Ayumi mundur menjauh dari pintu kamar mandi. Ia melihat sosok yang saat ini menakutkan di matanya. Ayumi belum pernah melihat Hideki menyeramkan seperti saat ini, seperti bukan paman yang selama ini dikenalnya.
"Oji-san ..." bisik Ayumi. Meminta Hideki berhenti mendekatinya.
Permintaan tidak lengkap itu ditolak, dan Hideki menyambar ponsel Ayumi, melemparkan ponsel itu ke tembok kamar mandi, ambyar menjadi kepingan.
"OJI-SAN!" Ayumi memekik.
“Ini milikku! Kenapa kau melakukannya?” Ayumi jatuh terduduk, meratap sambil memungut remahan ponsel miliknya itu. Tidak ada yang selamat, layarnya retak parah, dan beberapa komponennya tidak lagi utuh,
“Pria itu tidak pantas untukmu! Keluarga itu sampah! Kau tidak perlu kembali.” Hideki menarik tangan Ayumi, memaksanya berdiri dan menepis remahan ponsel dari tangannya.
“Aku mau kembali! Aku istri Kaitto!” Ayumi menyentak tangan Hideki, dan berusaha menjauh, tapi Hideki berhasil mencengkeram pipinya.
"Apa yang membuatmu memuja pria sampah itu? Apa yang membuatmu begitu tergila-gila sampai kau mau hidup tersiksa bersamanya?!" bentak Hideki.
“Aku tidak tersiksa, Oji-san," isak Ayumi.
"Kaitto mencintaiku, kami saling mencintai. Aku bahagia bersama…”
“OMONG KOSONG! Pria itu tidak melindungimu! Pria itu hanya diam saat ibunya yang keji itu menyiksamu! Kau sebut itu cinta?!" Hideki menyela keras.
"Kau tinggal disini, sampai aku mengizinkan kau pergi!" Hideki sudah berbalik, tapi Ayumi menarik tangannya, tidak terima dengan keputusan searah itu.
“Tidak mau! Bagaimana bisa aku tinggal setelah semua itu?!" Ayumi berseru keras. Menyerukan hal paling menjijikkan yang sejak tadi mencoba dihindarinya. Selain ingin kembali pada Kaitto, Ayumi tidak bsia membayangkan akan tinggal lagi bersama pamannya setelah kejadian menjijikkan itu.
Ayumi belum sempat menangis, tapi apa yang dikatakan Karina sejak tadi bergema dalam kepalanya. Ayumi tidak bisa membayangkan harus menghadapi orang tuanya seperti apa nanti, setelah apa yang dilakukannya itu.
Tangan Hideki kembali terulur, Ayumi sudah tersentak---takut pada apa yang akan dilakukannya, tapi Hideki hanya merangkum pipinya.
"Kau ingat? Kau ingat apa yang terjadi tadi malam?" Hideki menatap tajam mata Ayumi.
Ayumi mengunci mulutnya dan memalingkan wajah. Sampai kapanpun Ayumi tidak akan mengakuinya, tapi memang perlahan ingatan itu kembali. Tidak hanya tanda di tubuhnya, Ayumi mengingat potongan ingatan yang mengerikan sekarang, termasuk bagian dimana dirinya merayu Hideki, membuka gaun tidurnya dihadapan Hideki.
Ayumi mual, kalau bisa ingin memotong otaknya, agar bagian itu bisa dilupakan dengan sempurna. Ia tidak ingin ingatan menjijikkan semacam itu tinggal di dalam kepalanya.
“Kau ingat rupanya." Hideki mengartikan sendiri diamnya Ayumi.
“Ingatan itu seharusnya memberi tahu kalau kau adalah milikku sekarang,” desis Hideki.
Berbeda dari Ayumi, ingatan Hideki sangat jelas termasuk detail bagaimana tubuh Ayumi bergerak menanggapi nafsunya. Kini tubuhnya kembali bereaksi, ingatan itu kembali dengan jelas, karena aroma tubuh Ayumi sangat jelas menyapu hidungnya saat ini. Mungkin pengaruh dupa yang dipasang Karina belum sepenuhnya musnah dari kepalanya, karena hangat tubuh Ayumi seolah menggoda tubuhnya.
Ayumi menggeleng, dan mengernyit. Ia melihat bagaimana mata pamannya berubah. Tidak lagi tajam, tapi tidak normal juga. Ayumi mendorong tubuh Hideki akhirnya, akhirnya sadar juga kalau mereka terlalu dekat.
"Aku ingin pulang." Ayumi lupa mereka berdebat tentang apa, tapi akan tetap menginginkan pulang untuk saat ini, dan sayangnya Hideki juga bersikeras. Wajahnya yang sempat melembut, kembali tajam dengan rahang menggertak.
“Apa perlu aku memaksa agar kau bisa berpikir jernih? Apa perlu aku membuatmu menjerit nikmat, sampai kau melupakan pria tidak berguna itu?” Hideki kembali maju, dan kali ini Ayumi melihat kilasan nafsu di mata pamannya.
“TIDAK!” Ayumi mencoba menghindar, tapi Hideki dengan mudah meraih tubunya. Hideki menarik kain lengan Ayumi, dan merobek lengan itu, menampakkan kulit bahunya.
“OJI-SAN, hentikan!
Ayumi berusaha melawan saat Hideki berusaha menghirup lehernya. Ia mendorong, berteriak dan merintih, sedang Hideki seolah tuli. Kabut yang semalam menganggu pikirannya seakan datang lagi, menghamburkan aroma Ayumi yang menggoda,
“OJI-SAN!” Ayumi menjerit sekuat tenaga, dan mencakar lengan Hideki, dan akhirnya pamannya itu diam. Seolah kesadaran baru saja masuk ke dalam tubuhnya.
Hideki mundur sambil menghela napas, menggeleng dan memukul kepalanya beberapa kali, memaksakan kesadaran.
Ayumi melihat semua itu sambil meringkuk dan menangis di samping bathtub terisak, antara lega dan takut.
“Aku akan mengantar." Hideki keluar begitu saja, tanpa membahas apapun.
Isakan Ayumi berhenti mendadak, kebingungan, tapi sebaris kehangatan muncul setelah sejak tadi hanya melihat badai.
Ayumi berdiri, keluar dari kamar mandi dan menghampiri almari. Ia menyambar jaket sembarangan dan memakainya. Tidak peduli milik siapa asalkan bisa menutupi pakaiannya yang compang-camping. Jaket itu besar, kemungkinan milik Hideki.
Setelah itu Ayumi keluar menentang tas, dan mendapati Hideki telah menunggu diluar dengan mobil di depan gerbang.
Tubuh Ayumi masih gemetar, tapi tetap memberanikan membuka pintu mobil dan duduk. Sulit melupakan apa yang tadi akan dilakukan pamanannya. Dalam ingatan Ayumi, pamannya tidak pernah bersikap seaneh itu, pamannya selalu baik dan memanjakan ya. Sikapnya hari ini sungguh diluar bayangan Ayumi. Seakan ada sesuatu yang runtuh dan memunculkan Hideki yang sama sekali asing untuk Ayumi.
Hideki tidak bicara sepatah katapun, ia fokus pada jalan, sampai mereka berada di depan rumah Kaito. Tanpa berpamitan, Ayumi berlari keluar, menuju gerbang rumah Kaito.
Ayumi mengetuk dan menekan bel, berharap Kaito masih di rumah, ia tidak ingin bertemu ibu mertuanya---Kaede. Sudah cukup buruk yang dialaminya sepanjang pagi tadi. Tapi harapan itu terlalu manis, saat pintu gerbang katyu itu berayun membuka yang muncul adalah Kaede dengan wajah memerah marah.
“Untuk apa Jalang sepertimu kembali? Dasar murahan! Cuh!”
Ludah terbang dari bibir Kaede, membasahi wajah Ayumi yang sudah pucat. Hinaan itu menghancurkan sisa jiwa Ayumi yang sejak tadi mencoba bertahan. Kaede tahu, dari hinaannya itu berarti Kaede tahu.
"Aku mencoba bersabar saat tahu kau mandul, tapi ini balasan ya?! Kau menjadi lebih menjijiikan dari pada anjing dan tidur dengan pamannmu sendiri?!' bentak Kaede.
“TIDAK! Aku tidak melakukannya! Sungguh, Oka-san…” (Ibu)
“Kau ingin aku percaya setelah melihatmu pulang saat pagi memakai baju pria lain? Kau bahkan tidak malu memamerkannya!"
Kaede menarik lengannya jaket yang kebesaran itu. Terlihat kalau memang jaket itu milik pria. Pilihan sembarangan Ayumi untuk memantaskan diri, ternyata menjadi bumerang.
“PERGI! Aku tidak butuh menantu yang dengan murah membuka kakinya untuk pria lain, apalagi tidak peduli pada moral sampai menerima pamannya juga!"
Kaede meludah ke wajah Ayumi sekali lagi, lalu menarik koper yang ada di balik pintu, melemparnya ke jalan.
"Sudah cukup! Jangan membawa sial lagi ke rumah ini!" Kaede membanting pintu tepat di depan wajah Ayumi yang mencoba untuk memohon lagi.
“TUNGGU! OKA-SAN! Jangan usir aku! OKA-SAN!” Ayumi menggedor pintu itu dan kembali menangis dengan putus asa untuk kesekian kali.
“Anata---Kaitto-anata! Apa kau di dalam? Tolong aku! Izinkan aku menjelaskan! Kaitto-kun!"
Permohonan itu hanya bertemu angin, pintu itu tidak bergerak, tidak membuka saat Ayumi berusaha mendorongnya. Sudah tidak mungkin, Ayumi tidak bisa kembali ke dalam sana. Kehidupannya, semua yang diperjuangkannya berakhir dalam sekejap mata.
"Kaitto-kun, aku mohon..."
Ayumi terisak, tapi tidak tahu juga harus mengatakan apa setelah itu. Ayumi ingin bertemu Kaitto, tapi dalam hati ia belum Menemukan cara untuk menjelaskan kesalahannya. Adalah kesalahannya sendiri yang membuat pernikahannya hancur.
Menahan isakan agar tangisnya tidak berubah menjadi rintihan, Ayumi luruh dan berjongkok di hadapan pintu itu, sementara kedua tangannya mencengkeram koper yang tadi dilemparkan oleh Kaede. Ia mengusap wajah, menghapus bukan hanya air mata, tapi juga keringat dan ludah Kaede.
Tidak ada yang tersisa, kehidupannya itu tidak lagi ada.
"Aku harus apa?" rintih Ayumi, tempatnya duduk disinari mentari, tapi Ayumi merasa tersesat dalam lorong gelap tanpa ujung.