Namaku Elian Winola. Saat ini harusnya aku berada di semester 7 perkuliahan di jurusan Ekonomi dan Bisnis di Universitas Pembangunan Nasional veteran Jakarta selatan. Tapi untuk mengurus si kecil Aleo, aku mengajukan cuti akademik. Itupun maksimal 2 semester berturut-turut. Artinya aku hanya bisa full menjaga Aleo sampai dia berusia 1 tahun.
Tak apalah, tahun depan aku bisa melanjutkan kuliahku meskipun beberapa beasiswa sudah dicabut karna cuti akademikku. Aku hanya akan terlambat 1 tahun menyandang gelar Sarjana Ekonomi.
Sebulan yang lalu aku pindah dari kontrakanku yang lama untuk menutupi jejak kelahiran Aleo. Sedikit lebih jauh sih dari kampusku, tapi setidaknya di kontrakanku yang sekarang tidak akan ada yang tau kalau Aleo bukanlah anak kandungku.
Dengan begitu aku bisa menjaga lingkungan si kecil dari mulut2 mereka yang tidak bertanggung jawab. Aku tidak ingin masa kecil aleo jadi tidak bahagia jika dia mengetahui kalau aku bukanlah ibu yang melahirkanya.
Jika kebetulan ada yang bertanya dimana ayahnya Aleo, aku terpaksa harus menjawab kalau ayah Aleo sudah meninggal dalam kecelakaan beberapa hari setelah Aleo dilahirkan. Dengan begitu tak ada seorangpun yang akan menyudutkan Aleo dengan kata2 buruk seperti anak haram, atau anak yang lahir tanpa ayah. Aku tau aku salah, tapi demi masa depan Aleo, aku tak peduli walaupun aku harus berbohong.
Entahlah sampai kapan aku harus menyembunyikan Aleo dari ayahnya sendiri. Aku juga merasa heran mengapa kak Hilda tak ingin Aleo diserahkan saja pada keluarga ayahnya Aleo. Bukan karna aku keberatan menjaga Aleo, tapi lebih karna ayahnya lah yang berhak atas hak asuh Aleo.
Aku jadi terkesan seperti orang yang memisahkan anak dari ayahnya. Apa ayah Aleo tak mengharapkan adanya Aleo? Mengapa kak Hilda melarangku menghubunginya jika tak ada sesuatu yang benar2 mendesak? Terkadang ingin sekali kutelpon nomor itu, tapi aku yakin kak Hilda pasti punya alasan yang kuat mengapa menyerahkan Aleo padaku.
Aku juga terpaksa menguras semua tabunganku demi mencukupi kebutuhanku dan Aleo. Untuk sementara aku tidak bisa bekerja dan menitipkan Aleo pada jasa penitipan anak. Aleo masih terlalu kecil untuk ditinggal hanya demi alasan mencukupi kebutuhan. Memang sih kak Hilda meninggalkan cukup banyak uang ditabunganya, tapi uang itu hanya akan kugunakan jika Aleo memang benar2 membutuhkanya.
Menjaga Aleo memberi pengalaman baru dalam hidupku. Aku yang sebelumnya tidak pernah menyentuh bayi cukup kesulitan walau sekedar membuat s**u atau mengganti popoknya yang basah. Beruntung Aleo bukanlah bayi yang rewel.
Entahlah bayi kecil itu mungkin mengerti dengan kesulitanku. Aleo Atha Alexandro, aku berjanji satu tahun ini akan menjadi hari2 yang paling menyenangkan untuk kita berdua.
***
Satu tahun kemudian
Aleo sudah bisa berjalan meskipun masih sering jatuh. Dia juga sudah bisa menyebutkan kata mama, walaupun masih sangat jarang. Aku sudah terbiasa menitipkan Aleo untuk beberapa jam dalam sehari karna aku sudah melanjutkan kuliahku seperti biasanya.
Saat tidak ada kuliah, aku juga mulai mengambil kerja sampingan direstaurant temanku. Beruntung keluarganya baik dan mengizinkanku mengambil kerja hanya saat aku tidak ada jam kuliah, dan terlebih lagi aku diizinkan untuk membawa Aleo saat aku bekerja.
Pekerjaanku hanya bersih2 area dapur dan mencuci piring, jadi Aleo tidak akan mengganggu rutinitasku. Apalagi aku juga membeli arena bermain anak persegi empat yang tidak memungkinkan Aleo keluar dari dalamnya.
Aleo juga bukan anak yang ingin selalu nempel padaku seperti anak2 pada umumnya, dia terbiasa bermain sendiri. Tapi dia jadi lebih senang saat aku ada waktu senggang dan menemaninya bermain. Anak ini sepertinya sangat pintar dan mengerti. Siapa yang mewariskan sikap tenang ini padanya? Pastilah kak Hilda, mana mungkin sikapnya yang begitu baik ini diwarisi dari ayahnya yang begitu jahat.
Sahabatku Karin orang yang punya restaurant tempatku bekerja mengambil jurusan Ekonomi dan Bisnis sama sepertiku. Satu-satunya hal yang keluarganya minta atas imbalan kebaikan mereka yang telah mempekerjakanku hanyalah mengajari Karin tentang pelajaran di kampus.
Tentu saja aku tidak keberatan, karna mengajari orang itu adalah keahlianku. Aku juga membuka bimbingan belajar untuk anak SD dan SMP dilingkungan tempat tinggalku. Dengan begitu aku masih bisa cari uang sekaligus menemani Aleo bermain.
Waktu rasanya cepat sekali berlalu. Aleo yang dulunya bisa kugendong dengan satu tangan, kini menjadi begitu gendut dan menggemaskan. Kebutuhan akan s**u dan perlengkapan bayi jadi semakin bertambah dan tentu saja aku harus bekerja lebih giat agar Aleo ku bisa hidup layaknya anak2 lainnya yang semua kebutuhanya terpenuhi.
Sesekali kugunakan uang peninggalan kakak jika aku harus membeli barang2 yang cukup mahal untuk Aleo. Seperti arena bermain yang kutinggalkan di restauran Karin itu. Selebihnya tak pernah kugunakan uang itu jika tidak dalam keadaan yang benar-benar perlu.
Semua waktuku hanya berputar disekitar rumah, tempat kuliah, dan tempat kerja. Aku seperti tak punya waktu untuk diriku sendiri. Jikapun punya waktu luang yang cukup panjang, maka waktu-waktu seperti itu kugunakan untuk mengajak Aleoku jalan-jalan.
Ternyata dunia ibu rumah tangga itu seperti ini ya. Bukan hanya mencari nafkah, seorang ibu harus pintar membagi-bagi waktunya untuk anak dan keluarga. Tapi karna pada dasarnya aku belum berkeluarga, jadi aku hanya mengurus Aleo dan diriku sendiri, itupun sangat merepotkan buatku.
Beberapa bulan yang lalu aku masih punya pacar. Pacar yang sudah lebih dari 2 tahun bersamaku. Tapi dia memilih untuk berpisah karna aku tak perrnah punya waktu lagi untuknya. Kalaupun aku masih punya waktu untuk kencan dengannya, aku terpaksa harus membawa Aleo karna tak ada yang menjaganya.
Aku tak mungkin menitipkan Aleo dan membuang-buang uang hanya untuk kesenangan pribadi yang sifatnya tidak terlalu penting. Dia tidak bisa menerima keadaanku yang seperti itu, jadi dia memutuskanku secara sepihak. Mau bagaimana lagi, jikapun dilanjutkan mana ada orang yang mau menerimaku dengan seorang anak yang menyertainya.
Kisah percintaanku berakhir begitu saja. Sejujurnya dari awal aku merasa tak yakin hubungan itu akan berjalan mulus. Mantan pacarku itu berasal dari keluarga yang mampu, secara ekonomi bisa dibilang meraka keluarga kaya dan hidup berkecukupan.
Sedangkan aku, aku memilih pergi dari keluarga yang membesarkanku karna mengetahui aku hanyalah anak angkat mereka. Aku sendiri juga ternyata berasal dari panti asuhan. Sejak itu aku hidup terpisah dari mereka dan memulai hidupku yang baru di Jakarta.
Sepintas aku seperti orang yang baik2 saja, tapi pada kenyataanya aku begitu ingin disayangi. Mungkinkah suatu hari ada orang yang sudi menikahiku dengan keadaan sudah punya anak dan hidup dari kerja sampingan? Aku tak yakin soal itu. Kupikir melajang seumur hidup bersama putraku Aleo adalah pilihan terbaik yang kupunya saat ini.
Waktu begitu cepat berjalan, suka duka kulalui bersama Aleo dari titik nol sampai ke hari ini. Ya 1 tahun kemudian Akhirnya aku diwisuda menjadi Sarjana Ekonomi. Betapa bahagianya menikmati hasil jerih payah yang sudah kulakukan bertahun-tahun ini. Aleo yang sekarang sudah berusia 2 tahun lebih menjadi pendamping wisudaku ditemani bik Sumi tetangga kontrakanku.
Tahun ini aku terpaksa menghabiskan tabungan kakak untuk membayar biaya skripsi dan biaya wisudaku. Aku juga terpaksa membayar kontrakan tempat kami tinggal menggunakan uang kakak. Awalnya aku ingin meminjamnya dari Karin, tapi aku sudah terlalu meropotkan mereka jadi mana mungkin aku berani meminta pertolongan lagi.
Aku pasti akan menggantinya suatu hari nanti segala uang kakak yang kugunakan untuk kepentingan pribadiku. Kakak pasti mengerti dengan kesulitanku. Aku yakin dengan memegang ijazah SE dari kampus ternama, aku pasti mendapatkan pekerjaan yang layak. Bagaimanapun mulai saat ini kehidupanku akan menjadi lebih mudah, setidaknya aku tak perlu memikirkan biaya kuliah lagi.
***
2 tahun kemudian.
Kupikir semuanya akan baik2 saja. Sampai pada suatu hari Aleo ku jatuh sakit. Biasanya kalau Aleo sakit, setelah minum obat yang kubeli di apotik keadaanya akan langsung membaik. Tapi sudah beberapa hari demam Aleo tak juga kunjung sembuh.
Aleo yang selalu memuntahkan apa yang dia makan, wajahnya yang sangat pucat, dan panasnya yang tak kunjung turun membuatku semakin khawatir. Tidak pikir panjang lagi akhirnya aku membawa Aleo kerumah sakit.
Cukup lama dokter memeriksa kondisi Aleo sampai akhirnya dokter menjelaskan tentang kondisi putraku itu.
"Begini nyonya, sepertinya putra anda harus dirawat disini untuk waktu yang cukup lama"
Aku sedikit terkejut mendengar penjelasan dokter yang kuketahui bernama Adi itu.
"Aleo sakit apa dok?"
Aku bertanya berharap penyakitnya tak terlalu parah.
"Menurut gejalah yang muncul setelah saya periksa tadi, sepertinya anak nyonya terkena penyakit DBD atau demam berdarah dengue. Tapi kita tidak bisa memastikanya dengan jelas jika belum dilakukan uji laboratorium. Untuk itu kami butuh persetujuan nyonya atas perawatan putra nyonya disini"
Aku masih ternganga tak percaya. DBD? Bukankah penyakit itu berbahaya? Ya tuhan Aleo.
"Lakukan yang terbaik dok, yang penting anak saya bisa disembuhkan"
Air mataku sudah mengalir sejak dokter mengatakan Aleo terkena DBD tadi. Rasanya begitu takut dan khawatir.
Setelah menandatangani persetujuan perawatan, beberapa orang perawat mulai memasangkan infus pada Aleo. Aku menangis sesunggukan sambil memegang tangan putraku yang terus beronta saat perawat mencoba memasangkan infus ke tangannya yang gemuk. Cukup lama sampai akhirnya infusnya berhasil terpasang. Kini Aleo juga sudah mulai sedikit tenang.
Ini untuk pertama kalinya Aleo harus dirawat dirumah sakit. Apa yang harus kulakukan? Aku tidak mungkin terus-terusan meminta tolong pada bik Sumi untuk sesekali menemani Aleo disini? Aku juga harus mencari uang untuk perawatan Aleo. Tapi jika aku bekerja kepada siapa aku harus menitipkan Aleo? Apa sebaiknya untuk sementara waktu aku cuti kerja dulu? Karin juga pasti mengerti dengan keadaanku.
Kuraih ponselku dan segera menghubungi Karin
"Halo Karin"
"Iya la, ada apa?"
"Sepertinya untuk beberapa hari aku tidak bisa bekerja di restaurantmu. Aleo sekarang dirumah sakit, aku harus fokus menjaganya"
"Aleo sakit apa la?"
Karin sedikit terkejut mendengar perkataanku
"Dokter bilang Aleo kena DBD Rin, jadi dia harus dirawat beberapa hari dirumah sakit"
"Nanti aku kesana. Untuk saat ini kamu tidak perlu bekerja dulu, jaga saja Aleo la"
Aku segera mengahiri telponku setelah mendapat persetujuan dari Karin. Setidaknya aku bisa menemani Aleo sepenuhnya selama dia berada dirumah sakit.
Tiba2 aku ingat ayahnya Aleo. Apa sebaiknya aku menghubungi orang itu? Kupikir dia juga berhak tau dengan keadaan Aleo. Jika terjadi sesuatu yang buruk dan aku tidak mempertemukan mereka, maka aku adalah orang yang paling berdosa didunia.
Kucoba menghubungi nomor yang sudah 4 tahun ini kusimpan dengan sangat hati-hati. Semoga saja nomor itu masih digunakan oleh yang empunya. Aku bisa bernafas lega saat mengetahui ternyata telponku tersambung dengan nomor itu.
"Halo"
Suara tegas lelaki diseberang sana membuatku sedikit ragu untuk mulai berbicara.
"Halo"
Kali ini suaranya sedikit membentak dan dengan segera mengembalikan kesadaranku.
"Ha halo" Sedikit tergagap aku mulai berbicara
"Siapa ini?"
"Aku tidak mengenalmu, tapi kupikir kau pasti kenal kak Hilda."
"Hilda?" kudengar sang pemilik suara sangat terkejut mendengar nama kak Hilda. Aku yakin dia benar2 mengenal kakakku.
"Dimana kau? Aku akan segera menemuimu"
Aku juga bisa merasakan suaranya yang sedikit bergetar saat mengajakku bertemu.
"Aku dirumah sakit Pelita Harapan. Temui aku diruangan anak 201. Aku akan menjelaskan semuanya padamu"
Lelaki itu segera menutup telponya tanpa mengucapkan salam terlebih dahulu. Apa dia tidak tau sopan santun. Tapi bagaimana aku menjelaskan semua ini padanya? Bagaimana jika dia tidak percaya kalau Aleo adalah putranya?
Sudah lebih dari 1 jam aku menunggu dengan perasaan gelisah. Karin yang sudah sejak tadi datang mengunjungi aleo tampak heran dengan kegelisahanku.
"Kau sedang menunggu seseorang la?"
"Iya. Tapi aku tidak terlalu yakin dia akan datang atau tidak."
"Tunggu aja la, nanti juga kalau orangnya datang dia akan menghubungimu. Memangnya siapa sih? Orang penting ya? Eh atau kamu balikan lagi sama mantan pacarmu itu?"
Karin bertanya menyelidik.
"Orang yang sangat penting Rin. Tapi tentu saja bukan Aryo"
Aku menjawabnya dengan sedikit tersenyum.
Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamar tempat Aleo dirawat. Kamipun secara bersamaan mempersilahkan orang itu masuk. Seorang lelaki tinggi dan maskulin dengan setelan jas kerja berdiri di ambang pintu dengan gagah. Aku tak tau apakah Karin menyadarinya atau tidak, tapi laki-laki tampan itu sangat mirip dengan Aleo putraku.
Sekali lihat aku bisa menebaknya dia pasti ayahnya Aleo. Untuk mencegah Karin menyadarinya aku segera menarik lelaki itu pergi sambil berteriak pada Karin untuk memintanya menjaga Aleo. Kulihat laki-laki itu sempat menoleh pada Aleo dan tampak sangat terkejut.
Aku baru melepaskan tanganku saat kami sudah berada didalam lift. Kuajak laki-laki itu kekafetaria tak jauh dari rumah sakit. Dia hanya diam saja menuruti apa yang kumau. Setelah memesan dua cangkir coffy dan sedikit cemilan, aku mulai membuka pembicaraan dengannya
"Aku Nola"
Aku mengulurkan tangan mengajaknya berkenalan. Tapi lelaki itu sama sekali tak menyambut uluran tanganku dan malah melipat tanganya didada.
"Tak perlu basa basi. Dimana Hilda?"
Ya tuhan laki2 ini kenapa begitu kasar?
"Itu, aku bingung harus menjelaskanya dari mana"
Aku memainkan jari jemariku mencoba mengusir kegugupan yang sejak tadi tak kunjung pergi.
"Jangan mengulur-ulur waktu. Jika kau tidak mau mengatakan dimana dia, maka aku akan pergi"
Laki-laki itu sudah mendorong kursinya dan berdiri bermaksud segera pergi meninggalkanku
"Kak Hilda, dia sudah meninggal"
Kulihat laki-laki itu berdiri mematung dengan wajah yang mengeras. Sesaat kemudian dia terduduk dengan kedua tangan menyibakan rambutnya kebelakang. Sepertinya dia sangat terkejut dengan meninggalnya kak Hilda.
"Tepatnya 4 tahun yang lalu"
Aku melanjutkan ceritaku.
"Lalu kenapa selama ini kau tidak pernah menghubungiku?"
Laki-laki itu menatapku tajam, seolah-olah akulah penyebab meninggalnya kak Hilda
"Kak Hilda melarangku. Aku hanya boleh menghubungimu jika terjadi sesuatu pada Aleo"
"Aleo?"
Laki-laki itu kembali keheranan karna aku menyebut nama Aleo.
"kalau aku tidak salah, kemungkinan besar dia adalah putramu"
Aku memberanikan diri menatap laki-laki itu.
Kulihat dia semakin terkejut dan dan menyemburkan semua minuman yang beberapa saat lalu bermaksud ingin diminumnya.
"Anakku? Mana mungkin. Apa kau bermaksud menipuku?"
Aku menyerahkan tisu padanya
"Untuk apa aku menipumu. Jika bukan karna Aleo dirawat dirumah sakit aku tidak mungkin akan menghubungimu"
Kening laki2 itu berkerut, mungkin sedikit menyadari kemana arah perkataanku.
"Jadi anak kecil yang dirawat tadi adalah anak Hilda?"
"Anakmu juga, kau mungkin menyadari anak itu begitu mirip denganmu"
Aku menambahkan ucapanya karna dia seperti tak ingin mengakui kalau Aleo juga anaknya.
"Jangan katakan hal seperti itu. Apa kau tidak mengenalku? Jika sampai ada berita buruk tentangku, maka aku akan menuntutmu. Untuk sementara aku akan melakukan tes DNA terhadap anak itu. Jika hasil tes mengatakan cocok, maka aku akan memikirkan langkah selanjutnya"
"Tunggu dulu, tes DNA? Jadi kau meragukan anakmu sendiri? Apa kau sejenis pria yang melakukan hubungan intim dengan siapa saja hingga kau jadi tak yakin jika kau benar-benar sudah menghamili salah satu wanita yang kau tiduri?"
Aku memekik tak percaya kalau orang itu akan meragukan Aleo sebagai anaknya. Tapi aku juga tak bisa menyalahkanya, bagaimanapun dia pasti kebingungan dengan situasinya saat ini.
"Aku tidak menghubungimu untuk menyerahkan Aleo padamu. Aku hanya ingin mempertemukanmu denganya, aku takut jika terjadi sesuatu yang buruk dan dia tidak sempat bertemu denganmu, maka aku akan menyalahkan diriku seumur hidup. Jadi kau tak perlu khawatir soal Aleo. Kau juga boleh melakukan tes DNA sesuai keinginanmu, dan temuilah Aleo setelah kau yakin kalau dia adalah anakmu"
Aku beranjak meninggalkan laki-laki yang bahkan tidak kuketahui namanya itu. Tapi kemudian dia memanggilku dan menyerahkan kartu namanya padaku.
Gustian Alexandro, CEO sebuah hotel ternama di jakarta. Aku menelan ludah saat membaca kartu namanya. Bagaimana mungkin kakakku mengenal laki-laki seperti dia? Bisa dibilang dunia kakak dan dunia laki-laki itu benar-benar seperti langit dan bumi. Sebenarnya apa yang terjadi diantara kakak dan laki2 itu beberapa tahun silam? Aku jadi begitu penasaran.
Kalau akhirnya kakak memberikan kesuciannya pada laki-laki itu aku tak bisa menyalahkan kakak, karna mau tidak mau aku juga harus mengakui kalau laki2 itu sempurna sebagai seorang lawan jenis.
Sekali lagi kutatap Gustian sebelum akhirnya kubiarkan dia pergi mendahuluiku. Aleo ternyata kau anak yang begitu beruntung, tapi kenapa kak hilda tidak mau kau bertemu papamu? Sepertinya Gustian tidak menginginkan Aleo. Dia bahkan meragukan Aleo sebagai putranya. Padahal sekali lihat saja semua orang bisa menemukan kemiripan diantara keduanya.
Saat kembali kerumah sakit, Karin sudah menungguku dengan berbagai pertanyaan.
"Nola siapa dia? Wah dia sangat tampan"
Karin tersenyum sendiri mengingat ketampanan Gustian.
"Bukan siapa-siapa Karin. Lain kali akan kuceritakan padamu, untuk sekarang aku mau menemani putraku dulu"
Sengaja kualihkan tofik pembicaraan Karin agar dia bisa segera melupakan Gustian.
"Tapi sepertinya dia mirip Aleo"
"Mirip aleo? Mana mungkin"
Aku berdehem dan segera mengusir Karin pulang dengan alasan memberi Aleo waktu istirahat yang tenang. Karin menurut dan berjanji akan berkunjung lagi dilain waktu.
Aku harus tetap merahasiakannya meskipun itu dari sahabatku sendiri. Gustian adalah orang penting, jika sampai ucapanku merusak reputasinya bukan tidak mungkin dia akan menuntutku. Mungkin ini juga alasan yang membuat kakak merahasiakan siapa orang tua kandung Aleo dan memintaku yang merawat serta membesarkannya.
Bagaimana kakak bisa mengenal Gustian? Apa hubungan yang mereka bina? Apa hadirnya Aleo didasari suka sama suka? Gustian tidak terlihat seperti laki-laki yang akan memaksa wanita untuk tidur denganya. Kak Hilda juga bukan tife wanita yang akan melahirkan bayi dari lelaki yang tidak dia cintai.
Tapi kenapa Gustian teihat tidak mencintai kak Hilda? Raut wajahnya hanya menunjukan perasaan kasihan dan sedih. Apa mereka hanya terlibat cinta satu malam? Aku harus menuntut penjelasan dari Gustian.
***
To be continue. . .