Tidak Ada yang Salah

1682 Kata
Ayu tidak tahu berapa lama waktu yang dia habiskan untuk duduk diam di sudut kamarnya itu, karena saat tersadar, suasana di sekitarnya telah berubah gelap. Ayu bergerak menyalakan lampu, mengambil tumpukan futon dari dalam almari geser dan menggelarnya di lantai untuk tidur. Tapi meski sudah berbaring dan merasa sangat letih, Ayu tidak bisa tertidur. Selain gelisah dan ketakutan pada Hide, Ayu juga ketakutan pada masa depannya sendiri. Ayu belum pernah merasa begitu tersesat tanpa harapan, seolah seluruh dunia tak ingin menerimanya. Ayu lalu memejamkan mata, menarik nafas panjang beberapa kali. Menyingkirkan semua hal negatif yang ada di pikirannya saat ini, hal yang menggerogoti akal sehat dan kewarasannya. Saat ini, Ayu ingin memperbaiki kehidupannya saat ini, mencari jalan agar tidak terus terpuruk. Dan tentu memikirkan soal Kaito dan lain sebagainya bukan jalan yang tepat “Aku akan bekerja,” gumam Ayu. Setelah menyingkirkan pikiran itu akhirnya Ayu bisa sampai pada keputusan yang dirasa cukup memuaskan. Dengan bekerja, Ayu yakin dia masih memiliki kesempatan untuk hidup, dan tidak harus ada di sini. Meski tidak mudah, tapi Ayu akan terbebas dan benar-benar memiliki kehidupan baru. Dengan bekerja, Ayu tidak hanya akan menyibukkan diri dan membuatnya mudah melupakan Kaito, tapi juga akan menyelesaikan masalahnya dengan Hide. Pemikiran itu membuat Ayu sedikit tenang, dan akhirnya bisa tertidur. Meski dalam gelisah dan dihantui mimpi buruk. Tentang Kaede, Kaito, Karin, yang menuding ke arahnya dalam hinaan w************n, lalu Hide yang mengejarnya dengan garang. Sampai akhirnya air mata Ayu menetes dari sudut mata, karena mimpinya beralih ke kedua orang tuanya. Tangan berwarna kecoklatan terulur, menghapus air mata itu. “Nakanaide, Yumi.” (Jangan Menangis, Yumi). Bisikan lirih, yang jelas tidak akan membangunkan Ayu. Hide masuk ke kamar itu beberapa saat lalu, dengan hati-hati, tanpa menimbulkan suara sama sekali. Kini berdiri di samping ranjang, sedikit menunduk. Setelahnya Hide hanya berdiri, entah berapa lama, mengamati kegelisahan Ayu, dengan kedua tangan mengepal di samping tubuhnya. Dan Hide keluar dari kamar Ayu dini hari—setelah Ayu tertidur lebih nyenyak. *** Tubuh Ayu terasa sangat berat saat dia terbangun. Beberapa bagian tubuhnya juga terasa sakit karena memar. Tidak perlu mencari tahu, Ayu tahu benar dari mana asal lebam dan rasa lelah tubuhnya. ‘Perang’ yang terjadi kemarin, tidak mungkin tidak membekas. Perangnya dengan Karin, perangnya dengan Kaede, dan tentu ‘perang’ bersama Hide, akan membekas—bahkan bukan hanya secara fisik. Tapi Ayu mengabaikan semuanya—mencoba melupakannya. Karena sekarang adalah hari di mana dia harus berperang dengan nasibnya sendiri. Ayu sudah bertekad, berjuang memperbaiki nasibnya yang memburuk hanya dalam waktu sekejap kemarin. Ayu masih merasa apa yang terjadi bagaikan mimpi, tapi tetap memaksakan diri untuk bangun. Ayu tahu dia tidak boleh tenggelam dalam kesedihan itu dalam waktu lama. “Kau akan baik-baik saja, semua akan baik-baik saja. Besok masih ada.” Ayu bergumam, sambil melipat futon dan menyimpannya kembali di lemari. Ayu menatap sekitar. Tadi malam dia belum sempat memandang sekitar, maka Ayu kini mengamati semua dengan lebih baik. Kamar yang selama bertahun-tahun pernah ditinggalinya. Tidak ada yang berubah, semua masih sama. Hide tidak memindahkan satu barang pun dari sana, hanya kamar itu dibersihkan secara rutin saja. Ayu menatap beberapa poster penyanyi J-rock yang menjadi favoritnya yang masih utuh menempel di tembok, juga aneka macrame yang tetap tergantung pada tempatnya. Hiasan dinding berbentuk anyaman tali itu adalah buatan Ayu. Untuk mengembalikan fungsi otaknya setelah menjalani operasi tumor otak dulu, Ayu diperkenalkan pada aneka macam crafting, tapi menganyam tali macrame adalah apa yang tersisa sampai dirinya dewasa. Ayu berhenti total baru setelah dirinya menikah. Kaede menganggap berjam-jam waktunya menganyam hanyalah percuma dan tidak akan membantunya hamil. Ayu mendesis, mengusir kenangan pedih itu, dan beralih pada kertas-kertas penuh tulisan kanji juga menempel di dinding. Ayu meraih salah satu kertas yang tertempel. Itu adalah tulisan dalam huruf kanji pertama yang dibuat oleh Ayu. Sebagai anak berumur delapan tahun, tentu Ayu sudah bisa membaca huruf latin. Tapi pengetahuan itu tidak berguna di sini. Ayu harus belajar dari nol untuk menulis dan membaca huruf kanji. Kertas yang dibawanya adalah tulisan kanji yang ditulisnya dengan benar, tanpa bantuan dari Hide “Watashi wa oji ga daisuki desu.” (Aku menyayangi Paman) Ayu bergumam membaca tulisan penuh lekuk yang jauh dari rapi itu. Itu adalah tulisan pertama Ayu, dan tentu saja yang disebutkan adalah Hide. Pria itu adalah dunianya saat itu. Dunia tempat Ayu bersandar. Satu-satunya harapan yang membuat Ayu tidak menyerah menghadapi penyakitnya. Semua semangat dan keinginannya untuk hidup, berasal dari Hide saat itu. Tapi kini sosok yang yang begitu dipuja Ayu, seolah tertelan malam kelam. Dia begitu berbeda, sampai Ayu tidak lagi mengenalinya. Ayu menghela napas, kembali menempelkan tulisan itu di dinding, lalu berjalan dan keluar dari kamar. Sadar jika waktunya tidak bisa terbuang untuk mengenang. Dia harus bergerak. Ayu sudah bertekad untuk mencari pekerjaan hari ini, tapi yang jelas dia membutuhkan makan. Hampir seharian kemarin dia tidak menelan apa pun, kecuali s**u yang diberikan Karin. Tentu saat ini perutnya sangat lapar. Langkah kaki Ayu berhenti di depan dapur. Hide berdiri di sana, dan tampak memasak sesuatu di atas kompor. Saat melihat bagian punggung Hide seperti itu, Ayu tidak merasakan ada perubahan apa pun. Dia masih seperti Hide yang dulu dilihatnya, mungkin hanya gaya rambutnya saja yang berubah. Hide yang selalu menyiapkan makanan untuknya, sampai Ayu bisa melakukannya sendiri. “Aku akan menyiapkan makanan untukmu sekali ini, tapi setelah itu kau sendiri yang harus menyiapkan.” Hide belum berbalik, tapi dia sudah mendengar langkah kaki Ayu dan juga mendengar bagaimana dia hanya diam menunggu. “Bukan hanya menyiapkan untukmu saja, tapi juga untukku. Kau harus menyiapkan sarapan dan juga makan malam untukku, setiap hari.” Hide menambahkan sambil berbalik meletakkan dua piring omurice di atas meja. Satu-satunya meja yang tidak bergaya Jepang asli di rumah itu adalah meja makan. Mereka duduk di kursi untuk makan, tidak di lantai seperti di ruangan lain di rumah ini. Ayu mengangguk, tidak keberatan dengan pembagian tugas itu. Dia juga tidak ingin tinggal secara percuma di rumah ini. Bahkan dulu sebelum Ayu menikah dan meninggalkan rumah ini, dia sudah mempunyai tugas untuk memasak. Perbedaannya, dulu Hide tidak dengan khusus memberinya tugas itu. Biasanya saat Ayu mempunyai banyak kegiatan di sekolah, maka Hide yang memasak. Atau saat Hide pulang terlebih dulu, maka dia juga akan memasak, dan begitu sebaliknya. Atau terkadang mereka memasak bersama. Mereka dulu hidup dalam harmoni yang sempurna seperti itu. Harmoni yang sekarang sudah pasti rusak. Ayu bahkan tidak ingin berada di ruang yang sama dengan Hide saat ini. Rasa lapar yang membuat Ayu duduk, tidak cukup untuk membuatnya berhenti ketakutan. Ayu harus meremas kedua tangannya di bawah meja dengan sangat erat—untuk menenangkan diri, sebelum bisa mengambil sendok untuk memakan omurice bagiannya. Dan pada gigitan pertama, Ayu kembali ingin menangis. Ayu menyalahkan emosinya yang belum stabil, karena seharusnya omurice itu tidak membuatnya menangis. Rasanya tidak luar biasa lezat, tapi rasa itu adalah kenangan yang ada dalam kepala Ayu. Rasa omurice itu masih seperti yang Ayu ingat. Hangat, dengan sedikit manis dan asam dari saus tomat yang menghiasi permukaan kuning telur dadar yang mulus. Rasa itu perlambang kehidupannya yang damai dulu. Ayu cepat-cepat menghapus air matanya. Tapi pada suapan kedua, Ayu kembali ingin menangis. Tapi kali ini bukan karena rasa. Ayu menangis karena sadar jika ini pertama kalinya dalam dua tahun ini—setelah masa pernikahannya—dirinya bisa makan dengan tenang, tidak takut oleh penilaian dan hujatan. Ayu tidak keberatan memasak, tapi acara memasak dan makan, lambat laun berubah menjadi horor bagi Ayu, karena Kaede. Mertuanya itu selalu berhasil menemukan cacat dalam semua makan yang pernah dibuat Ayu selama dua tahun ini. Nasi yang terlalu keras, sup miso yang asin, ikan bakar gosong, dan masih banyak lagi. Itu sedikit contoh celaan yang dipakai Kaede untuk menilai masakannya. Membuat Ayu sulit untuk menelan saat makan bersamanya. Ayu biasanya akan memilih untuk makan di dapur, di antara kegiatannya mencuci piring atau membersihkan dapur. Tentu Ayu juga membuat catatan apa saja yang harus diperbaiki saat itu. Selama dua tahun ke belakang, Ayu melakukan hal yang sama secara terus menerus. Tapi masakannya tidak pernah memuaskan bagi Kaede. Ayu tadi berhasil menghapus air mata sebelum menetes, tapi kali ini tidak bisa seperti itu. Ayu bisa merasakan asin air matanya di antara butiran nasi yang dia makan. Semakin lama berada jauh dari rumah itu, Ayu semakin sadar jika Kaede mungkin adalah setan yang menjelma menjadi manusia. Dia keji. Ayu terus merunduk, tidak ingin mendongak dan memperlihatkan air matanya pada Hide. Bagi Ayu saat ini, Hide tidak lebih baik dari Kaede. Karenanya Ayu terus makan sambil menunduk. Menelan rasa asin itu tanpa banyak bicara, sampai Ayu tersentak, saat Hide bangkit. “Aku akan pulang jam sembilan. Siapakan makanan sebelum aku pulang.” Setelah mengucapkan itu, Hide meninggalkan dapur. Dan Ayu menyambutnya dengan helaan napas lega. Ayu akhirnya mendongak dan menghapus air matanya. Ayu mengingat pesan Hide, sementara menghabiskan sarapan itu dengan cepat. Masih banyak hal yang harus dilakukannya hari ini. Yang pertama tentu saja mencari pekerjaan. Ayu sebentar meninggalkan dapur, dan kembali membawa laptop tua yang dulu dipakainya untuk sekolah, meletakkannya di meja makan. Dia juga bergerak mencari buku catatan dan pensil. Ayu mencari lowongan pekerjaan lewat laptop, dan kini mencatat lowongan mana yang sekiranya cocok untuknya. Dan sekali lagi, Ayu menyesali pilihan hidupnya. Dia menikah dengan Kaito, langsung setelah lulus, tanpa kuliah atau lainnya. Dia tidak menyesal telah mencintai Kaito, hanya sekarang merasa keputusannya menikah mungkin terlalu cepat. Kaito saat itu mendesak karena mendapat rongrongan dari ibunya untuk memiliki cucu. Kaito saat itu menjanjikan Ayu untuk memberinya kebebasan jika ingin kuliah dan lainya. Tapi janji manis itu tidak terjadi pastinya. Kaede keberatan, dan mengatakan Ayu harus ada di rumah saja, tentu Kaito membujuknya agar menurut pada Kaede. Ayu menghela napas, keputusannya itu kini menyulitkannya mencari pekerjaan. Ada beberapa pekerjaan yang cocok dengan kualifikasinya, tapi sama sekali tidak bergengsi. Tapi lebih baik daripada tidak sama sekali. Ayu ingin keluar dari rumah ini secepatnya. Sampai siang, Ayu tanpa lelah terus mencari mencari. Mengirim lamaran online, dan menyiapkan berkas yang harus dibawa besok. Jepang mungkin sangat maju, tapi ada beberapa tempat yang masih menyukai cara lama, yaitu pelamar datang langsung. Ayu akan menjalani semuanya, apa pun pilihannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN