Udara pagi berhembus sedang, menerpa Azzura yang sedang tersenyum lebar. Gadis itu memeluk selembar kertas dengan senyumnya itu.
“Biar aku tebak. Nyaris sempurna?” tanya Bahia.
“Eh, Bia.”
Azzura tersenyum menyambut kehadiran Bahia yang sedikit mengejutkannya. Gadis itu rupanya sudah ada di sebelah Azzura sejak Azzura keluar dari kantor dosen, ia mengikuti langkah Azzura dalam diam.
“Gimana? “
“Ha? Alhamdulillah.”
“Tuhkan. Kamu mesti jadi guru privat aku, biar aku bisa lulus matkul itu juga. Mau ya.....? “
“Oke,” jawab Azzura.
“Gumawo Zura.. “
“Eh, sekarang kita ada kelas bareng kan?”
“Iya. Tapi dosennya berhalangan hadir. Aku tadi udah cek ke kelas. Kata ketua gitu.”
“Oh gitu.”
“Kamu ada mata kuliah lagi hari ini ?”
“Iya, jam sepuluh mulai matkul kedua.”
“Masih lama dong. Aku juga nih jam sembilan. Kalo pulang, nanggung banget, lelah di jalan aja. Tapi kalo di sini, lumayan masih lama juga sih. Ini baru jam delapan, masih ada satu jam lagi,” gumam Bahia, menimbang-nimbang. “Jadi kamu mau pulang dulu ke kosan? “
“Gak deh kayaknya. Aku mau ngerjain tugas di perpustakaan aja.”
“Tugas apa? “
“Semantik.”
“Itu tugasnya masih deadline dua minggu lagi kan? Kamu cepat banget ngerjainnya.”
“Biar gak numpuk. Takutnya nanti ada tugas lain, tugas ini jadi kelupaan.”
“Oh gitu, ya udah, aku temenin ya...sekali mau baca-baca juga di perpus.”
Keduanya lalu berjalan menuju perpustakaan. Seperti biasa perpustakaan selalu ramai di datangi para mahasiswa dan mahasiswi dari berbagai semester. Semua campur aduk di sana. Meski begitu perpustakaan memiliki aturan yang membuat semuanya tetap kondusif meski ramai pengunjung.
Azzura mengajak Bahia ke rak buku paling sudut di sebelah kiri. Di sana ada beberapa buku yang bisa di jadikan refensi pembuatan tugasnya.
“Hafal banget tempatnya, Zur ? “heran Bahia. “Sering ke sini juga ya? “
Azzura mengangguk. Mata gadis itu sibuk menyusuri buku-buku di raknya. “Tapi gak sering juga sih, Iah. Kadang kalo ada dosen yang gak masuk suka ke sini, ketimbang pulang.”
Bahia manggut-manggut. Ia tergolong mahasiswa yang jarang ke perpustakaan, meski perpustakaan menjadi tempat favorit pertama, et, tapi kantin tetap memegang juara umum pertama. Alasannya, karena perpustakaan terlalu ramai, Bahia lebih suka ke kantin. Meski ramai dia tetap memiliki ruang untuk dirinya sendiri. Ruang di sini maksudnya, Bahia suka mencobai varian menu baru di kantin. Ini tergolong dalam eksperimennya juga, sebagai traveling makanan.
“Oh, gitu.” Mata Bahia kini juga beralih pada deretan buku di rak. “Wah ini n****+ yang aku cari nih.... “ Tangan Bahia langsung menjulur mengambil buku di rak.
“Itu kayak Lisa, deh... “Bahia memicingkan matanya. Ia mencoba memastikan sekali lagi bahwa gadis berambut sebahu yang tengah duduk di meja pinggir, dekat dinding adalah Lisa.
“Susah bet deh.” Suara Lisa menyakinkan Bahia.
“Zur, itu Lisa deh.. ke sana yuk.”
Azzura mengangguk keduanya lalu melangkah berjalan menuju Lisa. Sedangkan Lisa terlihat mengacak rambutnya. Gadis itu menatap kertas dan nyaris ingin menangis melihat jejeran angka di kertas itu.
“Assalamualaikum.”
Lisa menoleh. Bahia dan Azzura sudah berdiri di hadapannya. Lisa berkedip memastikan matanya tidak salah, lalu setelah itu senyum mengembang di wajahnya.
“Waalaikumsalam. Lagi main ke perpustakaan? Atau lagi ada tugas? “
Bahia menarik kursi di sebelah Lisa, sedangkan Azzura memilih duduk di sebrang keduanya. Berhadapan. Azzura mengeluarkan lalu mengeluarkan pensil dan meletakan buku di meja.
“Lagi ngerjain apa sih? Kayaknya fokus banget,” tanya Bahia.
Lisa menghela nafas kuat. Azzura melirik ke arah Lisa. Gadis itu sudah memasang wajah kusutnya.
“Suntuk,” keluhnya. “Aku bener-bener nyesel jadi anak lintas jurusan.”
“Lintas jurusan? “ Bingung Bahia.
“Iya. Aku SMA jurusan IPS, dan sekarang nyaras di teknik kimia. Kamu bisa bayangin gimana ngerinya aku liat deretan angka ini. Huft. Setiap kali ada matkul yang muncul angka, aku bisa keringat dingin, menggigil, panas dalam, kalang kabut. Udah kayak ketemu doi aja.” Lisa menyampaikan semua gundah yang nyangkut di hatinya.
“Tapi, kok bisa masuk teknik kimia?” Kali ini Azzura yang bertanya.
“Hem. Awalnya coba-coba eh malah jadi. Tapi mau gimana, yah... Ekonomi Indonesia mulai mengalami penurunan, tingkat pendidikan masih belum merata keseluruhan wilayah, kucing di komplek juga masih sering jalan sendiri, gak pernah bahwa gandengan. Dan om Ustadz masih aja jomblo.”
“Apaan sih, Lis... “ Bahia cekikikan. “Serius, kenapa kamu bisa masuk teknik kimia ? Jangan bilang kamu beneran iseng ?”
Lisa mengangguk semangat, “unlimited like buat Bahia. Aku emang iseng doang ngerjain soal IPA. Aku juga cuman ngitung kancing, tapi eh, gak tahunya mereka anggep serius. Mereka mah gak bisa di ajak bercanda. Aing, pusing... “Lisa nangis bombai. Mendramatis keadaan.
“Serius, Iah, Zur. Aku teh cuman iseng doang.”
Bahia cekikikan.
“Kamu liat angka-angka ini...huft, aku teh gak paham. Ini sulit. Lebih sulit dari kode pin ATM om Ustadz atau nomor ponsel om Ustadz.”
“Kamu hafal pin ATM om kamu? “
“So yes, jadi kadang kalo lagi mepet bisa lah di gesek... “Lisa tersenyum dengan wajah tidak berdosa.
“Om Ustadz tahu? “ tanya Bahia.
“Hem, entah kan dapat info kalo tarik uang. Ya, om Ustadz tahunya dari situ....Om Ustadz baik kok. Paling cuman bilang Astagfirullah, punya keponakan kok cantik banget tiada tara kayak Lisa, masyallah beruntung Om Ustadz,” jawab Lisa ngacau.
Bahia tertawa, sedangkan Azzura tersenyum di balik buku tebal bacaannya.
“BTW, Zura kamu mau nomor ponsel om Ustadz gak? “
“Ha? Buat apa? “tanya Azzura spontan. Mata gadis itu membulat sempurna.
“Atau nomor pin ATM om Ustadz ? Jadi entar pas udah nikah, gak perlu repot mau belanja,” sambung Lisa.
“Mau gak Zur ?” goda Lisa. Bahia gagal fokus pada n****+, di tangannya. Ia baca halaman lima dan tidak beralih-alih ke lembaran baru karena celoteh lucu Lisa.
“Udah Lis, kasihan Azzura. Entar gadis flower malu kalo kamu ceg-cegin terus.”
“Namanya usaha, Iah. Siapa tahu om Ustadz sama Azzura jodoh.” Lisa nyengir lebar.
“Aamiin.....,” sahut Bahia.
“Gak Aamiin juga, Zur ?”
Azzura tertegun. Dalam hati, diam-diam ia meng-aamiin-kan perkataan Lisa. Hatinya berharap itu, namun otaknya terus menolak. Azzura merasa tidak pantas untuk itu. Dan ia mencoba sadar diri. Gadis dengan masa lalu kelam, sangat sulit untuk dimaafkan, bahkan oleh dirinya sendiri.
“Eh, si gadis flower malah bengong.” Lisa mengejutkan Azzura dari lamunan panjangnya.
Azzura hanya membalas perkataan Lisa dengan senyum tipis.
“Eh, aku ke kelas ya, udah mau jam sembilan nih... Assalamualaikum,” pamit Bahia.
“Waalaikumsalam, hati-hati, Iah..., “ sahut Lisa lalu di susul suara pelan Azzura.
“Zur, hobi kamu belajar ya? “
“Eh, emang belajar itu kategori hobi ?”
“Ehm, Kayaknya dalam kamus besar definisi Lisa sih, iya. “
Azzura menggeleng-geleng. “Belajar itu kewajiban Lisa, terutama buat kita seorang penuntut ilmu. Ilmu bisa di dapat dari belajar, jadi belajar itu penting.”
“Tapi lelah... “
“Lebih baik lelah karena belajar dari pada lelah karena bodoh.”
“Ehm, iya, deh...” Lisa mengalah. Gadis itu kini malah sibuk memainkan pulpennya.
“Zur, aku mau curhat ....”
“Curhat apa?” tanya Lisa. “Kamu mau aku jadi pendengar aja atau mau minta saran juga? “
“Hem, saran dan pendengar.”
“Oke... “
“Sebagai anak lintas jurusan, aku banyak banget unek-unek yang mangkat di hati. Aku teh kadang suka banget minder, apa lagi pas lagi proses KMB, proses pembelajaran. Rasanya tuh aku kayak mainan orang kepalanya ngangguk-ngangguk aja. Tapi sedikitpun gak ngerti apapun. Apa lagi kalo udah masuk segala hiruk pikuk pelajaran IPA. Aku teh berada b**o banget, gak ngerti sama sekali.”
“Aku rasanya pen nangis, sambil makan cokelat dan nonton drama curhatan hati seorang istri aja. Biar nangis bareng. Ku menangis..... “
“Membayangkan, betapa kejamnya angka itu padaku... “Lisa malah nyanyi.
“Oke, apa sekarang aku boleh kasih saran? “
Lisa mengangguk.
“Kamu di sini itu bukan iseng doang Lis. Kamu bisa masuk ke jurusan teknik Kimia, bukan karena ‘ketidaksengajaan’ tapi semua itu udah takdir dari Allah SWT. Allah tahu, kamu pasti bisa, makanya Allah lulusin kamu di jurusan ini. Selalu ada hikmah di balik peristiwa Yakin satu hal, sesulit apa pun, pada akhirnya Allah akan membuat setiap hambanya tersenyum.”
“Ehm, iya sih... sebenarnya aku emang tertarik sama teknik kimia.”
“Jadi kamu gak boleh mundur ! Semangat terus... Insyallah kamu pasti bisa. Fighting... “
“Fightinggggg....” seru Lisa, pelan. Gadis itu lalu tersenyum lebar.
“Zur... I have one question again.”
“Iya ? “
“ But, promise me. Kamu gak akan marah? “ Lisa menatap Azzura, gadis itu mengubah posisi duduknya. Wajahnya terlihat serius.
Azzuar mengangguk, ia kini fokus menanti satu pertanyaan yang akan Lisa lontarkan.
“Apa kucing bisa jatuh cinta juga? “
Azzura bengong.
“Ini menganjal banget, di hati aku Zur. Kucing di deket rumah aku kayaknya mau nikah. Tapi ya itu, katanya nikah gak bisa tanpa cinta ? Terus Gimana cara mereka jatuh cinta? Kalo mereka gak cinta-cinta, Gimana bisa nikah dan punya anak? Populasi kucing bisa terancam kalo gini. Apa aku harus turun tangan buat, jodohin mereka, PDKT biar mereka jatuh cinta gitu?”
Tawa Azzura lepas, matanya menyimpit karena desakan pipi yang terangkat ke atas. Wajah Lisa yang serius, dengan pertanyaan yang super duper aneh melengkapi alasan mengapa Azzura tertawa selepas ini, hingga terlihat giginya.
“Gimana Zur? “ Lisa masih dengan wajah super seriusnya.
Azzura perlahan menghentikan tawanya. Lisa membangkitkan jiwa akting yang ada. “Ya, aku rasa kamu mesti turun tangan. Kamu harus buat mereka saling suka. Kamu bisa tuh kasih CV pribadi kucing yang mau kamu jodohi. Mungkin aja, melalui cara ini mereka bisa saling mencintai dengan jalan yang Allah ridhoi.”
“Oh gitu ya....” Lisa manggut-manggut, dramatis. Persis seperti para pejabat yang duduk di kursi panas.
“Kamu mau? “tanya Lisa, tiba-tiba.
“Ha? Mau apa? “
“Mau aku bantu juga, barangkali... “