Cinta Pertama (Part 2)

2089 Kata
"Ini nih yang naksir, Din!" Pras mendorong Andra untuk ikut bergabung dengan meja pacarnya, Dina. Dina tertawa mendengarnya. Ardan? Menatap Andra. Ya rasanya wajar kalau naksir sepupunya yang beberapa hari ini memang terus dibicarakan di kalangan lelaki. Kalau di kalangan perempuan? Ardan mana perduli. Hahaha. Masalahnya adalah bukan ia yang dibicarakan jadi apa pentingnya? "Lo naksir Farras?" Dina bertanya lalu tertawa. Andra tak memberikan jawaban. Tapi gerak tubunya yang agak salah tingkah cukup menjadi jawaban. Ia ingin sekali menggetok kepalanya Pras karena tak bisa menjaga mulut. Apa tak bisa, tak ember? Ia kan malu. Apalagi Dina ternyata sepupunya. Kalau sampai ke telinga Farras bagaimana? Ia jelas akan malu. Farras bahkan mungkim tak ingat namanya tapi tiba-tiba ada cowok sepertinya yang naksir. Itu akan aneh. Ia juga akan sangat malu. "Ya ampuuun, Draaaaa. Selera lo emang bener ya! Pantes aja, cewek satu angkatan ditolak. Satu angkatan di bawah kita juga ditolak " Andra hanya menghela nafas. Ya, ia memang tak tertarik dengan mereka. Baru kali ini ia suka. Itu pun berawal dari melihat wajahnya yang tampak menahan tangis. Gadis itu mungkin cengeng dan tak kuat dibentak. Ya namanya juga perempuan. Ia memaklumi. "Tapi seriusan si Farras gak pernah pacaran?" Pras masih penasaran saja dengan fakta itu. Maksudnya, ia juga tahu kalau Farras itu cantik. Semua lelaki membicarakannya ketika pertama kali masuk ke sekolah ini. Masa iya sih? Tak pernah punya mantan. "Ras itu dijaga banget sama dua saudara kembarnya." Dina menunjuk Ferril yang sedang bermain sepak bola di kejauhan sana. Belum lama menjadi siswa baru di sini, cowok itu sudah menempel dan dekat dengan kakak kelas. Lihat saja. Hanya ia yang bermain bola bersama kakak kelas di siang hari begini. Kemeja sekolahnya sudah tak berkancing. Ia memamerkan kaos putihnya yang ia kenakan di balik kemeja putih. "Lihat tuh si Ferril. Sekali lihat juga kalian udah tahu kalo tuh cowok sableng emang playboy. Dia mungkin agak egois. Karena dia boleh mempermainkan cewek lain tapi gak dengan saudara kembarnya. Sejauh ini belum ada juga cowok yang berani deketin Farras. Karena harus berhadapan sama tuh cowok sableng. Kedua....tuh lihat....," ia menunjuk ke arah lelaki yang muncul dengan membawa beberapa buku bersama perempuan di sampingnya. Perempuan yang tentu saja sangat Andra kenal karena perempuan itu adalah adiknya. Mungkin mereka satu kelas. "Itu abangnya si Ras. Kalo Ferril mainnya fisik, Farrel gak begitu. Dia mungkin akan ajak bicara cowok yang berani dekatin Farras. Karena Farrel tuh lurus. Gak ada kamus pacaran sebelum menikah." Dina menoleh ke arah Andra yang hanya diam. Farras tak terlihat di mana pun untuk saat ini. Entah di mana gadis itu. "Yang jelas nih, Dra. Gue bilang aja dari awal. Susah deketin Farras." Ia sih bukannya tak mau menolong. Tapi ia menghormati prinsip keluarga omnya itu. Jangan turuti jejaknya yang malah berpacaran dengan Pras kan? Pras terkekeh melihat wajah kisut milik Andra. Sebelum Dina mengatakan itu, sejujurnya ia juga sudah mundur sejak awal. "Gue gak ada niatan huat pacarin anak orang kali." Teman-temannya terbahak mendengar gerutuan itu. Mereka tentu paham kalau yang sebetulnya diinginkan justru sebaliknya. Tapi Andra memang tak punya nyali sih. Hahaha. Ardan menepuk-nepuk bahunya. "Mendingan lo temenin gue aja." Yang lain terbahak lagi. Dina sih tak menyarankan. Kalau ikut Ardan yang ada nih akan bablas jomblo dalam waktu yang lama. @@@ "Mbaak Shanaa.....ada pakeet!" Ia bahkan baru saja sampai di gerbang rumah kosnya dan sudah mendengar suara teriakan si mbok-mbok yang membersihkan rumah kos ini. Yang punya tak tinggal di sini. Ia berjalan menuju meja dekat dapur di mana paketan selalu ditaruh di sana. "Makasih, mbook!" "Iya, mbaaaak!" Ia terkekeh. Kemudian melangkah menuju tangga dan naik ke lantai atas di mana kamarnya berada. "Shaaaan!" Teman dekatnya keluar dari kamar. Karena mendengar suara si mbok tadi, ia jadi tahu kalau Shana sudah pulang ke kos. Ia baru selesai bimbingan dengan dosen di kampus. Tentu saja urusan tesisnya. Ia hanya berdeham ketika dipanggil. Tangannya sibuk mencari kunci kamar di dalam tas. Begitu ketemu, ia membuka pintu dengan segera. "Jadi nikah?" Ia menghela nafas. Maunya sih begitu. Tapi semalam ketika ia bicarakan dengan ibunya, ibunya berat hati. Ya memang tak semua pernikahan akan berakhir buruk. Karena Shana sendiri percaya kalau akan ada jalan untuknya jika urusannya jodoh seperti ini. "Belum tahu." "Kok belum tahu? Nyokap masih belum lampu hijau?" "Ya gitu deh. Tahu lah. Nyokap masih trauma. Takut anaknya kayak dia. Jadi kalau pun diizinin nikah yang pasti belum sekarang. Harus sampai aku lulus dan punya pekerjaan tetap." Ibunya belajar dari pengalamannya sendiri. Bergantung pada suami lalu tiba-tiba ditinggal selingkuh membuatnya kelabakan. Karena memang tak punya pemasukan untuk diri sendiri. Makanya setidaknya kalau anaknya memang ingin menikah, Shana harus sudah punya pekerjaan tetap. "Kalau gitu kan gak akan lama juga, Shan. Tesis kelar pun kamu udah bisa nyari kerja tetap." "Nyari kerja tetap itu gak gampang heh." Ya memang sih. Ia juga menyadari itu. Shana menghela nafas. Ia menaruh tasnya yang berisi laptop di atas meja. Lalu duduk di atas tempat tidur sementara temannya duduk di atas kursi belajarnya. "Tapi cowok itu mau nunggu kan?" "Yaaa......," ia kembali menghela nafas. "Dia sih pengennya ngajak aku nikah abis lulus. Urusan kerjaan bisa nanti. Karena dia juga udah kerja." "Bentrok dong!" "Ya gitu. Mamanya juga ingin kami segera menikah. Udah cukup lama menunggu juga." Temannya mengangguk-angguk. Paham dengan posisinya. "Terus kamu gimana?" "Aku bingung. Jujur aja, aku juga galau. Gak bisa gantungin anak orang tanpa kejelasan. Siapa yang bisa jamin, aku bisa dapat kerjaan secepat mungkin? Itu kan gak pasti." "Kenapa gak coba ngomogn ke mamamu. Menikah dulu gak apa-apa sambil woles nanti nyari kerjaan." "Maunya aku gitu. Tapi nyokap bilang yaaa nanti aku keenakan jadi ibu rumah tangga dan jadi malas kerja. Jadi serba salah." Ya serba galau keputusannya ini. "Coba bikin supaya mamamu bisa ngertiin. Kalo nunggu kamu dapat kerja tetap, itu gak jelas kapan." Shana mengangguk-angguk. Betul sekali. Ia dibuat galau hanya karena satu hal itu. Padahal ada banyak hal yang harus dipersiapkan. Meski ia juga paham kenapa mamanya seperti itu. Pengalaman buruk di masa lalu membuat siapapun akan berwaspada pada apa yang terjadi di sekitar. Karena takut mengulang hal yang sama. Sementara itu, calonnya sudah mengirim pesan bertanya. Apa kita lamaran dulu? Ia mengelus keningnya. Pusing kepala. @@@ Andra bersiul-siul. Lelah sebetulnya karena ia baru saja pulang dari kantor. Yeah agak larut karena ia hobi bekerja. Ia betah sekali berada di kantor dibandingkan sibuk mencari calon istri. Bingung juga bagaimana mencarinya. Hahaha. "Papa belum pulang?" Ia kaget. Baru juga membuka pintu rumah, mamanya masih duduk di ruang keluarga. Ya bahkan televisi masih menyala. Ia pikir mamanya sudah tidur. Ini kan hampir jam sebelas malam. Kalau mamanya masih terjaga, berarti papanya belum pulang dari kantor. "Masih di kantor. Mungkin bentar lagi." Andra mengangguk-angguk. "Si Aries, temen kamu yang di depan komplek sana, dapat istri tuh dari website taaruf gitu. Kamu gak nyoba, Dra?" "Mama mau nyuruh Andra ikut taaruf?" Ia bertanya sangsi. Mamanya justru tertawa. "Ya kan kalo mau dapat yang baik kayak adikmu itu, harus caranya yang baik lah." Andra mengangguk-angguk. Ya memang ada benarnya juga. Meski ia tak perduli-perduli amat juga. Ya jalan taaruf? Ia merasa jalannya bukan di sana. "Gak mau nyoba?" "Taaruf aja Andra gak ngerti, ma. Gak usah kan itu deh. Solat dulu deh Andra yang bener." Ia sadar diri. Mamanya terkekeh. Ya anaknya bisa berubah secara perlahan kok. Kalau dulu, solat masih bolong-bolong, semenjak Farras menikah dengan yang lain, ia sudah tak pernah meninggalkan solat. Ada hikmahnya dari penolakan itu. Ia juga jadi tahu kenapa Allah tidak mentakdirkannya dengan Farras? Karena mungkin ia belum mampu untuk membimbingnya. Menjadi imam rumah tangga jelas tak mudah. Memimpin diri sendiri saja belum bisa apalagi memimpin rumah tangga? Itu tanggung jawab yang berat. Ia berjalan menuju kamar. Baru sampai di depan pintu kamar, ia masih mendengar suara berisik dari kamar di depannya. Tentu saja kamarnya Zakiya. Gadis itu tampaknya sedang mendengar sebuah rekaman. Ia geleng-geleng kepala. Baru hendak masuk, tiba-tiba pintu kamar Kiya terbuka. Gadis itu berteriak. "Abang anterin Kiya besok ke bandara." "Lo kau diekspor?" "Heiish!" Ia terkekeh melihat pelototan itu. "Iyeee-iyeee! Tidur sana!" Ia juga ingin sekali beristirahat. Ia mengunci pintu kamarnya. Tak mau membiarkannya terbuka atau Zakiya akan mengisenginya. Meski hal itu sudah jarang terjadi. Mungkin karena mereka sama-sama sibuk? Ya sudah dewasa juga. Padahal saat SMA dulu, mereka kerap bertengkar. Maklumi saja karena perbedaan usia mereka hanya dua tahun. Meski begitu, Zakiya adalah adik terbaik untuknya. Ia merebahkan tubuhnya usai mandi. Benar-benar lelah sekali tapi ponselnya bergetar sedikit. Ada pesan masuk. Dari siapa? Bro, ikutan futsal gak nanti malam? Kita mau main. Itu Ardan. Sejak jauh dari Pras, ia semakin akrab dengan Ardan dan yang lain. Tentu saja mengenyampingkan urusan perasaan yang telah lama berlalu. Kalau dipikir-pikir sudah berapa lama ya? Enam tahun kah? Berapa lama apa maksudnya? Ia menghitung sejak terakhir Farras menikah dengan lelaki itu. Meski kerap bertemu juga kalau berkumpul dengan Ardan dan yang lain. Apalagi kalau main futsal. Meski ia tak pernah bertemu Farras di sana. Ia memejamkan matanya. Benaknya masih belum ingin berhenti memutar kejadian lalu di mana cinta pertamanya tumbuh bermekaran. @@@ "s**l tadi si pak kropos ngambil rokok gue!" Andra mendengar keluhan itu. Ia sendiri sedang jongkok gara-gara sakit perut. Entah kenapa, perutnya tak begitu beres sejak pagi tadi. Bawaannya ingin terus buang angin. Tadi juga sempst kentut sih di kelas. Anehnya yang dituduh adalah Ardan. Hahahaha. Ia bahkan tak berniat meralat hal itu. Kalau hal semacam itu terjadi, Ardan pasti sudah selalu di-bully. Preeeet! "Asem!" Ia menahan tawanya. Pasti baunya sampai ke luar kan ya? Hahahaha. Lima menit kemudian ia baru membersihkan diri. Begitu keluar dari bilik itu, Ardan malah muncul untuk pipis. Sementsra ia mencuci tangan. "Asem emang. Lo yang kentut, gue yang dituduh." Andra terbahak. Sebetulnya Ardan tahu. Ya Adit juga tahu. Begitu pula dengan Pras. Hahaha. Mereka kan duduk berdekatan. Ardan dan Adit satu meja paling belakang di pojok kanan kelas. Andra dan Pras duduk tepat di depan mereka. "Bukan gue yang nuduh, bro." Ya memang bukan Andra. Tapi guru kewarganegaraan yang sedang mengajar mereka tadi. Hal yang tentu saja mengundang keriuhan. Lagi pula, dibandingkan Andra dan deretan cowok cakep lainnya, nama Ardan sebetulnya jauh lebih populer. Yeah populer sebagai lelaki humoris. "Weiiitss," ia menahan lengan Ardan yang hendak merangkulnya. "Cuci tangan lo dulu heh!" Baru juga selesai pipis. Hahaha. Ardan terkekeh. Ia akhirnya berjalan menuju wastafel lalu buru-buru menyusul Andra yang sudah berjalan menuju tengah lapangan. Entah kenapa suara dari sana begitu riuh. Ada keramaian tentunya. Tadi sih Andra tak tertarik. Yeah andai tak melihat perempuan yang berdiri di seberang sana. Gadis itu berdiri bersama teman-temannya menonton anak-anak kelas X tanding futsal. Padahal belum waktunya perlombaan. Tapi memang begini cara anak cowok memanfaatkan waktu luang di jam istirahat. Ardan berdiri di sampingnya sambil merangkulnya. Sesekali berseru ke arah Ferril yang sedang membawa bola. Cowok tengil itu memang selalu menjadi pusat perhatian. Meski dari gosipnya yang Andra tahu, Ferril sedang mendekati salah satu teman satu angkatannya yang cantik juga. Yah lumrahnya memang begitu. Pasti mencari yang cantik dan si cantik itu sudah berseru-seru bersama teman-temannya di sisi lain, di pinggur lapangan. Farras geleng-geleng kepala. Ia harusnya tahu kalau Ferril sedang mengejar perhatian si cewek yang digosipkan dengannya. Kabar itu jelas sudah mengudara ke seantero sekolah. Apalagi banyak perempuan di kelasnya yang patah hati mendengar itu. Cowok playboy tapi masih saja banyak yang suka ya? Ia heran. Karena sudah tak menarik lagi, Farras hendak membalik badan. Yeah andai ia tak melihat cowok yang ganteng di seberang sana yang sedang dirangkul Ardan. Tapi tunggu.... Suasana di lapangan yang tadinya riuh karena perlombaan futsal mendadak riuh karena hal lain. Apa? "Lihat...lihat deh. Itu resletingnya kak Ardan gak kekunci apa yak?" Farras mendengar bisik-bisik itu. Ia akhirnya menoleh ke arah sasaran yang sedang dibicarakan. Lalu menyemburkan tawa. Dina yang juga mendengar itu dan sedang berdiri di sisi lapangan yang lain langsung terbahak. Ia juga tahunya gara-gara dibisiki Talitha. Talitha juga tahu dari orang lain. Karena sebetulnya, ia satu barisan dengan Ardan dan Andra tapi berada di paling ujung. "Wooi! Risleting lu!" Pras yang baru tiba di sebelahnya akhirnya memberitahu. Andra ikut menoleh lalu terbahak. Saat Ardan menaikan risletingnya, tawa mengurai ke seisi lapangan bersamaan dengan suara bel pertanda jam istirahat telah usai. Rasanya Ardan ingin menenggelamkan diri setelah ini. Pras tak berhenti membahas soal risteling itu ketika ketiganya berjalan menuju kelas. Sementara mata Andra sudah menoleh ke arah kiri di mana Farras dan teman-temannya berjalan ke arah yang berlawanan menuju kelas mereka. Tapi tentu saja bisa saing bersitatap. Meski Andra langsung mengalihkan tatapan begitu jaraknya hampir dekat. Ia menahan senyumnya. Yeah begini lah nasib cinta pertamanya. @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN