Anwar berenang cukup lama malam itu. Dia ingin menghilangkan keresahan yang menyelimuti dirinya. Entah kenapa bayangan Mirna bersama laki-laki muda tampan itu belum sepenuhnya hilang dari benaknya. Anwar sesekali menggeram dan mengerahkan seluruh tenaganya saat berenang karena membayangkan apa yang sedang Mirna lakukan bersama laki-laki itu di dalam kamar kos Mirna.
"Astaga. Ada apa denganku?" tanyanya yang merasa aneh dengan dirinya sendiri. "Aku nggak pantas begini,” gumamnya dalam hati.
Anwar mengalami kecemburuan luar biasa. Selama berpacaran dengan Dea, dia tidak pernah secemburu dan semarah ini. Dan Mirna bukan siapa-siapanya. Lalu kenapa dia mencemburuinya?
Anwar ke luar dari kolam renang sambil mengamati kaca besar dapur rumahnya. Dia tertawa kecil membayangkan sosok Mirna yang sedang mengamatinya berenang. Anwar juga menertawai dirinya yang sangat konyol.
Anwar raih handuk panjang yang terlipat di tepi kolam dan melingkarkannya ke pinggang, lalu memasuki rumahnya.
Meski sudah rapi dengan piyama tidur, Anwar tidak segera merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Dia duduk di tepinya dengan pikiran yang masih saja tertuju ke kejadian sore tadi.
Wajahnya seketika berubah karena mengingat suatu malam di mana Paula menceritakan kegiatan Mirna di kampus. Salah satunya adalah bahwa Mirna akrab dengan seorang mahasiswa yang bernama Rio. Rio berasal dari Bandung dan sudah memiliki pacar.
Anwar hela napas panjang. Dia pikir Mirna berkata yang sebenarnya bahwa dirinya tidak melakukan apa yang Anwar tuduhkan. Mirna tidak berpacaran, dan laki-laki itu hanya menumpang ke belakang. Seandainya mereka berniat berduaan, pastinya sudah lama mereka menghabiskan waktu di dalam kamar itu dengan dalih mengerjakan tugas kuliah berdua. Tapi terbukti Mirna dan teman-temannya melakukan tugas kelompok di café mall.
Anwar tatap langit-langit kamar dengan perasaan penuh penyesalan. Terbayang di pikirannya bayangan wajah Mirna yang menangis memohonnya untuk tidak mengadu ke papanya. Suara sedih Mirna terngiang-ngiang di telinganya.
Anwar tatap ponselnya yang tergeletak di atas nakas di sisi tempat tidur dengan perasaan gundah. Tidak mungkin bisa menghubungi Mirna malam ini dan berucap maaf, karena nomor kontaknya tidak diperkenankan Mirna.
Tapi dia raih juga ponselnya.
Anwar mendengus tersenyum. Ada beberapan panggilan dan pesan dari Mirna.
Om. Jangan cerita ke Papa, Please. Mirna mohon dengan sangat
Tanpa pikir panjang, Anwar langsung menghubungi Mirna malam itu juga.
"Halo, Om. Maaf ganggu. Maaf, Om.”
Anwar terenyuh mendengar suara serak Mirna. Sepertinya Mirna masih menangisi kejadian sore tadi.
"Om yang harusnya minta maaf ke kamu,"
"Om sudah telpon Papa ya?"
Anwar terkekeh. Suara Mirna sungguh menenangkan perasaannya.
"Nggak, Mirna. Om tau Om yang salah,"
Terdengar hela napas lega dari Mirna.
"Maafin Om yang sudah menuduh kamu yang tidak-tidak. Om kaget saja,"
"Oh.”
"Kosan kamu dekat banget dengan kantor Om,"
"Oh. Dekat ya, Om?"
"Iya. Ke luar gang ada gedung di samping mall,"
"Gedung yang tiga tingkat?"
"Iya. Kantor Om di lantai dua,"
"Oh,”
"Masih sedih?"
Terdengar Mirna menghisap hidungnya.
"Nggak, Om,"
"Good,"
"Paula ada ya, Om?"
"Ada. Mau ngobrol?"
"Haha. Nggak, Om,"
"Dia sibuk juga kayak kamu. Tadi dia ke rumah temannya yang bernama Iin. Mereka juga belajar berkelompok,"
"Iya, Om, lagi sibuk-sibuknya kita nih,”
"Astaga. Om lupa ngucapin makasih,”
"Makasih apa, Om?"
"Oleh-oleh dari Papamama kamu. Om lupa hubungi Papa kamu juga,"
"Tapi jangan cerita kejadian yang tadi, Om,"
"Nggak, Mirna. Paling Om nanti bilang ke Papa kamu kalo kosan kamu dekat dari kantor Om. Pasti Papa kamu senang,”
Terdengar tawa kecil Mirna.
"Oke, Om. Itu aja. Mirna minta maaf tadi,”
"Om juga … hm … maafin Om,"
"Iya. Hm ... Bye, Om Anwar,"
"Goodnight.”
Anwar mendengus tersenyum. Lucu membayangkan dirinya bersama gadis remaja belasan tahun itu.
Anwar yang masih ingin mendengar suara Mirna, kembali menghubungi Mirna.
"Iya, Om?"
"Nggak papa kan kalo Om sesekali hubungi kamu?"
"Haha. Iya, Om. Maaf kalo Mirna blok selama ini. Hm....”
"Kenapa?"
"Nggak ada apa-apa sih. Cuma ingin ngeblok aja,"
Ada nada tertahan terdengar dari Mirna.
"Nggak mau cerita?"
"Nggak, Om. Nggak papa sih. Mirna mau fokus kuliah,"
"Sekarang nomor Om sudah nggak kamu diblok, tapi masih bisa fokus kan?"
"Hm … bisa," lagi-lagi nada suara Mirna terdengar tertahan. Sepertinya ada sesuatu yang tidak ingin Mirna ungkapkan.
Anwar menghela napas panjang.
"Besok sore … boleh Om mampir ke kamar kos kamu?"
***
Deg.
Mirna menelan ludahnya saat mendengar permintaan Anwar yang ingin singgah di kamar kosnya besok sore. Nada suara Anwar sedikit berubah pelan saat mengatakannya.
Mirna awalnya ragu menjawab.
"Hm … iya, Om. Boleh,” ujarnya. Dia tepis keraguan yang sebelumnya menerpa dirinya.
"Nggak lama, Mirna. Sebentar. Om hanya ingin liat kamar kamu gimana,”
"Iya, Om,"
"Ok. Goodnight, Mirna,"
"Goodnight, Om,”
Mirna letakkan ponselnya di atas meja belajarnya yang berdekatan dengan dipan kasurnya dengan perasaan tak menentu. Meski lega karena Anwar ternyata tidak mengadukan kejadian sore tadi ke papanya, Mirna sedikit resah dengan apa yang dia rasakan sekarang. Aneh saja dengan sikap Anwar yang tiba-tiba memarahinya sore tadi. Kemarahan tanpa alasan, persis Paula. Lebih-lebih barusan Anwar menghubunginya dan menyatakan keinginannya untuk singgah di kamarnya besok sore. Suara Anwar terdengar sangat lembut.
Mirna tersenyum dengan bibir mencebik. Dia tepis dugaan bahwa Anwar menyukainya. Tidak mungkin pengusaha kaya seperti Anwar menyukai gadis biasa seperti dirinya. Apalagi anaknya yang sama sekali tidak menyukainya.
Mirna menggeleng sambil menertawai dirinya yang merasa disukai Anwar.
Dan malam itu Mirna tidur dengan mudahnya.
***
Paula mencebikkan bibirnya melihat papanya yang tampak semangat menyiapkan sarapan pagi. Agak heran dengan sikap papanya yang penuh senyum pagi ini, padahal dia baru saja putus cinta. Dulu saat kehilangan mamanya, wajahnya tidak pernah sebahagia ini. Paula pun menduga mungkin papanya tertekan selama berpacaran dengan Dea, sehingga di saat putus, papanya merasakan kebebasan yang sesungguhnya.
"Steak ayam dan sayur mayur,” decak Anwar saat menghidangkan pot panas ke hadapan Paula yang sudah duduk manis di meja makan. Anwar memang sangat pandai memasak. Maklum, salah satu pekerjaan yang dia tekuni di samping sebagai pengusaha perkebunan, Anwar juga merupakan food tester atau pencicip rasa yang cukup terkenal di kalangan pengusaha makanan di Tangerang. Anwar adalah sosok serba bisa. Dia juga membuka jasa financial advisor bagi kalangan pengusaha muda yang baru akan merintis usaha dan bisnis mereka.
"Kok senyum-senyum, Pa? Baru juga putus dari Tante Dea,” decak Paula. Dia sudah siap-siap dengan garpu dan pisaunya.
Anwar lepas apron dan menggantungkannya di sisi lemari makanan. Lalu duduk di hadapan Paula. Dia juga akan menikmati sarapan pagi.
"Emang harus sedih terus-terusan?" tanyanya setelah mengunyah potongan steak ayam.
Paula menggeleng tertawa.
"Aneh aja sih. Aku aja masih sedih, Pa. Papa udah kayak bebas gitu,"
"Kok kamu sedih?"
"Hm … ya kesal banget. Soalnya aku sudah mulai suka dengan Tante Dea. Dia tuh manis banget, trus baik dan … ck, sudahlah.”
Anwar belum puas dengan komentar Paula mengenai putusnya hubungannya dengan Dea.
"Ada yang kamu sesalkan?" tanyanya. Dia sebenarnya sudah mengetahui kekesalan yang dirasakan Paula. Anwar hanya ingin mendengar langsung dari Paula.
"Kan aku pingin kuliah di luar. Papa malah putus dari Tante Dea.”
Anwar terkekeh. Dugaannya benar adanya.
"Kuliah di luar dan dalam negeri sama aja, Paula,"
"Beda, Pa. Liat teman-teman aku di sana hepi gitu,"
"Kalo kamu kuliah di luar … Papa kesepian,"
Paula hempaskan napasnya seraya menatap wajah sedih papanya. Ah, tidak mungkin juga papanya dan Dea bersatu kembali meskipun Dea menghubunginya berulang kali menanyakan papanya. Dea sudah mengkhianati hati papanya. Paula juga tidak ingin papanya terluka. Dia sebenarnya pun merasa dikhianati.
Paula tersenyum tipis. Dia nikmati sarapan paginya bersama papanya.
"Papa nggak pergi awal pagi?" tanyanya saat menyadari Anwar masih dengan pakaian rumahnya. Papanya biasanya pergi kerja sangat pagi.
"Jam sepuluh nanti ada rapat rutin. Hm … oiya, mungkin Papa pulang agak telat. Agak malam barangkali," ujar Anwar. Dia tidak ingin Paula tahu rencananya mengunjungi Mirna sore setelah bekerja.
"Aku sendirian lagi dong,” decak Paula.
"Yah. Nggaklah. Papa kan nggak pernah ambil job dinas luar kota atau menginap. Kamu nggak akan pernah kesepian. Ada Papa … yang jagain kamu. Ada mama juga.”
Paula menghela napas panjang. Selera makannya tertahan mengingat mendiang mamanya.
Paula tatap wajah teduh papanya.
"Aku doakan Papa nanti dapat jodoh yang sama kayak Mama,” ucapnya penuh harap.
Anwar mengangguk.
Wajah Mirna yang terlintas di benaknya.
Bersambung