Aariz memandangi rerumputan hijau yang nampaknya akan segera di potong oleh bagian kebersihan.
“Tidak kamu kejar, gadis itu? “
Aariz menggeleng. Tatapan Aariz kini beralih pada pria paru baya yang membawa gunting rumput dan alat kebersihan lainnya. Pria paru baya itu kini nampak sibuk mempersiapkan segalanya sebelum memulai tugasnya.
“Kenapa? Kayaknya menurut Bapak gadis butuh seseorang di sampingnya.”
Aariz menatap punggung Azzura yang semakin lama semakin jauh.
“Bapak butuh bantuan? “tanya Aariz, dia berjongkok menyamai posisi pria paru baya itu.
“Ah, gak perlu. Ini sudah tugas Bapak. Tugas kamu di sinilah cuman belajar.” Pria paru baya itu tersenyum lebar.
“Tidak masalah Pak. Menjaga lingkungan juga tugas setiap orang di sini. “
Pria paru baya itu tertawa renyah. “Tapi ini ancaman untuk Bapak, Nak. Kalo pihak kampus sampai lihat kamu dengan cekatan memotong rumput, bisa-bisa pamor Bapak turun deh. Pihak kampus pasti lebih milih kamu dari pada Bapak.”
Aariz tertawa pelan.
“Kayaknya kamu bukan mahasiswa fakultas teknik ya ? Bapak jarang lihat kamu lewat sini.”
“Iya, Pak. Saya hanya ada kepentingan tadi di sini. Saya mahasiswa fakultas sastra, di gedung sebelah.”
“Oh... kalo boleh Bapak tahu, emangnya ada urusan apa? “
Aariz terdiam. Keheningan mengisi ruang di sana. Aariz tengelam dalam lamunannya.
“Hahahha, maaf ya Nak, kadang jiwa wartawan Bapak suka muncul gitu aja.”
“Bapak wartawan ?”
“Dulu.” Pria paru baya itu tersenyum lebar. “Sekarang mah udah pensiun. Enakan bersih-bersih ketimbang lari sana sini buat cari berita.”
“Apa gadis tadi juga satu fakultas sama kamu? “
“Iya, Pak.”
“ Ada masalah? “
“Hem...”
“Wanita itu seperti kaca. Mereka amat rapuh. Jangan diabaikkan hingga berdebu, dan jangan disakiti hingga retak.”
“Mau tahu kenapa Bapak lebih memilih melepas pekerjaan wartawan?”
Aariz menoleh.
“Dunia ini begitu kejam. Bahkan pada wanita yang memberikan kontribusi besar akan berkembangnya kehidupan di dunia. Kamu tahu kenapa?”
“Karena wanita amat kuat. Kekuatan tidak terpancar dari otot dan kekuatan fisiknya. Wanita kuat dengan kelembutannya. Kelembutan, kasih sayang, dan kesetiaan wanita adalah kekuatan terbesar, yang mampu mendorong laki-laki sebagai pemimpin dunia.
“Sering dengar kisah Nabi Adam dan Siti Hawa ?”
Aariz mengangguk.
“Di surga tempat paling indah, tempat di mana semua ada di sana. Sebuah kenikmatan yang tidak bisa di bayangkan oleh akal dangkal manusia. Secara logika, nabi Adam seharusnya tidak merasa sedih di sana, beliau memiliki apa pun yang diinginkan di surga. Namun seindah apa pun surga, nabi Adam kesepian, ia butuh seorang wanita untuk menemaninya. “
“Wanita diciptakan dari tulang rusuk pria, dekat dengan hati untuk dicintai.”
“Lalu apa hubungan itu dengan pensiun dini, Bapak? “tanya Aariz.
Pria paru baya itu tersenyum. “Kita belum berkenalan bukan? Saya Pak Zaini. Siapa tahu kelak kita akan bertemu lagi.”
Pria itu bangkit. Aariz ikut melakukan hal yang sama.
“Tugas Bapak sudah selesai, nanti saat waktu mempertemukan kita, kita akan sambung ceritanya.”
Aariz mengendarkan pandangnya. Rupanya benar, rumput-rumput itu sudah tidak panjang lagi. Aariz bahkan tidak menyadari hal itu. Semua seolah berjalan sangat cepat.
“Profesi yang dicintai lebih baik dari profesi yang pandang tinggi,” kata pak Zaini. Pria itu bahkan sudah memasukan semua peralatan di dalam tas dan sudah memunggunginya.
“Kalo begitu, Bapak pergi ya....jaga dirimu anak muda.” Pak Zaini menempuk pelan pundak Aariz. “Jangan lupa, jika kamu tidak repot, tolong jaga gadis itu juga.”
Aariz tertegun. Entah kenapa setelah mendengar perkata pak Zaini yang kini sudah menghilang, refleks membuat Aariz berlari menyusuri jalan yang Azzura lewati tadi.
Aariz tergesa-gesa berlari, ia berharap bisa menemukan Azzura. Aariz melihat ke sana, kemari. Ia belum juga melihat keberadaan Azzura. Aariz tiba-tiba menyesal membiarkan Azzura pergi begitu saja. Aariz tidak tahu apa yang tadi terjadi. Tapi ia tahu itu bukan hal sepele.
Aariz mengendarkan pandangan, dan tidak terduga, ia menemukan Azzura. Gadis itu berjongkok di sebelah tong sampah. Wajahnya tidak terlihat, ia menutupi wajahnya dengan menenggelamkan wajahnya di kedua lututnya.
Aariz berjalan mendekat, terdengar suara isak tangis di sana. Aariz ragu untuk menegur Azzura. Gadis itu sedang menangis. Dan luapan kesedihan terbaik adalah menangis. Aariz lalu diam, berdiri di depannya, menghalangi sinar matahari sampai pada gadis itu.
Satu jam berlalu begitu saja. Azzura masih dengan tangisnya. Aariz rasa ia harus segera menyuruh Azzura untuk pulang. Menangis terlalu lama juga tidak baik untuk kesehatan dan terlebih menangis tidak akan menyelesaikan masalah apa pun.
“Hem... pulanglah...”kata Aariz pelan.
Suara tangis Azzura berhenti. Azzura mengangkat kepalanya, betapa terkejutnya ia melihat punggung Aariz berada di depannya.
“Meluapkan kesedihan dengan menangis memang tidak salah. Tapi jika berlebihan itu juga tidak baik. Pulanglah. Sayangi tubuhmu sendiri. Tubuh punya hak untuk istirahat,” kata Aariz. Ia sama sekali tidak menoleh saat mengatakan kalimat itu.
Mata Azzura sembab. Matanya terasa perih, memangnya sudah berapa lama ia menangis? Dan sejak kapan Aariz di sana ? Azzura berdiri dengan tubuh ringgi. Azzura berusah untuk tetap melangkah. Ia harus kuat. Ia gadis kuat, bukan gadis lemah.
Aariz menoleh, setelah mendengar derap langkah kaki Azzura yang sudah menjauh.
Aariz melihat punggung Azzura yang berjalan menjauh. Setelah di rasa cukup, sekitar dua meter jarak keduanya, Aariz baru berjalan untuk pulang. Aariz tidak bermaksud mengikuti Azzura. Ia memang ingin pulang sekarang. Dan kebetulan Azzura dan ia searah.
Aariz sengaja memperlambat langkahnya, entahlah kenapa, padahal matahari begitu teriknya bersinar di atas sana. Aariz refleks mengangkat kepalanya, matanya langsung bertemu sinar matahari, hal ini sukses membuat mata Aariz sedikit mengecil, karena silau.
Dia di mana? Aariz mengendarkan pandangnya. Ia rasa dalam kondisi seperti ini Azzura tidak mungkin berjalan dengan sangat cepat.
“Kemana gadis itu? “ gumam Aariz. Ia melangkah cepat menuju tempat terakhir Azzura terlihat. Pandangan matanya terus mengedar. Terdengar suara azan Dzuhur menyapa telinga Aariz. Bertepatan di sebelah Aariz berdiri ada masjid yang cukup besar.
“Salat dulu, Riz. “
“Astagfirullah—“ Aariz spontan memegang dadanya, terkejut. Azzura benar-benar mengejutkan Aariz. Gadis itu berdiri di tangga masjid.
“Aku akan salat di sini dulu, sebelum pulang.” Azzura tersenyum tipis. Wajahnya terlihat lebih segar sekarang, Azzura sudah mengambil wudu tadi.
“Sebaiknya kamu juga salat zuhur dulu sebelum pulang ke kos.” Azzura berbalik, memasuki masjid.
Aariz tertegun beberapa detik. Ia tertegun memikirkan sesuatu yang sekali lagi, entah apa. Lalu setelah itu Aariz menggerakan kakinya untuk melangkah masuk ke dalam masjid. Menunaikan kewajibannya sebagai hamba. Beribadah kepada Allah SWT.
Setelahnya, Aariz mengambil sepatu, hendak pulang. Azzura datang menghampiri Aariz.
“Aku ada janji dengan Lisa. Setelah ini aku akan ke rumahnya sebentar,” kata Azzura dengan senyum yang dipaksa hadir. “Riz, kamu bisa pulang duluan sekarang. Jangan cemaskan apapun.”
Alis Aariz terangkat. Ia tidak suka kalimat itu, ada makna tersirat yang Aariz maknai, kalimat itu seolah menuduh ia sebagai ‘penguntit', padahal semuanya memang terjadi kebetulankan ?
Aariz tidak menjawab. Ia melangkah pergi setelah selesai memasang kaos kaki dan sepatutnya.
“Terima kasih,” kata Azzura pelan. Dan jelas itu menghentikan langkah Aariz. “Dan maaf,” sambung Azzura.
Untuk pertama kalinya Aariz menoleh, sedangkan Azzura tidak bergeming, Azzura yang sejak tadi menunduk tidak menyadari hal itu. Ia malah sibuk memainkan ujung ranselnya. Gadis itu benar-benar berusaha agar terlihat tegar, nyatanya ia selalu gagal.
“Apa boleh terima kasih itu di ganti dengan langsung pulang? “
“Ha? “Azzura terkejut.
Aariz kembali membalikan tubuhnya, membelakangi Azzura. “Pulanglah langsung ke rumah. Itu lebih baik. Ingat keadaan sendiri, jangan terlalu memaksa.”
“A-aku sudah janji pada Lisa.”
“Biar, aku katakan langsung pada Lisa, kamu tidak bisa ke rumahnya hari ini.”
“T-tapi—“
“Pertimbangkan ini untuk dirimu sendiri.”
Apa yang Aariz katakan benar. Azzura memang tidak sedang dalam keadaan baik untuk bertemu Lisa. “Baiklah...”
“Sekarang pulanglah.”
Azzura mengangguk. Keduanya lalu kembali berjalan dengan arah berbeda. Azzura berjalan ke depan, dan Aariz berjalan sebaliknya. Mereka kembali berada pada jalan yang berbeda. Saling bertolakan.
Azzura menoleh, dan memperhatikan punggung Aariz yang berjalan menuju rumah Lisa. Azzura juga langsung mengirim pesan pada Lisa memberi tahu ketidakbisaanya untuk datang.
“Terima kasih lagi... “gumam Azzura. Dan benar-benar melangkah pada jalanya.
Sesampainya di rumah bu Nirmala, Azzura bisa bernafas lega, Bu Nirmala dan Bahia sedang tidak ada di rumah. Hal itu menyelamatkan Azzura dari mana mata sembab itu ia dapatkan. Dan Azzura masih belum siap untuk membuka masalah apa pun.
Azzura bergegas ke kamar dan mengunci pintunya dari dalam. Ia tidak ingin, jika tiba-tiba Bahia masuk ke kamarnya dan melihat kondisi Azzura ini. Azzura mematung di depan cermin. Ia kembali mengingat mengenai ancaman dosen itu. Mengenai foto-foto itu. Jika saja Azzura tidak terikat pada hubungan apa pun, Azzura tidak akan gentar dengan ancaman ini. Ia tidak takut, itu memang masa lalunya, bagaimanapun ia harus berani menghadapinya. Namun sekarang berbeda, bukan hanya nama Azzura yang ia jaga, melainkan nama keluarga Azka juga—calon suaminya.
Meski Azka tidak pernah melihat siapa seseorang dari masa lalunya. Namun bagaimana dengan yang lain. Bagaimana pendapat mereka saat tahu, ternyata calon menantu mereka adalah mantan PSK. Bagaimana cara mereka untuk menerima kenyataan pahit ini. Bahkan Azzura sendiri membutuhkan banyak waktu untuk memaafkan dirinya sendiri. Bagaimana dengan mereka?
Lagi. Azzura terisak. Sendirian. Tanpa sandaran, dan tanpa tempat berpijak.
Dret... Dret...
Ponsel Azzura berdering. Azzura memaksakan dirinya untuk mengecek ponselnya.
Nomor tidak di kenal. Azzura ketakutan.
“H-halo... “
[Temui aku jika tidak ingin foto ini tersebar.]
Klik.
Azzura segera mengecek pesan masuk di ponselnya. Mata Azzura membulat sempurna, tangannya mendadak lemas hingga ponselnya terjatuh di lantai.
[Hay. See you, Razu. Hotel bulan blue.]
[I waiting you. Please don’t make me bored in the place. I afraid doing mistake, klik.... “
[Jangan jual mahal, Razu. Kartu asa ada di tangan saya. Reputasi dan semua akan lenyap dengan satu klik saja.]
Jangan macam-macam! Tulis Azzura dengan tangan gemetar.
[ Datang atau semua akan hilang. Semua akan batal. Termasuk rencana pernikahan kamu. ]
Serangan kecemasan mendatangi Azzura. Tanpa pikir panjang Azzura pergi menuju hotel itu. Ia tidak berpikir resiko atau apa pun. Dipikirannya hanya satu, bawah ia hendak menjaga nama baik keluarga Azka. Azzura tidak ingin noda yang menempel pada masa lalunya menjadi noda melekat pada keluarga Azka. Mereka semua orang baik. Dan Azzura tidak ingin semua itu tercoreng.
Di hotel, Azzura digiring dosen itu untuk mengikuti arahanya. Azzura dipaksa masuk ke dalam hotel nomor dua puluh tiga. Azzura sudah mempersiapkan diri untuk melawan jika dosen itu sampai berbuat asusila padanya. Setidaknya Azzura memiliki kealihan sabuk kuning untuk melindungi dirinya sendiri.
Tiga puluh menit berlalu tidak ada apa pun. Azzura hendak keluar, tapi tiba-tiba tiga pria masuk tanpa sepatah kata apa pun. Mereka menyebar ke dalam kamar. Di belakang kursi, di dalam kamar mandi dan di dalam lemari.
Suara decitan pintu terdengar dari luar. Azzura menoleh. Tangan Azzura memutar gagang pintu. Namun terlepas, pintu dibuka secara paksa. Tubuh Azzura sedikit terhuyung ke belakang pintu. Orang berseragam, mendesak masuk. Kilatan cahaya kamera menutup penglihatan Azzura.
“Kamu ditangkap.”
Suara itu mengintupsi Azzura lalu sesuatu melingkar di tangan Azzura, begitu saja.
Masih dengan ketidakpahaman, Tubuh Azzura di giliring ke luar kamar. Azzura mengedarkan pandangnya. Hotel itu nampak ramai. Para gadis berbaju mini menundukkan dengan gelang tangan yang sama seperti Azzura. Ada yang menangis, memelas, ada yang memberontak mengatakan ia bukan salah satu dari mereka. Dan ada yang diam membisu seperti Azzura. Azzura mulai mengerti satu hal. Ia dijebak.
***
“Azzura.... “ Bahia langsung memeluk tubuh Azzura. Bahia terisak. “Maaf, maaf tidak bisa menjaga mu...,” sesal Bahia di sela tangisnya.
“Azzura, kenapa ini bisa terjadi? “tanya Giffari yang berada di sebelah Bahia. Di belakang Giffari terlihat Aariz dan Delshad, menanti jawaban Azzura.
Azzura menggeleng lemah. Ia tidak tahu mengenai jaringan PSK di hotel itu dan mengenai pengrebekan ini.
“Siapa tiga pria yang ada di dalam kamar itu? “tanya Aariz pelan.
Bahia melepas peluknya. Ia menoleh pada Aariz. “Jelas Azzura dijebak. Apa maksud kamu mempertanyakan hal itu! “kesal Bahia.
Aariz menghela nafas panjang. “Menurut berita yang beredar, itu ketiga pelanggan Azzura.”
Azzura tertohok. Tuduan keji apa ini. Bahkan Azzura tidak mengenali ketiganya.
“Kamu ke sini untuk Azzura, atau untuk berita itu! Semua berita itu bohong,” teriak Bahia kesal. Denyut jantungnya berdetak cepat, terdengar dari suara pendeteksi jamnya yang berbunyi nyaring.
“Bahia... “ Azzura menenangkan Bahia.
“Aku percaya padamu Zura. Apa yang media katakan, semua tidak benar,” lirih Bahia.
Giffari mengangguk. “Media masa masa memang kejam. Mereka tidak punya hati seperti manusia. Kasus seperti ini sudah banyak ana temui di media masa. Orang-orang dijebak dan dipersalahkan bukan hal baru untuk sebuah judul berita. “Ana juga berada dipihak mu, Zur.”
“Aku tahu kamu orang baik Zur. Semoga semua ini lekas berakhir.” Delshad tersenyum tulus.
Azzura terharu. Tidak menyangka mereka mempercayainya, saat dunia lebih memilih apa yang terlihat, mereka justru tidak berpijak pada apa katanya.
“Dosen itu...aku harus pergi sekarang,” gumam Aariz.
Aariz melangkah pergi. Ia tahu awal dari permasalahan ini. Aariz memutar langkahnya, berlari ke kampus. Mencari dosen itu.
“Cari dosen itu? “ tanya pak Zaini. Aariz mengangguk dengan nafas memburu.
“Dia ada di perpustakan.” Dengan cepat, pak Zaini menahan lengan Aariz yang hendak pergi dengan membawa amarah.
“Ingat, air yang mendidih tidak akan menyelesaikan apa pun. Itu hanya akan membawa kerusakan. Jangan tambah masalah dengan masalah. Selesaikan segalanya dengan akal, bukan otot.”
Aariz melihat pak Zaini.
“Bapak tahu....jangan jadi seperti ikan yang mudah terpancing.” Pak Zaini melepas lengan Aariz.
Aariz segera ke perpustakaan. Matanya langsung menangkap sosok yang sejak tadi ia cari.
“Tersenyumlah hari ini, Pak, karena besok mungkin Bapak tidak akan tersenyum lagi. Kebusukan tidak akan bisa disembunyikan. Saya berjanji untuk membokar bau busuk itu,” kata Aariz pelan.
Dosen itu tersenyum, mengamati wajah Aariz dengan senyum itu. “Rupanya kamu juga lupa siapa aku, Ar?”