Azzura baru saja selesai mengajar ngaji di rumah Lisa. Lisa merupakan gadis yang waktu itu menemui Azzura di ruangan auditorium. Lisa, mahasiswa semester tiga, jurusan teknik kimia. Gadis itu setingkat di atas Azzura, namun umurnya sama seperti Azzura karena itu Lisa meminta Azzura untuk tidak memanggilnya kakak. Ia lebih senang di panggil Lisa.
“Ayo dong, Zur. Lo harus makan sebelum pulang. Gue gak nawarin tapi maksa,” kata Lisa bersikeras. Menahan lengan Azzura, padahal Azzura sama sekali tidak ingin kabur.
Lisa orangnya ceplas-ceplos, apa adanya, dan friendly hingga tidak heran meski baru mengenal dua minggu, mereka sudah sangat akrab. Lisa bisa mengimbangi Azzura yang tidak terlalu suka berbicara dengan terus berceloteh hingga keadaan menjadi lebih nyaman.
“Makan atau gak pulang! “tegas gadis itu lagi.
“Kamu ini apa-apaan sih, Kak... nawarin orang makan udah kayak ngerampok aja. Kasihan Azzura jadi takut liat tingkah aneh kamu.” sela wanita paru baya—Mama Lisa yang sejak tadi sibuk menata meja makan. Sebenarnya Azzura tidak enak hati cuman melihat saja, Azzura sudah menawarkan diri untuk membantu namun di tolak mentah-mentah wanita paru baya itu. Ia beralibi jika Azzura membantu maka Lisa juga akan ikut membantu. Dan hal itu semacam bencana baginya. Terakhir kali membantu, Lisa memecahkan lima piring. Lisa terlalu energik dan berkat hal itu Lisa sangat di jauhkan dari benda pecah-belah.
Lisa terkekeh. “Kata om Ustadz, kita harus memuliakan tamu, Ma. Makanya Lisa gak bolehin Azzura pulang sebelum makan.”
“Ya, Nak.... makan dulu yuk. Udah dua minggu kamu ngajar baru hari ini kamu bisa makan ‘normal’.”
Lisa mendengus. “Mama nyindir Lisa, ya? Apa maksudnya makan normal ? Pas mama keluar kota, Lisa menjamu Azzura dengan baik kok. Kita makan rendang, soto, kari—“
“Dalam bentuk mie,” potong wanita paru baya itu.
Lisa tersenyum lebar. “Yang penting ada rasanya, Ma.”
“Ayo, nak Azzura kita makan bersama.” Wanita paru baya yang Lisa panggil mama, menggiring tubuh Azzura mendekat ke meja makan.
“Lisa gak di ajakin, Ma? “tanya Lisa yang masih setia duduk di sofa.
“Kalo kamu gak mager, silahkan aja ke meja makan.” Wanita itu tersenyum pada Azzura, sama sekali tidak memperdulikan wajah cemberut yang Lisa berikan seraya berjalan ogah-ogahan ke meja makan.
“Makan yang banyak ya, nak Azzura. Ini tambah udangnya.”
“Makasih tante, udah cukup kok.” jawab Azzura pelan.
“Udah gak usah malu-malu, makan aja. Panggil aja mama, jangan tante. Biar Mama bisa ngerasai punya anak normal gak kayak yang mager tingkat alam semesta.”
“Mama, nyidir Lisa lagi... “ sugut Lisa merasa terpojokan.
“Mama gak ada nyebut label. Tapi kalo kamu merasa sendiri, mama harus apa?”
“Punya anak kok magernya tingkat negara. Ketimbang melangkah ke warteg aja susah banget. Kasihan Zura tiap ngajar di suguhi mie terus,” omel ibu Lisa. “Maaf ya, nak Azzura.”
“Gak papa kok, Ma.... mie juga enak.“ Azzura mencoba membela Lisa. Ia jadi tidak enak hati, karena menjadi alasan perdebatan keduanya.
“Tapi tetap aja itu gak sehat. Bisa usus buntu kebanyakan makan mie,” kata Mama Lisa, peduli. Mama Lisa tersenyum lembut pada Azzura.
“Huft, Mama ih... “ Lisa meraih nasi. “Lisa tuh bukan gak mau, Ma. Lisa kan takut ketemu om Ustadz. Bisa panjang urusannya, Lisa bisa di omelin sepanjang kereta bawah tanah atau setinggi monas. Lisa kan ribet kalo ke warteg aja mesti nyari rok panjang terus jilbab dan segalanya. Lisa kan mager.”
“Kamu itu jadi orang kok magernya gak ketulungan. Timbang nyari rok sama jilbab sebentar aja. Om kamu kan cuman mau ngejaga kamu, biar gak mengumbar aurat. Malah bilang gitu.”
“Iya, iya maaf, Ma... “
“Minta maaf sana sendiri sama om kamu.”
“Loh, om Ustadz mau datang ke sini, Ma? “ Lisa panik. Gadis itu spontan bangkit dari kursi dengan mulut penuh berisi nasi.
“Kamu ini kebiasaan kalo makan berantakan. Cepet duduk. Makan sambil berdiri, gak baik.” Omelan yang sukses membuat Lisa duduk kembali dengan patuh.
“Ma, beneran om Ustadz mau datang? Duh, rok Lisa masih basah lagi, jilbab Lisa juga masih di laundry.”
“Ya udah pakai jilbab yang ada aja.”
“Masalahnya.... semua jilbab Lisa, ada di laundry, Ma.”
“Astagfirullah, Lisa.... kamu kebangetan banget sih.”
“Udah dong Ma, ngomelnya. Om Ustadz mau datang ke sini. Kalo liat lisa gak pakai Jilbab bisa jadi kenyataan mimpi Lisa. Bisa-bisa om Ustadz bawa se-RT buat ruqiah Lisa.”
“Emang kamu mesti di ruqiah. Kayaknya banyak jin yang nempel di rambut kamu, makanya kamu masih gak mau pakai Jilbab,” sindir Mama Lisa, tajam. Meski terdengar tajam, ada getaran kesedihan pada nada suara Mama Lisa. Azzura bahkan tidak sengaja melihat sorot sedih dari sorot tatapan mata wanita paru baya dihadapannya itu.
Berdakwah memang bukan urusan yang mudah. Terutama ini mengenai hati. Ini pekerja paling berat. Manusia hanya bisa berdoa dan menasihati dalam sabar, dan setiap orang memiliki caranya tersendiri dalam menasihati. Dan hanya Allah yang mampu membolak-balik hati manusia.
Mama Lisa sudah berkali-kali membujuk Lisa untuk berjilbab namun gadis itu belum tersentuh hatinya untuk menunaikan kewajibannya itu.
“Setelah makan ini kamu ambil semua jilbab kamu di laundry. Semuanya,” titah Mama Lisa, tidak terbantahkan.
Lisa mengangguk-ngangguk patuh. “Iya, Ma... sekalian Lisa antar Zura pulang.”
Lalu terjadi keheningan. Hanya ada suara dentingan piring dan sendok yang beradu memenuhi ruangan. Setelahnya semua secara bersamaan selesai dengan makannya.
Lisa langsung berpamitan untuk pergi, sebelum itu Lisa menyambar rok panjang, jaket dan topi yang ia gunakan untuk menutupi setengah rambutnya. Lisa tahu, mamanya sangat ingin ia berjilbab dan Lisa berharap suatu saat sesuatu yang ‘keras' di hatinya mulai melembut. Lisa harap hari itu lekas datang sebelum ajal bertamu.
“Hati-hati, jangan ngebut...” pesan Mama Lisa. Lisa sudah duduk di jok motor, menghangat motornya sebelum pergi.
“Ma, Zura pulang ya... “Azzura menyalami tangan Mama Lisa. Selang beberapa detik, hal yang sama juga Lisa lakukan dari atas motornya.
“Ma, jangan marah lagi ya. Maafin Lisa.”
“Iya, Mama gak marah. Udah sana pergi sebelum om kamu datang.”
Tin.. Tin..
“Ma, mobil siapa tuh di luar pagar ?” tanya Lisa. “Kayaknya itu mobil om Ustadz, deh... ”
“Lah, iya, tah... kayaknya om datang lebih cepat. “ Mama Lisa bergegas membuka pintu pagar.
“Duh gawat, harus buru-buru kabur nih... “gumam Lisa. “Zur, buruan naik. Kita harus pergi sebelum negara api menyerang.”
Azzura terkekeh, negara api— ini mengingatkan Azzura dengan kartun yang sering ia tonton di televisi.
“Eh, malah bengong. Buruan Zur, buruan naik.”
“Tapi itu, om kamu baru datang. Kamu gak mau ketemu dulu? Kasihan om kamu udah datang jauh-jauh.”
“Gak..gak perlu Zur. Udah buruan naik, kalo om Ustadz liat aku kayak gini bisa-bisa bukan negara api aja tapi negara air, tanah, udara menyerang. Buruan naik... “gemas Lisa.
Azzura segera mengikuti keinginan Lisa. Bersamaan itu Mama Lisa membuka pagar dengan cepat. Sejurus itu mobil berwarna hitam masuk ke pekarangan rumah Lisa.
“Ma, Lisa pergi ya. Assalamualaikum.... “ Lisa langsung memacu motornya keluar dari pagar, beriringan dengan mobil yang masuk.
Aksi Lisa ini, spontan memicu cuitan pajang Mama Lisa yang protes akan tindakan tidak sopan anaknya pada omnya yang baru saja datang.
“Emang gak ada berubahnya anak itu. Om nya datang bukannya salam dulu malah langsung kabur aja,” omel Mama Lisa.
“Lisa kabur lagi ?”
Azzura menoleh bersama dengan itu Azzura melihat punggung seorang pria keluar dari dalam mobil.
Itu seperti—batin Azzura.
“Zur, kamu syok ya, aku bawa ngebut ?” tanya Lisa tiba-tiba membuat Azzura kembali fokus ke depan.
“Maaf ya, habisnya aku malas banget ketemu Om Ustadz. Om sih baik, cuman... udahlah nanti aja deh, aku ceritai detail lengkap om ku yang satu itu.”
“Gak masalah kok,” jawab Azzura.
“Setelah ini belok kanan kan ?” tanya Lisa. “Kayaknya aku mesti banyak-banyak minum minyak ikan, biar otak aku gak lupa muluk. Udah berkali-kali nganter, masih aja lupa,” gumam Lisa sembari membelokkan stang motor ke arah kanan.
“Kalo minyaknya kamu ambil, entar ikannya jadi pelupa. Kan gak lucu kalo ikan tiba-tiba datang ke darat karena lupa dia tinggal di air,” sahut Azzura.
“Eh—“ Lisa berusaha mencerna kalimat Azzura. Azzura sudah tertawa duluan.
“Iya, ya... kok aku gak kepikiran sih....” Lisa terkekeh setelah menemukan titik lucu dari kalimat Azzura. Azzura tahu sejak tadi Lisa mencoba mencari cara agar tidak terjadi keheningan. Lisa bukan tipe orang yang suka pada hening. Jadi apa saja akan ia bicarakan.
Dua menit lebih bahu Lisa naik-turun karena tertawa. Azzura ikut tertawa, pelan. Tanpa sengaja mata Azzura menangkap sebuah objek yang menyita perhatiannya.
“Giffari ?” gumam Azzura. Mata Azzura menyipit memperhatikan dengan seksama, membiarkan penelusuran lebih lanjut terjadi di kepalanya. Objek yang Azzura perhatikan berdiri di pinggir jalan dengan mata berfokus pada ponselnya. Meski begitu pria itu terlihat awas pada sekitar, hal ini terlihat dari gestur tubuhnya, di bawa dagunya tersampir masker yang baru saja ia turunkan dari wajahnya.
Motor melaju kencang melewati objek itu dan Azzura masih belum mengerti mengapa hasil riset di kepalanya masih bertahan mengatakan itu adalah Giffari. Pria berbaju hitam berdasar kulit mengkilap, rambut yang naik ke atas dan celana jins sobek-sobek pada bagian betis serta rantai yang menjulur membentuk untaian tersampir di saku belakang.
Itu Giffari— otak Azzura bersikeras.
***
“Seperti biasa, Giffari selalu pergi dengan kemeja berkerah model panjang yang dilipat rapi. Penampilan Giffari selalu rapi dan tertata. Giffari sangat memperhatikan penampilan, ia tidak suka jika penampilannya berantakan. Giffari bisa di bilang perfeksionis dalam penampilan.
“Giffari bilang, jika tidak ingin salah dinilai dari cover, maka perbaikilah covernya. Cover memang bukan segalanya, tapi Ustadz dan pereman bisa dibedakan dari covernya, bukan? ”
Azzura termenung. Menimang-nimang percakapannya dengan Delshad semalam.
Giffari tidak mungkin berpenampilan seperti itu— batin Azzura. Lagi-lagi terjadi perdebat kecil di ruang kepala Azzura. Azzura menolak fakta tapi otaknya tetap pada pendirian.
Baiklah. Ini bukan kapasitas kita. Kita mungkin salah atau benar, tapi apa bedanya ? Penampilan rapi dan penampilan sesuai kesukaan bukanlah dosa? Lalu apa perlu kita debatkan—batin Azzura.
Azzura melangkah ringan melewati lorong kampus. Tenggelam dalam pikirannya membuat Azzura tidak sadar bahwa ia sudah hampir tiba di fakultas Sastra. Azzura hanya perlu melewati beberapa kelas untuk sampai di kelasnya.
“Ini harus segera di sembunyikan. Jika tidak akan banyak mahasiswa sini yang nonton dan itu artinya ana gak bisa ke sana.”
Azzura menajamkan matanya, Guffari berdiri di depan mending. Gerak-gerik Giffari terlihat aneh dan hal itu membuat Azzura entah kenapa berjalan pelan ke arahnya.
Kampus masih sepi, hanya beberapa mahasiswa yang lalu lalang tidak sebanyak saat jam sibuk kuliah di mulai. Ini masih pukul tujuh pagi dan biasanya kelas di mulai dari pukul delapan atau pukul sembilan.
“Beruntung ana datang pagi. “Tangan kanan Giffari menarik pelan poster yang bertuliskan konser rock n roll.
“Kenapa di lepas ?“ tanya Azzura spontan.
Giffari terkejut dengan cepat ia menyembunyikan poster di belakang tubuhnya. “Azzura.. “ suara Giffari terdengar tidak stabil.
Azzura tersenyum. “Tumben datang sepagi ini ?”
“Hem. Iya. Takut telat,” jawab Giffari. Entah kenapa Azzura merasa Giffari tidak suka percakapan santai itu. Giffari terlihat gelisah.
“Itu apa? poster ?”
Giffari mengangguk. “A-ana...”
“Kenapa dilepas ? sepertinya itu poster terbaru di mading.”
Giffari diam, pria itu menundukkan.
“Zura, ana mohon jangan beritahu orang lain mengenai hal ini,” suara Giffari terdengar lirih.
***