Kesengajaan yang Sangat Terlihat

1056 Kata
“Shokuji o tanoshinde.” (Selamat Menikmati) Ayu membungkuk lalu mundur dengan wajah penuh senyum, sambil merapikan kimono yang dipakainya. Pakaian itu sedikit merepotkan pastinya—karena Ayu tidak terbiasa, tapi kimono itu adalah keharusan saat bekerja di restoran. Kimono itu adalah seragam karena restoran tempatnya bekerja bertema klasik. Menyajikan masakan tradisional asli Jepang dengan dekorasi yang juga kental dengan nuansa Jepang kuno. Ayu awalnya ragu bisa melakukan pekerjaan itu, karena pengalamannya memakai kimono hanya saat pergi ke festival musim panas bersama Rie beberapa kali, tapi setelah dua hari dan mendapat tips dari pramusaji lain yang ada di restoran itu, Ayu dengan mudah beradaptasi dan kini bisa dengan lancar melakukan pekerjaan—bahkan berlari memakai kimono itu tanpa merusak bentuknya. Ayu juga menyukai lingkungan kerja di restoran itu. Karena sangat sibuk, membuatnya cepat lupa dengan segala kehidupan mengenaskan di dunia nyata. “Ayu, tolong antarkan ini ke ruangan 3. Yang lain sibuk.” Baru saja Ayu akan sejenak menghela napas di lorong dapur, tugas lain menanti. Ruangan tiga bukan tanggung jawabnya. Ayu biasanya hanya mengurus ruangan bernomor belasan. Tapi di saat jam makan yang sibuk, siapa saja berkewajiban membantu ruangan lain. “Wakatta!" (Aku mengerti) Ayu berseru, lalu mengambil nampan yang ada di jendela. Berisi sashimi ikan fugu. Hidangan berbahaya yang memang harus segera dihidangkan agar rasanya tetap segar. Pantaslah dirinya dipanggil. Dengan gesit, Ayu melewati beberapa orang, dan tanpa sedikit pun mengubah posisi potongan ikan mentah berwarna putih yang tergeletak di atas remukan es itu. Sashimi dihidangkan bersama ketelitian dan keindahan, karena itu Ayu harus berhati-hati agar hidangan yang dibawanya tidak berubah bentuk. “Saya membawa pesanan.” Ayu berseru ceria—ini juga SOP, sambil menggeser pintu shoji agar membuka. Terlihat dua orang duduk bersila di lantai sementara sudah ada makanan dan minuman lain yang terhidang di meja. Penampilan mereka sedikit membuat Ayu bergidik. Tubuh mereka cukup tegap, menatapnya dengan wajah datar. Mereka rapi berdasi dengan sisiran rambut licin, tapi Ayu meragukan mereka pekerja kantoran, karena salah satunya memiliki tato di pipi. Dia tidak mungkin bekerja di kantor mana pun. Meski sempat terkejut dengan penampilan tamu itu, Ayu tetap tersenyum ramah, lalu masuk membawa nampan masih dengan langkah hati-hati. Kakinya melangkah dalam jarak sempit. Tapi tentu Ayu tidak memandang ke arah bawah, karena dia sedang mencari tempat untuk meletakkan nampan yang cukup lebar itu di antara banyaknya makanan dan minuman yang sudah ada di meja. Karena itulah, Ayu tidak menyadari saat salah satu pria yang ada di depannya meluruskan kaki, memasangnya tepat di tempat Ayu melangkah. “AGHH! TIDAK!” Ayu memekik, saat kakinya dengan telak menginjak pergelangan kaki tamu itu. Tubuhnya kehilangan keseimbangan, dan nampan yang ada di tangannya terbang ke arah meja, menyapu semua makanan dan minuman yang ada di sana, dan piring sashimi fugu yang mahal itu terlempar jatuh di tatami. Teriakan Ayu teredam oleh berisiknya suara bagaimana piring dan gelas yang ada di meja terjatuh, tapi kemudian Ayu kembali memekik, saat melihat bagaimana sebagian besar masakan dan juga sake yang ada di meja tumpah mengotori pakaian licin yang dipakai dua orang tamu yang ada di sana. Kedua orang itu sudah terhenyak berdiri dan menatap kekacauan di depan mereka, lalu beralih pada Ayu, yang tentu saja masih menatap kekacauan itu dengan pandangan horor. “Ada apa? AYU?!” Supervisor yang bernama Iwata, tergopoh-gopoh menghampiri ruangan tempat keributan terdengar, dan ikut memekik saat melihat keadaan di dalam. Dan tentu lebih pucat lagi saat melihat dua tamu yang berdiri memandangnya. “Aku tidak tahu jika pelayanan Hiroo Onogi menjadi sangat buruk sekarang!” Terdengar celaan dari tamu yang memiliki tato. Hiroo Onogi adalah nama restoran itu. Iwata langsung membungkuk sembilan puluh derajat, dengan Ayu mengikuti di sampingnya. “Sumimasen deshita, Yamada-san!” (Kami sungguh meminta maaf, Tuan Yamada!) Iwata berseru dan Ayu mengikutinya hampir bersamaan, meminta maaf kepada tamu yang ternyata bernama Yamada itu. Suhu tubuh Ayu semakin dingin karenanya. Jika Iwata sampai mengenal Yamada, itu berarti dia adalah langganan restoran ini. Kesalahan Ayu menjadi berlipat lebih buruk sekarang, karena dia mengecewakan langganan. Kesalahannya tidak akan dimaafkan dengan mudah. “Kau meminta maaf? Lalu bagaimana dengan kekacauan ini?” Bentakan kembali terdengar dari Yamada. “Maafkan saya, Yamada-san. Ini kesalahan mengerikan. Saya pastikan akan ada ganti rugi untuk pakaian Anda yang rusak. Dan kami akan membereskan kekacauan ini.” Iwata menyenggol pinggang Ayu, menyuruhnya bergerak. “Saya meminta maaf sebesar-besarnya. Saya akan membereskan semuanya.” Ayu berlutut, mulai memungut pecahan cangkir sake yang pecah karena tertimpa piring sashimi, dan terguling di tatami. “Ck!” Yamada terdengar mendecak dan menendang pecahan cangkir itu ke samping. Tapi karena tangan Ayu sudah terulur mengambill, jari telunjuk Ayu tergores cukup panjang dan berdarah. “Enak sekali kau hanya meminta maaf! Kau mengganggu makan siangku.” Terdengar Yamada menggeram, dan Ayu kembali duduk dan membungkuk, sementara menggenggam tangannya yang berdarah. “Maafkan saya,” kata Ayu, dengan suara gemetar. “Yamada-san, Anda tidak perlu repot-repot untuk memarahinya. Saya sendiri nanti yang akan mengurusnya, dan ini adalah hari terakhir dia bekerja di sini.” Iwata dengan cepat membujuk agar Yamada tidak semakin marah. Sayangnya dia memakai kalimat yang sejak tadi ditakuti oleh Ayu. “Mari silakan, sudah ada ruangan lain yang tersedia untuk Anda,” kata Iwata dengan manis membujuk. Dan wajahnya tampak lega saat melihat Yamada hanya mendengus, lalu keluar. Iwata tersenyum puas, tapi segera luruh saat berpaling pada Ayu. “Ini tidak bisa dimaafkan. Kau bereskan itu dan pulanglah setelah mengambil gaji. Tidak perlu kembali ke sini besok.” Dan begitu saja Iwata memutuskan dengan final tanpa berusaha mendengar pembelaan Ayu, tentang bagaimana kaki pelanggan itu menjulur dengan tiba-tiba. Ayu merasa masih memiliki hak untuk membela diri karenanya. Tapi saat Ayu bangkit, Iwata sudah mengibaskan tangan. Dia tidak ingin mendengar apa pun, dan keluar dari ruangan itu. “Tunggu, aku…” Tidak ada apa pun lagi, Ayu hanya bicara pada udara. Dan dengan mudahnya, Ayu kehilangan salah satu pekerjaan yang menjadi tempatnya bersandar. Pekerjaan yang sudah dihitung dengan cermat untuk memulai hidup baru. Ayu menghela napas panjang beberapa kali, tentu saja hal itu untuk menahan air mata. Yang dengan rajin muncul, begitu merasakan putus asa mengumpul dalam hatinya. “Tidak masalah… Tidak masalah. Masih ada satu pekerjaan lagi, dan kau bisa mencari pekerjaan yang lain.” Ayu bergumam sambil kembali berlutut membereskan semua kekacauan di depannya. Paling tidak dengan bergumam itu, Ayu tidak terlalu ingin menangis.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN