“Ini mbak sùsunya, silahkan diminum.”
“Kau tidak menaruh ràcun di sùsu ini’kan?”
“Apa yang mbak katakan? Aku tidak mungkin melakukan itu.” Andhini tidak mampu lagi menahan air matanya. Ia pun berlari menuju kamarnya.
“Cukup Mira! kau sudah keterlaluan.” Reinald meninggikan suaranya dan meninggalkan Mira. Reinald keluar dari pekarangan rumah menggunakan mobilnya. Pergi tanpa arah dan tujuan.
“Lihat tu papa kamu, malah belain tante kamu yang gànjen itu.”
“Kenapa sih ma, tante Andhini itu nggak diusir saja dari rumah ini. sebel juga liatinnya. Mana Aulia juga disayang banget sama nenek.” Siska mengikuti sifat ibunya.
Aulia yang berusia delapan tahun adalah anak dari Andhini dan Soni. Gadis itu berparas manis sama seperti ibunya. Sifatnya juga lembut dan penyayang. Aulia begitu santun dan begitu menyayangi nenek dan kakeknya, jadi wajarlah jika orang tua Andhini lebih menyayangi Aulia dibanding Gibran, Siska dan Asri.
-
-
-
Di kamarnya, Andhini terduduk lemàs di atas ranjang. Walau sudah berkali-kali dia mendapat perlakuan seperti itu dari kakaknya, namun hatinya masih saja terluka. Ingin rasanya ia pergi dari rumah itu. Namun jika ia pergi, siapa yang akan menjaga dan menemani orang tua mereka?
Andihi dulu cukup senang, karena semenjak Mira dan Resti menikah, mereka sudah tinggal di rumahnya masing-masing. Hanya sesekali Andhini mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan itu. Namun selama rumah Mira direnovasi, Andhini harus bersabar diperlakukan dengan semena-mena oleh kakaknya itu.
“Mama kenapa menangis?” Aulia tiba-tiba masuk ke dalam kamar Andhini.
“Tidak apa-apa, Sayang. Kamu juga kenapa?, tanganmu merah.” Tangan kiri Aulia tampak memerah.
“Habis dipukul sama kak Siska, katanya Aulia nggak tahu diri. Tante pulang dari rumah sakit, Aulia malah keluyuran. Padahal Aulia’kan sudah izin sama mama pergi belajar kelompok ke rumah Putri.” Andhini terenyuh melihat putrinya itu.
Mengapa aku harus mengalami semua ini, apa salahku pada mereka semua? Kalau mau marah, harusnya marah sama Tuhan, kenapa Tuhan menciptakan diriku lebih baik dari mereka, Andhini membatin dan menangis sambil memeluk anaknya.
Ponsel Andhini berdering. Ada panggilan dari Reinald.
“Halo Sayang, kamu baik-baik saja’kan?” Mendengar suara Reinald, Andhini segera menutup pintu kamar dan menguncinya. Sementara Aulia sudah tertidur di atas ranjang.
“Aku baik, Mas, kenapa menghubungiku?”
“Kamu lagi di mana?”
“Lagi di kamar, Mas.”
“Kamu habis nangis?”
“Bukan’kah itu memang makanan Dhini sehari-hari, Mas. Kapan rumah mas selesai, Dhini tidak kuat selalu diperlakukan seperti itu oleh mbak Mira.”
“Kamu harus sabar, Sayang. Justru itu lebih baik untuk kita berdua. Jika aku segera pindah atau membawa Mira mencari kontrakan, akan lebih sulit untuk kita saling bertemu. Justru itu akan membuat mereka curiga.” Reinald tidak ingin jauh dari Andhini.
“Tapi ... mbak Mira sudah kelewatan.”
“Kamu harus belajar melawan mbakmu itu, jangan biarkan mereka semena-mena terhadapmu. Minta pada mama dan papa untuk mencari asisten di rumah ini, atau coba hubungi mas Agung. Mas Agung pasti tidak akan keberatan.” Agung adalah kakak tertua Andhini yang sekarang tinggal di Pontianak. Agung pemilik perusahaan percetakan cukup besar di sana. Percetakannya memiliki beberapa cabang dan cukup sukses. Agung sangat menyayangi Andhini dibanding Mira dan Resti.
Agung sudah berkali-kali menawarkan Andhini seorang pembàntu. Menawarkan Andhini sebuah rumah dan lainnya. Tapi Andhini menolak, Andhini tidak ingin menyusahkan kakak-kakaknya walau pun keadaan ekonominya jauh di bawah mereka semua.
“Ya, Mas ... nanti Dhini akan coba hubungi mas Agung.”
“Baiklah, jangan menangis lagi. Atau apa Dhini mau menyusul mas ke sini. Mas sedang berada di rumah teman. Mas bosan di rumah, kebetulan teman mas tidak sedang di rumah. Tapi kalau pun dia ada, tidak masalah untuk kita.”
“Tapi, Mas ...?” Andhini tampak ragu menerima tawaran Reinald, tapi saat ini dia memang sedang butuh seseorang untuk menguatkannya.
“Sudahlah ... mas tahu, kamu sekarang butuh dukungan. Bersiap-siaplah, nanti mas jemput di depan swalayan Gembira. Mas akan pakai mobil teman agar tidak ada yang curiga.”
“Baiklah, Dhini ke sana sekarang. Dhini bersiap dulu.” Reinald begitu gembira mendengar Andhini akan menemuinya. Reinald bahkan terpikir untuk membeli rumah lagi untuk mereka berdua.
“Bro, gue pinjem rumah lu dulu ya. Adik gue sedang sedih, biasa ... diperlakukan semena-mena lagi sama kakaknya.” Reinald berkata kepada Andi—sahabat satu kantornya.
“Lu mau pake rumah gue untuk mèsum lagi bro.” Andi tampak menggoda Reinald.
“Halah... Lu kayak suci aja bro, nikah emang belum tapi kagak pernah puasa’kan lu, hahaha.” Andi memang masih belum menikah di usianya yang sudah menginjak tiga puluh delapan tahun. Padahal pria itu sudah memiliki segalanya, namun setiap berhubungan dengan wanita, tidak pernah berakhir ke pernikahan.
“Tapi gue bener prihatin sama hidup lu bro, makanya gue jadi semakin takut untuk nikah. Dapat istri bukannya bahagia malah bikin lu sering stress kayaknya.” Andi memang tahu segalanya tentang kehidupan Reinald. Mereka sudah bersahabat semenjak SMA. Hanya Andi dan Andhini yang mengerti perasaan Reinald saat ini.
“Makanya, lu tu pintar-pintar nyari istri. Sampai kapan lu akan membujang seperti ini. umur hampir kepala empat, nanti lu udah tua anak lu masih bayi-bayi.”
“Ah, elu ngomongin itu terus bro. Mending gue cabut ach. Nggak mau jadi obat nyamuk gue. Bisa tersiksa adik gue mendengar suara mengerikan lu nanti.”
“Nach, itu baru sohib gue bro. Hahaha... Oiya, cariin gue rumah dong, tapi yang di daerah cuek kayak tempat lu ini. kalau daerah perkampungan nanti bisa ribut jika gue sering bawa Andhini ke sana.”
“Lu serius bro.”
“Gue serius, gue udah nggak bisa lagi jauh dari Andhini.”
“Penasaran gue dengan adik ipar lu itu. Tapi oke dech, nanti gue tolong cariin. Gue cabut dulu ya.”
“Sip, gue mau jemput Andhini dulu. Eh gue pake mobil lu ya.”
“Enak banget lu ya bro, pake rumah gue, sekarang mobil gue juga.”
“Ah, banyak cerita lu, lu pake mobil gue, gue pake mobil lu, kita change, hahaha.” Reinald menyambar kunci mobil yang berada di tangan Andi.
Reinald pun beranjak meninggalkan rumah Andi. Pria itu tidak sabar membayangkan akan menghabiskan siang bersama kekasih terlàrangnya. Sebelum menjemput Andhini, Reinald mampir ke toko sayuran yang lokasinya tidak jauh dari minimarket tempat Andhini menunggu. Reinald membeli beberapa sayuran dan ikan. Semua belanjaan ini akan diberikan kepada Andhini agar wanita itu punya alasan keluar rumah.
Sementara Andhini sudah bersiap ingin menemui Reinald. Wanita itu berpenampilan biasa saja. Tidak ada yang istimewa atau mencolok. Mengunakan baju kaus lengan panjang dan rok sebetis. Bedak tipis dan lipstik berwarna peach yang natural.
“Mau kemana, Kamu?” Mira bertanya dengan ketus.
“Ada perlu, Mbak. Sekalian mau belanja.”
“Semoga saja benar, bukannya pergi pacaran.”
Huft ...
Andhini menghela napas panjang setelah mendengarkan perkataan Mira. Wanita itu berusaha mengabaikan Mira dan semakin mempercepat langkahnya. Keinginannya untuk segera bisa bertemu dan didekap oleh Reinald semakin besar. Tiba-tiba pikiran jahat merasuk ke otaknya. Andai saja ia tidak bersuami, maka akan ia rebut Reinald dari Mira.