Kali ini tema yang di ambil mengenai tangguhnya seorang wanita. “Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh. “ Begitu Azzura terduduk di barisan perempuan, suara itu menyambutnya. Rupanya kajian baru saja di mulai. Beberapa gadis berbisik kalo kajian mengalami telat karena orang yang biasa mengisi kajian berhalangan datang dan di gantikan orang lain. Mereka juga berbisik bahwa kali ini pengisi kajian masih muda dan sosok yang sangat menginspirasi. Azzura duduk di tempat khusus akhwat, dimana terdapat penghalang berupa sejenis gorden yang membentang panjang di hadapan mereka. Hal ini, agar tidak terjadinya zina mata sekecil apa pun itu. Para Akhwat yang bercadar pun leluasa membuka cadarnya selama kajian terjadi. Tidak ada sorot mata ikhwat di sana. “Kali ini kita bakal bahas mengenai wanita tangguh. Apa sih hal pertama yang kalian pikirkan mengenai sosok wanita tangguh ?” suara itu kembali terdengar. Azzura mendengarkan dengan sesama. Pertanyaan itu langsung membuat Azzura teringat akan sosok ibunya. Gadis itu teringat wajah ibunya yang begitu ia sayangi namun sangat membenci Azzura karena kesalahan di masa lalu. “Yap. Ibu...,” tambah suara itu. “Ibu adalah sosok pertama, wanita yang kita lihat sebagai wanita tangguh, bahkan saat kita belum mengerti apa itu tangguh, seorang ibu sudah menjadi tangguh dengan perjuangan dalam mengandung, melahirkan dan merawat kita. “ “Ibu adalah sosok yang menjadi madrasah pertama bagi anaknya. Ibu juga menjadi seorang yang sering kita sebut kalah kita sakit. “Baginda Muhammad SAW pernah ditanya mengenai siapa yang paling harus kita hormati. Nabi Muhammad SWA menjawab, ibu , ibu, ibu sebanyak tiga kali lalu ayah mu.” “Kedudukan ibu berada pada tingkat pertama. “Saat seorang ibu mengangkat tangannya berdoa pada Allah, maka doanya akan langsung di ijab. Dan saat tawanya mengudara karena kita maka saat itu ridho Allah turun untuk kita.” Azzura tertunduk. Hatinya terusik rasa sedih. Gadis itu bertanya pada hatinya, apakah langkahnya kini di ridhoi Allah? Sedangkan ibunya bahkan tak sudih menatap wajahnya. “Bagaimana jika ibu kita membenci kita?” **** Matahari mulai turun dari singgasananya. Hembusan pelan angin menerbangkan sedikit bagian bawah gamis Azzura yang panjang. Gadis itu menatap langit. “Sore telah tiba,” bisik Azzura pelan. Gadis itu beranjak mengambil sepatunya yang tadi ia taruh di rak sepatu. Azzura pulang, setelah melaksanakan sholat ashar berjamaah bersama setelah kajian. “Ibu sangat suka udara sore. “ Azzura menarik nafas panjang, mata gadis itu spontan tertutup menikmati hembusan angin sore. Pikirannya kembali tenggelam dalam isi kajian hari ini. Azzura tenggelam dalam kemelut hatinya. “Maka rayula ibu mu dengan kasih sayang yang tulus, dengan perkataan lembut . Sungguh ibu adalah manusia berhati lembut ia akan memaafkan kesalahan anaknya sebanyak apa pun seorang anak berbuat salah. Jangan jauhi ibu bu lantaran marahnya padamu. Dan serahkan urusan hati ini pada sang pemilik hati. Maka kembalilah, bersujudlah pada sang rabb, mintalah pada-Nya untuk menyentuh hatinya. “ “Ente besok bisa lagi gak jadi pembawa materi ? Ustadz Faisal masih belum bisa nih.. Cuman ente lah harapan ana. Materi yang ente bawain juga bagus. Apalagi pas jawab pertanyaan dari salah satu akhwat tadi. Wah, top banget.. “ “Insyallah, kalo bisa saya akan datang lagi besok.” “Alhamdulillah kalo gitu.” “Setelah ini ente mau pulang?” “Kebetulan saya masih ada kerjaan di kantor, Bang. Kasihan ayah kalo harus mengerjakannya sendiri.” “Masyallah... Antum bela-bela ini ke sini padahal di kantor antum banyak kerjaan. Ana jadi gak enak. “ “Masyallah.... tidak perlu merasa seperti itu Bang. Urusan agama itu nomor satu, meninggalkan dunia untuk urusan agama jauh lebih baik. Toh pekerjaan itu juga bisa di tundah dan di kerjakan pas selesai kajian. Saya lebih sedih kalo saudara-saudara saya yang semangat mencari ilmu harus kecewa lantaran kajian di tiadakan.” “Masyallah.... Syukron ya ......” “Saya merasa tua banget kalo gini jadinya, Bang... “ Keduanya tertawa seraya keluar dari mesjid, berjalan menuju teras masjid. Tempat dimana Azzura masih termenung dalam kemelut pikirannya. Beruntung gadis itu menyadari hal itu sebelum kedua pemuda itu terlebih dahulu menyadari kehadiran Azzura. Azzura refleks menoleh ke asal suara. Mendengar suara itu seketika Azzura tersadar siapa pemilik suara itu. Tidak salah lagi. Suara itu sama seperti suara yang ia dengar di balik tirai pembatas. Suara pemberi materi tadi. “Emang kamu masih muda ? Kamu mah wajah aja yang baby face tapi umur udah mau kepala tiga. Kapan nih mau nikah? Masa di susul yang lain terus...” “Masyallah, Bang. Insyallah ini lagi ikhtiar cari jodoh, Bang. Doain aja biar gak ke susul yang muda terus.” Terburu-buru, Azzura mempercepat gerakannya memasang sepatu, lalu bangkit dari ubin masjid dan berjalan cepat meninggal teras masjid, tanpa menoleh lagi. Entah kenapa Azzura melakukan hal ini. Sinyal di kepalanya yang memerintah seperti itu. Azzura hanya menurut saja. Azzura pikir ini hanya sekadar perasaan malu semata....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN