Part 7. Ucapan Adalah Doa

2295 Kata
"Aya berangkat kerja dulu ya, Bu, Yah. Doain semuanya lancar biar Aya bisa cepet pulang," ucap Aliyah saat berpamitan dengan kedua orang tuanya. "Belom berangkat kok udah mikir pulang duluan? Ga boleh gitu ah. Apapun yang dikerjain itu, harus dikerjain dengan sungguh-sungguh. Anak Ayah harus semangat terus!" ucap sang Ayah membuat Aliyah tersenyum mendengarnya. "Yaudah iya. Assalamualaikum," ucap Aliyah kemudian mencium punggung tangan kedua orang tuanya itu dan dan bersiap pergi akan tetapi, baru saja dia ingin menaiki motornya, sebuah mobil yang sangat dikenalnya tiba-tiba berhenti tepat di depannya membuat Aliyah langsung menatap kedua orang tuanya tajam. "Bukan Ayah. Ibu," Setelah mendengar pengakuan Ayahnya itu, Aliyah langsung menatap Ibunya dengan menampilkan wajah cemberutnya karena permintaannya semalam untuk tidak membalas pesan atau mengangkat telepon Aditya dulu untuk sementara waktu ternyata tidak dikabulkan. Ibunya pasti juga yang memberi tahu Aditya jika dia hari ini akan pergi bekerja kembali. 'Gagal sudah rencanaku menghilangkan pikiran tentang Aditya, seharian ini. Ah... Ibu ini,' batin Aliyah dalam hati. "Udah kamu itu kan dari kemarin ga enak badan, Ibu lebih tenang kalo kamu dianterin Aditya ke kantor. Mau, 'kan, Nak?" ucap Ibunya saat melihat Aditya di sana sudah turun dari mobil dan berjalan mendekatinya. 'Ibu tidak tahu saja kalo Aditya itu yang justru paling berbahaya buat Aliyah,' lagi-lagi Aliyah membatin di dalam hati. "Yaudah-yaudah iya. Aliyah mau dianterin Mas Aditya. Ayok," ucap Aliyah terlihat menggandeng tangan Aditya untuk diajaknya masuk ke dalam mobil karena berbahaya jika mengobrol di luar sana apalagi dengan kedua orang tua Aliyah yang masih belum berniat masuk kembali ke dalam rumah. Sebenarnya sudah 3 hari kemarin Aliyah cuek kepada Aditya. Pesan Aditya hanya dibaca dan telepon Aditya, juga hanya dibiarkan saja tak dijawab. Ya, perlu waktu baginya untuk menerima kenyataan pahit itu. Kenyataan pahit dimana pria yang dianggapnya selama ini adalah seorang malaikat penjaga yang dikirimkan Tuhan untuknya, ternyata hanyalah manusia biasa yang juga memiliki nafsu dan gairah terhadap lawan jenisnya. Aliyah lupa tentang satu hal itu. Mau bagaimanapun juga Aditya adalah seorang pria yang jika melihat lawan jenisnya tentu saja dia merasa tergoda. Jarang sekali pria memiliki iman sekuat baja dan Aditya, bukan termasuk ke dalam golongan pria itu. "Bi.. aku____" "Jalan aja dulu. Nanti Ibu sama Ayah khawatir. Aku juga takut telat, nih," ucap Aliyah terdengar sedikit kesal membuat Aditya tahu jika wanitanya itu masih marah. "Gapapa kamu mau ngomelin aku kayak gimana juga. Aku kangen sama kamu dan akhirnya dengan bantuan Ibu aku bisa ketemu lagi sama kamu kayak gini. Seneng deh," ucap Aditya terdengar tulus membuat Aliyah melirik pria itu sebentar dan benar saja, Aditya tersenyum setelah mengatakan semua itu. Entahlah. Perasaan Aliyah terasa campur aduk. Dia masih merasa marah pada pria itu. Bukan hanya marah bahkan perasaan kecewa itu masih ada tapi, di saat yang bersamaan, saat melihat Aditya tersenyum bahagia hanya karena bisa kembali bertemu dengannya seperti itu, hatinya terasa menghangat. Ternyata pria itu masih sama. Masih mencintai dan menyayanginya seperti dulu. Apakah kejadian itu hanya kesalahan yang tidak disengaja saja? Haruskah Aliyah menganggap semua yang terjadi hari itu adalah kecerobohan mereka berdua yang berujung kesalahan fatal tak terduga? "Kan aku udah bilang, aku mau sendiri dulu. Kamu kenapa dateng ke rumah?" protes Aliyah setelah dia berhasil mengendalikan perasaannya dan memutuskan untuk tetap mempertahankan amarahnya pada Aditya. "Ya, kan aku udah bilang aku kangen kamu, Bi? Emang dosa kalo pengen liat wajah pujaan hatinya yang cantik? Enggak, 'kan?" ucap Aditya yang terus saja berusaha merayunya agar hatinya luluh. Tapi Aliyah tidak akan menyerahkan hatinya semudah itu. Ia ingin melihat Aditya berusaha lebih keras lagi untuk mendapatkan maaf darinya. "Tapi tetep, aku masih belom maafin kamu. Gak tau kenapa rasanya susah buat lupain. Pas bercermin aja aku kayak ngerasa udah gak berharga lagi," ucap Aliyah membuat Aditya merasa tidak enak setelah mendengarnya dan langsung meraih dan menggenggam tangan wanitanya itu menggunakan tangannya yang bebas. "Jangan gitu, Bi. Mau wanita itu masih bermahkota atau nggak, tetep namanya masih wanita, 'kan? Masih sama tugasnya, masih sama kewajibannya, masih sama juga hak nya. Kamu nanti kalo udah jadi ibu juga tetap di kakinya masih ada surga buat anak-anak. Ga ada yang berubah. Aku juga masih sayang kamu dan malahan lebih sayang berkali-kali lipat sama kamu karena aku merasa sekarang kamu udah menjadi tanggung jawab aku penuh. Kamu tau, nggak? Aku belakangan ini lagi berusaha banget yakinin Mama buat setujuin pernikahan kita. Aku malahan ngotot biar kita cepet-cepet bisa bersatu dengan cara yang halal. Tapi ya memang kamu tahu sendiri Mama gimana, 'kan? Sabar ya. Aku bakal berusaha lebih keras lagi buat yakinin Mama," ucap Aditya membuat Aliyah menatap pria itu merasa terharu karena ternyata Aditya masih pria yang sama, yang selalu bisa menenangkan hatinya setiap saat. "Kamu kayak gini bukan cuma ngomong doang, 'kan? Kamu bener-bener ga bakalan ninggalin aku sampe akhir, 'kan?" ucap Aliyah yang tentu saja takut jika semua yang didengarnya itu hanyalah ucapan manis belaka. "Beneran, Bi. Aku janji ga akan ninggalin kamu apapun yang terjadi. Kita bakal nikah secepatnya. Aku pastiin itu," ucap Aditya kemudian membawa tangan Aliyah mendekat ke arah wajahnya dan diciumya lembut tangan wanitanya itu. Aliyah merasa lega. Ya setidaknya perasaan mengganjal di dalam hatinya bisa teratasi meski hanya sedikit. "Awas kamu boong ya. Kalo sampe nanti kejadiannya malah sebaliknya, sumpah, aku bakal benci banget sama kamu. Ga mau tahu. Aku ga bakal mau ketemu sama liat wajah kamu lagi nanti. Awas aja. Ya udah aku mau kerja dulu. Assalamualaikum..," ucap Aliyah saat mobil Aditya sudah sampai di depan gerbang kantornya. Setelah mengucapkan salam itu, Aliyah buru-buru turun dari mobil dan melenggang masuk begitu saja ke dalam kantornya membuat Aditya yang masih melihat kepergian wanita itu terlihat menghembuskan nafas panjangnya karena usahanya meluluhkan hati Aliyah ternyata belum berhasil juga kali ini. 'Jangan mengacuhkanku seperti ini terlalu lama, Bi. Ini menyiksaku. Sungguh,' • • • • • "Bukan gitu! Astaga, cepetan turun biar aku aja yang pasang," ucap Aliyah terlihat kesal kemudian langsung naik ke tangga dan memasang dekorasi ruangan itu hingga akhirnya sesuai dengan keinginannya. "Lo kenapa sih? Kok marah-marah terus sejak dateng? Siapa dulu yang bilang jangan bawa masalah rumah ke tempat kerja? Lo lupa ya?" ucap Lina di bawah sana terlihat menegurnya karena memang Aliyah sendiri sebenarnya merasa sudah keterlaluan kepada para staf yang sudah dimarahinya sejak tadi. Aliyah melihat sekeliling sebentar dan, "Maaf ya teman-teman. Aku marah-marah terus karena bawaan PMS. Maaf sekali lagi, ya," ucap Aliyah dengan sedikit berteriak kepada orang-orang yanga da di sana kemudian tertawa kecil seolah malu akan pengakuan PMS nya tadi. Sekali lagi, Aliyah hanya mengatakannya untuk beralasan saja, tidak lebih. "Udah biarin yang lain yang kerjain. Ntar kalo lo kecapekan, gue bisa dimarahin sama Ayah Saka yang terhormat. Udah turun cepet. Bantuin gue milih warna kain aja. Gue tunggu di depan," ucap Lina kemudian pergi meninggalkan Aliyah yang terlihat masih melanjutkan pekerjaannya menata dekorasi itu dan malah kini wanita cantik itu terlihat naik ke tangga yang lebih tinggi lagi. "Tidak. Harusnya sedikit ke kiri lagi," ucap Aliyah terlihat masih belum puas dengan hasil pekerjaannya dan akhirnya berusaha menata dekorasi itu di tempat yang menurutnya lebih tepat akan tetapi, Kaki Aliyah terlihat terlalu ke pinggir membuat wanita itu tentu saja langsung kehilangan keseimbangannya di sana dan, "Al!!!!!!! Awas!!!!" Terdengar teriakan Lina dari jauh tapi Aliyah sudah pasrah karena sebentar lagi dia akan terjatuh tapi ternyata Tuhan masih berbaik hati padanya karena entah mengapa Aliyah merasa jatuh di tempat yang cukup empuk. "Astaga!!! Bagaimana kau bisa bekerja dengan sikap ceroboh seperti itu?" Aliyah yang tadinya menutup matanya karena takut akan merasakan sakit saat jatuh langsung membuka matanya perlahan dan akhirnya dia tahu, ternyata dia jatuh dengan menimpa seseorang di bawahnya. Aliyah langsung bangun dan berdiri. Dia menunduk dan meminta maaf berulang kali pada orang yang sudah dengan suka rela mau menjadi alas saat dia jatuh tadi sebelum akhirnya langsung kabur dari sana. "Maafin temen saya tadi ya, Pak. Maaf kalo tadi dia jadi ngerepotin. Permisi," ucap Lina juga ikut meminta maaf pada pria yang secara sengaja atau tidak sudah menolong temannya itu sebelum akhirnya Lina pergi menyusul Aliyah keluar. "Lo gapapa, Bro? Kok lo bisa jatuh sih? Sini gue bantu," ucap teman pria itu terlihat membantunya bangun. "Ah... apes banget. Sakit pinggang gue jadinya. Sial!" ucap pria itu mengadu kesakitan sambil memegangi peinggangnya. "Mau ke rumah sakit aja, Sak? Lo yakin bisa lanjut kerja atau nggak nih?" tanya temannya membuat pria itu mengangguk pasti. "Ga ada sejarahnya, Sakti Mahendra gagal nyelesaiin pekerjaannya. Udah ayok, kita cek semuanya sekali lagi sebelum pulang. Besok udah harus kelar semua ini," ucap pria bernama Sakti itu terlihat membanggakan dirinya seperti biasa membuat temannya menepuk pinggangnya berusaha menggodanya. "Sakit, g****k!" "Tuh, kan. Sok kuat banget Lo ah," ucap temannya terlihat puas setelah menggoda Sakti kemudian dia berjalan pergi duluan meninggalkan Sakti di belakang. Ya. Sakti Mahendra. Pria sama yang hari itu datang ke rumah Aliyah. Pria sama yang berpapasan dengan Aliyah saat Aliyah pulang dari hotel. Dan sekarang pria itu kembali bertemu lagi dengan Aliyah dan bahkan tanpa sadar sudah membantunya lagi dan lagi tapi pria itu masih belum sadar akan hal itu. Itu karena keduanya tidak pernah saling memperhatikan satu sama lain. Keduanya selalu terlibat dalam ketidak sengajaan yang sepertinya sudah dirancang begitu baik oleh Tuhan. Sementara itu di tempat Aliyah... "Lo tau nggak tadi jatuh di atas tubuh siapa? Itu klien kita, Al! Bukannya tadi udah gue suruh turun, ya? Untung banget kelihatannya orangnya kalem. Kalo nggak habis kita. Lo sih pala batu banget. Heran gue. Tapi kasihan ga sih, pasti itu tulang-tulangnya tadi banyak yang patah gara-gara lo. Tanggung jawab sono lo," ucap Lina yang tentu saja membuat Aliyah merasa tidak enak setelah mendengarnya. Ya, sahabatnya itu memang benar. Pasti pria itu menjadi kesakitan karena ditimpa olehnya tadi. "Tanggung jawab gimana? Bawa ke rumah sakit gitu?" ucap Aliyah yang entah mengapa tiba-tiba menjadi lola membuat Lina memukul lengannya sedikit. "Iya bener tawarin gitu. Terus sambil bawa krim sakit pegal-pegal juga sekalian. Kalo-kalo dia gak mau dibawa ke rumah sakit, jadi lo kasih aja krim pegal-pegal itu ke dia," ucap Lina membuat Aliyah mengangguk paham dan langsung menatapnya serius. "Yaudah sini mana pinjem duit lo dulu. Nanti gue ganti," ucap Aliyah yang sama sekali tidak modal membuat Aliyah geleng-geleng kepala dan langsung memberinya 2 lembar uang seratus ribuan. "Gak usah dibalikin. Gue potong dari gaji. Sono. Hush.. hush...," ucap Lina kemudian terlihat masuk kembali ke dalam tempat yang nantinya akan diselenggarakan sebuah event cukup besar dari kliennya itu. Setelah kepergian Lina, Aliyah terlihat langsung berjalan pergi menuju mini market yang ada di seberang dan membeli krim pegal-pegal yang dimaksud Lina itu. Tapi, sekali lagi lolanya kambuh mendadak membuat Aliyah terlihat bingung harus membeli krim pegal-pegal merk apa. 'Krim pegal-pegal yang mana, ya? Terus gimana cara kasihnya ke dia nanti? Ih malu banget tau,' • • • • • "Lo ngeluh mulu sakit pinggang, tapi ga mau dibawa ke rumah sakit. Terus gue harus gimana? Gue bukan dukun, yang tinggal baca mantra komat-kamit terus lo langsung sembuh. Kalo bisa gitu, udah kaya raya gue dari dulu," ucap teman Sakti itu protes karena merasa tidak tahan lagi mendengar rengekan pria itu yang mengeluh sakit sejak tadi seperti anak kecil. "Lo gitu banget sama temen sendiri. Ga ada prihatinnya sama sekali. Kesel gue," ucap Sakti kembali mengomel membuat temannya jujur saja merasa tersinggung. "Yaudah lo mau gue ngapain sekarang? Gue cariin es batu buat kompres gitu? Atau mau air anget aja? Cepet pilih satu. Gue bukan dokter jadi gak tahu mana yang bener," ucap teman Sakti itu terlihat berdiri dan siap mencari sesuatu yang diperlukan Sakti itu. "Air hangat saja, Kak. Itu akan meredakan rasa pegalnya," Mendengar suara seorang wanita dari arah sampingnya membuat Sakti dan temannya langsung menoleh dan terlihat di sana Aliyah tengah berdiri dengan membawa kantong plastik di tangannya. "Kali gitu gue pergi cari dulu. Lu baek-baek di sini," ucap teman Aditya itu kemudian pergi dan kini tersisa Aliyah dan Sakti saja di sana. "Ini saya bawain krim pegal-pegal. Kalo mau mari saya antarkan ke rumah sakit, Kak," ucap Aliyah sopan sambil menyodorkan kantong plastik itu pada Sakti dan ya, karena merasa membutuhkannya, Sakti menerima pemberian Aliyah itu. "Ga usah. Makasih," ucap Sakti singkat, jelas, padat membuat Aliyah merasa tidak enak dan karenanya dia berniat ingin pergi dari sana tapi, "Tunggu-tunggu. Gue inget sama lo. Lo Aliyah anaknya temen Mama gue itu, 'kan? Pantesan. Pasti lo dendam sama gue gara-gara gue ejekin waktu itu, 'kan? Wah.. keren banget cara balas dendam lo sampe pinggang gue rasanya mau patah," ucap Sakti terdengar begitu menyebalkan membuat Aliyah akhirnya ingat kejadian pada hari dimana pria itu menunjukkan sikap yang tak jauh berbeda padanya saat itu. "Enak aja ya kalo ngomong. Lancar banget kalo nyalahin. Siapa sih yang mau sengaja jatuh buat bales dendam doang? Yakali nyakitij diri sendiri buat hal konyol kayak gitu. Lagian, kenapa juga tadi kok kebetulan ada di deket saya? Ya anggep aja apes. Udahlah, ngomong sama pria judes tuh susah," ucap Aliyah kemudian melenggang pergi dari sana membuat Sakti rasanya ingin sekali mengejar wanita itu dan memberinya pelajaran karena sudah berani menyebutnya judes tapi, ia ingat pinggangnya tengah sakit saat ini. "Keren banget tuh cewe. Ga ada takutnya sama lo. Yang kayak gitu tuh bisa dijadiin istri. Tegas dan berani. Cocok sama lo," ucap teman Sakti yang entah sudah sejak kapan berada di sana. "Istri lo bilang? Model begitu? Ya Allah, jangan dengerin omongan si k*****t ini. Dia tadi ga sungguh-sungguh," ucap Sakti membuat temannya itu tertawa terbahak-bahak dan, "Eh iya gue lupa. Ucapan bisa jadi doa, ya. Berarti kalo lo sampe nikah sama tuh perempuan, berarti itu karena doa sepenuh hati gue. Jangan lupa. Oke?" ucap teman Sakti yang terdengar semakin tidak tahu diri itu membuat pria itu menggelengkan kepalanya tak percaya. 'Musuh berkedok teman ya begini modelannya. Tapi tadi wanita itu emang berani banget sih. Liat aja besok, gue bales lo,' Bersambung....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN