[9]

1260 Kata
Justin memeriksa koleksi yang Irena bawa. Satu demi satu ia teliti dan membayangkan, bagaimana hasta karya ini seliweran di panggung pagelaran nanti. Apa yang harus ia tambah sebagai aksesoris serta siapa yang layak menggunakannya. Benar. Wanita itu sangat tepat menggunakan semua koleksi terbarunya. Ia belum lupa pada apa yang terjadi malam itu. Ingatannya kembali terseret pada satu moment di mana Justin merasa, dirinya pasti bisa mendapatkan wanita itu. “Apa kau buta?” teriak Justin. Ia sendiri tak memercayai suaranya yang menggelegar. Niatnya hanya untuk menakuti tapi sayang, sepertinya ia terbawa suasana. Mungkin karena Justin merasa menemukan apa yang dicari. Benar. Wanita itu memiliki mata yang indah. Dari sorotnya saja sudah bisa membius banyak orang yang menatapnya. Belum lagi, sepintas ia memindai bagaimana proporsi tubuh ramping juga seimbang di segala sisi. Semuanya terasa pas. Sempurna. “Ma-maafkan kami, Tuan.” Ruby berusaha untuk bangun. Setelah memastikan kalau bocah yang tadi ia peluk, tak mengalami luka sedikit pun. Ia juga memeriksa tubuhnya, siapa tahu ada yang terluka. Puji Tuhan, tak ada yang perlu ia khawatirkan. Ruby juga memastikan pada orang-orang yang mendadak berkerumun jika dirinya dan sang bocah, baik-baik saja. “Terima kasih, Tante,” kata si anak dengan raut lega juga sedikit gelisah. Namun segera saja merasa lega lantaran orang tuanya menghampiri. Memeluknya erat serta menangis tersedu karena hampir saja ... ya Tuhan! Hampir saja kejadian fatal menghampiri. “Dramanya sudah selesai?” tanya Justin dengan sorot tak suka. Matanya tak dilepaskan dari tiap gerak gerik Ruby. Wanita itu terus mengumbar senyum serta memberitahu kalau dirinya baik-baik saja. “Ah, maaf.” Ruby segera memfokuskan diri pada pria pemilik mobil merah. Yang mana tampak mengenaskan sekali mobil mewah itu sekarang. “Sekali lagi aku minta maaf.” “Apa maafmu menyelesaikan urusan kita, Nona?” Ruby tercekat. “Tapi ... aku tak sengaja melakukan hal itu.” Justin menyeringai. “Kau seharusnya mematuhi rambu yang ada.” “Tapi kau bisa melihat sendiri, kan, apa yang terjadi?” tanya Ruby bersikeras. “Justru seharusnya kita berucap syukur tak ada korban terluka.” Justin tertawa. “Mobilku?” tunjuknya pada mobil merah yang rusak bagian depannya. “Dia terluka, Nona. Jangan kau sepelekan mobilku.” Ruby meringis. “Aku bisa memperkarakan dirimu juga si bocah yang sembrono sekali menyeberang? Apa namanya kalau bukan orang tua yang lalai?” Sebagian orang yang ada di sana tampak terdiam. Saling menatap satu sama lain, ingin protes tapi sosok Justin terlihat menyeramkan. Sorot matanya tajam, suaranya serupa petir, serta tubuhnya yang tinggi tegap membuat banyak dari mereka memilih bungkam. Ruby mengembuskan napas lelah. Seharusnya perjalanan pulang ke rumahnya dilalui penuh kedamaian. Ya ... setidaknya mulai malam ini dirinya tak perlu berurusan lagi dengan Carl. Semuanya sudah selesai. Hidupnya bisa kembali seperti semula walau ... menyisakan lubang yang besar di hatinya. Akan tetapi, semuanya terjadi begitu cepat. Bagaimana bisa Ruby terkena masalah seperti ini di saat mungkin secangkir cokelat hangat bisa ia nikmati sembari menghabiskan malam? “Aku akan bertanggung jawab, tapi jangan memperbesar masalahnya.” Ruby menatap Justin dengan sisa keberaniannya. “Jangan kau seret keluarga bocah ini. Dia tak sengaja melakukannya.” “Good.” Hanya itu respon dari Justin. Pun ponsel yang ia sodorkan pada Ruby. Tak memedulikan sorot mata keheranan yang Ruby berikan. “Masukkan nomor ponselmu, Nona. Aku akan menghubungi begitu mobil ini masuk ke bengkel.” Tak ada yang bisa wanita itu lakukan kecuali menuruti. Justin? Bersorak riuh di hatinya. Ia hanya tinggal menyiapkan jebakan kecil dan ... Voila! Wanita ini pasti terjebak bekerja di bawah kendalinya. Memamerkan koleksi musim ini serta menyukseskan pagelaran yang sebentar lagi akan terselenggara. Pria itu tak sabar dengan hasilnya nanti. Seandainya wanita ini mangkir dari ucapannya, Justin paling tahu harus berbuat apa. Dirinya punya kuasa, tak sukar hanya mencari satu nama. “Pak,” sapa Irena dengan tatapan bingung. Sejak tadi ia memerhatikan bosnya bertingkah aneh. Koleksi yang akan mereka persiapkan masih juga menjadi perhatian Justin. Quality Control sudah berulang kali mengecek bagaimana finishing pada gaun-gaun bernuansa lavender itu. tak ada yang kurang. Semuanya juga sudah lolos penilaian Justin. Lantas apalagi yang membuat sang bos kembali mengeceknya?” “Ada apa?” tanya Justin tanpa perlu repot menoleh. Matanya masih asyik tenggelam dalam imajinasinya di mana gaun-gaun ini dikenakan oleh wanita bermata hijau zamrud itu. “Bawakan aku kotak gelang bernuansa Arabia, Irena.” Irena semakin terperangah. “Tapi, Pak, siapa modelnya? Anda belum menentukan. Di bawah sudah ada Giselle, Harley, serta Ursula. Mereka menanti giliran untuk mencocokkan dengan tema kita kali ini.” Justin mengibas seraya berdecak sebal. “Aku tak butuh tiga model itu. Wajah mereka tak sesuai dengan tema kali ini, Irena. Selera fashionmu anjlok? Tak bisa membuat penilaian sendiri?” Irena menelan ludah gugup. “Giselle cantik dengan kulitnya yang seputih pualam. Garis rahangnya juga lembut. Hanya cocok menggunakan gaun bertema putri dongeng dengan detail mutiara. Rambutnya tak pernah gagal menyihir peminat pagelaran karena selain indah, rambut yang Giselle miliki selalu pas bersanding dengan gaun buatanku.” Asisten Justin tak bisa memungkiri penjelasan Justin. Mata sang bos tak bisa ditipu terutama berkaitan dengan detail terkecil dari potongan rancangannya. “Sementara Harley dan Ursula? Potongan dress simple yang menutup tubuh mereka tapi di saat yang bersamaan, kaki jenjang Ursula membuat potongan simple itu menjadi pakaian yang seksi serta menggairahkan. Harley? Kau tahu pasti dirinya serupa titisan Dewi Hera yang membawa pesan damai di tiap langkah. Merah adalah ciri Ursula dan gadis itu tak pernah sia-sia membawakan nuansa yang menarik lawan jenis untuk menatapnya lebih lama. Bukan warna seperti ini yang cocok untuk Ursula Dan Harley lebih mencirikan warna-warna monokrom karena ia dianugerahi wajah tegas tapi di saat yang bersamaa, ditunjukkan potensi seorang wanita yang pintar juga bermartabat.” Justin tersenyum tipis. Matanya masih terpusat pada salah satu gaun yang menjadi favoritnya. Warna lavender lembut dengan sweetheart neckline serta shoulder strapes yang cukup besar menyangga di bagian bahu. Aksen bordir bunga di seluruh permukaan bagian depan sampai punggung, dengan paduan kain tulle yang mewah. Sengaja Justin pasang batu swarovski di bagian rok yang mengembang namun anggun dikenakan. Ia tak sabar membayangkan, betapa cantik wanita yang semalam itu mengenakannya. “Kau kerjakan apa yang kuminta, Irena. Urusan model yang cocok, sudah menjadi urusanku. Kau tenang saja.” Irena mengerjap heboh. Tak pernah sang bos bersikap tenang serta ... apa yang tadi Justin lakukan? Menepuk bahunya? Seolah memberi ia semangat? Apa semangat karena sebentar lagi mereka terkena dampak murka Justin? Entahlah. Yang jelas Irena segera pergi dari ruangan yang didominasi warna monokrom ini. Lebih baik menghindar serta bergegas memenuhi apa yang Justin minta ketimbang mendapati sang bos kembali dipenuhi murka. Tidak. Irena masih ingin selamat bekerja di SEO Fashion. Sementara Justin? Kembali tenggelam dalam khayal sampai ... ponselnya berdering nyaring. Ingin rasanya ia memaki namun ID caller yang muncul di sana, melenyapkan segala emosi. “Apa benar saya terhubung dengan Pak Justin?” Justin tertawa tertahan. “Kau baru menghubungiku setelah tiga hari pasca kejadian, Nona?” Ada erangan tertahan di sana. “Maafkan aku, Pak.” “Sudahlah. Aku menghargai dirimu yang masih berniat bertanggung jawab.” Padahal Justin juga sudah mulai mengalkulasi cara menemui wanita itu malam ini. “Kapan kita bisa bertemu? Anda sudah membawa mobilnya ke bengkel, kan? Berapa kira-kira nomi—“ “Saya kirimkan alamat kantor dan segera temui saya di sini. Kita bicara hal itu di kantor. Tak etis membicarakan perkara mobil di telepon seperti ini.” “Baiklah,” Di ujung sana sang wanita mendesah pelan. “Saya akan segera menemui Anda.” Justin tersenyum riang. Sambungan telepon itu pun ia matikan sepihak. “Bingo!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN